Pagi ini, Beverly yang tampak termenung ketika penampilan hendak ke sekolahnya sudah siap. Ia yang teringat akan ucapan guru nya disekolah, jika hari ini kedua orang tuanya harus hadir ke sekolah untuk menyaksikan penampilannya membaca puisi.
Namun kembali lagi Beverly berfikir jika sang Mommy masih belum dapat ditemukan, lalu siapa yang akan menghadiri undangan tersebut? sementara Emil yang kini sedang membujuk sang anak."Be, daddy bisa kok datang ke sekolah be.""Tapi mommy gimana Daddy? kan harus sama mommy," ucap Beverly yang membuat Emil terdiam.Entah bagaimana cara menjelaskan pada Beverly, anak seusianya belum dapat menerima penjelasan serumit ini.Tiba tiba dari arah belakang, terdengar Sabrina menyambar percakapan itu."Atau oma aja yang datang? buat jadi mommy nya Be?" ucap Sabrina yang membuat Emil seketika mendongak kan wajahnya.Ia dapati Sabrina yang sudah berpenampilan rapi disana."Oma bisa loh"Nona, ini ada susu hamil dan buah buahan untuk nona," ucap bi Sri yang kini memasuki ruang kamar Alzena.Melihat itu pun Alzena tertegun, berbagai macam buah, susu, dan makanan bergizi lainnya yang saat ini ada dihadapannya."Siapa yang beli ini semua bi?""Tuan Aland non, tapi dia ngga bisa nganter ke sini karena ada kerjaan mendadak," jawab Bi Sri yang membuat Alzena mengangkat Alis sebelah kirinya.Mendengar itu membuat Alzena berfikir, karena ia tak mengingat nomor ponsel Emil, ia hendak mencari di media sosialnya."Bi, apa bibi punya handphone? apa saya boleh pinjam?" tanya Alzena yang berharap sang bibi dapat memberikannya.Namun justru jawaban bibi membuat Alzena kecewa."Tidak non, tuan Aland tidak mengizinkan bibi bawa handphone." Mendengar jawaban itu seketika Alzena tak bersemangat kembali, Aland benar benar sudah mempersiapkan semuanya, bahkan dari hal hal yang tak terduga sekali pun.•••
"Be, daddy pergi dulu ya, mau cari mommy. Be doain semoga hari ini mommy ketemu," ucap Emil pada gadis kecil yang sedang bermain boneka dihalaman belakang rumahnya."Terserah daddy aja, Be ngga peduli lagi sama mommy," jawab Beverly yang membuat Emil terdiam.Sedikit tak mengerti dengan ucapan sang anak yang ia anggap bercanda."Be ngomong apa sih?""Daddy, mommy itu ngga sayang sama Be, buat apa Be doain?""Be, ngga boleh ya bicara kaya gitu. Kata siapa Mommy ngga sayang sama Be?""Nyata nya mommy pergi, kalau mommy sayang sama Be, mommy ngga akan ninggalin Be daddy.""Sayang, mommy ngga sengaja ninggalin kamu kok, dan ini daddy lagi berusaha buat cari mommy kamu.""Terserah daddy deh, Be ngga peduli," ucap Beverly yang lalu melangkah meninggalkan tempat.Kepergiannya membuat Emil tertegun, kalimat apa yang baru saja diucapkan sang anak? Bahkan selama ini ia tak pernah mengajari anaknya berbicara seper
"Tangan Emil kenapa mas? kok berdarah gitu?" tanya Maya kala kini Emil dan Adit kembali ke rumah."Bantai batang pohon," jawab Adit melirik Emil."Hah? ada ada aja Mil.""Entah lah, kamu fikir dengan begitu bisa nyelesain masalah? sampe tangan mu bengkak sekali pun kalau ngga dicari Alzena ngga mungkin kembali, aneh aneh, pake bantai batang pohon segala," cerocos Adit yang membuat Emil hanya terdiam.Wajar lah jika sang kakak memarahinya, karena itu memang tindakan konyol, karena tak dapat menahan emosi dan amarah, seketika Emil melempar tangannya begitu saja."Udah udah, sini biar aku obati," ucap Maya yang lalu meraih kotak p3k dan mengobati luka tangan Emil.Sementara Sabrina yang melihat itu pun, dengan cepat mendekat, berekspresi cemas karena melihat luka ditangan Emil."Loh, Mil tangan mu kenapa?" tanya Sabrina yang terus memperhatikan Maya yang sedang mengobati luka Emil."Ngga usah banyak tanya deh, mau
Hiks Hiks!"Aduh sakit, sakit banget perut ku," desah Sabrina dengan menahan rasa sakit.Ekspresi wajahnya sangat kesakitan dan kedua tangan yang terus menekan pada bagian perutnya."Tolong! perut ku sakit, tolong aku!" pekiknya.Mendengar suara itu pun, Emil yang sedang melintas seketika menghentikan langkahnya, ia mendengar Sabrina yang terus mengeluh kesakitan, dengan rintihan tangisannya.Tak berfikir lama, Emil yang dengan cepat mendekat. Ia dapati Sabrina yang terbaring meringkuk dengan tangan yang masih terus menekan perutnya."Sabrina, kamu kenapa?""Tolong aku Emilio, perut ku sakit banget, tolong!"Mengingat kondisi Sabrina yang saat ini sedang hamil, Emil pun segera membantu Sabrina, membawanya kerumah sakit untuk mendapat perawatan."Bagaimana dok? Sabrina kenapa?" tanya Emil setelah dokter wanita tersebut selesai memeriksa Sabrina."Tuan, istri tuan ini tidak bisa kelelahan, kandun
Beberapa bulan berlalu, terlihat perubahan bentuk tubuh terkhusus perut pada Alzena juga Sabrina, usia kandungan itu sudah memasuki lima bulan.Dan selama lima bulan itu juga, Alzena yang masih belum terbebas dari tahanan rumah mewah Aland.Beruntungnya, disana Alzena mendapat perlakuan yang sangat baik, meski ia sedang menjadi tawanan, namun sepertinya tawanan tersayang Aland Rosewood.Hari ini, Alzena yang terduduk terdiam dan merenung memikirkan hidupnya. Akankah hidup terus begini? yang terus berkecukupan, bergelimang kemewahan, karena sang penculik telah memperlakukan nya dengan sangat baik.Namun jika tak dapat bersama anak dan suaminya, apa yang dapat membuat Alzena bertahan? hari ini rasa rindu kian menggebu, air mata berlinang dengan perasaan yang tak karuan."Aku rindu kalian."Kalimat itulah yang kembali terucap dari bibir Alzena, Perlahan Alzena pun menundukkan wajahnya, memperhatikan perut buncitnya dengan mata merem
Sesampainya dirumah Aland."Mana kamar untuk ku? aku mau tidur kak, rasanya capek banget, kesel banget, aku mau tidur sampai besok, jangan ganggu aku," cerocos Sabrina.Memasuki rumah yang baru pertama kali ia datangi, alih alih menyapa sang kakak, Sabrina justru menanyakan ruang kamar untuknya.Karena tubuhnya tak sabar lagi untuk berbaring"Tuh," jawab Alan dengan pandangan tertuju pada ruang kamar disebelah kirinya.Yang membuat pemandangan Sabrina mengikuti arah pandangan Alan, yang kemudian mengangguk dan dengan cepat berjalan.Kepergian Sabrina membuat Aland tak berkedip, dengan terus berfikir bagaimana jika Sabrina bertemu Alzena disini? Sementara selama ini Aland berkata Alzena berada ditempat yang membuatnya menderita, bukan berada di dalam sangkar emas ini.Seperti yang diucapkan Sabrina, ia yang tak keluar kamar hingga kini pagi menyapanya, jam menunjukan pukul 09:00 Sabrina yang masih bergelut dengan selimut ditem
"Aku ngga bisa diem aja disini, lima hari lagi Be ulang tahun, pasti dia akan sedih kalau aku ngga bisa pulang untuk dia," gumam Alzena kala terduduk termenung memikirkan jalan keluar.Wanita berambut panjang itu, terduduk ditepi tempat tidurnya membelakangi sebuah pintu yang tak tertutup rapat.Sementara Sabrina yang melintas pun tak sengaja melihatnya, hingga membuat langkahnya seketika terhenti dan pandangannya tertuju tajam pada wanita yang sedang merenung itu."Astaga, ternyata kak Aland menyimpan wanita itu dirumah ini?" celetuk Sabrina dengan ekspresi terkejut.Berniat untuk menemui Alzena dan ingin tau lebih jauh tentang wanita itu, termasuk wajahnya yang tak pernah Sabrina tau, hanya tubuh bagian belakangnya selalu nampak di pandangan Sabrina.Perlahan Sabrina pun membuka pintu, yang membuat Alzena menoleh hingga membuat keduanya terbelalak.Terkejut karena ternyata wanita yang ada dihadapannya saat ini adalah Alzena Din
"Sabrina," panggil Alzena pada Sabrina yang kini melintas.Mendengar panggilan itu langkahnya pun terhenti. Wanita itu menoleh dengan pandangan kebencian."Ada apa?""Gimana kabar ayah? aku kangen sama dia," tanya Alzena yang membuat Sabrina terdiam.Sedikit tak tega untuk menyampaikan kabar Surya pada anaknya."Ayah mu..""Ayah kenapa? apa terjadi sesuatu sama dia?""Ayah mu sudah meninggal dunia."Deg!Separuh nafas Alzena seketika terhenti kala mendengar penyataan mengejutkan dari Sabrina? Terkejut, terbelalak dan rasa tak percaya yang kian menghampiri."Apa maksudmu?""Ya, maksudku Surya udah meninggal dunia, beberapa bulan yang lalu."Seketika air mata Alzena luruh begitu saja, tubuh yang tidak stabil itu terjatuh kembali ke sofa yang ia duduki.Tangisnya pecah, karena rasa penyesalan yang tak dapat terbendung, sang ayah tiada, mengapa ia tak pernah mengetahuinya