Acara nonton bareng selesai, gemuruh suara tepuk tangan terdengar meriah di dalam bioskop. Satu persatu petinggi Jaff Corporations keluar dari ruang ini untuk kembali mengejar prestasi di gedung ini.Aku menghela napas. Dalam benak aku bertanya apakah setelah melihat film ini pak Ardi hatinya baik-baik saja?Aku memejamkan matanya. Deras penggalan demi penggalan kisahku dan Dito kembali menyeruak setelah ku lihat betapa pintarnya semua pemeran pengganti merangkum semua rasaku menjadi sebuah tontonan yang mengeluarkan air mata, marah, dan entahlah. Emosiku teraduk-aduk bahkan untuk berdiri saja aku enggan, semua rasanya meresahkan diri. "Kontraksi, Ann?" Coki menyentuh lenganku.Aku menoleh sambil nyengir. Memang sedaritadi aku mengelus perutku dengan muka serius. Makanya dia menyangka kalau aku kontraksi. Tapi memang iya sedikit, dan masih bisa aku pastikan belum waktunya janin ini keluar."Nggak kok, cuma lagi menikmati suasana aja." "Halah!" desis Coki, "Menikmati suasana apa bap
Aku melangkah dengan gontai keluar apartemen. Malam ini aku benar-benar harus party di rumah suamiku. Pun sejujurnya aku heran, suamiku mengadakan party di rumahnya untuk merayakan apa? Merayakan kehamilan ke dua istrinya atau sebenarnya dia hanya mau membuktikan dia baik-baik saja? Dia tidak sakit hati dengan apa yang sudah dia putuskan. Hebat, hebat. Dia begitu pintar membuat alibi. Tapi dalam hati aku benar-benar ingin mendengar sendiri pernyataannya atas hari ini."Bu, aku males banget ke sana!" kataku waktu kami berempat di dalam lift. Dito dan Coki tidak pulang, mereka singgah di apartemen, makan dan mandi sudah seperti di rumah sendiri. Pokoknya bebas karena ibu juga tidak keberatan dengan keberadaan dua laki-laki bujangan ini. Bahkan ibu dan Dito masih cukup akrab seperti tak terjadi apa-apa.Ibu memijat pelan punggung ku yang pegal-pegal."Turuti saja kemauannya, Ann. Suamimu itu pasti hanya ingin bertemu denganmu lagi. Sudah maklum saja, tidak perlu di pikir yang berat-bera
Ledakan besar langsung terjadi dengan tak kasat mata. Aku menghela napas saat ku lihat raut wajah tak percaya dari Mbak Farah setelah mengetahui bahwa ibu datang ke rumah mertuanya membawa oleh-oleh. Begitu juga Kenzo yang langsung nemplok sama ibu. Suasana menjadi tegang tapi di penuhi suara brisik Kenzo yang terus menanyakan kampung ibu dan keripik belut yang dia sukai. Kriuk-kriuk geli katanya waktu makan."Nenek harus beliin aku keripik belut lagi, Kenzo suka!" katanya dengan polos, bahkan sikapnya yang akrab sekali dengan ibu membuat mbak Farah semakin mengernyit bingung. Mbak pasti curiga, batinku sambil meneguk jus jeruk yang tersedia dengan rikuh."Untuk apa Tante ke rumah mama?" tanyanya setelah jeda dia buat untuk menerka apa yang terjadi. Sepertinya karena bermenit-menit terlewati Mbak Farah hanya diam, menatap perutku lalu ibuku.Ibu mengangkat tatapannya setelah menggelitiki perut Kenzo. Bocah kecil itu tertawa geli tapi langsung diam ketika mama menaruh jari telunjukn
"Kamu tunggu di sini, Anna. Kami butuh waktu untuk bicara secara pribadi." kata suamiku di depan pintu kamar. Ekspresinya terlihat serius tapi hangat juga menyebalkan. Kayaknya kamar mereka udah pindah, batinku seraya duduk sendiri di sofa lalu mengangguk."Gak bicara secara bareng-bareng saja mas biar semuanya terbuka. Aku—""Nanti Anna, ada waktunya sendiri!"Seorang pelayan rumah membuka pintu kamar mereka. Lalu menawarkan bantuan untuk menjaga Mbak Farah dengan sikap rikuh, juga takut."Ambilkan saja makan malam dan obat-obatannya! Siapkan juga untuk perempuan di ruang tamu." suara bariton itu tetap menggelegar di dalam kamar sebelum senyap kembali terasa. Pelayan rumah tadi menghampiriku, lalu membungkuk hormat. Lalu pergi mungkin untuk mengambil apa yang pak Ardi suruh.Aku hanya tersenyum rikuh karena tidak biasa mendapat perhatian khusus dari orang lain apalagi yang bersikap seperti orang penting seperti ini. Terdiam. Kesenyapan ruangan besar ini kemudian hilang sewaktu Nauf
Aku tidak bisa tidur. Aku tidak bisa tenang bahkan hanya sekedar untuk membaringkan tubuhku di ranjang yang begitu empuk, aku tidak bisa. Sulit, tidak ada lagi tenang yang singgah di benakku. Satu pohon harapanku sedang berada di dalam badai. Entah bagaimana upaya untuk meredamnya. Aku keluar dari kamar, bisa ku lihat party di halaman belakang masih terjadi. Dan suami dua istri itu sudah ada di sana, meneguk minuman keras yang tersaji dalam berbagai merek di atas meja.Coki dan Dito juga masih ada di sana. Tertawa senang karena entah, lalu sepasang mata yang melihatku bergeming di pembatas balkon bersorak memanggil namaku. "Come on, sweetie." Aku mendengus. Dasar tua-tua keladi. Bos Jaff Film itu pasti merasa untung aset barunya ternyata adalah istri ke dua big bos. Sudah pasti aliran dana akan lancar dan dukungan dari internal tertinggi perusahaan akan mantap jaya.Aku berdecih sambil menggeleng. Aku tidak mau suamiku mendapatiku di sana. Apalagi ada Mbak Farah di bawah yang pasti
"Anna, ayo sarapan." seru mama dari ambang pintu. Aku menoleh sambil tersenyum."Mas sama Mbak sudah bangun, ma?" tanyaku sambil menutup pintu. Mama yang datang bareng ibu menggeleng. "Paling-paling Ardi kecapekan, Ann. Benar katanya kemarin adalah hari yang berat karena sebelumnya dia sudah ngobrol dan meminta izin sama mama untuk mengungkapkan fakta tentang kamu." Aku tersenyum hangat. Tapi jika mungkin ini bukan jalan kami untuk melanjutkan hidup bersama karena Mbak Farah tidak setuju, biar kan waktu yang akan menjawab semua arti aku dalam hidup mas Ardi."Makasih, ma."Mama mengelus pipiku sambil tersenyum hangat."Semoga Farah mengerti kekurangannya, lagian Ardi juga tidak salah seratus persen. Tapi Mama cuma berharap, kamu juga paham posisi kamu di antara mereka.""Aku tau," seruku, anak mama itu kan cuma mau enaknya aja, maunya cuma goyang terus, setelah itu bingung sendiri kan jadinya. Mama terkekeh geli. "Ardi benar, selain kamu berani terang-terangan kamu juga jujur bange
"Kamu mau kemana, Anna?" seru pak Ardi dari ruang keluarga.Aku merapikan bajuku yang entah punya siapa. Aku hanya mengambil dari dalam lemari yang ternyata juga menyimpan baju-baju perlengkapan bayi perempuan.Aku mendongak setelah cukup menarik napas panjang seraya menghembuskannya."Aku masih ada kerjaan sebelum cuti, so happy holiday bos." Pak Ardi menaruh tangan Mbak Farah yang sejak aku turun dari lantai atas masih dia genggam terus seraya menghampiriku "Saya temani.""Gak usah...," kataku sambil geleng-geleng kepala. "Bukan aku yang harusnya kamu temenin, udah ah. Aku keluar dulu mas."Pak Ardi mengulurkan tangannya di depan wajahku. Aku mengerutkan kening. "Apa? Ish...""Salim dulu sama suami." Aku memutar bola mataku dan berjalan menghindarinya keluar rumah. "Sayang, aku keluar sebentar sama Anna, boleh?" teriak pak Ardi di dalam yang sanggup di dengar banyak pelayannya. Sementara aku yang sudah di halaman rumah mencari pengawal yang bisa membawaku pergi dari sini. Aku t
Aku menunduk sambil ku taruh papper bag untuk Mbak Farah dari pak Ardi, oleh-oleh jalan-jalan tadi di mal dan sebagai permintaan maaf kami karena pergi sampai siang. Isinya tas branded buat Mbak gaya-gayaan, kata suaminya tadi sambil tertawa sedih. "Aku sebenarnya benci dia beli tas-tas mahal hanya untuk di pajang di lemari, Anna. Apalagi kondisinya sekarang, dia lebih banyak di rumah. Jadi untuk apa tas-tasnya itu, ah!" aku suaminya tadi sambil menghela napas. Aku yang mengaku sebagai teman istrinya hanya tersenyum mengejek."Maaf lama, Mbak. Habis acara nobar tadi mampir les kelas parenting new born." kataku mencoba intonasi suara yang lebih rendah. Mbak Farah membuka isinya, dilihatnya tas mahal itu dengan teliti, bahkan di endus-endus juga.Aku yang melihatnya meringis sambil melirik suaminya yang meluruskan kakinya di sofa. Pak Ardi tersenyum geli. "Apa suamimu tidak membelikan barang yang sama?" tanya Mbak Farah dengan suara tegas."Aku gak mau." jawabku sama tegasnya."Kena
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me
Dalam keremangan lampu kamar rumah sakit, saya membelai rambut Farah yang terasa kusut dan lembab. Ia masih terlelap seperti tak punya beban apapun. Wajahnya tenang, napasnya teratur, air susu ibu yang seharusnya keluar sebagai insting terkuat seorang ibu menyusui hanya merembes sesekali dan sangat jarang seakan tubuhnya berhenti beroperasi dalam tenang yang menegangkan. "Sepertinya kamu ingin menjadi putri tidur, Fa. Mimpimu bagus?" tanya saya seraya membelai wajahnya. "Kamu mimpi apa? Apa seindah waktu kencan pertama kita di kebun teh Cisarua Bogor? Seindah itu, ah... Kamu membuatku iri jadinya."Saya tersenyum sendiri, entah kenapa ingatan akan masa kencan pertama kami, pendekatan yang lucu itu menggelikan dan menyenangkan."Aku ingat, kamu mengeluh kedinginan dan tidak mau aku peluk. Katamu aku simpanse bonobo yang tidak cukup punya satu pasangan dan kamu yakin itu walaupun kamu mencintaku dengan tulus. Dan kamu tau, itu kata-kata paling kejam yang aku dengar selain buaya darat,
Entah berapa lama waktu yang saya habiskan untuk menunggu Farah di rumah sakit, keadaannya yang belum stabil mengharuskan Farah mendapatkan perawatan intensif yang lebih dari apa yang saya perkirakan."Makan dulu mas." Anna mengusap kedua bahu saya dari belakang seraya mengecup puncak kepala saya. "Semuanya akan membaik mas, percayalah." bisiknya sambil merangkul pundak saya. "Kamu yang kuat, banyak orang yang membutuhkanmu hari ini dan selamanya sampai waktu berhenti."Saya menelengkan kepala untuk mengecup pipinya yang masih terlihat tembam meski Alinka sudah berusia nyaris tiga bulan. "Terima kasih, makanlah lebih dulu Anna." pinta saya, dia mengasihi dua bayi, Alinka dan Alinskie sekarang, selama seminggu kami di rumah sakit. Anna butuh banyak makan, sementara saya, saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini rasanya energi dalam tubuh saya tidak sekuat dan seegois biasanya. Pikiran saya hanya tersita untuk kepulihan Farah.Saya hanya kerja sebentar lalu ke sini, tidur di sofa dan me
Dua bulan kemudian. Saya menuruni anak tangga dengan cepat setelah mendengar Naufal berteriak dari bawah memanggil nama saya dan mengatakan mama-nya menyuruh saya turun."Iya, papa turun. Papa turun sayang." kata saya menggebu-gebu.Naufal berkacak pinggang di depan anak tangga paling bawah. Ia mengerut marah, saya tersenyum kanak-kanak. Aturan main di rumah ini sudah berjalan selama dua bulan setelah saya dengan berani dan bertanggung jawab mengatakan pada semua keluarga, rekan bisnis, teman nongkrong, dan media jika saya memiliki dua istri dan bayi mungil. Meski sempat terjadi gonjang-ganjing gosip yang makin lama di gosok makin sip saya percaya waktu akan menjawab semua getir dan getar yang ada. "Papa tadi baru ganti popok adikmu, Fal. Maaf lama, adikmu bawel." seloroh saya, Naufal menutup telinganya. Dia sering begitu jika saya membicarakan Alinka, berbeda dengan Kenzo. Oh anakku yang satu itu memang anak pintar, dia menjadi kakak yang baik dan sering tidur bersama Anna karena b