Aku meninggalkan rumah sakit dengan perasaan kacau. Pulang ke apartemen rasanya kembali sunyi, aku hanya bisa mengenang manisnya kebersamaan dengan ibu yang mungkin sekarang disana sedang mati-matian menerka apa saja yang terjadi padaku selama ibu tidak tahu keberadaanku dan kabarku.
"Bagaimana jadwalku di kantor, Bu? Ada jadwal cuap-cuap lagi?" tanyaku pada Tina yang fokus menyetir.Tina menggeleng. "Suamimu minta bantuan untuk mengatur jadwalmu seminggu ini. So, gunakan waktu istirahatmu sebaik mungkin sebelum kembali lagi beraktivitas. Beberapa agenda JaffFilm harus melibatkanmu, materinya akan saya kirimkan ke surel."Aku mengangguk. "Terima kasih."Mobil berbelok, apartemen Grandmoon sudah terlihat dari kejauhan. "Lusa aku bakal pulang. Kamu bisa memberitahunya, Bu. Mungkin dia bisa menemaniku untuk bertemu ibu."Tina mengetuk-ngetuk stir mobil sambil berpikir. "Maksudnya kamu ingin meminta restu, begitu Bu Anna?" tanyanya denganAku disini, dikamar ini meski begitu otakku bekerja lebih keras untuk memikirkan bagaimana besok ketika aku kembali ke rumah. Menemui ibu, menjelaskan semua duduk perkaranya karena dari awal inilah risiko terbesar yang aku takutkan. Ibu. Perempuan pertama yang mengajariku segala hal dalam hidup. Aku bergeming sembari mengusap perutku. Belum ada pergerakan dari janinku, tapi kata Tina sebentar lagi janin ini bergerak, dia bilang itu akan menyenangkan dan aku menunggu. Menunggu juga kedatangan ayah bayi ini dan memintanya untuk di temani barang sekejap saja.Tapi aku tahu, badai ini belum membesar, badai itu masih ayem tentrem dalam rumah tangga ini. Walaupun ada kedatangan Dito semakin membuat semua ini runyam. Aku bersandar di kusen dipan, memegang ponsel, menunggu Tina menghubungiku dan mendengar kabar baik darinya atau jika beruntung suamiku yang menelponku. Aku mendesah. Aku gamang, ini sudah pagi dan aku belum mendapatkan kabar apapun dari Tina. Kupi
"Hah." Belum surut rasa keterkejutanku dengan rumah mertua, pintu depan yang menggunakan kusen pintu ukir terpentang perlahan, si empunya rumah keluar dengan arah mata yang tertuju pada mobil ini. Secepat mungkin aku berjongkok dibawah dasbor mobil. Jantungku semakin berdebar-debar, telapak tanganku dingin. Perutku keroncongan."Mas Ardi gila!" gerutuku sambil mendongak. "Ayo putar balik, Pak! Aku mules." akuku jujur, entah kenapa respon dari tubuhku setelah bertahun-tahun ayem tentrem kembali menggeliat. Rasanya aku tidak siap bertemu mertua, mengingat aku - aku bukan pilihan yang tepat. Si plontos malah meringis usil bahkan menghidupkan lampu plafon mobil. "Bapak sudah kesini." "Apa!"Aku mengumpat. Apa sebenarnya isi otaknya sampai-sampai harus membawaku kesini. Mau apa dia? Kenapa kecemasan langsung membuat seluruh dadaku sesak. Pintu terbuka, segera saja aku kembali duduk di jok. Memasang wajah sedatar mungkin
Pak Ardi tersenyum seraya mendorong pintu kamar tanpa mengalihkan pandangannya padaku. Aku menatap wajahnya seraya meninju dadanya dengan kesal. "Gila kamu mas." gerutuku seraya mendahului masuk ke kamar yang membuatku menghela napas. Kamar ini sungguh manis, sama seperti interior rumah ini. Ranjang king size yang berada di lantai dan lemari transparan yang sudah berisi pakaian.Aku tersenyum hangat mendapati ada satu foto pernikahan kami dengan pigura yang berhias kerang-kerangan di atas meja."I wish i was special." "Anna." tangan pak Ardi melingkar di pinggangku sembari menaruh dagunya di bahuku. "Saya merindukanmu!" katanya lagi, bergitu manja."Lalu? Apa rindu lebih penting daripada sebuah penjelasan terlebih dahulu." aku memutar tubuh untuk menghadapnya. "Kamu membawaku kesini, disaat Dito juga kembali lagi menanyakan hatiku. Apa kamu cemburu mas?" tanyaku dengan harapan dia mengiyakan."Tidak, saya hanya melakukan apa ya
Sehabis peluh yang membanjiri tubuh kami berdua mengering dan tergantikan dengan dingin yang mulai menyusuri tubuh kami. Kami kembali memakai pakaian dan duduk di tepi ranjang.Aku sempat melihat senyum di bibir suamiku sebelum ia menarik laci nakas untuk mengeluarkan parfum.Dahiku mengernyit saat ia memakai parfum setelah bercinta. "Dasar pria perlente." batinku sambil bersandar di lengan suamiku dan menggenggam tangannya. "Mas kenapa membawaku kesini? Ada apa?" tanyaku yang masih penasaran dengan niatannya hari ini."Saya tahu masa lalumu Anna, Dito, Ibu Susanti. Hari ini saya hanya ingin memberi yang terbaik untukmu dengan membawamu ke dalam keluarga saya. Itu harusnya membahagiakan, tapi kamu justru curiga, justru tidak menerima keputusan saya ini." ungkap Pak Ardi dengan raut wajah masam.Dahiku mengeryit begitupun rasa sedih yang kembali menyebar di dadaku mengingat Bu Susanti dan Dito."Apa orang tua mas menerimaku begitu aja tanpa ada perdebatan terlebih dahulu? Mas gak mau c
Pak Ardi menyajikan semangkok mi rebus dengan banyak isian. Bakso udang, sosis, pakcoy, brokoli dan tomat. Aku menatap suamiku lekat-lekat dengan kening berkerut. Dia meringis. "Apa, mau protes?" tukasnya sambil menaruh sendok dan garpu ke dalam mangkok."Makasih mas, ini mi sehat yang pernah aku lihat dalam hidupku. Serius, biasanya aku cuma buat pake sawi sama telur." akuku lalu tersenyum masam.Pak Ardi menarik kursi seraya menghenyakkan tubuhnya. "Kamu curhat Anna?" tanyanya dengan nada bercanda.Aku mencebik seraya memutar bola mata, ingin sekali ku anggap dia rumah, tempatku pulang dan menaruh segala resah dan pengharapanku. Tapi apa wajar jika aku mengungkapkannya. "Aku hanya ngasih tau mas, beda jauh sama curhat." elakku sambil mengaduk mi."Kamu pikir hanya kamu saja yang suka membaca orang lain, Anna? Sebagai seorang bos saya juga suka membaca gerak-gerik orang lain." akunya sambil mengelus punggungku. "Kamu mau curhat?" "Apa sih?" aku menoleh, aku menghargai tawarnya tapi
Sehabis sarapan, seorang asisten rumah tangga membantuku mengepak makanan untuk perjalanan nanti."Anna, mama dan papa tidak bisa ikut. Biar Ardi menyelesaikan masalahnya dulu setelah itu baru kami akan menyambut kedatangan ibumu dengan baik." ucap mama Rita dengan lembut sambil mengelus perutku. "Mama yakin, anak ini kuat sepertimu. Ardi sudah banyak cerita tentangmu."Aku mengangguk dan hatiku menghangat, tak masalah pikirku karena aku juga tidak enak hati jika nanti ibuku tidak menyambut baik besannya ini. Ibuku pun pasti minder mengingat siapa dia dan besannya ini."Santai aja, ma. Memang sebaiknya kami selesaikan dulu masalah ini. Cuma mama beneran menerimaku?" aku bertanya dengan ragu-ragu. Sungguh aku ingin meyakinkan diri bahwa semua ini nyata."Mama justru senang Ardi bertanggung jawab dengan kelakuannya. Tapi dalam kondisi sekarang, yang seharusnya menerimamu adalah Farah karena kamu masuk dalam rumah tangganya." Mama Rita tersenyum pengertian.Aku paham, tetapi untuk sement
Aku menatap suamiku dengan pandangan bertanya, "Kepikiran apa, serius banget." Pak Ardi menelengkan kepalaku agar bersandar di lengannya, sementara satu tangannya mengambil tablet dari tas kerja dengan susah payah. "Apa kamu tidak keberatan saya sambi kerja, Anna? Setengah hari memandangmu saja rasanya saya bisa mati kutu." akunya seraya menyeringai. "Aku juga punya pekerjaan sebenarnya, dan pekerjaanku lebih berat darimu mas!" balasku sambil memasang wajah serius saat menatapnya.Pak Ardi mengerutkan kening. "Coba katakan, saya akan membantu pekerjaanmu yang saya rasa kecil." Pak Ardi menjentikkan jarinya, menyepelekan ucapanku dan pekerjaanku yang biasa-biasa saja. Memang, aku aku. Tapi coba saja jika aku berkata begini ; "Pekerjaanku itu mencintaimu dan mempelajarimu mas, itu berat karena aku cuma secuil kisah yang terpaksa beradu dengan suami orang." Tatapan pak Ardi langsung menguji nyaliku, aku mengulum senyum sambil menunduk. "Canda, bos." imbuhku kemudian. Pak Ardi menge
Matahari meredup dengan enggan di ufuk ketika seperempat perjalanan menuju rumah hampir sampai. Aku tersenyum lega, setidaknya itu cukup menyenangkan bagiku karena terkadang gelap lebih menyejukkan ketimbang terang yang menyilaukan.Aku menunduk saat suamiku mendesah lelah sambil mendusel di dan menciumi batas antar dirinya dan anaknya. "Anna, kamu tidak keberatan?""Gimana lagi, kamu tidur sampe ngorok mas." akuku sambil mengusap punggungnya, "tadinya mau aku jatuhin. Tapi gak tega." imbuhku sambil menahan senyum. Pak Ardi ikut tersenyum. "Maaf, pahamu nyaman untuk jadi bantal jadi saya kebablasan saya. Kakimu kesemutan?" tanyanya sambil memaksa diri untuk duduk. Pak Ardi membungkukkan badan seraya mengusap wajahnya. "Lama sekali saya tidur." gumamnya pelan. "Kerjaan banyak dan susah?" aku mengulurkan air mineral. "Kenapa sampai ngotot begitu? Galak banget.""Kamu kira kerjaan kamu saja yang susah? Saya juga." akunya seraya menenggak beberapa tegukan air. Ia menatap pemandangan l