Anya menatap jengah meja makan yang terisi penuh oleh papa dan juga keluarga ibu tirinya. Tangannya mencengkram sendok sup, melampiaskan amarah yang membentuk gulungan ombak di dalam hatinya.
Seharusnya kursi itu ditempati oleh Sasmita Calista— mama kandungnya.
Memejamkan matanya, Anya lantas membanting sendok ditangannya ke dalam mangkok. Ia tidak bisa. Berapa kali pun mencoba menerima perceraian orang tuanya, ia tetap tak sanggup menciptakan keikhlasan itu.
Denting sendok yang menyeruak gendang telinga membuat Tanu, Soraya serta Josephine— kakak tirinya memalingkan muka ke arahnya.
“Jangan mulai lagi, Anya! Duduk!” perintah Tanu.
Tanu Handoyo— konglomerat Indonesia yang bisnisnya bergerak dibidang rokok tersebut meminta putrinya duduk. Anya selalu melakukan hal tersebut ketika Josephine berhasil ia tarik pulang ke rumah.
“Anya nggak selera!” pungkas Anya berdiri lalu membalikan tubuhnya.
“Satu langkah kamu beranjak, Papa pastikan kamu kehilangan seluruh fasilitas, Anya!”
Kedua telapak tangan Anya mengepal di sisi tubuhnya. Rahangnya mengeras sempurna mendengar ancaman sang papa. “Go ahead!” Ucapnya, menantang balik. Anya tidak pernah takut akan ancaman yang selalu Tanu berikan. Ia justru menunggu masa-masa itu.
“ANYA!” teriak Tanu.
“Sudah Pah. Anak kamu kan memang begitu. Mirip sekali dengan mamanya. Tidak bisa menghargai orang lain!” Ucap Soraya yang sayangnya masih bisa terdengar dikedua lubang telinga Anya.
Secepat rudal Anya kembali. Kali ini mendekati kursi yang dulunya ibunya gunakan untuk duduk. Tangannya meraih sup panas milik wanita itu, menggugurkannya tanpa perhitungan terlebih dahulu.
“Aaaa!! Panas! Apa yang kamu lakukan! Kulit kepala Mama bisa melepuh, Anya!” sentak Soraya seketika bangkit berdiri, begitu juga dengan Tanu dan Josephin.
Josephin, pria yang sejatinya merupakan sahabatnya dulu itu menyambar serbet yang terjatuh. Ia menuangkan air dengan suhu ruangan utnuk mengurangi panas dikulit kepala sang ibu.
“ANYA CAL..”
Plak!!
Tamparan mendarat pada pipi kanan Anya sampai wajahnya terbawa arus. Bukannya membalas Anya justru tertawa meremehkan. Tamparan itu jatuh lebih cepat dibandingkan sang papa yang tak meneruskan nama belakangan.
“Kenapa, Pah? Kenapa berhenti memanggil namaku? Apa mulut Papa sebegitu jijiknya mengucap nama Mama?” seringai diwajahnya muncul bersama dengan lirikan matanya, “atau wanita itu masih sangat mencemburui wanita yang Papa tinggalkan untuk dia?”
Sudah ratusan tamparan Anya terima sejak kedua orang tuanya bercerai beberapa tahun lalu. Wanita yang menjadi sahabat mamanya itu, secara sadar dengan tega menikam sahabatnya sendiri. Merampas kebahagiaan manusia yang setiap kali dia memiliki masalah, selalu memasang tubuhnya untuk membela.
Sungguh wanita yang menjijikan. Anya benar-benar membenci ibu tirinya sampai ke sumsum tulang belakangnya.
“Diam kamu! Apa kamu tidak merasa bersalah, sudah mencelakai Mama kamu, Hah?!”
“Mama?” sergap Anya. “How many times do I have to tell you that she is not my mother. I was not born from the womb of a bitch, Sir!” Mengakuinya sebagai ibu tiri saja ia tidak akan sudi, apalagi menyebutnya mama seperti yang dirinya panggilkan untuk sang ibu kandung.
Tunggu saja nyawanya melayang, siapa tahu arwahnya mau. Mungkin jika ketika jiwa itu pun khilaf.
“Perhatikan ucapan kamu, Anya! Dia istri, Pah! Wanita yang Papa jadikan ibu kedua kamu!”
Anya berdecih. “Wanitamu belum tentu ibuku, Pak Tanu. Jangan meminta sesuatu yang tidak bisa aku lakukan seumur hidupku.”
“Sampai kapan, Anya? Sampai kapan kamu mau bertingkah memuakkan begini. It's been two years. Jadilah dewasa!”
“Kalau begitu minta jalang Papa buat berkaca sebelum menjelek-jelekan Mamaku!” Jerit Anya. Kesabarannya memang setipis tisu seharga dua ribuan di toko kelontong. “Suruh dia ingat-ingat, siapa yang membantunya waktu dia kere dikejar-kejar debt collector!”
“Suruh otaknya yang bebal itu buat nyari memori masa lalu. Siapa yang ngerawat anaknya waktu dia kabur ke luar negeri.”
Josephin menundukan kepalanya.
“Anaknya lulus bahkan dari uang Mamaku, Sialan!”
“Papa robek mulut kamu kalau masih berbicara nggak sopan!”
“Robek! Robek sekarang!” Anya menyodorkan tubuhnya pada Tanu, “nih mulut Anya!” tantangnya membuat Tanu terdiam.
“Anya bisa robek balik mulut jalang Papa sampai keliatan tulangnya. Nabrak dia aja Anya bisa kan?” kekehan Anya mengudara bebas. Ia mencoba mengingatkan Tanu tentang kejadian lima bulan lalu dimana setelah pertengkarannya dengan sang ibu tiri di pinggir jalan, ia langsung menabrak mobil wanita itu kencang.
Tanu meremas rambutnya, merasa kewalahan menghadapi sikap keras kepala Anya.
“Why you so hard, Anya? Harus gimana Papa sama kamu?”
“Serahin hak asuh Anya ke Mama.” Sekali lagi Anya berusaha mencobanya. Ia tidak akan lelah membuat gara-gara agar bisa ikut dengan sang mama.
“and make you lead a substandard life?”
“Itu lebih baik dibandingkan hidup satu atap dengan keluarga yang menghancurkanku!”
Anya berlari meninggalkan manusia-manusia yang paling dirinya benci. Ia tidak suka menangis. Dibandingkan mengeluarkan air mata, Anya lebih suka membuat kesadarannya menghilang menggunakan alkohol. Ia membutuhkannya sekarang. Mamanya sedang berada di luar kota untuk suatu pekerjaan, menjadikannya tak bisa menangis di dalam pelukan wanita itu.
Mengganti pakaiannya, Anya lantas mengambil jaket bomber untuk menutupi crop tienya. Ia memakai parfum sebelum menghempaskannya ke lantai, membuat seluruh kaca yang melindungi cairan semerbak itu berhamburan.
“Soraya, Anjing!” makinya keras. Andai wanita itu tidak menjelek-jelekan mamanya, pertengkaran dengan papanya tidak mungkin terjadi.
Membuka pintu kamarnya, Anya lantas meninggalkannya tetap terbuka. Josephin berdiri tak jauh dari dirinya. Pria itu tampak membawa baskom berisikan air.
“Mau kemana, Nya? Gue kompres dulu tangan lo. Tangan lo juga kena sup panas tadi.”
“Bukan urusan lo, dan nggak usah sok peduli, Bangsat! Kita udah sepakat buat nggak saling kenal!”
Pernikahan Tanu dan Soraya tidak hanya menghancurkan keluarga bahagia Anya, tapi juga sebagian hatinya yang dimiliki oleh Josephin. Dulu mereka begitu dekat. Banyak orang menduga keduanya menjalin asmara dibalik tirai pertemanan yang mereka gelar. Siapa sangka pria itu juga menjadi bagian dari kerusakan hati yang bertubi-tubi menghantamnya.
Selepas kepergian Anya, Josephin menggigit bibir bawahnya. Pria itu mencoba menahan tangis yang setiap saat ingin mendobrak bilik matanya.
Jika saja bisa— ia ingin membawa Anya kabur. Menikmati dunia hanya berdua. Melepaskan lara yang merajai seluruh kehidupan mereka berdua.
Sayang sekali, Anya menolak ajakannya. Gadis itu lebih memilih ibunya. Memperjuangkan hak yang seharusnya dimiliki keduanya tanpa memperdulikan perasaan mereka satu sama lain. Untuk itulah ia bersedia tinggal, bahkan menerima jabatan di perusahaan papa Anya. Agar setiap saat dapat melihat sahabat yang dicintainya dalam diam.
.
.
Hingar bingar dunia malam bukan menjadi hal baru untuk Anya geluti. Sejak mendapatkan Kartu Tanda Kependudukan, detik itu juga Anya melesatkan kakinya memasuki sebuah kelab ternama di Jakarta. Ia dulu sering mencuri minuman-minuman papanya di gudang penyimpanan. Merasakan indahnya amnesia dari sekelumit sakit hati yang dideritanya.
Cara itu rupanya begitu manjur.
Menjadi mabuk membuatnya bisa melupakan jati dirinya sebagai anak broken home. Jelas walau itu hanya untuk sejenak saja. Beberapa jam kemudian, ia pasti kembali teringat dengan kehidupannya yang menyakitkan.
Apa gunanya menjadi kaya raya?
Apa istimewanya bisa mendapatkan seluruh fasilitas mewah, jika ia tak bisa hidup bersama keluarganya yang utuh?
Setiap malamnya ia tidak bisa tertidur. Terbayang akan ketukan palu hakim yang memisahkan keutuhan rumah tangga orang tuanya. Ia selalu terbayang bagaimana papanya mengusir sang mama karena tak menerima madunya.
“Nya, stop it! Lo udah teler banget.” Flora menahan lengan Anya yang ingin menenggak sisa whisky mereka.
“Udah, Nya! Bokap lo bisa tambah ngamuk kalau anaknya pulang nggak sadar!” timpal Angel, menambahi. Dua hari lalu keduanya terkena semprot karena tak dapat menjaga Anya.
“Bacot ah!” Anya meletakan botol Macallen ke atas meja yang dirinya buka. Ia berdiri, “nih liatin, kaki gue sama sekali nggak oleng,” tuturnya untuk membuktikan jika dirinya tidak mabuk. “Pesenin lagi dong! Jagger nggak apa-apa! Gue ke toilet dulu.”
“Nggak oleng apaan, Flor?! Jalan aja ngerambat begitu!” decak Angel sembari memperhatikan cara berjalan Anya. “Dia pasti berantem lagi sama Om Tanu.”
“Sian banget hidupnya. Udah broken home, putus cinta sebelum dinyatain lagi!”
Sepanjang menuju toilet, Anya terus meracau. Beberapa kali dirinya menunduk untuk meminta maaf karena menabrak seseorang— sampai pada tabrakan kesekian kalinya, gadis itu memegangi korbannya.
“Anya Calista.”
Mendengar suara taka sing memanggil nama lengkapnya, kepala Anya mendongak.
“Si Anjing, apaan sih hari ini! What the hell banget. Kenapa gue harus terlibat sama empat guk sekaligus dihari yang sama!” Ujarnya begitu keras.
“Udin! Dosen Taik sepanjang masa, sini gue goyang biar kalau kasih nilai pake otak dikit,” tepat setelah ucapannya, Anya menarik tengkuk Kamarudin Hasan, manusia ketiga yang menempati urutan makhluk paling dirinya benci di muka bumi ini.
“Udin! Dosen Taik sepanjang masa, sini gue goyang biar kalau kasih nilai pake otak dikit,” tepat setelah ucapannya, Anya menarik tengkuk Kamarudin Hasan, manusia ketiga yang menempati urutan makhluk paling dirinya benci di muka bumi ini.Kamarudin membeliak. Ia mengenal gadis ini sebagai mahasiswi penuh masalah pada kampus tempatnya mengajar. Sudah dua kali gadis bernama Anya tersebut mengulang mata kuliahnya. Hasilnya pun selalu buruk.Semua tidak terlepas dari sikap buruk Anya sendiri. Sikapnya yang seenaknya dan cenderung sering menantang dosen, termasuk juga dirinya, membuat ia menjatuhkan nilai sesuai bad attitude Anya.Tentu bukan hanya buruknya kualitas diri gadis itu yang menjadi tolak ukur pemberian nilai. Terdapat serangkaian peraturan yang sering Anya trobos, salah satunya persentase absensi yang tidak memenuhi kriteria kelulusan suatu mata kuliah.Terlalu lama terkejut dengan tindakan impulsif yang tidak disadarinya, alih-alih mendorong sang mahasiswi rebel, Kamarudin jus
Udin Anjing! Kelas Udin Anjing! Bangun! Neraka! Kamarudin mencengkram handle pintu ditangannya. Pria itu baru saja melebarkan daun pintu ketika berpikir Anya mengumpatinya. Suara Anya terdengar sangat keras— membuat dirinya yang sedang menggosok gigi berniat menghampiri sang mahasiswi. “Dia masih tidur, lalu suara dari mana ini?” gumam Kamarudin mencari sumber suara. Anya memang mengumpati dirinya, menyebutnya sebagai hewan dan itu disebutkan sebanyak dua kali— tapi bukan gadis itu yang sekarang berteriak. Ah, wanita maksudnya. Semalam dirinya sudah mengambil kegadisan Anya sampai tak bersisa. Udin Anjing! Kamarudin melirik tajam hand bag yang tergeletak di atas sofa kamarnya. Ia merasa dari sanalah umpatan tersebut berasal. Kaki Kamarudin melangkah, mendekati tas milik Anya. Semakin ia mendekati sofa, suara mahasiswa perempuannya tersebut, semakin terdengar lebih keras. ANYA NILAI F “NO!!” Anya berteriak. Alarm ponsel yang dirinya setting dua jam sebelum kelas sudah berbu
“Benar itu, Kamaru?” selidik Miranti. “Nak! Nggak ada perempuan lagi, selain wanita panggilan?” bentaknya murka.Mengapa anaknya asal saja meniduri perempuan? Padahal di luaran sana banyak yang tergila-gila kepadanya.“Ya Tuhan, Kamaru!!”“Bu, dia berbohong! Anya ini mahasiswi Kamaru di kampus.”“Eh, Pak!” Anya memukul paha Kamarudin, “emang kalau mahasiswa nggak bisa jual diri? Banyak tau di kampus yang jadi sugar baby!” sudah kepalang tanggung kan. Aktingnya harus totalitas supaya hidupnya tak semakin menjadi berantakan.“Makanya jangan cuman liatin yang berbatang aja, Pak.” Ejek Anya, termakan oleh cerita ibu Kamarudin.“Kamu beneran nggak suka perempuan, Kamaru?!” kali ini Atalaric yang menghardik putra keduanya. Ada raut khawatir yang tampak pada wajah pria paruh baya itu.“Astaga!” desah Kamarudin, menyugar rambutnya ke belakang. “Pak, saya loh merawanin dia!” jawabnya setengah kesal karena tidak dipercayai. “Coba lihat itu sepanjang lehernya, yang buat saya Pak.”“Loh katanya n
“Anya, terima saya ya?! Ibu sudah nggak sabar nunggu itu,” Kamarudin menggeser posisi tubuhnya. Tepat di depan Anya, wanita itu kembali dapat melihat sosok Miranti. “Hi, calon menantunya, Ibu!” Miranti melambaikan tangannya meski belum mengambil langkah untuk mendekat.Wajah Anya memucat. Kamarudin tidak hanya sendirian, pria itu membawa antek-antek absurdnya untuk membalaskan dendam. “Nya,” senggol Flora yang berada di sisi kiri Anya. “Ngomong sesuatu jangan diem aja!” pinta sang sahabatnya. “Gue sampe mau pingsan nih!”“Ginjal gue juga gemeteran, Nya,” sambung Angel, memberitahukan keadaannya usai mendengar pengakuan dosen idolanya.Jangankan Flora dan Angel— Anya tak sekedar ingin pingsan, kalau bisa malah mati aja sekalian. Sepertinya baru satu ia merasakan surga dunia tanpa bimbingan Kamarudin. Kenapa sekarang justru begini nasibnya.“Gaes, tolong bantu saya untuk membujuk Anya.” Kamarudin bangkit, ia menggunakan atensi para mahasiswanya yang tengah mengerubungi mereka. “Saya b
Anya merasa sangat sedih berada ditengah-tengah keharmonisan keluarga Kamarudin. Kedekatan mereka semakin membuka lubang menganga di hatinya. Ia telah kehilangan momen berharga tersebut bertahun-tahun lamanya.Wanita itu tersenyum miris. Ingatan mengenai kebahagiannya bersama kedua orang tuanya masih terekam indah di dalam benaknya. Entah kapan semua itu dapat terulang kembali. Rasanya tak akan mungkin mengingat perseteruan mereka.Anya tak menginginkan banyak hal. Berharap kedua orang tuanya kembali bersama merupakan sebuah kemustahilan, yang tak mungkin dapat terwujud. Ia sadar diri. Selain sang papa yang begitu membenci mamanya, wanita yang melahirkannya pun telah banyak menelan duri yang sengaja dijejalkan ke dalam tubuhnya. Sakit hati mamanya, sampai kiamat pun, papanya tidak akan bisa menyembuhkannya. Kesalahan pria itu terlalu fatal.“Lihat loh, Shaf. Dua Mas mu kalau cari pasangan oke-oke semua. Kamu kok dapetnya yang modelan papan catur mukanya! Abstrak!”“Bapak! Jangan godai
“Dengan siapa kamu di restoran tadi, Anya?!”“Bukan urusan, Papa!” Anya melenggang pergi, melewati ruang tamu dimana papanya menunggu dirinya. Ia sedang malas bertengkar. Seluruh energinya telah tersedot habis oleh rangkaian peristiwa yang dirinya lalui hari ini. Anya membutuhkan istirahat cukup untuk melalui hari-hari selanjutnya.“Anya! Papa bertanya sama kamu!”Menghakimi lebih tepatnya. Papanya tak pernah hanya bertanya. Apa pun topik yang dibuka, pria itu akan berakhir menyudutkan dirinya. Jadi Anya tak akan meresponnya kali ini. Sungguh, ia ingin merasakan empuknya ranjang.“Mas, ada apa sih ini? Kenapa teriak-teriak begitu?!”Anya memperlambat langkah kakinya saat suara Soraya terdengar pada gendang telinganya. Nenek sihir itu sudah muncul. Anya ingin memastikan mulutnya yang jalang tidak mengeluarkan kata-kata buruk untuk mamanya.Kalau urusan menghadapi Soraya, Anya memiliki simpanan energi ekstra yang tercadang di dalam tubuhnya. Seletih apa pun dirinya, Anya siap jika harus
Ketukan pintu kamar menampilkan salah satu ART keluarganya. Satu yang tersisa setelah mereka memilih mengundurkan diri karena sang nyonya tak lagi berada di istananya. Wanita paruh baya itu memberitahu, jika Tanu sudah menunggu kehadiran Anya di meja makan. Memuakkan! Papanya sama sekali tak pernah menyerah meski tahu acara makan itu akan berakhir dengan sebuah pertengkaran. Dia terlalu terobsesi ingin membangun keluarga cemara. Sayangnya Anya tak akan mengabulkannya. Ia bukan bagian dari Tanu Handoyo beserta nyonya barunya. “Bilang sama Papa, Bik. Duluan aja. Aku mau langsung ke kampus.” Anya menjelaskan kalau dosennya pagi ini sangat killer. Dosennya tidak menerima keterlambatan, walau itu satu menit saja. Mengingat ramainya kota Jakarta, kemungkinan terjebak macet sangatlah besar. “Tolong ya, Bik,” pinta Anya ramah. Wanita dihadapannya merupakan seseorang yang membantu mamanya untuk merawat dirinya sejak kecil. Dia sengaja tetap tinggal bersama suaminya. Mengabdikan dirinya unt
Anya berlari, menyongsong tubuh sang mama. Wanita itu telah menunggunya dengan tangan direntangkan. “Mama!” Panggil Anya, menumpahkan segala kerinduannya. Hanya beberapa hari tak bertemu, rasanya seperti lima abad. Kerinduan kepada sosok sang ibu membuat Anya melupakan kekesalannya. Ia tak lagi ingat pada cekcoknya dengan Kamarudin di mobil. Pria menyebalkan itu benar-benar spesies terkampret di dunia. Mulutnya yang nyinyir melebihi si nenek sihir, mengomentari dirinya yang tidak sengaja mendengkur saat tertidur. Woy, ngorok itu manusiawi ya! Apalagi setelah tidak tidur semalaman. Tubuh manusia juga memiliki batas. Wajar ia mendengkur karena terlalu lelah. Memang dasarnya Kamarudin saja yang suka cari gara-gara. “Anya kangen banget.” Anya bergelendot manja. Sebuah hal yang tidak Kamarudin pernah lihat ketika anak itu berada di kampus. Mahasiswanya itu selalu tampil garang. Hampir tak ada mahasiswa lain berani mengganggu karena kegalakannya. Macam-Macam sedikit, pasti langsung diliba
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik