Sejujurnya, mimpi pun aku tak pernah membayangkan akan mendapat yang lebih baik dari yang aku duga. Apalagi, disaat aku hanya menghabiskan waktu untuk bersantai-santai menikmati hasil jerih payahku. Pak Ardi justru memberikan privilage lebih atas proyek kerjasama yang kita sepakati bersama.
Beliau yang berusia nyaris empat puluh tahun akan memberikan satu unit apartemen di dekat menara Jaff Corporations. Dengan dalih agar bisa mempersingkat waktu kunjungan kerja ke gedung itu.
Secara terikat, aku memang diharuskan datang ke perusahaan itu untuk membicarakan isi naskah cerita tanpa jadwal yang pasti. Aku hanya perlu menunggu kabar dari pihak yang bersangkutan untuk datang ke perusahaan tersebut. Termasuk hari ini.
Aku mengenakan gaun baru lengan pendek berwarna biru langit, roknya mengembang lebar sampai di setengah betis. Sebagai pelengkap kunjungan kerja formal, aku juga menggunakan blazer berwarna biru dongker dan menggunakan sepatu sneaker berwarna putih agar terkesan santai dan nyaman.
Wajahku, kubedaki tipis-tipis. Bibirku, aku beri gincu berwarna merah Fruit Punch. Aku juga menyemprotkan parfum sebagai finishing make-up ini sebelum beranjak untuk menerima telepon.
"Ya, sebentar lagi saya keluar!" kataku sambil mematut diri di cermin. Panggilan terputus, aku memasukkan ponselku ke dalam tas kerja seraya memeriksa seluruh isinya.
Aku mengulum senyum, ku lihat lagi wajahku di cermin sebelum keluar dari kost ini. Mungkin sebentar lagi kamar berukuran 3x3meter ini akan menjadi kenangan karena aku bakal pindah ke apartemen.
"Sudah dari tadi, Pak?" tanyaku sopan sambil menyunggingkan senyum. Sopir kantor yang diminta pak Ardi untuk menjemputku hanya mengangguk kecil, ia membuka pintu penumpang seraya memintaku untuk masuk.
"Terimakasih." ucapku sambil tersenyum kaku. Aneh, pikirku, pria paruh baya ini tampak tidak ramah. Tidak seperti bosnya.
Mobil melesat dengan kecepatan sedang menuju gedung Jaff Corporations. Selama perjalanan menuju ke sana hanya keheningan yang menguar.
Aku tidak pandai bersilat lidah, apalagi penampilan pria paruh baya ini juga menakutkan. Kepala plontos, rahang keras, kulit sawo matang nyaris gelap, lengan kekar, dan berengosnya tebal, belum gelang rantai yang melekat di pergelangan tangannya. Mirip preman-preman di sinetron.
Kalau di lihat-lihat, aku justru mirip dengan wanita korban penculikan. Takut dan terintimidasi olehnya.
Mobil berhenti di depan lobi gedung bertingkat banyak. Aku yang sudah mendapat kabar dari pak Ardi jika pertemuan di lakukan di ruang meeting langsung keluar dari mobil.
Aku masuk ke dalam gedung, suasana masih ramai karena ini masih jam kerja. Matahari pun sedang merekah sempurna menyebarkan kehangatan alamiah di atas bumi khatulistiwa.
Aku masuk ke dalam lift berbarengan dengan seorang wanita anggun berhijab dengan pakaian serba branded. Dari caranya berdirinya saja sudah cukup menegaskan bahwa ia wanita terhormat, kaya raya.
Aku tersenyum ramah ketika wanita inipun juga tersenyum manis kepadaku.
"Karyawan baru kak?"
Sumpah, demi apapun! Suaranya lembut banget. Lebih lembut dari
Fiona Cairns Royal Cake dalam imajinasiku.Aku menyunggingkan senyum. "Bukan karyawan baru, kak! Hanya ada projects kerjasama dengan Jaff Corporations. JaffFilm!"
Wanita ini mengangguk sambil tersenyum lembut. "Penulis atau---"
Bunyi lift terbuka, wanita itu tersenyum ramah seraya pergi.
"Benar-benar bidadari surga!" pujiku sekaligus iri melihatnya. Andai, bisa aku ulang kembali putaran takdir hidupku, aku mau menjadi gadis pemeluk surga. Sayang, semua sudah terusap dan menghilang.
Ketika tiba di lantai sebelas, seorang karyawan yang berjaga tak jauh di ambang pintu ruang meeting mempersilahkan aku masuk.
Aku melihat ruangan ini begitu mewah, seperti slogan Jaff Corporations yang terpasang di area lobi gedung perusahaan ini.
Luxurious and Wild. Namun kata 'Wild' belum aku temukan arti sesungguhnya.
"Selamat pagi, Anne! Welcome back." sapa Pak Ardi ramah. Mungkin perangainya memang begitu. Mungkin--- aku juga enggan mengenalnya terlalu dalam, sebab aku takut tenggelam dalam harapan.
Aku mengangguk sopan seraya duduk setelah di persilahkan oleh pak Ardi. Bahkan ia juga sudah menyiapkan minuman untuk semua orang yang mengikuti meeting hari ini.
Aku gerogi, aku belum terbiasa duduk di antara manusia-manusia berdasi dengan otak cemerlang. Sementara aku disini tuh hanya aji mumpung.
"Santai, Anne! Kita hanya akan membahas tentang bagian-bagian cerita mana yang akan di ubah atau diperbaiki. Kamu siap dengan itu?" Pak Ardi mengembangkan senyum santainya.
Wait! Aku membasahi bibirku sebelum memperbaiki posisi dudukku.
"Maksudnya bapak, nanti ada sesi revisi naskah cerita sebelum pembicaraan dengan JaffFilm?"
Pak Ardi mengangguk tegas. Aku mendesah lelah. Merevisi naskah cerita itu sama saja mengubah dari banyaknya alur cerita, menjadi cerita baru lagi. Entah itu ada pemangkasan konflik atau apapun itulah yang harus di pikirkan lagi.
"Tenang, Anne! Kamu hanya perlu berdiskusi dengan tim JaffFilm yang ikut meeting hari ini. Bisa dibicarakan sambil ngopi-ngopi bareng biar santai."
Pak Ardi mengulum senyum, aku mengangguk kecil. "Baiklah, saya sudah menjadi anak buah bapak! Jadi bagaimana pun saya ngikut aja." kataku pasrah. Kalau tidak, bisa-bisa uang yang sudah aku gunakan untuk santai-santai kemarin diambil lagi, dan dibatalkan oleh perusahaan ini.
"Jadi, mau kapan pindah ke apartemenmu? Ini privilege yang bisa kamu dapatkan dengan percuma karena kamu termasuk person in charge!"
Pak Ardi mengetuk-ngetuk meja dengan jari jemarinya, aku gelisah. Setiap ketukan itu mengingat aku bahwa orang di depanku ini sedang berpikir dan menilai.
"Secepatnya, Pak! Kalau bisa setelah meeting selesai." jawabku lugas.
"Good!" Pak Ardi menepuk bahuku dan meremasnya sebentar sebelum tersenyum lebar. "Nanti saya antar."
Novel Desire ternyata menimbulkan rasa penasaran dari tim JaffFilm yang ikut meeting hari ini. Apalagi pak Ardi yang sudah membacanya menjadi brainstorming untuk seluruh anggota tim JaffFilm. Beliau dengan senang membagikan novel yang sudah di cetak beberapa eksemplar dari penerbit kepercayaannya untuk dibagikan kepada sejumlah anggota tim JaffFilm, khususnya sutradara dan asisten projects leader. Asisten projects leader itu adalah orang yang akan menemaniku nanti selama proses adaptasi. Namanya Coki, bertubuh jangkung, kumis tipis, dan hidung tak mancung. Rambutnya ikal dan tak beraturan itu menarik bagiku, terlihat rock n roll dengan jaket kulit dan celana jeans jadul sobek-sobek. Terlihat tidak berkelas untuk berada di ruang mahal seperti ini, tapi itulah seni. Menjadi berbeda dari kebanyakan orang bukan suatu masalah besar, asal percaya diri. Kami berkenalan sebelum meeting dimulai, aku seperti menemukan teman baru disini. Pak Ar
Meeting berakhir setelah dua jam penuh diskusi sampai membuat kepalaku mengeluarkan asap panas. Ada banyak sesuatu hal yang baru yang aku ketahui dan hanya pada projects leader itu aku harus bertanya-tanya.Coki tersenyum miring, ia berlagak menyugar rambutnya yang ikal dan berakhir nyangkut di tengah-tengah. Coki meringis dengan wajah sok malu."Bundet!""Makanya di rebonding, biar halus!" cibirku lalu terkekeh.Coki menggeleng kuat. "Ntar kagak rock n roll lagi gue, bisa luntur juga kejantanan gue kalau rambutku lurus!" Coki memberesi barang-barangnya ke dalam tas ransel berwarna hitam bergambar tengkorak manusia."Share loc rumahmu, Anne! Gue butuh waktu untuk impresif berdua denganmu."Coki meringis, alisnya juga naik-turun, matanya berkedip-kedip dengan jail. Aku tersenyum lebar ketika mendapatkan teman yang asyik sepertinya. Coki tidak sok senior, dan ia terbuka lebar untuk menyambut semua pertanyaanku dan
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul empat lebih saat kami berdua masuk ke dalam kamar dengan nomer 1208, kamar paling ujung di lantai dua belas. Pak Ardi menggesekkan key-card di kusen pintu, lalu kami masuk. Lampu-lampu dan AC otomatis langsung menyala ketika pak Ardi memasukkan kartu ke dalam slot power. Mataku membeliak saat mengamati seluruh isi ruangan ini. Ku pikir nuansa mewah juga akan mengisi kamar apartemen ini. Ternyata tidak, ruangan ini terlihat minimalis modern dengan interior homey yang futuristik. Benar-benar bernuansa nyaman seperti rumah. "Saya pilihkan kamar ini untukmu, Anne! Cukup nyaman untuk melihat senja dan mengarang cerita kan?" Pak Ardi menyunggingkan senyum lembut. Aku balas dengan anggukan sembari berjalan menuju sofa gendut yang sangat empuk. Hanya ada satu sofa besar, meja tv dan permadani besar bermotif zig zag di ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang terlihat sangat nyaman dan beberapa tanaman hias menghiasi atas nakas. Secara pribadi
Situasi penuh resiko jelas mendebarkan. Membuat hari-hari menjadi lebih berwarna dengan risiko-risiko yang menjadi konsekuensi berat atas semua cerita-cerita menarik yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari risiko affair yang dilakukan pak Ardi.Bagi pak Ardi, yang membuat hari-harinya penuh semangat dan petualangan-petulangan baru adalah risiko yang ia ambil dari setiap tindakannya. Menginvestasikan uangnya demi kebahagiaan sisi gelapnya, mendorong dirinya melakukan yang terbaik untuk wanita incarannya dengan sadar ia biasa melakukan semuanya dengan licin tanpa kendala.Menggelikan memang sampai aku heran pada diriku sendiri kenapa aku tidak bisa menolak semua makanan, jajanan, atau kopi yang ia belikan terang-terangan dari cafe tempatku kerja.Alasannya klasik untuk pegawai baru agar betah, dan trik spik-spik itu pernah aku tanyakan kepada senior di ruang relaksasi ini. Bahwa pak Ardi memang kerap mentraktir karyawannya.&
Jarak antara menara Jaff Corporations dengan Apartemen Grandmoon cukup dekat. Hanya sekitar lima belas menit pulang-pergi dengan berjalan kaki.Sudah seminggu aku melakukan aktivitas itu untuk bekerja. Sungguh, jika bukan tuntutan pekerjaan, aku memilih untuk mengurung diri dikamar dan keluar dari apartemen kalau butuh makan atau sesuatu yang urgent. Aku terlalu menikmati kamarku dan kenyamanan yang sudah aku bayar lunas untuk satu tahun kedepan.Aku berhenti untuk memandang sekeliling, riuh kota ini seriuh pikiranku. Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pak Ardi muncul silih berganti seperti lika-liku kehidupan yang membuatku terjebak sendiri disini.Aku butuh sandaran, perhatian, dan berbagi keluh kesahku, tapi dengan siapa? Coki? Anthony? Ah, mereka itu laki-laki seumuran dengan pikiran cetek seorang pria biasa. Pikirannya selalu setengah hati.Aku sampai di lobi, entah kenapa aku mau santai-santai dulu disini sambil mengeluarkan b
Skenario nakal berkelebat di otakku saat pak Ardi dengan santai merangkak ke atas ranjang setelah melepas celana cargo panjang berwarna army. Ia bersandar di bahu ranjang sembari menatapku dalam balutan baju santai yang mengesankan bahwa ia sedang tidak menjadi Presdir."Mau tetap disitu?"Aku mengangguk, ku tarik selimut tebal untuk menutupi seluruh bagian tubuhku."Kamu membuatku bersalah jika tidur di sofa, Anne!""Bapak yang membuat saya bersalah!" sungutku kesal, nyaris melempar pot bunga ke arahnya jika tidak mengingat lagi dia siapa.Pak Ardi meringis. "Oke, silahkan kalau mau tidur di sofa! Saya tidak akan ganggu.""Saya pegang janji anda! Karena pria sejati akan menepati janjinya, dalam keadaan terhimpit ataupun melesak!" ancamku sebelum menutup wajah.Dering ponsel membuatku kembali membuka selimut. Aku menatapnya yang bergeming di pinggir pembaringan.Pak Ardi menatapku, aku te
Pintu terbuka saat Pak Ardi masih sibuk mendatangani berkas internal perusahaan."Pak, Mbak Anne sudah datang!""Suruh masuk, Dew!" jawab pak Ardi tanpa mendongkakkan kepalanya, wajahnya serius meski senyum samar terlihat dari sudut bibirnya."Mbak Anne silahkan masuk dan duduk terlebih dahulu."Seperti biasa, perempuan yang mengenakan kacamata berbingkai warna coklat itu---Dewi---sekertaris pak Ardi yang bebas keluar masuk ke ruangannya ini tersenyum ramah."Terimakasih, Mbak!"Aku melangkah masuk ke dalam ruangan super mewah yang memiliki pajangan berkelas dan menyilaukan mata.Pintu tertutup rapat. Aku menghempaskan tubuhnya di sofa. Harusnya jam sekarang aku sudah ke kantor untuk siap-siap meeting dengan JaffFilm. Tapi si pria menyebalkan itu memintaku untuk keruangannya."Sudah sarapan?"Pak Ardi bersandar, ia menatapku setelah merapikan berkas-berkas internalnya."Terimakasih, s
Segalanya berjalan baik dalam duniaku ketika aku dan Coki bersama-sama menyelesaikan meeting dengan JaffFilm. "Lega gue, Ann! Tinggal beberapa naskah, termasuk panas yang bikin bos besar mupeng sama lu!" Aku menoleh cepat. "Sialan, Coki!" ujarku geram. Ini di lingkungan kantor, hanya dia yang tau perkara Pak Ardi dan aku. Pria rock n roll ini terbahak, ia marangkulku untuk kembali ke kantor. Saat aku berbalik di dalam lift, pria-pria bersetelan rapi keluar dari ruang meeting dengan wajah penuh kemenangan. Sekilas Pak Ardi menatapku, Coki yang acuh tak acuh memencet tombol lift dan pintu tertutup. Lift bergerak turun. Aku yakin sebentar lagi dia akan menerorku dengan pertanyaan kenapa Coki merangkulku. Dan benar saja, ponselku berdering ketika aku dan Coki keluar dari lift. "Hahaha, gue yakin itu bos? Gue pembaca yang baik bukan, Anne! Kita sama-sama pengarang, gue suka mengamati bahkan sejak tadi di ruang meeting antara lu dan Pak Ardi!" Satu umpatan
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me
Dalam keremangan lampu kamar rumah sakit, saya membelai rambut Farah yang terasa kusut dan lembab. Ia masih terlelap seperti tak punya beban apapun. Wajahnya tenang, napasnya teratur, air susu ibu yang seharusnya keluar sebagai insting terkuat seorang ibu menyusui hanya merembes sesekali dan sangat jarang seakan tubuhnya berhenti beroperasi dalam tenang yang menegangkan. "Sepertinya kamu ingin menjadi putri tidur, Fa. Mimpimu bagus?" tanya saya seraya membelai wajahnya. "Kamu mimpi apa? Apa seindah waktu kencan pertama kita di kebun teh Cisarua Bogor? Seindah itu, ah... Kamu membuatku iri jadinya."Saya tersenyum sendiri, entah kenapa ingatan akan masa kencan pertama kami, pendekatan yang lucu itu menggelikan dan menyenangkan."Aku ingat, kamu mengeluh kedinginan dan tidak mau aku peluk. Katamu aku simpanse bonobo yang tidak cukup punya satu pasangan dan kamu yakin itu walaupun kamu mencintaku dengan tulus. Dan kamu tau, itu kata-kata paling kejam yang aku dengar selain buaya darat,
Entah berapa lama waktu yang saya habiskan untuk menunggu Farah di rumah sakit, keadaannya yang belum stabil mengharuskan Farah mendapatkan perawatan intensif yang lebih dari apa yang saya perkirakan."Makan dulu mas." Anna mengusap kedua bahu saya dari belakang seraya mengecup puncak kepala saya. "Semuanya akan membaik mas, percayalah." bisiknya sambil merangkul pundak saya. "Kamu yang kuat, banyak orang yang membutuhkanmu hari ini dan selamanya sampai waktu berhenti."Saya menelengkan kepala untuk mengecup pipinya yang masih terlihat tembam meski Alinka sudah berusia nyaris tiga bulan. "Terima kasih, makanlah lebih dulu Anna." pinta saya, dia mengasihi dua bayi, Alinka dan Alinskie sekarang, selama seminggu kami di rumah sakit. Anna butuh banyak makan, sementara saya, saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini rasanya energi dalam tubuh saya tidak sekuat dan seegois biasanya. Pikiran saya hanya tersita untuk kepulihan Farah.Saya hanya kerja sebentar lalu ke sini, tidur di sofa dan me
Dua bulan kemudian. Saya menuruni anak tangga dengan cepat setelah mendengar Naufal berteriak dari bawah memanggil nama saya dan mengatakan mama-nya menyuruh saya turun."Iya, papa turun. Papa turun sayang." kata saya menggebu-gebu.Naufal berkacak pinggang di depan anak tangga paling bawah. Ia mengerut marah, saya tersenyum kanak-kanak. Aturan main di rumah ini sudah berjalan selama dua bulan setelah saya dengan berani dan bertanggung jawab mengatakan pada semua keluarga, rekan bisnis, teman nongkrong, dan media jika saya memiliki dua istri dan bayi mungil. Meski sempat terjadi gonjang-ganjing gosip yang makin lama di gosok makin sip saya percaya waktu akan menjawab semua getir dan getar yang ada. "Papa tadi baru ganti popok adikmu, Fal. Maaf lama, adikmu bawel." seloroh saya, Naufal menutup telinganya. Dia sering begitu jika saya membicarakan Alinka, berbeda dengan Kenzo. Oh anakku yang satu itu memang anak pintar, dia menjadi kakak yang baik dan sering tidur bersama Anna karena b