"Anna Marianne!"
Aku tersenyum lebar dan mengambil surat perjanjian kontrak pekerjaan dengan kerajaan bisnis Jaff Corporations.
"Diteliti dulu, kak!" ujar senior di perusahaan ini.
"Baik, kak!" Aku tersenyum ramah sebelum meneliti berkas-berkas yang berada di atas meja hitam berkilau ini.
Sudah tiga tahun aku bersembunyi di kota metropolis ini. Menjadi introvert yang mengandalkan uang dari hasil novel-novel online yang aku buat dengan nama pena, MarryAnne.
Aku harus menyambung hidupku sendiri setelah keputusanku pergi dari kehidupan Dito malam itu.
Demi Tuhan, aku tidak ingin pergi saat itu. Tapi keadaan bu Susanti yang parah membuatku sadar jika hubungan ini sama sekali tidak berhasil sekuat apapun aku mencobanya. Dan cara terbaikku untuk semua rasa sakit ini adalah menjadi orang sukses, meskipun aku harus merangkak terlebih dahulu.
Aku yakin Bu Susanti sudah sehat sekarang, atau mungkin sudah punya cucu. Dito pun akan melupakan aku seiring berjalannya waktu.
Aku pun juga membaik secara perlahan-lahan. Meski di awal patah hatiku, aku begitu kesepian, nelangsa, dan sering kelaparan. Keadaanku berubah drastis saat Dito tak ada. Hidupku hambar, tidak ada seks yang menggairahkan. Apalagi laki-laki yang menggangguku seperti Dito dulu.
Kini aku hanya dikenal dengan nama samaranku, MarryAnne, untuk semua sosial media yang aku punya. Aku mengganti nomer hp, bahkan email agar menghilang tanpa jejak di kehidupan Dito.
Waktu itu aku bersitegang dengan Cary karena ia tidak mengizinkanku pergi dari kostnya. Ia bahkan mengancam akan melaporkan kepada Dito jika aku kabur darinya.
Aku memberinya pengertian, Cary mengerti, sebab ia memahamiku.
Setelahnya aku melalang buana kemana saja yang aku mau dengan sisa uang yang aku kuras habis dari ATM Dito yang aku bawa sebelum terdampar di kost-kostan ku sekarang. Hidup ala kadarnya seperti di kampung dengan bekerja sebagai tukang gosok di laundry kiloan milik pemilik kost-kostan sebagai uang sewa kost. Sementara untuk makan, aku harus irit. Atau numpang makan rumah beliau.
Hampir tipes kalau saja aku tidak merendahkan diri untuk sesuap nasi. Sungguh, keberadaan Dito sangat membantuku dulu. Dan mendadak aku rindu padanya.
"Saya terima kak!" kataku mantap seraya menandatangani surat-surat perjanjian ini dengan hati senang.
Beberapa naskah novel yang belum terbit cetak atau rilis di platform digital aku bawa ke Jaff Corporations. Perusahaan yang bergerak di bidang industri layar perak selain kerajaan bisnis lainnya.
Dua novel dilirik sebagai film layar lebar, dua lagi akan menjadi web series. Aku menelan ludahku yang kini rasanya manis. Pelarian ku tidak sia-sia. Mudah-mudahan!
"Selamat bergabung dengan kami! Mari ikut saya."
Aku mengangguk tegas dan mengikuti senior tersebut ke dalam ruang petinggi Jaff Corporations.
Inilah yang aku suka dari pekerjaan baruku sekarang, bisa bekerja sambil ketemu orang-orang hebat. Tidak hanya seks, seks dan setrikaan.
Tentu saja semua termungkinkan berkat laptop dan internet. Bagiku menulis novel itu seperti permainan dan pekerjaan yang bisa dilakukan dalam waktu bersamaan.
Aku bisa menangis, tertawa, bahkan menginginkan Dito memasuki tubuhku. Tapi itu hanyalah khayalan gilaku.
"Nice too meet you, Anne!"
Aku mengangguk ramah. "Senang sekali bisa menjadi bagian dari perusahaan ini!" balasku penuh hormat.
Pemilik perusahaan yang mempunyai nama lengkap Ardi Ardiansyah Tengker ini justru terbahak mendengar penuturanku.
"Privilage macam apa yang harus saya berikan padamu, Anne? Novelmu benar-benar bagus, saya sudah membacanya satu persatu!" Pak Ardi tersenyum lembut, matanya terlihat berbinar-binar saat memujiku.
Ada gelanyar aneh yang menggelitik perutku. 'Mana ada orang kaya baca novel, kurang kerjaan. Tapi terserahlah itu hak-hak asasi manusia merdeka.'
Tapi jangan sampai pak Ardi juga menginginkan persenggamaan setelah membaca novelku yang berjudul Desire.Aku tersenyum malu dan menggeleng pelan. "Sudah cukup royalti yang perusahaan ini berikan untuk saya, Pak! Serius." jawabku jujur sambil nyengir.
Pak Ardi kembali tertawa. Ada yang lucu? Apa uang sebesar seratus lima puluh juta lebih untuk empat novel yang akan diadaptasi menjadi film terbilang kecil. Aku tidak tahu, karena bagiku ini hadiah selain sesuatu yang bisa menjadi kenang-kenangan kalau MarryAnne pernah ada.
"Kenapa, Pak?" tanyaku sopan.
Pak Ardi sengaja mengulur responnya untuk menatapku letak-letak. Aku risi, sudah lama aku tidak di pandang seperti ini sejak Dito tenggelam dalam ingatanku.
"Kamu sudah menikah?"
Duarrr... Sesuatu meledek di otakku. Ini darurat, pasti pak Ardi menyinggung soal ITU.
Aku menggeleng pelan-pelan. Aku ingin nikah tapi tidak memiliki restu, jadi ya begini, menyendiri, mencari sesuap nasi dari kata-kata yang menjadi sebuah cerita fiksi.
"Saya salut, kamu menjiwai setiap karakter dalam novelmu yang berjudul Desire." puji pak Ardi.
Aku mengulum senyum. Novel Desire, secara garis besar menceritakan kisahku dan Dito saat sedang panas-panasnya dengan ending yang menyedihkan.
"Terimakasih atas pujiannya, Pak! Saya harus permisi pulang!" Aku beranjak dengan sopan. Aku masih ada keperluan di luar perusahaan, yaitu makan siang. Berada di perusahaan orang kaya membuatku gerogi, mana sekarang aku pegang cek sebesar 150 juta. Jadi takut di jambret.
Pak Ardi ikut beranjak, ia menarik jas kerja berwarna biru dongker yang bertengger di kursi seraya memakainya. Aku tidak tahu orang ini profesional dalam bekerja atau benar-benar berkepribadian santun.
"Saya perlu memberi privilage lebih untuk kamu, Anne! Mari saya traktir makan siang." Seulas senyum manis terbit di wajah pak Ardi.
Cenayang wanna be? Oh... Aku tersenyum dan mengangguk untuk menghormati ajakannya. Tidak sopan jika aku menolak ajakan makan siang dari seseorang yang sudah menaikkan derajatku secara tidak langsung.
*
Kami tiba di restoran Bakerley setelah menghabiskan satu jam perjalanan di padatnya lalu lintas kota.
Jiwa-jiwa norakku sebenarnya ingin membuncah saat menaiki mobil super mewah milik pak Ardi. Tapi sebisa mungkin aku menjaga sikap agar terlihat elegan dimatanya.
"Kamu bebas memilih apa saja yang membuatmu senang, Anne! Ayo dipilih." Pak Ardi mengangsurkan menu makan kepadaku, dia bos besar, tapi kok malah jadi pelayan sih.
Aku tersenyum dan melihat-lihat menu makanan dengan harga selangit.
"Buset, ini mah bisa bayar kost-kostan lima bulan! Bisa gak saya minta mentahannya saja, Pak. Lebih berguna!" gurauku untuk mengusir kecanggungan. Karena bagiku ini lucu, pak Ardi hanya mengajak sopirnya tanpa pengawal pribadi atau sekertaris cantik yang biasanya membuntuti pria-pria perlente kaya berdasi.
Sungguh, aku tengah menjalani tahapan yang sungguh menarik. Jiwaku merenungkan perubahan-perubahan di dalam tubuhku dengan takjub. Tiga tahun aku hidup tanpa seks dan ini sungguh prestasi yang luar biasa. Mengingat aku dan Dito dulu sering melakukannya dengan rutin.
Dan hari ini, aku bertemu dengan pria ini. Aku tidak bisa menyimpulkan bahwa pak Ardi ini orangnya bagaimana karena wong jowo bilang, 'wong urip iku sawang sinawang'. Tapi yang jelas, ia sangat menjaga penampilannya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Terlihat dari gayanya berpakaian yabg fashionable.
Pak Ardi menatapku dengan intens, ia menarik menu makan yang aku pegang dan menutupnya.
"Harusnya tadi saya tidak memintamu untuk memilih sendiri!" cibirnya dengan santai.
"Apa bapak mengira saya mata duitan?"
Pak Ardi melirikku sekilas dengan tangan yang menulis semua pesanan di kertas putih sebelum menyerahkannya kepada waiters.
"Tidak! Wanita memang mengagungkan uang karena memang kebutuhan primer!" jawabnya realitas. Aku mengulum senyum dan setuju.
*
Satu jam berlalu, kami berdua menghabiskan makan siang dengan bercakap-cakap panjang tentang bisnis layar perak. Pak Ardi memberitahu banyak hal yang tidak aku tahu sebelumnya.
Aku tersenyum lega saat mobil pak Ardi sudah sampai di depan komplek kost-kostan satu lantai ini.
"Biar nanti motormu diantar orang kantor!" ucap pak Ardi.
"Terimakasih atas kerjasamanya, Pak! Saya permisi untuk menghalu lagi dikamar!" gurauku sambil membuka pintu mobil.
"Sepertinya kamu butuh rival, Anne! Biar tahu apapun yang kamu tulis di novel Desire!" Pak Ardi meringis, matanya berkilat-kilat penuh humor sebelum tersenyum hangat kepadaku.
"Sepertinya, Pak!" jawabku seadanya.
"Kalau bisa rivalnya yang baik, yang mau menerimaku apa adanya!" sahutku sambil menutup pintu mobil.Tapi bagaimanapun doa ini terlalu tinggi untuk orang sepertiku. Terlalu banyak dosa yang susah terkuliti dari tubuhku.
Sejujurnya, mimpi pun aku tak pernah membayangkan akan mendapat yang lebih baik dari yang aku duga. Apalagi, disaat aku hanya menghabiskan waktu untuk bersantai-santai menikmati hasil jerih payahku. Pak Ardi justru memberikan privilage lebih atas proyek kerjasama yang kita sepakati bersama.Beliau yang berusia nyaris empat puluh tahun akan memberikan satu unit apartemen di dekat menara Jaff Corporations. Dengan dalih agar bisa mempersingkat waktu kunjungan kerja ke gedung itu.Secara terikat, aku memang diharuskan datang ke perusahaan itu untuk membicarakan isi naskah cerita tanpa jadwal yang pasti. Aku hanya perlu menunggu kabar dari pihak yang bersangkutan untuk datang ke perusahaan tersebut. Termasuk hari ini.Aku mengenakan gaun baru lengan pendek berwarna biru langit, roknya mengembang lebar sampai di setengah betis. Sebagai pelengkap kunjungan kerja formal, aku juga menggunakan blazer berwarna biru dongker dan menggunakan sepatu sneaker berwarn
Novel Desire ternyata menimbulkan rasa penasaran dari tim JaffFilm yang ikut meeting hari ini. Apalagi pak Ardi yang sudah membacanya menjadi brainstorming untuk seluruh anggota tim JaffFilm. Beliau dengan senang membagikan novel yang sudah di cetak beberapa eksemplar dari penerbit kepercayaannya untuk dibagikan kepada sejumlah anggota tim JaffFilm, khususnya sutradara dan asisten projects leader. Asisten projects leader itu adalah orang yang akan menemaniku nanti selama proses adaptasi. Namanya Coki, bertubuh jangkung, kumis tipis, dan hidung tak mancung. Rambutnya ikal dan tak beraturan itu menarik bagiku, terlihat rock n roll dengan jaket kulit dan celana jeans jadul sobek-sobek. Terlihat tidak berkelas untuk berada di ruang mahal seperti ini, tapi itulah seni. Menjadi berbeda dari kebanyakan orang bukan suatu masalah besar, asal percaya diri. Kami berkenalan sebelum meeting dimulai, aku seperti menemukan teman baru disini. Pak Ar
Meeting berakhir setelah dua jam penuh diskusi sampai membuat kepalaku mengeluarkan asap panas. Ada banyak sesuatu hal yang baru yang aku ketahui dan hanya pada projects leader itu aku harus bertanya-tanya.Coki tersenyum miring, ia berlagak menyugar rambutnya yang ikal dan berakhir nyangkut di tengah-tengah. Coki meringis dengan wajah sok malu."Bundet!""Makanya di rebonding, biar halus!" cibirku lalu terkekeh.Coki menggeleng kuat. "Ntar kagak rock n roll lagi gue, bisa luntur juga kejantanan gue kalau rambutku lurus!" Coki memberesi barang-barangnya ke dalam tas ransel berwarna hitam bergambar tengkorak manusia."Share loc rumahmu, Anne! Gue butuh waktu untuk impresif berdua denganmu."Coki meringis, alisnya juga naik-turun, matanya berkedip-kedip dengan jail. Aku tersenyum lebar ketika mendapatkan teman yang asyik sepertinya. Coki tidak sok senior, dan ia terbuka lebar untuk menyambut semua pertanyaanku dan
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul empat lebih saat kami berdua masuk ke dalam kamar dengan nomer 1208, kamar paling ujung di lantai dua belas. Pak Ardi menggesekkan key-card di kusen pintu, lalu kami masuk. Lampu-lampu dan AC otomatis langsung menyala ketika pak Ardi memasukkan kartu ke dalam slot power. Mataku membeliak saat mengamati seluruh isi ruangan ini. Ku pikir nuansa mewah juga akan mengisi kamar apartemen ini. Ternyata tidak, ruangan ini terlihat minimalis modern dengan interior homey yang futuristik. Benar-benar bernuansa nyaman seperti rumah. "Saya pilihkan kamar ini untukmu, Anne! Cukup nyaman untuk melihat senja dan mengarang cerita kan?" Pak Ardi menyunggingkan senyum lembut. Aku balas dengan anggukan sembari berjalan menuju sofa gendut yang sangat empuk. Hanya ada satu sofa besar, meja tv dan permadani besar bermotif zig zag di ruang tamu sekaligus ruang keluarga yang terlihat sangat nyaman dan beberapa tanaman hias menghiasi atas nakas. Secara pribadi
Situasi penuh resiko jelas mendebarkan. Membuat hari-hari menjadi lebih berwarna dengan risiko-risiko yang menjadi konsekuensi berat atas semua cerita-cerita menarik yang menyajikan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul dari risiko affair yang dilakukan pak Ardi.Bagi pak Ardi, yang membuat hari-harinya penuh semangat dan petualangan-petulangan baru adalah risiko yang ia ambil dari setiap tindakannya. Menginvestasikan uangnya demi kebahagiaan sisi gelapnya, mendorong dirinya melakukan yang terbaik untuk wanita incarannya dengan sadar ia biasa melakukan semuanya dengan licin tanpa kendala.Menggelikan memang sampai aku heran pada diriku sendiri kenapa aku tidak bisa menolak semua makanan, jajanan, atau kopi yang ia belikan terang-terangan dari cafe tempatku kerja.Alasannya klasik untuk pegawai baru agar betah, dan trik spik-spik itu pernah aku tanyakan kepada senior di ruang relaksasi ini. Bahwa pak Ardi memang kerap mentraktir karyawannya.&
Jarak antara menara Jaff Corporations dengan Apartemen Grandmoon cukup dekat. Hanya sekitar lima belas menit pulang-pergi dengan berjalan kaki.Sudah seminggu aku melakukan aktivitas itu untuk bekerja. Sungguh, jika bukan tuntutan pekerjaan, aku memilih untuk mengurung diri dikamar dan keluar dari apartemen kalau butuh makan atau sesuatu yang urgent. Aku terlalu menikmati kamarku dan kenyamanan yang sudah aku bayar lunas untuk satu tahun kedepan.Aku berhenti untuk memandang sekeliling, riuh kota ini seriuh pikiranku. Pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pak Ardi muncul silih berganti seperti lika-liku kehidupan yang membuatku terjebak sendiri disini.Aku butuh sandaran, perhatian, dan berbagi keluh kesahku, tapi dengan siapa? Coki? Anthony? Ah, mereka itu laki-laki seumuran dengan pikiran cetek seorang pria biasa. Pikirannya selalu setengah hati.Aku sampai di lobi, entah kenapa aku mau santai-santai dulu disini sambil mengeluarkan b
Skenario nakal berkelebat di otakku saat pak Ardi dengan santai merangkak ke atas ranjang setelah melepas celana cargo panjang berwarna army. Ia bersandar di bahu ranjang sembari menatapku dalam balutan baju santai yang mengesankan bahwa ia sedang tidak menjadi Presdir."Mau tetap disitu?"Aku mengangguk, ku tarik selimut tebal untuk menutupi seluruh bagian tubuhku."Kamu membuatku bersalah jika tidur di sofa, Anne!""Bapak yang membuat saya bersalah!" sungutku kesal, nyaris melempar pot bunga ke arahnya jika tidak mengingat lagi dia siapa.Pak Ardi meringis. "Oke, silahkan kalau mau tidur di sofa! Saya tidak akan ganggu.""Saya pegang janji anda! Karena pria sejati akan menepati janjinya, dalam keadaan terhimpit ataupun melesak!" ancamku sebelum menutup wajah.Dering ponsel membuatku kembali membuka selimut. Aku menatapnya yang bergeming di pinggir pembaringan.Pak Ardi menatapku, aku te
Pintu terbuka saat Pak Ardi masih sibuk mendatangani berkas internal perusahaan."Pak, Mbak Anne sudah datang!""Suruh masuk, Dew!" jawab pak Ardi tanpa mendongkakkan kepalanya, wajahnya serius meski senyum samar terlihat dari sudut bibirnya."Mbak Anne silahkan masuk dan duduk terlebih dahulu."Seperti biasa, perempuan yang mengenakan kacamata berbingkai warna coklat itu---Dewi---sekertaris pak Ardi yang bebas keluar masuk ke ruangannya ini tersenyum ramah."Terimakasih, Mbak!"Aku melangkah masuk ke dalam ruangan super mewah yang memiliki pajangan berkelas dan menyilaukan mata.Pintu tertutup rapat. Aku menghempaskan tubuhnya di sofa. Harusnya jam sekarang aku sudah ke kantor untuk siap-siap meeting dengan JaffFilm. Tapi si pria menyebalkan itu memintaku untuk keruangannya."Sudah sarapan?"Pak Ardi bersandar, ia menatapku setelah merapikan berkas-berkas internalnya."Terimakasih, s