"Dit..."
Aku menatap sekeliling. Ibu yang masih di kamar membuatku membulatkan tekad. "Bawa aku pergi sekarang!"Tanpa berpikir panjang, Dito membuka pintu seraya membopongku. "Pegangan!"Aku mengalungkan tangan di lehernya hingga separuh wajahku menempel di dadanya, terdengar detak jantungnya berdegup kencang dan napasnya yang hangat menerpa wajahku."Dit...""Jangan sekarang!"***Dito membaringkan tubuhku diatas ranjang pasien, napasnya terengah dan keringat membasahi tubuhnya. Ia menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan. Rupanya keadaan tidak mengubah inti dari hatinya padaku. Marah, gemas, sedih, kalut bercampur jadi satu dalam senyuman itu."Ann, kuat ya." ucapnya sembari menegakkan tubuhnya.Aku tersenyum getir sambil menatapnya dengan nanar. "Makasih."Dito menyingkirkan rambut yang lengket di wajahku, tersenyum seolah meyakinkan bahwa aku tidak perlu khawatir. "Aku menemukAku mengatupkan bibirku rapat-rapat. Aku tak ingin berdebat disini, di saat aku butuh waktu untuk memulihkan kondisiku sendiri dari segala ketakutan yang mengelilingiku."Anna sayang." bisiknya penuh di telingaku. "Anna, berbaliklah. Biar saya bisa melihatmu." Aku mengepalkan tangan erat-erat di bawah selimut. Aku yakin, dia dan Ibu sudah bertemu di apartemen. Dan pembicaraan mereka pasti serius. Ibu memaki kami berdua dengan sebutan dua manusia yang tidak punya perasaan? Hah, Ibu sudah tahu sepertinya dan sekarang Ibu marah! Marahnya pasti lama, bujuknya pasti susah, belum lagi memulihkan kepercayaannya. Tanpa sadar aku memukul ranjang dengan kesal seraya berteriak frustasi."Hentikan, Anna. Teriakanmu menyakitiku." dekapannya menguat di tubuhku. "Berbaliklah dan pukul saya, itu lebih baik daripada kamu menyayat hatiku dengan teriakanmu, Anna." ucapnya gusar.Aku mencubit bantal dengan gemas. Ku remas-remas sampai kucel hingg
Selayaknya kehidupan manusia yang kadang penuh dugaan yang mengejutkan, bahkan tidak pernah terlintas dalam mimpi sekalipun. Aku merasa ketenangan semakin menjauh dariku. Benakku riuh sekali. Rasanya aku sudah kebablasan, aku pasti akan membebani Dito dengan hal-hal yang berkaitan dengan skandal ini. Aku tidak bisa. Aku tidak mau Dito berharap kepadaku lagi karena bagiku dia baru saja purnama di kegelapan malam. Aku tidak mau sinarnya meredup lagi, aku kasian padanya.Rasanya aku butuh ketenangan dan satu-satunya cara adalah menghilang, tentu saja. Menghilang untuk sementara waktu.Aku bisa memastikan bahwa Dito masih sibuk di luar sana. Suamiku sibuk dengan pekerjaannya setelah menyuapiku dan menyuruhku istirahat. Tapi bagaimanapun aku tetap terjaga. Aku sulit mencari jalan keluar dari persoalan ini, seolah benang merah sudah membungkus raga dan jiwaku.Pukul lima sore, setelah dokter visit dan mengatakan kondisiku mulai stabil. Aku meminta perawat yang bersama dokter
"Pulang gih." kataku setelah ia berhenti tersenyum. "Udah malem, kamu butuh istirahat dan terima kasih untuk hari ini, Dit. Aku masih suka kue ini, rasanya masih sama." imbuhku jujur untuk membuatnya senang dan aku mengerti niatnya membawakan kue ini. Dito ingin membangkitkan kenangan lalu.Memang tidak ada yang salah dari pertemuan ini, yang salah hanya sudut pandang kami yang tidak lagi sama, sejalan, dan rekat.Dito tersenyum dengan sabar, menyendok lagi kue dari wadah yang berada dipangkuanku. "Kita baru saja bertemu setelah bertahun-tahun, tapi ternyata sudah banyak yang terjadi denganmu, Anna." "Apa kamu khawatir sama aku?" Dito mengangguk. "Aku justru lebih khawatir sama kamu, Dit." komentarku. "Aku sudah biasa merasa kehilangan dan terbelakang, sementara kamu. Hei, apa kabar? Awal pertemuan kita kayaknya sangat buruk ya." tanganku terulur kepadanya.Dito kemudian melirikku penuh arti seraya meraih tanganku. Kehangatan
Aku meninggalkan rumah sakit dengan perasaan kacau. Pulang ke apartemen rasanya kembali sunyi, aku hanya bisa mengenang manisnya kebersamaan dengan ibu yang mungkin sekarang disana sedang mati-matian menerka apa saja yang terjadi padaku selama ibu tidak tahu keberadaanku dan kabarku. "Bagaimana jadwalku di kantor, Bu? Ada jadwal cuap-cuap lagi?" tanyaku pada Tina yang fokus menyetir. Tina menggeleng. "Suamimu minta bantuan untuk mengatur jadwalmu seminggu ini. So, gunakan waktu istirahatmu sebaik mungkin sebelum kembali lagi beraktivitas. Beberapa agenda JaffFilm harus melibatkanmu, materinya akan saya kirimkan ke surel."Aku mengangguk. "Terima kasih." Mobil berbelok, apartemen Grandmoon sudah terlihat dari kejauhan. "Lusa aku bakal pulang. Kamu bisa memberitahunya, Bu. Mungkin dia bisa menemaniku untuk bertemu ibu."Tina mengetuk-ngetuk stir mobil sambil berpikir. "Maksudnya kamu ingin meminta restu, begitu Bu Anna?" tanyanya dengan
Aku disini, dikamar ini meski begitu otakku bekerja lebih keras untuk memikirkan bagaimana besok ketika aku kembali ke rumah. Menemui ibu, menjelaskan semua duduk perkaranya karena dari awal inilah risiko terbesar yang aku takutkan. Ibu. Perempuan pertama yang mengajariku segala hal dalam hidup. Aku bergeming sembari mengusap perutku. Belum ada pergerakan dari janinku, tapi kata Tina sebentar lagi janin ini bergerak, dia bilang itu akan menyenangkan dan aku menunggu. Menunggu juga kedatangan ayah bayi ini dan memintanya untuk di temani barang sekejap saja.Tapi aku tahu, badai ini belum membesar, badai itu masih ayem tentrem dalam rumah tangga ini. Walaupun ada kedatangan Dito semakin membuat semua ini runyam. Aku bersandar di kusen dipan, memegang ponsel, menunggu Tina menghubungiku dan mendengar kabar baik darinya atau jika beruntung suamiku yang menelponku. Aku mendesah. Aku gamang, ini sudah pagi dan aku belum mendapatkan kabar apapun dari Tina. Kupi
"Hah." Belum surut rasa keterkejutanku dengan rumah mertua, pintu depan yang menggunakan kusen pintu ukir terpentang perlahan, si empunya rumah keluar dengan arah mata yang tertuju pada mobil ini. Secepat mungkin aku berjongkok dibawah dasbor mobil. Jantungku semakin berdebar-debar, telapak tanganku dingin. Perutku keroncongan."Mas Ardi gila!" gerutuku sambil mendongak. "Ayo putar balik, Pak! Aku mules." akuku jujur, entah kenapa respon dari tubuhku setelah bertahun-tahun ayem tentrem kembali menggeliat. Rasanya aku tidak siap bertemu mertua, mengingat aku - aku bukan pilihan yang tepat. Si plontos malah meringis usil bahkan menghidupkan lampu plafon mobil. "Bapak sudah kesini." "Apa!"Aku mengumpat. Apa sebenarnya isi otaknya sampai-sampai harus membawaku kesini. Mau apa dia? Kenapa kecemasan langsung membuat seluruh dadaku sesak. Pintu terbuka, segera saja aku kembali duduk di jok. Memasang wajah sedatar mungkin
Pak Ardi tersenyum seraya mendorong pintu kamar tanpa mengalihkan pandangannya padaku. Aku menatap wajahnya seraya meninju dadanya dengan kesal. "Gila kamu mas." gerutuku seraya mendahului masuk ke kamar yang membuatku menghela napas. Kamar ini sungguh manis, sama seperti interior rumah ini. Ranjang king size yang berada di lantai dan lemari transparan yang sudah berisi pakaian.Aku tersenyum hangat mendapati ada satu foto pernikahan kami dengan pigura yang berhias kerang-kerangan di atas meja."I wish i was special." "Anna." tangan pak Ardi melingkar di pinggangku sembari menaruh dagunya di bahuku. "Saya merindukanmu!" katanya lagi, bergitu manja."Lalu? Apa rindu lebih penting daripada sebuah penjelasan terlebih dahulu." aku memutar tubuh untuk menghadapnya. "Kamu membawaku kesini, disaat Dito juga kembali lagi menanyakan hatiku. Apa kamu cemburu mas?" tanyaku dengan harapan dia mengiyakan."Tidak, saya hanya melakukan apa ya
Sehabis peluh yang membanjiri tubuh kami berdua mengering dan tergantikan dengan dingin yang mulai menyusuri tubuh kami. Kami kembali memakai pakaian dan duduk di tepi ranjang.Aku sempat melihat senyum di bibir suamiku sebelum ia menarik laci nakas untuk mengeluarkan parfum.Dahiku mengernyit saat ia memakai parfum setelah bercinta. "Dasar pria perlente." batinku sambil bersandar di lengan suamiku dan menggenggam tangannya. "Mas kenapa membawaku kesini? Ada apa?" tanyaku yang masih penasaran dengan niatannya hari ini."Saya tahu masa lalumu Anna, Dito, Ibu Susanti. Hari ini saya hanya ingin memberi yang terbaik untukmu dengan membawamu ke dalam keluarga saya. Itu harusnya membahagiakan, tapi kamu justru curiga, justru tidak menerima keputusan saya ini." ungkap Pak Ardi dengan raut wajah masam.Dahiku mengeryit begitupun rasa sedih yang kembali menyebar di dadaku mengingat Bu Susanti dan Dito."Apa orang tua mas menerimaku begitu aja tanpa ada perdebatan terlebih dahulu? Mas gak mau c
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me
Dalam keremangan lampu kamar rumah sakit, saya membelai rambut Farah yang terasa kusut dan lembab. Ia masih terlelap seperti tak punya beban apapun. Wajahnya tenang, napasnya teratur, air susu ibu yang seharusnya keluar sebagai insting terkuat seorang ibu menyusui hanya merembes sesekali dan sangat jarang seakan tubuhnya berhenti beroperasi dalam tenang yang menegangkan. "Sepertinya kamu ingin menjadi putri tidur, Fa. Mimpimu bagus?" tanya saya seraya membelai wajahnya. "Kamu mimpi apa? Apa seindah waktu kencan pertama kita di kebun teh Cisarua Bogor? Seindah itu, ah... Kamu membuatku iri jadinya."Saya tersenyum sendiri, entah kenapa ingatan akan masa kencan pertama kami, pendekatan yang lucu itu menggelikan dan menyenangkan."Aku ingat, kamu mengeluh kedinginan dan tidak mau aku peluk. Katamu aku simpanse bonobo yang tidak cukup punya satu pasangan dan kamu yakin itu walaupun kamu mencintaku dengan tulus. Dan kamu tau, itu kata-kata paling kejam yang aku dengar selain buaya darat,
Entah berapa lama waktu yang saya habiskan untuk menunggu Farah di rumah sakit, keadaannya yang belum stabil mengharuskan Farah mendapatkan perawatan intensif yang lebih dari apa yang saya perkirakan."Makan dulu mas." Anna mengusap kedua bahu saya dari belakang seraya mengecup puncak kepala saya. "Semuanya akan membaik mas, percayalah." bisiknya sambil merangkul pundak saya. "Kamu yang kuat, banyak orang yang membutuhkanmu hari ini dan selamanya sampai waktu berhenti."Saya menelengkan kepala untuk mengecup pipinya yang masih terlihat tembam meski Alinka sudah berusia nyaris tiga bulan. "Terima kasih, makanlah lebih dulu Anna." pinta saya, dia mengasihi dua bayi, Alinka dan Alinskie sekarang, selama seminggu kami di rumah sakit. Anna butuh banyak makan, sementara saya, saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini rasanya energi dalam tubuh saya tidak sekuat dan seegois biasanya. Pikiran saya hanya tersita untuk kepulihan Farah.Saya hanya kerja sebentar lalu ke sini, tidur di sofa dan me
Dua bulan kemudian. Saya menuruni anak tangga dengan cepat setelah mendengar Naufal berteriak dari bawah memanggil nama saya dan mengatakan mama-nya menyuruh saya turun."Iya, papa turun. Papa turun sayang." kata saya menggebu-gebu.Naufal berkacak pinggang di depan anak tangga paling bawah. Ia mengerut marah, saya tersenyum kanak-kanak. Aturan main di rumah ini sudah berjalan selama dua bulan setelah saya dengan berani dan bertanggung jawab mengatakan pada semua keluarga, rekan bisnis, teman nongkrong, dan media jika saya memiliki dua istri dan bayi mungil. Meski sempat terjadi gonjang-ganjing gosip yang makin lama di gosok makin sip saya percaya waktu akan menjawab semua getir dan getar yang ada. "Papa tadi baru ganti popok adikmu, Fal. Maaf lama, adikmu bawel." seloroh saya, Naufal menutup telinganya. Dia sering begitu jika saya membicarakan Alinka, berbeda dengan Kenzo. Oh anakku yang satu itu memang anak pintar, dia menjadi kakak yang baik dan sering tidur bersama Anna karena b