Aku menatap suamiku yang menyampirkan jas hitamnya di pergelangan tangan pergi. Sejenak dia menatapku tajam-tajam. Aku menjulurkan lidah panjang-panjang sebelum dia di bawa benda itu ke atas.Rasain, rasain. Aku akan cuek bebek dan membakarnya dengan cemburu. Lihat saja, kekasihku. Sejauh mana kamu bertahan dengan ini semua, sejauh mana aku bertahan dengan ini semua. Toh jika pada akhirnya semua hal-hal yang kita sepakati, janjikan, akan berakhir dengan pilihan baru, kesepakatan baru yang mungkin lebih baik dari sebelumnya.Coki mengernyit dengan kelakuanku, mungkin ia ini terlalu berlebihan karena berada di lingkungan kantor. Tapi bodohlah, hidup ini sudah pada kenyataannya. Sandiwara, perasaan ini, risiko dan berantakan."Berani-beraninya kamu melet-melet sama mereka, Anna! Arghh...," Coki sampai berlonjok sambil menunjukku penuh semangat. "Apa jangan-jangan???""TOA, jangan mulai lagi." Aku mencengkeram lengannya, menyuruh duduk. "Gue - gue masih inget kelakuan kalian dulu, oyyy.
"Rasanya gue kembali ke waktu dimana lu di gangguin sama pak Ardi, Ann. Gue gak nyangka kalau kelanjutan ceritamu sama dia menghasilkan buah hati."Coki mengulurkan segelas susu ibu karena aku yang minta."Makasih, Cok." Aku bangkit dari sofa, "kok enak sih." pujiku heran tidak biasanya rasa susunya memiliki citra rasa yang berbeda meski suamiku sendiri yang buat."Gue tambahin gula!" aku Coki lalu terkekeh sendiri dengan geli, "Habisnya gue cicipi gak manis-manis. Lagian berapa kali sih sehari kamu minum ginian? Boros tau kalau porsinya banyak-banyak." Aku mendelik, apa isinya jadi zonk setelah pergi ke dokter tadi? "Coki-coki, kalau cuma susu doang bisa beli satu kontainer Pak Ardi, gampanglah buat dia apa saja bisa dibeli bahkan penjepit dasinya seharga hp kita. Kenapa juga kamu mikirnya sampe kesitu, aneh kamu!" seruku tapi terhibur, "tapi enak." Aku meringis. "Baguslah kalau enak." Coki ke dapur, berhubungan sekarang aku sedang di apartemen dan jarang menempatinya. Coki mend
Ditemani Dito setiap waktu adalah hidupku dulu, dan menemaninya adalah kebutuhan. Cinta kami dulu secara sadar berdasarkan kebutuhan yang saling menguntungkan. Seks dan uang, dua hal yang sangat-sangat menyenangkan bukan? Tidak hanya untuk laki-laki saja yang sukses dan kuat. Dua hal itu juga banyak wanita yang menyukainya, jadi apa salah cinta tumbuh atas dua dasar alasan itu? Jelas salah. Uang dan seks hanyalah alasan yang lama kelamaan jika tidak dijaga akan surut dan apakah cinta akan tetap sama rasanya? Dito adalah kenangan. Selamanya akan seperti itu bahkan setelah aku menceritakan kisahku dengan gamblang. "Dito cintaku, kenanganku. Kejarlah apapun yang kamu inginkan selagi masih ada banyak waktu. Kita tahu, kisah kita adalah jeda yang akan cepat berlalu. Bayang-bayang kisah kita, akan slalu aku kenang dalam film, buku dan ingatan. Berbahagialah." Aku berdiri dengan sesak yang membelanggu dadaku. Dito..., Semoga kamu dengar podcast yang selesai aku dan Coki lakukan hari ini.
Aku beristirahat di ruang yang tersedia di kantor Jaff Film. Sejujurnya aku lelah sekali hari ini tapi melihat wajah suamiku sekarang adalah keinginan yang besar. Aku ingin melihat wajahnya, mendengar suaranya. Dan bisakah ku coba terus terlihat biasa-biasa saja dengan semua ini.Aku membaringkan tubuh, sekedar meluruskan kaki, mengelus perutku dan membayangkan bagaimana rupanya nanti. Cantikah dia seperti aku, ehm, putihkah dia seperti aku, dan cerewetkah dia seperti aku? Atau sebaliknya mirip pak Ardi? "Mama jadi gak sabar buat ketemu kamu, dik. Rumah pasti rame banget, kamu jadi teman mama karena mama kesepian." Aku termenung, perjalanan yang harus aku lalui baru akan dimulai saat bayi ini lahir. Aku mengelus perutku dan mencari tempat parenting newborn demi menambah ilmu pengetahuan mengasuh bayi ini. "Kayaknya habis premiere film aku bisa ikut kelas."Aku mengangguk, tersenyum lalu menghubungi nomer yang tertera. Aku mengatakan semua kondisiku, aku oke dan siap untuk kelas. Me
Aku buru-buru keluar dari ruang istirahat, meski tidak bisa berlari cepat untuk menghindari Tina aku bisa bersembunyi. Ya, aku ngumpet di ruang yang terletak di samping kantor Jaff Film. Aku ngumpet diantara alat bersih-bersih sambil memanggil taksi online untuk menjemputku di luar sana. Aku akan kabur dan menantang suamiku untuk mencariku.Demi apapun, aku mencari baju cleaning service dan memakainya. Walau kenyataannya penampilanku tidak benar-benar meyakinkan sebagai cleaning service."Oke, Tina pasti tidak akan tinggal diam dan pengawal suamiku pasti juga segera mencari keberadaanku." Huft, aku mengembuskan napas lelah, mengatur strategi di sarang musuh ternyata ribet juga, ditambah hamil lagi. Tapi yang jelas lift pasti akan menjadi sasaran tadi aku harus turun pakai tangga darurat. Aku menghela napas, ku ingat-ingat dulu ini di lantai berapa. Well, aku mengelus perutku."Ayo kita buat papamu ketar-ketir, dik." Aku membuka sedikit pintu dan mengintip sekitar. Lengang karena buk
Pemeran utama dalam hidupku ini begitu menyebalkan, tak berperasaan manakala dia meminta pengawalnya untuk membopongku ke mobil. Aku melotot kepadanya hingga menimbulkan ketegangan yang riuh diantara kamu. Dan tanpa pikir panjang aku mencubit pahanya kuat-kuat."Enak gak?" seruku, mencubitnya lagi di bagian-bagian yang ingin aku cubit. Pak Ardi menggeram. Dia balas mencubit pahaku juga dengan gemas."Bawa dia ke apartemen! Wanita ini sepertinya sedang drama dan butuh pelajaran cara menghormati seorang bos!" Pak Ardi meniup wajahku yang langsung membuatku memejamkan mata. Pak Ardi tersenyum samar meminta pengawalnya untuk bubar."Pastikan tidak ada orang luar yang keluar sementara waktu dan tutup gerbang masuk!""Baik bos. Siap laksanakan." Pengawalnya kontan bubar ke tugas masing-masing. Aku mendengus dan membuang muka."Bos katanya?" gumamku, baiklah-baiklah, dia juga sedang drama, "jangan pernah memberiku harapan kosong bos! Tolong naikkan gajiku setidaknya, naikkan gajiku...,"
Aku sadar menjalani peran di kantor ini dengan aktif dan partisipatif. Semua aku lakukan secara optimal dan tidak berlebihan. Aku makan, istirahat, mendapat privilege ibu hamil yang istimewa dari kantor.Tapi siapa sangka, kehadiran Dito ke ke kantor hari ini membuatku terkejut sekaligus senang. Dia pasti mendengar obrolan kemarin sewaktu meet and great."Apa kabar?" Dito mengulurkan tangannya, aku beranjak. Menggenggam tangannya dengan sikap tenang."Aku baik, lihat, aku gendut." selorohku sambil menepuk-nepuk pelan perutku, "aku gendut karena hamil, bukan karena junk food!"Dito tersenyum lebar. "Kalau itu solusi paling cepat biar kamu dulu gendut, kenapa aku gak kepikiran ya Ann?" Aku mengerucutkan bibir bersamaan dengan Dito selesai memanggil waiters. "Mau makan lagi?" tawarnya, "aku kemarin menawarkan menu baru disini dan hari ini baru masuk. Mau coba?" "Apa dulu? Aku lapar, slalu lapar. Cuma tergantung menunya karena sekarang aku pemilih. Gak boleh makan sembarangan apalagi
Pintu terpentang perlahan dengan suara bariton yang teduh kemudian.Dito menaruh tas ranselnya, lantas bersila depanku diikuti Coki yang mesem-mesem gak jelas.Aku tersenyum kecut, "Udah meetingnya?"Mereka mengangguk, aku yang masih rebahan meringis sambil bersusah payah untuk duduk. "Punggungku makin kesini makin gak bisa di ajak kompromi. Sori ya." kataku meminta pemakluman dari cowok-cowok yang wajib mengerti aku. Hehehe, "Jadi gimana?"Coki mengeluarkan buku catatan pentingnya seraya menyerahkan kepadaku. "Jadi sebelum gue lanjut ke inti meeting gue sama mantan lu ini gue mau bilang sesuatu dulu, Ann. Ini penting bagaimanapun kisah kalian sudah masuk dalam bisnis perfilman, jadi mau gak mau ada something yang harus kalian sepakati bersama terlebih dahulu." kata Coki dengan raut wajah serius.Aku mengangguk, aku mendengarkan."Tapi gue rasa kita ke apartemen lu aja deh, Ann. Privasi. Anak-anak disini gak tau kisah di balik layar kalian jadi gue mau cari aman." kata Coki lirih, m
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me
Dalam keremangan lampu kamar rumah sakit, saya membelai rambut Farah yang terasa kusut dan lembab. Ia masih terlelap seperti tak punya beban apapun. Wajahnya tenang, napasnya teratur, air susu ibu yang seharusnya keluar sebagai insting terkuat seorang ibu menyusui hanya merembes sesekali dan sangat jarang seakan tubuhnya berhenti beroperasi dalam tenang yang menegangkan. "Sepertinya kamu ingin menjadi putri tidur, Fa. Mimpimu bagus?" tanya saya seraya membelai wajahnya. "Kamu mimpi apa? Apa seindah waktu kencan pertama kita di kebun teh Cisarua Bogor? Seindah itu, ah... Kamu membuatku iri jadinya."Saya tersenyum sendiri, entah kenapa ingatan akan masa kencan pertama kami, pendekatan yang lucu itu menggelikan dan menyenangkan."Aku ingat, kamu mengeluh kedinginan dan tidak mau aku peluk. Katamu aku simpanse bonobo yang tidak cukup punya satu pasangan dan kamu yakin itu walaupun kamu mencintaku dengan tulus. Dan kamu tau, itu kata-kata paling kejam yang aku dengar selain buaya darat,
Entah berapa lama waktu yang saya habiskan untuk menunggu Farah di rumah sakit, keadaannya yang belum stabil mengharuskan Farah mendapatkan perawatan intensif yang lebih dari apa yang saya perkirakan."Makan dulu mas." Anna mengusap kedua bahu saya dari belakang seraya mengecup puncak kepala saya. "Semuanya akan membaik mas, percayalah." bisiknya sambil merangkul pundak saya. "Kamu yang kuat, banyak orang yang membutuhkanmu hari ini dan selamanya sampai waktu berhenti."Saya menelengkan kepala untuk mengecup pipinya yang masih terlihat tembam meski Alinka sudah berusia nyaris tiga bulan. "Terima kasih, makanlah lebih dulu Anna." pinta saya, dia mengasihi dua bayi, Alinka dan Alinskie sekarang, selama seminggu kami di rumah sakit. Anna butuh banyak makan, sementara saya, saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini rasanya energi dalam tubuh saya tidak sekuat dan seegois biasanya. Pikiran saya hanya tersita untuk kepulihan Farah.Saya hanya kerja sebentar lalu ke sini, tidur di sofa dan me
Dua bulan kemudian. Saya menuruni anak tangga dengan cepat setelah mendengar Naufal berteriak dari bawah memanggil nama saya dan mengatakan mama-nya menyuruh saya turun."Iya, papa turun. Papa turun sayang." kata saya menggebu-gebu.Naufal berkacak pinggang di depan anak tangga paling bawah. Ia mengerut marah, saya tersenyum kanak-kanak. Aturan main di rumah ini sudah berjalan selama dua bulan setelah saya dengan berani dan bertanggung jawab mengatakan pada semua keluarga, rekan bisnis, teman nongkrong, dan media jika saya memiliki dua istri dan bayi mungil. Meski sempat terjadi gonjang-ganjing gosip yang makin lama di gosok makin sip saya percaya waktu akan menjawab semua getir dan getar yang ada. "Papa tadi baru ganti popok adikmu, Fal. Maaf lama, adikmu bawel." seloroh saya, Naufal menutup telinganya. Dia sering begitu jika saya membicarakan Alinka, berbeda dengan Kenzo. Oh anakku yang satu itu memang anak pintar, dia menjadi kakak yang baik dan sering tidur bersama Anna karena b