“Pak, saya minta tolong untuk bukakan pintu mobil.” Pinta Kamarudin saat mobil keluarganya sampai pada pelataran rumah mereka.“Baik, Den.”Kamarudin lalu memperbaiki posisi Anya. Mengangkat sang istri sehingga berada di atas pahanya. Ia telah bersiap untuk menggendong Anya masuk ke dalam rumah.Melihat betapa lelapnya Anya tertidur, Kamarudin tidak tega jika harus membangunkan sang istri. Maka dari itu, Kamarudin memilih menggendong wanita itu ala bridal.“Terima kasih Pak Maman. Bapak bisa beristirahat sekarang.” Ucap Kamarudin sebelum melangkah.Kedatangan pasangan baru itu disambut oleh seluruh penghuni rumah. Mereka yang memperkirakan kapan sampainya Anya dan Kamarudin bersiap memenuhi ruang tamu. Ketika pintu pintu terdorong masuk mereka berteriak, “selamat dat..”“Ssssttt..” Desis Kamarudin, meminta mereka menelan kembali suara yang hampir terlontar sempurna. “Tidur,” timpalnya, pelan.“Waduh! Mantunya Ibu kecapekan ini pasti, abis dibolak-balik si Kamaru..”Blush…Pipi Kamarud
Trang!!Alat makan ditangan Anya dan Kamarudin merosot jatuh ke piring. Keduanya pun memekik secara bersamaan, “bulan madu?”“Iya, Kamaru, Anya.. Honeymoon. Orang abis menikah itu tuh pasti bulan madu. Ibu sama Bapak juga begitu kok. Iya kan, Pak?”Miranti mencari dukungan suara. Bersama para besannya, mereka sudah mempersiapkan liburan untuk keduanya.“Bener apa yang Ibu kalian bilang. Biar makin akrab!”Kamarudin menghembuskan napas. Perutnya belum sepenuhnya terisi, tapi lagi-lagi ibunya bertingkah. “Bu,” panggil Kamarudin, lembut.“Tujuan bulan madu itu kan untuk segera memiliki momongan..”“Ya terus?” potong Miranti, tahu kemana arah kalimat anaknya. “Memangnya kalau sudah hamil nggak boleh bulan madu gitu? Pikiran cupet dari mana itu, Kamaru?”Sejak kemarin selalu kehamilan Anya yang dipermasalahkan. Miranti jelas tidak terima. Tak ada yang salah dari menantunya yang sudah hamil duluan.“Kamaru ngajar, Bu.”“Yo cuti! Ngono ae kok repot! [Begitu saja kok repot!].” balas Miranti t
Anya beranjak dari ranjang ketika pintu kamar yang dirinya tempati terbuka. “Udin Haseyo,” panggilnya membuat mata si pemilik nama terbelalak.“U-Udin, apa?”“Haseyo..” Ulang Anya sembari menyembunyikan keinginannya untuk tertawa, karena melihat tampang shock Kamarudin.“Kita kan mau ke Korea, jadi belajar aja dulu bahasanya.”Kamarudin tidak akan mengerti kan, kalau apa yang dirinya ucapkan, sebenarnya kata sambung dari sebuah sapaan— Annyeong Haseyo. Ia yakin Kamarudin tidak mengetahuinya. Pria kaku seperti dosennya itu mana pernah menonton drama Korea yang sedang booming di negara mereka. Hidupnya pasti dihabiskan dengan tumpukan jurnal dan buku-buku bacaan seputar aksi mengajarnya.“Jangan menjahili saya, Anya! Saya tidak bodoh. Kamu pikir ditempat saya berkuliah dulu tidak ada orang Koreanya?!” “Oh, paham ternyata!” gumam Anya kecil, yang masih dapat terdengar oleh telinga Kamarudin.“Kamu benar-benar, ya!” Desis Kamarudin. “Kenapa kamu manggil saya? Bukannya Ibu meminta kamu b
Bukan Korea, bukan pula negara-negara lainnya. Dua tiket yang memuat nama mereka menunjukkan sebuah pulau, yang masih menjadi daerah teritorial Indonesia. Pulau yang kerap dianggap oleh Warga Asing sebagai negara yang berdiri sendiri dan pulau tersebut adalah Pulau Dewata— Bali.“Kenapa nggak ke luar negeri, Din? Kita honeymoon, bukannya wisata akhir pekan.”“Tidak semua orang menghabiskan weekend mereka ke Bali, Anya.” Ujar Kamarudin menanggapi protesan Anya. Ucapan istrinya itu terdengar berlebihan dilubang telinganya.“But I did! Sebelum Negara Api menyerang!”Kalingga terkekeh. Anya memang pasangan yang pas untuk adiknya. Perempuan itu bisa dengan mudah mengubah ekspresi tenang di wajah Kamarudin. Keduanya merupakan satu-kesatuan yang akan saling melengkapi dan menguntungkan.Anya yang cerewet akan meramaikan flatnya kehidupan Kamarudin, lalu pada sisi Anya, perempuan itu akan mendapatkan lawan untuk meluapkan perasaannya. Sebuah simbiosis mutualisme yang cukup baik.Kembali pada
Kamarudin membantu Anya berjalan menyusuri lorong-lorong bangsal rumah sakit. Terima kasih kepada Mr. Handoyo, selaku opa istrinya. Sakitnya pria itu membuat mereka dapat menggagalkan bulan madu yang tidak terarah ini. Dibandingkan liburan, Anya membutuhkan banyak istirahat. Perut dan beberapa bagian tubuhnya membesar. Berjalan jauh sedikit saja, Anya ngos-ngosan. Bagaimana nanti jika jiwa gila belanjanya memaksa tubuhnya tetap fit demi kantong-kantong brand ternama. Kamarudin tidak bisa membayangkannya. Mereka telah melewati malam-malam panjang yang melelahkan sebelumnya. Tidak ada hal yang paling dibutuhkan keduanya kecuali istirahat.“Pelan-Pelan saja, Anya.. Opa kamu nggak akan kemana-mana.”“Capek Udin. Pengen cepet sampe biar bisa duduk!”Oh, Kamarudin salah terka. Ia pikir Anya ingin segera melihat keadaan kakeknya. Rupanya ada tujuan lain, demi kenyamanan dirinya sendiri.“Disini kan ruangannya?”Kamarudin mengangguk. Ia cukup menyayangkan kegilaan kakek sang istri. Hanya kar
“Kenapa?”Kamarudin baru saja keluar dari kamar mandi ketika melihat istrinya tengah memegang ponsel miliknya. Merasa Anya menatapnya dengan tajam, ia memberanikan diri untuk bertanya. “Ada yang menghubungi saya?” “Michelin— itu nama mantan kamu kan?”“Ya.. Dia menelepon saya?” tanya Kamarudin. Tidak mungkin Anya menanyakan Michelin jika perempuan itu tidak melihat nama kontak yang muncul pada layar ponselnya.“Kirim chat.. Sorry aku kepo, makanya aku buka.” Aku Anya, berterus terang. Mantan kekasih suaminya tadi sempat menelepon memang. Karena ia terlalu lama berpikir, perempuan itu akhirnya memutus sambungannya, lalu mengirim pesan singkat.“It’s okay. Kamu istri saya. Saya tidak berniat membentangkan jarak dengan membatasi hak dan ruang gerak kamu.”Anya berhak membuka ponselnya. Kamarudin tidak akan melarang. Bersama Anya, dirinya tak membutuhkan privasi. Sekarang status mereka merupakan suami dan istri. Apa pun yang Anya ingin ketahui, wanita itu bisa mendapatkannya langsung. Ia
Kamarudin terjaga pada dini hari tadi. Ia sempat menuju kamarnya yang berada dilantai dua, berniat hendak kembali tidur bersama Anya. Namun keinginannya itu tak dapat terwujud sebab pintu kamar yang terkunci dari dalam. Perempuan muda yang masih berstatuskan mahasiswinya itu benar-benar mengesalkan. Teganya dia mengusir suami yang baru dinikahinya hanya karena sebuah kesimpulan sepihak. Seharusnya dia mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu, bukannya justru mendepak orang sembarangan. Jika saja Anya tidak melayangkan ancaman, ia tidak akan mau mengalah. Menyiksa diri di kamar lain. “Ya Ampun.. Astaga, Kamaru!! Penampilan kamu ngerusak mata Ibu!” Miranti berteriak. Wanita paruh baya itu shock melihat penampilan putranya. “Mana baju kamu?! Kalau ada mbak yang liat gimana, Kam?!” Omel ibu tiga anak itu sambil memelototi putra ke-2-nya. Bagaimana kalau tiba-tiba Anya turun ke bawah, lalu menyaksikan aksi tidak senonoh putranya ini?! Bisa-Bisa menantu kesayangannya itu salah paha
Kamarudin mengerutkan kening saat memasuki kediaman orang tuanya. Anya tampak sedang menerima tamu penting, dilihat dari penampilan para tamunya.‘Siapa mereka?’ batin Kamarudin, bertanya-tanya.Ketiganya menyadari kedatangan Kamarudin. Dua tamu Anya berdiri lalu menyapa pria itu.“Pak Kamarudin. Sebelumnya selamat atas pernikahan Bapak dengan Mbak Anya. Kebetulan saat pernikahan kami sedang ditugaskan Pak Tanu, sehingga tidak dapat hadir.” Salah satu dari mereka mengulurkan tangan, menyalami Kamarudin.Kamarudin pun menyambutnya dengan sopan. “Ah, ya. Terima kasih atas ucapannya.” Orang-orang ini rupanya merupakan anak buah papa mertuanya. Tapi untuk apa mereka datang ke rumahnya? Tanu Handoyo sudah kembali lagi ke Singapura.“Kalau boleh saya tahu, Bapak-Bapak sekalian memiliki kepentingan apa bersama istri saya?!”“Kami datang untuk memberikan laporan terkait penarikan unit properti Pak Kamarudin yang saat ini sedang ditinggali oleh Ibu Michelin.”“Penarikan unit apartemen Michel?!
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik