Pintu kamar terpentang perlahan. Aku mendongak menatap kehadirannya. Suamiku telah berganti pakaian. Meski wajahnya begitu kusut.Aku tidak bereaksi apa-apa sewaktu dia duduk di tepi ranjang di sampingku. Dua detik yang hening, dia akhiri dengan pelukan. Aku tetap diam. Tidak tahu harus memeluknya balik atau tidak. Semua ini rasanya hanya sebatas peleburan maaf yang singkat. "Dimana Naufal?" tanyaku. Mengalihkan pembicaraan.Pak Ardi kembali melimpah rindunya dengan memelukku lagi. "Maaf Anna, saya tidak mampu memenuhi janji.""Berhentilah hanya mengucapkan kata maaf jika kita bertemu mas. Berhentilah minta maaf. Itu sama sekali tidak menenangkan aku!" kataku sembari memundurkan tubuhku.Pak Ardi menghela napas. Dia menatapku sedih.Aku menggeleng. "Aku tidak tau berada di tempat yang salah apa benar sekarang, semua ini udah terjadi. Tapi disini adalah egomu yang bicara mas. Egomu yang slalu mengartikan bahwa semua ini akan terus bisa kamu kendalikan.""Kamu yang minta statusmu di s
Aku memegang dadaku yang berdetak lebih kencang di depan cermin. Hari ini demi apapun semua rasa dalam jiwaku sedang tidak bisa tenang. Aku begitu bahagia, tepat hari ini namaku terhitung ada di antara jajaran anggota besar Jaff Film. Nama yang hanya orang-orang tahu sebagai MarryAnne, bukan Anna, bukan pula istri simpanan petinggi Jaff Corporations. Aku benar-benar sudah bersiap untuk gala premiere satu jam lagi, tapi sebongkah rasa ini begitu sulit aku pahami. Aku akan bertemu dengan Mbak Farah dalam kondisi sama-sama hamil. Tidakkah itu mengundang rasa penasarannya?Ibu menggenggam tanganku karena sejak tadi aku gugup, "Senyum!" katanya mengingatkan, "nanti orang-orang mikir kamu banyak beban kalo bibirmu dari tadi manyun, An!" Aku tersenyum kecut seraya menggenggam erat tangan ibuku yang tengah malam tadi datang dan benar-benar membawa semua oleh-oleh dari desa untuk anakku. Luar biasa. "Aku beneran gugup, Bu. Bukan manyun doang. Aku bener-bener gugup!" kataku tegas di antara s
Acara nonton bareng selesai, gemuruh suara tepuk tangan terdengar meriah di dalam bioskop. Satu persatu petinggi Jaff Corporations keluar dari ruang ini untuk kembali mengejar prestasi di gedung ini.Aku menghela napas. Dalam benak aku bertanya apakah setelah melihat film ini pak Ardi hatinya baik-baik saja?Aku memejamkan matanya. Deras penggalan demi penggalan kisahku dan Dito kembali menyeruak setelah ku lihat betapa pintarnya semua pemeran pengganti merangkum semua rasaku menjadi sebuah tontonan yang mengeluarkan air mata, marah, dan entahlah. Emosiku teraduk-aduk bahkan untuk berdiri saja aku enggan, semua rasanya meresahkan diri. "Kontraksi, Ann?" Coki menyentuh lenganku.Aku menoleh sambil nyengir. Memang sedaritadi aku mengelus perutku dengan muka serius. Makanya dia menyangka kalau aku kontraksi. Tapi memang iya sedikit, dan masih bisa aku pastikan belum waktunya janin ini keluar."Nggak kok, cuma lagi menikmati suasana aja." "Halah!" desis Coki, "Menikmati suasana apa bap
Aku melangkah dengan gontai keluar apartemen. Malam ini aku benar-benar harus party di rumah suamiku. Pun sejujurnya aku heran, suamiku mengadakan party di rumahnya untuk merayakan apa? Merayakan kehamilan ke dua istrinya atau sebenarnya dia hanya mau membuktikan dia baik-baik saja? Dia tidak sakit hati dengan apa yang sudah dia putuskan. Hebat, hebat. Dia begitu pintar membuat alibi. Tapi dalam hati aku benar-benar ingin mendengar sendiri pernyataannya atas hari ini."Bu, aku males banget ke sana!" kataku waktu kami berempat di dalam lift. Dito dan Coki tidak pulang, mereka singgah di apartemen, makan dan mandi sudah seperti di rumah sendiri. Pokoknya bebas karena ibu juga tidak keberatan dengan keberadaan dua laki-laki bujangan ini. Bahkan ibu dan Dito masih cukup akrab seperti tak terjadi apa-apa.Ibu memijat pelan punggung ku yang pegal-pegal."Turuti saja kemauannya, Ann. Suamimu itu pasti hanya ingin bertemu denganmu lagi. Sudah maklum saja, tidak perlu di pikir yang berat-bera
Ledakan besar langsung terjadi dengan tak kasat mata. Aku menghela napas saat ku lihat raut wajah tak percaya dari Mbak Farah setelah mengetahui bahwa ibu datang ke rumah mertuanya membawa oleh-oleh. Begitu juga Kenzo yang langsung nemplok sama ibu. Suasana menjadi tegang tapi di penuhi suara brisik Kenzo yang terus menanyakan kampung ibu dan keripik belut yang dia sukai. Kriuk-kriuk geli katanya waktu makan."Nenek harus beliin aku keripik belut lagi, Kenzo suka!" katanya dengan polos, bahkan sikapnya yang akrab sekali dengan ibu membuat mbak Farah semakin mengernyit bingung. Mbak pasti curiga, batinku sambil meneguk jus jeruk yang tersedia dengan rikuh."Untuk apa Tante ke rumah mama?" tanyanya setelah jeda dia buat untuk menerka apa yang terjadi. Sepertinya karena bermenit-menit terlewati Mbak Farah hanya diam, menatap perutku lalu ibuku.Ibu mengangkat tatapannya setelah menggelitiki perut Kenzo. Bocah kecil itu tertawa geli tapi langsung diam ketika mama menaruh jari telunjukn
"Kamu tunggu di sini, Anna. Kami butuh waktu untuk bicara secara pribadi." kata suamiku di depan pintu kamar. Ekspresinya terlihat serius tapi hangat juga menyebalkan. Kayaknya kamar mereka udah pindah, batinku seraya duduk sendiri di sofa lalu mengangguk."Gak bicara secara bareng-bareng saja mas biar semuanya terbuka. Aku—""Nanti Anna, ada waktunya sendiri!"Seorang pelayan rumah membuka pintu kamar mereka. Lalu menawarkan bantuan untuk menjaga Mbak Farah dengan sikap rikuh, juga takut."Ambilkan saja makan malam dan obat-obatannya! Siapkan juga untuk perempuan di ruang tamu." suara bariton itu tetap menggelegar di dalam kamar sebelum senyap kembali terasa. Pelayan rumah tadi menghampiriku, lalu membungkuk hormat. Lalu pergi mungkin untuk mengambil apa yang pak Ardi suruh.Aku hanya tersenyum rikuh karena tidak biasa mendapat perhatian khusus dari orang lain apalagi yang bersikap seperti orang penting seperti ini. Terdiam. Kesenyapan ruangan besar ini kemudian hilang sewaktu Nauf
Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa tenang bahkan hanya sekedar untuk membaringkan tubuhku di ranjang yang begitu empuk, aku tidak bisa. Sulit, tidak ada lagi tenang yang singgah di benakku. Satu pohon harapanku sedang berada di dalam badai. Entah bagaimana upaya untuk meredamnya. Aku keluar dari kamar, bisa ku lihat party di halaman belakang masih terjadi. Dan suami dua istri itu sudah ada di sana, meneguk minuman keras yang tersaji dalam berbagai merek di atas meja.Coki dan Dito juga masih ada di sana. Tertawa senang karena entah, lalu sepasang mata yang melihatku bergeming di pembatas balkon bersorak memanggil namaku. "Come on, sweetie." Aku mendengus. Dasar tua-tua keladi. Bos Jaff Film itu pasti merasa untung aset barunya ternyata adalah istri ke dua big bos. Sudah pasti aliran dana akan lancar dan dukungan dari internal tertinggi perusahaan akan mantap jaya.Aku berdecih sambil menggeleng. Aku tidak mau suamiku mendapatiku di sana. Apalagi ada Mbak Farah di bawah yang pasti
"Anna, ayo sarapan." seru mama dari ambang pintu. Aku menoleh sambil tersenyum."Mas sama Mbak sudah bangun, ma?" tanyaku sambil menutup pintu. Mama yang datang bareng ibu menggeleng. "Paling-paling Ardi kecapekan, Ann. Benar katanya kemarin adalah hari yang berat karena sebelumnya dia sudah ngobrol dan meminta izin sama mama untuk mengungkapkan fakta tentang kamu." Aku tersenyum hangat. Tapi jika mungkin ini bukan jalan kami untuk melanjutkan hidup bersama karena Mbak Farah tidak setuju, biar kan waktu yang akan menjawab semua arti aku dalam hidup mas Ardi."Makasih, ma."Mama mengelus pipiku sambil tersenyum hangat."Semoga Farah mengerti kekurangannya, lagian Ardi juga tidak salah seratus persen. Tapi Mama cuma berharap, kamu juga paham posisi kamu di antara mereka.""Aku tau," seruku, anak mama itu kan cuma mau enaknya aja, maunya cuma goyang terus, setelah itu bingung sendiri kan jadinya. Mama terkekeh geli. "Ardi benar, selain kamu berani terang-terangan kamu juga jujur bange