Sejujurnya, mimpi pun aku tak pernah membayangkan akan mendapat yang lebih baik dari yang aku duga. Apalagi, disaat aku hanya menghabiskan waktu untuk bersantai-santai menikmati hasil jerih payahku. Pak Ardi justru memberikan privilage lebih atas proyek kerjasama yang kita sepakati bersama.
Beliau yang berusia nyaris empat puluh tahun akan memberikan satu unit apartemen di dekat menara Jaff Corporations. Dengan dalih agar bisa mempersingkat waktu kunjungan kerja ke gedung itu.
Secara terikat, aku memang diharuskan datang ke perusahaan itu untuk membicarakan isi naskah cerita tanpa jadwal yang pasti. Aku hanya perlu menunggu kabar dari pihak yang bersangkutan untuk datang ke perusahaan tersebut. Termasuk hari ini.
Aku mengenakan gaun baru lengan pendek berwarna biru langit, roknya mengembang lebar sampai di setengah betis. Sebagai pelengkap kunjungan kerja formal, aku juga menggunakan blazer berwarna biru dongker dan menggunakan sepatu sneaker berwarna putih agar terkesan santai dan nyaman.
Wajahku, kubedaki tipis-tipis. Bibirku, aku beri gincu berwarna merah Fruit Punch. Aku juga menyemprotkan parfum sebagai finishing make-up ini sebelum beranjak untuk menerima telepon.
"Ya, sebentar lagi saya keluar!" kataku sambil mematut diri di cermin. Panggilan terputus, aku memasukkan ponselku ke dalam tas kerja seraya memeriksa seluruh isinya.
Aku mengulum senyum, ku lihat lagi wajahku di cermin sebelum keluar dari kost ini. Mungkin sebentar lagi kamar berukuran 3x3meter ini akan menjadi kenangan karena aku bakal pindah ke apartemen.
"Sudah dari tadi, Pak?" tanyaku sopan sambil menyunggingkan senyum. Sopir kantor yang diminta pak Ardi untuk menjemputku hanya mengangguk kecil, ia membuka pintu penumpang seraya memintaku untuk masuk.
"Terimakasih." ucapku sambil tersenyum kaku. Aneh, pikirku, pria paruh baya ini tampak tidak ramah. Tidak seperti bosnya.
Mobil melesat dengan kecepatan sedang menuju gedung Jaff Corporations. Selama perjalanan menuju ke sana hanya keheningan yang menguar.
Aku tidak pandai bersilat lidah, apalagi penampilan pria paruh baya ini juga menakutkan. Kepala plontos, rahang keras, kulit sawo matang nyaris gelap, lengan kekar, dan berengosnya tebal, belum gelang rantai yang melekat di pergelangan tangannya. Mirip preman-preman di sinetron.
Kalau di lihat-lihat, aku justru mirip dengan wanita korban penculikan. Takut dan terintimidasi olehnya.
Mobil berhenti di depan lobi gedung bertingkat banyak. Aku yang sudah mendapat kabar dari pak Ardi jika pertemuan di lakukan di ruang meeting langsung keluar dari mobil.
Aku masuk ke dalam gedung, suasana masih ramai karena ini masih jam kerja. Matahari pun sedang merekah sempurna menyebarkan kehangatan alamiah di atas bumi khatulistiwa.
Aku masuk ke dalam lift berbarengan dengan seorang wanita anggun berhijab dengan pakaian serba branded. Dari caranya berdirinya saja sudah cukup menegaskan bahwa ia wanita terhormat, kaya raya.
Aku tersenyum ramah ketika wanita inipun juga tersenyum manis kepadaku.
"Karyawan baru kak?"
Sumpah, demi apapun! Suaranya lembut banget. Lebih lembut dari
Fiona Cairns Royal Cake dalam imajinasiku.Aku menyunggingkan senyum. "Bukan karyawan baru, kak! Hanya ada projects kerjasama dengan Jaff Corporations. JaffFilm!"
Wanita ini mengangguk sambil tersenyum lembut. "Penulis atau---"
Bunyi lift terbuka, wanita itu tersenyum ramah seraya pergi.
"Benar-benar bidadari surga!" pujiku sekaligus iri melihatnya. Andai, bisa aku ulang kembali putaran takdir hidupku, aku mau menjadi gadis pemeluk surga. Sayang, semua sudah terusap dan menghilang.
Ketika tiba di lantai sebelas, seorang karyawan yang berjaga tak jauh di ambang pintu ruang meeting mempersilahkan aku masuk.
Aku melihat ruangan ini begitu mewah, seperti slogan Jaff Corporations yang terpasang di area lobi gedung perusahaan ini.
Luxurious and Wild. Namun kata 'Wild' belum aku temukan arti sesungguhnya.
"Selamat pagi, Anne! Welcome back." sapa Pak Ardi ramah. Mungkin perangainya memang begitu. Mungkin--- aku juga enggan mengenalnya terlalu dalam, sebab aku takut tenggelam dalam harapan.
Aku mengangguk sopan seraya duduk setelah di persilahkan oleh pak Ardi. Bahkan ia juga sudah menyiapkan minuman untuk semua orang yang mengikuti meeting hari ini.
Aku gerogi, aku belum terbiasa duduk di antara manusia-manusia berdasi dengan otak cemerlang. Sementara aku disini tuh hanya aji mumpung.
"Santai, Anne! Kita hanya akan membahas tentang bagian-bagian cerita mana yang akan di ubah atau diperbaiki. Kamu siap dengan itu?" Pak Ardi mengembangkan senyum santainya.
Wait! Aku membasahi bibirku sebelum memperbaiki posisi dudukku.
"Maksudnya bapak, nanti ada sesi revisi naskah cerita sebelum pembicaraan dengan JaffFilm?"
Pak Ardi mengangguk tegas. Aku mendesah lelah. Merevisi naskah cerita itu sama saja mengubah dari banyaknya alur cerita, menjadi cerita baru lagi. Entah itu ada pemangkasan konflik atau apapun itulah yang harus di pikirkan lagi.
"Tenang, Anne! Kamu hanya perlu berdiskusi dengan tim JaffFilm yang ikut meeting hari ini. Bisa dibicarakan sambil ngopi-ngopi bareng biar santai."
Pak Ardi mengulum senyum, aku mengangguk kecil. "Baiklah, saya sudah menjadi anak buah bapak! Jadi bagaimana pun saya ngikut aja." kataku pasrah. Kalau tidak, bisa-bisa uang yang sudah aku gunakan untuk santai-santai kemarin diambil lagi, dan dibatalkan oleh perusahaan ini.
"Jadi, mau kapan pindah ke apartemenmu? Ini privilege yang bisa kamu dapatkan dengan percuma karena kamu termasuk person in charge!"
Pak Ardi mengetuk-ngetuk meja dengan jari jemarinya, aku gelisah. Setiap ketukan itu mengingat aku bahwa orang di depanku ini sedang berpikir dan menilai.
"Secepatnya, Pak! Kalau bisa setelah meeting selesai." jawabku lugas.
"Good!" Pak Ardi menepuk bahuku dan meremasnya sebentar sebelum tersenyum lebar. "Nanti saya antar."
Novel Desire ternyata menimbulkan rasa penasaran dari tim JaffFilm yang ikut meeting hari ini. Apalagi pak Ardi yang sudah membacanya menjadi brainstorming untuk seluruh anggota tim JaffFilm. Beliau dengan senang membagikan novel yang sudah di cetak beberapa eksemplar dari penerbit kepercayaannya untuk dibagikan kepada sejumlah anggota tim JaffFilm, khususnya sutradara dan asisten projects leader. Asisten projects leader itu adalah orang yang akan menemaniku nanti selama proses adaptasi. Namanya Coki, bertubuh jangkung, kumis tipis, dan hidung tak mancung. Rambutnya ikal dan tak beraturan itu menarik bagiku, terlihat rock n roll dengan jaket kulit dan celana jeans jadul sobek-sobek. Terlihat tidak berkelas untuk berada di ruang mahal seperti ini, tapi itulah seni. Menjadi berbeda dari kebanyakan orang bukan suatu masalah besar, asal percaya diri. Kami berkenalan sebelum meeting dimulai, aku seperti menemukan teman baru disini. Pak Ar
Meeting berakhir setelah dua jam penuh diskusi sampai membuat kepalaku mengeluarkan asap panas. Ada banyak sesuatu hal yang baru yang aku ketahui dan hanya pada projects leader itu aku harus bertanya-tanya.Coki tersenyum miring, ia berlagak menyugar rambutnya yang ikal dan berakhir nyangkut di tengah-tengah. Coki meringis dengan wajah sok malu."Bundet!""Makanya di rebonding, biar halus!" cibirku lalu terkekeh.Coki menggeleng kuat. "Ntar kagak rock n roll lagi gue, bisa luntur juga kejantanan gue kalau rambutku lurus!" Coki memberesi barang-barangnya ke dalam tas ransel berwarna hitam bergambar tengkorak manusia."Share loc rumahmu, Anne! Gue butuh waktu untuk impresif berdua denganmu."Coki meringis, alisnya juga naik-turun, matanya berkedip-kedip dengan jail. Aku tersenyum lebar ketika mendapatkan teman yang asyik sepertinya. Coki tidak sok senior, dan ia terbuka lebar untuk menyambut semua pertanyaanku dan
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul empat lebih saat kami berdua masuk ke dalam kamar dengan nomer 1208, kamar paling ujung di lantai dua belas. Pak Ardi menggesekkan key-card di kusen pintu, lalu kami masuk. Lampu-lampu dan AC otomatis langsung menyala ketika pak Ardi memasukkan kartu ke dalam slot power. Mataku membeliak saat mengamati seluruh isi ruangan ini. Ku pikir nuansa mewah juga akan mengisi kamar apartemen ini. Ternyata tidak, ruangan ini terlihat minimalis modern dengan interior homey yang futuristik. Benar-benar bernuansa nyaman seperti rumah. "Saya pilihkan kamar ini untukmu, Anne! Cukup nyaman untuk melihat senja dan mengarang cerita kan?" Pak Ardi menyunggingkan senyum lembut. Aku balas dengan anggukan sembari berjalan menuju sofa gendut yang sangat empuk. Hanya ada satu sofa besar, meja tv dan permadani besar bermotif zig zag di ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang terlihat sangat nyaman dan beberapa tanaman hias menghiasi atas nakas. Secara pribadi
Situasi penuh resiko jelas mendebarkan. Membuat hari-hari menjadi lebih berwarna dengan risiko-risiko yang menjadi konsekuensi berat atas semua cerita-cerita menarik yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari risiko affair yang dilakukan pak Ardi.Bagi pak Ardi, yang membuat hari-harinya penuh semangat dan petualangan-petulangan baru adalah risiko yang ia ambil dari setiap tindakannya. Menginvestasikan uangnya demi kebahagiaan sisi gelapnya, mendorong dirinya melakukan yang terbaik untuk wanita incarannya dengan sadar ia biasa melakukan semuanya dengan licin tanpa kendala.Menggelikan memang sampai aku heran pada diriku sendiri kenapa aku tidak bisa menolak semua makanan, jajanan, atau kopi yang ia belikan terang-terangan dari cafe tempatku kerja.Alasannya klasik untuk pegawai baru agar betah, dan trik spik-spik itu pernah aku tanyakan kepada senior di ruang relaksasi ini. Bahwa pak Ardi memang kerap mentraktir karyawannya.&
Jarak antara menara Jaff Corporations dengan Apartemen Grandmoon cukup dekat. Hanya sekitar lima belas menit pulang-pergi dengan berjalan kaki.Sudah seminggu aku melakukan aktivitas itu untuk bekerja. Sungguh, jika bukan tuntutan pekerjaan, aku memilih untuk mengurung diri dikamar dan keluar dari apartemen kalau butuh makan atau sesuatu yang urgent. Aku terlalu menikmati kamarku dan kenyamanan yang sudah aku bayar lunas untuk satu tahun kedepan.Aku berhenti untuk memandang sekeliling, riuh kota ini seriuh pikiranku. Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pak Ardi muncul silih berganti seperti lika-liku kehidupan yang membuatku terjebak sendiri disini.Aku butuh sandaran, perhatian, dan berbagi keluh kesahku, tapi dengan siapa? Coki? Anthony? Ah, mereka itu laki-laki seumuran dengan pikiran cetek seorang pria biasa. Pikirannya selalu setengah hati.Aku sampai di lobi, entah kenapa aku mau santai-santai dulu disini sambil mengeluarkan b
Skenario nakal berkelebat di otakku saat pak Ardi dengan santai merangkak ke atas ranjang setelah melepas celana cargo panjang berwarna army. Ia bersandar di bahu ranjang sembari menatapku dalam balutan baju santai yang mengesankan bahwa ia sedang tidak menjadi Presdir."Mau tetap disitu?"Aku mengangguk, ku tarik selimut tebal untuk menutupi seluruh bagian tubuhku."Kamu membuatku bersalah jika tidur di sofa, Anne!""Bapak yang membuat saya bersalah!" sungutku kesal, nyaris melempar pot bunga ke arahnya jika tidak mengingat lagi dia siapa.Pak Ardi meringis. "Oke, silahkan kalau mau tidur di sofa! Saya tidak akan ganggu.""Saya pegang janji anda! Karena pria sejati akan menepati janjinya, dalam keadaan terhimpit ataupun melesak!" ancamku sebelum menutup wajah.Dering ponsel membuatku kembali membuka selimut. Aku menatapnya yang bergeming di pinggir pembaringan.Pak Ardi menatapku, aku te
Pintu terbuka saat Pak Ardi masih sibuk mendatangani berkas internal perusahaan."Pak, Mbak Anne sudah datang!""Suruh masuk, Dew!" jawab pak Ardi tanpa mendongkakkan kepalanya, wajahnya serius meski senyum samar terlihat dari sudut bibirnya."Mbak Anne silahkan masuk dan duduk terlebih dahulu."Seperti biasa, perempuan yang mengenakan kacamata berbingkai warna coklat itu---Dewi---sekertaris pak Ardi yang bebas keluar masuk ke ruangannya ini tersenyum ramah."Terimakasih, Mbak!"Aku melangkah masuk ke dalam ruangan super mewah yang memiliki pajangan berkelas dan menyilaukan mata.Pintu tertutup rapat. Aku menghempaskan tubuhnya di sofa. Harusnya jam sekarang aku sudah ke kantor untuk siap-siap meeting dengan JaffFilm. Tapi si pria menyebalkan itu memintaku untuk keruangannya."Sudah sarapan?"Pak Ardi bersandar, ia menatapku setelah merapikan berkas-berkas internalnya."Terimakasih, s
Segalanya berjalan baik dalam duniaku ketika aku dan Coki bersama-sama menyelesaikan meeting dengan JaffFilm. "Lega gue, Ann! Tinggal beberapa naskah, termasuk panas yang bikin bos besar mupeng sama lu!" Aku menoleh cepat. "Sialan, Coki!" ujarku geram. Ini di lingkungan kantor, hanya dia yang tau perkara Pak Ardi dan aku. Pria rock n roll ini terbahak, ia marangkulku untuk kembali ke kantor. Saat aku berbalik di dalam lift, pria-pria bersetelan rapi keluar dari ruang meeting dengan wajah penuh kemenangan. Sekilas Pak Ardi menatapku, Coki yang acuh tak acuh memencet tombol lift dan pintu tertutup. Lift bergerak turun. Aku yakin sebentar lagi dia akan menerorku dengan pertanyaan kenapa Coki merangkulku. Dan benar saja, ponselku berdering ketika aku dan Coki keluar dari lift. "Hahaha, gue yakin itu bos? Gue pembaca yang baik bukan, Anne! Kita sama-sama pengarang, gue suka mengamati bahkan sejak tadi di ruang meeting antara lu dan Pak Ardi!" Satu umpatan