Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Aku tak ingin berdebat disini, di saat aku butuh waktu untuk memulihkan kondisiku sendiri dari segala ketakutan yang mengelilingiku.
"Anna sayang." bisiknya penuh di telingaku. "Anna, berbaliklah. Biar saya bisa melihatmu."Aku mengepalkan tangan erat-erat di bawah selimut. Aku yakin, dia dan Ibu sudah bertemu di apartemen. Dan pembicaraan mereka pasti serius.Ibu memaki kami berdua dengan sebutan dua manusia yang tidak punya perasaan? Hah, Ibu sudah tahu sepertinya dan sekarang Ibu marah!Marahnya pasti lama, bujuknya pasti susah, belum lagi memulihkan kepercayaannya. Tanpa sadar aku memukul ranjang dengan kesal seraya berteriak frustasi."Hentikan, Anna. Teriakanmu menyakitiku." dekapannya menguat di tubuhku. "Berbaliklah dan pukul saya, itu lebih baik daripada kamu menyayat hatiku dengan teriakanmu, Anna." ucapnya gusar.Aku mencubit bantal dengan gemas. Ku remas-remas sampai kucel hinggSelayaknya kehidupan manusia yang kadang penuh dugaan yang mengejutkan, bahkan tidak pernah terlintas dalam mimpi sekalipun. Aku merasa ketenangan semakin menjauh dariku. Benakku riuh sekali. Rasanya aku sudah kebablasan, aku pasti akan membebani Dito dengan hal-hal yang berkaitan dengan skandal ini. Aku tidak bisa. Aku tidak mau Dito berharap kepadaku lagi karena bagiku dia baru saja purnama di kegelapan malam. Aku tidak mau sinarnya meredup lagi, aku kasian padanya.Rasanya aku butuh ketenangan dan satu-satunya cara adalah menghilang, tentu saja. Menghilang untuk sementara waktu.Aku bisa memastikan bahwa Dito masih sibuk di luar sana. Suamiku sibuk dengan pekerjaannya setelah menyuapiku dan menyuruhku istirahat. Tapi bagaimanapun aku tetap terjaga. Aku sulit mencari jalan keluar dari persoalan ini, seolah benang merah sudah membungkus raga dan jiwaku.Pukul lima sore, setelah dokter visit dan mengatakan kondisiku mulai stabil. Aku meminta perawat yang bersama dokter
"Pulang gih." kataku setelah ia berhenti tersenyum. "Udah malem, kamu butuh istirahat dan terima kasih untuk hari ini, Dit. Aku masih suka kue ini, rasanya masih sama." imbuhku jujur untuk membuatnya senang dan aku mengerti niatnya membawakan kue ini. Dito ingin membangkitkan kenangan lalu.Memang tidak ada yang salah dari pertemuan ini, yang salah hanya sudut pandang kami yang tidak lagi sama, sejalan, dan rekat.Dito tersenyum dengan sabar, menyendok lagi kue dari wadah yang berada dipangkuanku. "Kita baru saja bertemu setelah bertahun-tahun, tapi ternyata sudah banyak yang terjadi denganmu, Anna." "Apa kamu khawatir sama aku?" Dito mengangguk. "Aku justru lebih khawatir sama kamu, Dit." komentarku. "Aku sudah biasa merasa kehilangan dan terbelakang, sementara kamu. Hei, apa kabar? Awal pertemuan kita kayaknya sangat buruk ya." tanganku terulur kepadanya.Dito kemudian melirikku penuh arti seraya meraih tanganku. Kehangatan
Aku meninggalkan rumah sakit dengan perasaan kacau. Pulang ke apartemen rasanya kembali sunyi, aku hanya bisa mengenang manisnya kebersamaan dengan ibu yang mungkin sekarang disana sedang mati-matian menerka apa saja yang terjadi padaku selama ibu tidak tahu keberadaanku dan kabarku. "Bagaimana jadwalku di kantor, Bu? Ada jadwal cuap-cuap lagi?" tanyaku pada Tina yang fokus menyetir. Tina menggeleng. "Suamimu minta bantuan untuk mengatur jadwalmu seminggu ini. So, gunakan waktu istirahatmu sebaik mungkin sebelum kembali lagi beraktivitas. Beberapa agenda JaffFilm harus melibatkanmu, materinya akan saya kirimkan ke surel."Aku mengangguk. "Terima kasih." Mobil berbelok, apartemen Grandmoon sudah terlihat dari kejauhan. "Lusa aku bakal pulang. Kamu bisa memberitahunya, Bu. Mungkin dia bisa menemaniku untuk bertemu ibu."Tina mengetuk-ngetuk stir mobil sambil berpikir. "Maksudnya kamu ingin meminta restu, begitu Bu Anna?" tanyanya dengan
Aku disini, dikamar ini meski begitu otakku bekerja lebih keras untuk memikirkan bagaimana besok ketika aku kembali ke rumah. Menemui ibu, menjelaskan semua duduk perkaranya karena dari awal inilah risiko terbesar yang aku takutkan. Ibu. Perempuan pertama yang mengajariku segala hal dalam hidup. Aku bergeming sembari mengusap perutku. Belum ada pergerakan dari janinku, tapi kata Tina sebentar lagi janin ini bergerak, dia bilang itu akan menyenangkan dan aku menunggu. Menunggu juga kedatangan ayah bayi ini dan memintanya untuk di temani barang sekejap saja.Tapi aku tahu, badai ini belum membesar, badai itu masih ayem tentrem dalam rumah tangga ini. Walaupun ada kedatangan Dito semakin membuat semua ini runyam. Aku bersandar di kusen dipan, memegang ponsel, menunggu Tina menghubungiku dan mendengar kabar baik darinya atau jika beruntung suamiku yang menelponku. Aku mendesah. Aku gamang, ini sudah pagi dan aku belum mendapatkan kabar apapun dari Tina. Kupi
"Hah." Belum surut rasa keterkejutanku dengan rumah mertua, pintu depan yang menggunakan kusen pintu ukir terpentang perlahan, si empunya rumah keluar dengan arah mata yang tertuju pada mobil ini. Secepat mungkin aku berjongkok dibawah dasbor mobil. Jantungku semakin berdebar-debar, telapak tanganku dingin. Perutku keroncongan."Mas Ardi gila!" gerutuku sambil mendongak. "Ayo putar balik, Pak! Aku mules." akuku jujur, entah kenapa respon dari tubuhku setelah bertahun-tahun ayem tentrem kembali menggeliat. Rasanya aku tidak siap bertemu mertua, mengingat aku - aku bukan pilihan yang tepat. Si plontos malah meringis usil bahkan menghidupkan lampu plafon mobil. "Bapak sudah kesini." "Apa!"Aku mengumpat. Apa sebenarnya isi otaknya sampai-sampai harus membawaku kesini. Mau apa dia? Kenapa kecemasan langsung membuat seluruh dadaku sesak. Pintu terbuka, segera saja aku kembali duduk di jok. Memasang wajah sedatar mungkin
Pak Ardi tersenyum seraya mendorong pintu kamar tanpa mengalihkan pandangannya padaku. Aku menatap wajahnya seraya meninju dadanya dengan kesal. "Gila kamu mas." gerutuku seraya mendahului masuk ke kamar yang membuatku menghela napas. Kamar ini sungguh manis, sama seperti interior rumah ini. Ranjang king size yang berada di lantai dan lemari transparan yang sudah berisi pakaian.Aku tersenyum hangat mendapati ada satu foto pernikahan kami dengan pigura yang berhias kerang-kerangan di atas meja."I wish i was special." "Anna." tangan pak Ardi melingkar di pinggangku sembari menaruh dagunya di bahuku. "Saya merindukanmu!" katanya lagi, bergitu manja."Lalu? Apa rindu lebih penting daripada sebuah penjelasan terlebih dahulu." aku memutar tubuh untuk menghadapnya. "Kamu membawaku kesini, disaat Dito juga kembali lagi menanyakan hatiku. Apa kamu cemburu mas?" tanyaku dengan harapan dia mengiyakan."Tidak, saya hanya melakukan apa ya
Sehabis peluh yang membanjiri tubuh kami berdua mengering dan tergantikan dengan dingin yang mulai menyusuri tubuh kami. Kami kembali memakai pakaian dan duduk di tepi ranjang.Aku sempat melihat senyum di bibir suamiku sebelum ia menarik laci nakas untuk mengeluarkan parfum.Dahiku mengernyit saat ia memakai parfum setelah bercinta. "Dasar pria perlente." batinku sambil bersandar di lengan suamiku dan menggenggam tangannya. "Mas kenapa membawaku kesini? Ada apa?" tanyaku yang masih penasaran dengan niatannya hari ini."Saya tahu masa lalumu Anna, Dito, Ibu Susanti. Hari ini saya hanya ingin memberi yang terbaik untukmu dengan membawamu ke dalam keluarga saya. Itu harusnya membahagiakan, tapi kamu justru curiga, justru tidak menerima keputusan saya ini." ungkap Pak Ardi dengan raut wajah masam.Dahiku mengeryit begitupun rasa sedih yang kembali menyebar di dadaku mengingat Bu Susanti dan Dito."Apa orang tua mas menerimaku begitu aja tanpa ada perdebatan terlebih dahulu? Mas gak mau c
Pak Ardi menyajikan semangkok mi rebus dengan banyak isian. Bakso udang, sosis, pakcoy, brokoli dan tomat. Aku menatap suamiku lekat-lekat dengan kening berkerut. Dia meringis. "Apa, mau protes?" tukasnya sambil menaruh sendok dan garpu ke dalam mangkok."Makasih mas, ini mi sehat yang pernah aku lihat dalam hidupku. Serius, biasanya aku cuma buat pake sawi sama telur." akuku lalu tersenyum masam.Pak Ardi menarik kursi seraya menghenyakkan tubuhnya. "Kamu curhat Anna?" tanyanya dengan nada bercanda.Aku mencebik seraya memutar bola mata, ingin sekali ku anggap dia rumah, tempatku pulang dan menaruh segala resah dan pengharapanku. Tapi apa wajar jika aku mengungkapkannya. "Aku hanya ngasih tau mas, beda jauh sama curhat." elakku sambil mengaduk mi."Kamu pikir hanya kamu saja yang suka membaca orang lain, Anna? Sebagai seorang bos saya juga suka membaca gerak-gerik orang lain." akunya sambil mengelus punggungku. "Kamu mau curhat?" "Apa sih?" aku menoleh, aku menghargai tawarnya tapi