Ditemani Dito setiap waktu adalah hidupku dulu, dan menemaninya adalah kebutuhan. Cinta kami dulu secara sadar berdasarkan kebutuhan yang saling menguntungkan. Seks dan uang, dua hal yang sangat-sangat menyenangkan bukan? Tidak hanya untuk laki-laki saja yang sukses dan kuat. Dua hal itu juga banyak wanita yang menyukainya, jadi apa salah cinta tumbuh atas dua dasar alasan itu? Jelas salah. Uang dan seks hanyalah alasan yang lama kelamaan jika tidak dijaga akan surut dan apakah cinta akan tetap sama rasanya? Dito adalah kenangan. Selamanya akan seperti itu bahkan setelah aku menceritakan kisahku dengan gamblang. "Dito cintaku, kenanganku. Kejarlah apapun yang kamu inginkan selagi masih ada banyak waktu. Kita tahu, kisah kita adalah jeda yang akan cepat berlalu. Bayang-bayang kisah kita, akan slalu aku kenang dalam film, buku dan ingatan. Berbahagialah." Aku berdiri dengan sesak yang membelanggu dadaku. Dito..., Semoga kamu dengar podcast yang selesai aku dan Coki lakukan hari ini.
Aku beristirahat di ruang yang tersedia di kantor Jaff Film. Sejujurnya aku lelah sekali hari ini tapi melihat wajah suamiku sekarang adalah keinginan yang besar. Aku ingin melihat wajahnya, mendengar suaranya. Dan bisakah ku coba terus terlihat biasa-biasa saja dengan semua ini.Aku membaringkan tubuh, sekedar meluruskan kaki, mengelus perutku dan membayangkan bagaimana rupanya nanti. Cantikah dia seperti aku, ehm, putihkah dia seperti aku, dan cerewetkah dia seperti aku? Atau sebaliknya mirip pak Ardi? "Mama jadi gak sabar buat ketemu kamu, dik. Rumah pasti rame banget, kamu jadi teman mama karena mama kesepian." Aku termenung, perjalanan yang harus aku lalui baru akan dimulai saat bayi ini lahir. Aku mengelus perutku dan mencari tempat parenting newborn demi menambah ilmu pengetahuan mengasuh bayi ini. "Kayaknya habis premiere film aku bisa ikut kelas."Aku mengangguk, tersenyum lalu menghubungi nomer yang tertera. Aku mengatakan semua kondisiku, aku oke dan siap untuk kelas. Me
Aku buru-buru keluar dari ruang istirahat, meski tidak bisa berlari cepat untuk menghindari Tina aku bisa bersembunyi. Ya, aku ngumpet di ruang yang terletak di samping kantor Jaff Film. Aku ngumpet diantara alat bersih-bersih sambil memanggil taksi online untuk menjemputku di luar sana. Aku akan kabur dan menantang suamiku untuk mencariku.Demi apapun, aku mencari baju cleaning service dan memakainya. Walau kenyataannya penampilanku tidak benar-benar meyakinkan sebagai cleaning service."Oke, Tina pasti tidak akan tinggal diam dan pengawal suamiku pasti juga segera mencari keberadaanku." Huft, aku mengembuskan napas lelah, mengatur strategi di sarang musuh ternyata ribet juga, ditambah hamil lagi. Tapi yang jelas lift pasti akan menjadi sasaran tadi aku harus turun pakai tangga darurat. Aku menghela napas, ku ingat-ingat dulu ini di lantai berapa. Well, aku mengelus perutku."Ayo kita buat papamu ketar-ketir, dik." Aku membuka sedikit pintu dan mengintip sekitar. Lengang karena buk
Pemeran utama dalam hidupku ini begitu menyebalkan, tak berperasaan manakala dia meminta pengawalnya untuk membopongku ke mobil. Aku melotot kepadanya hingga menimbulkan ketegangan yang riuh diantara kamu. Dan tanpa pikir panjang aku mencubit pahanya kuat-kuat."Enak gak?" seruku, mencubitnya lagi di bagian-bagian yang ingin aku cubit. Pak Ardi menggeram. Dia balas mencubit pahaku juga dengan gemas."Bawa dia ke apartemen! Wanita ini sepertinya sedang drama dan butuh pelajaran cara menghormati seorang bos!" Pak Ardi meniup wajahku yang langsung membuatku memejamkan mata. Pak Ardi tersenyum samar meminta pengawalnya untuk bubar."Pastikan tidak ada orang luar yang keluar sementara waktu dan tutup gerbang masuk!""Baik bos. Siap laksanakan." Pengawalnya kontan bubar ke tugas masing-masing. Aku mendengus dan membuang muka."Bos katanya?" gumamku, baiklah-baiklah, dia juga sedang drama, "jangan pernah memberiku harapan kosong bos! Tolong naikkan gajiku setidaknya, naikkan gajiku...,"
Aku sadar menjalani peran di kantor ini dengan aktif dan partisipatif. Semua aku lakukan secara optimal dan tidak berlebihan. Aku makan, istirahat, mendapat privilege ibu hamil yang istimewa dari kantor.Tapi siapa sangka, kehadiran Dito ke ke kantor hari ini membuatku terkejut sekaligus senang. Dia pasti mendengar obrolan kemarin sewaktu meet and great."Apa kabar?" Dito mengulurkan tangannya, aku beranjak. Menggenggam tangannya dengan sikap tenang."Aku baik, lihat, aku gendut." selorohku sambil menepuk-nepuk pelan perutku, "aku gendut karena hamil, bukan karena junk food!"Dito tersenyum lebar. "Kalau itu solusi paling cepat biar kamu dulu gendut, kenapa aku gak kepikiran ya Ann?" Aku mengerucutkan bibir bersamaan dengan Dito selesai memanggil waiters. "Mau makan lagi?" tawarnya, "aku kemarin menawarkan menu baru disini dan hari ini baru masuk. Mau coba?" "Apa dulu? Aku lapar, slalu lapar. Cuma tergantung menunya karena sekarang aku pemilih. Gak boleh makan sembarangan apalagi
Pintu terpentang perlahan dengan suara bariton yang teduh kemudian.Dito menaruh tas ranselnya, lantas bersila depanku diikuti Coki yang mesem-mesem gak jelas.Aku tersenyum kecut, "Udah meetingnya?"Mereka mengangguk, aku yang masih rebahan meringis sambil bersusah payah untuk duduk. "Punggungku makin kesini makin gak bisa di ajak kompromi. Sori ya." kataku meminta pemakluman dari cowok-cowok yang wajib mengerti aku. Hehehe, "Jadi gimana?"Coki mengeluarkan buku catatan pentingnya seraya menyerahkan kepadaku. "Jadi sebelum gue lanjut ke inti meeting gue sama mantan lu ini gue mau bilang sesuatu dulu, Ann. Ini penting bagaimanapun kisah kalian sudah masuk dalam bisnis perfilman, jadi mau gak mau ada something yang harus kalian sepakati bersama terlebih dahulu." kata Coki dengan raut wajah serius.Aku mengangguk, aku mendengarkan."Tapi gue rasa kita ke apartemen lu aja deh, Ann. Privasi. Anak-anak disini gak tau kisah di balik layar kalian jadi gue mau cari aman." kata Coki lirih, m
"Gila kamu Cok, berani-beraninya kamu sama bos dan anaknya." kataku setelah pintu tertutup, membiarkan suamiku dan Naufal kembali ke apartemen mereka di lantai atas setelah keduanya cukup membersamai kami disini. Jujur aku tidak menahan mereka, dan inginku aku masih menahan semuanya sendiri meski aku benar-benar mengharapkan kata yang menenangkan dan slalu menempatkan kesabaran di atas kesalahan yang ingin aku perbaiki. Coki menatap kami berdua, aku dan Dito. Mantanku masih disini entah menanti apa."Sorry gue ikut campur, cuma kalau gak ada orang luar yang protes, Naufal atau bos gila itu gak akan pernah melihat ke sudut pandang yang lebih luas. Terlebih bocah itu, gue yakin si bos cuma ngasih janji-janji manis yang selamanya hanya akan timpang pada satu sisi sementara elo walaupun cuma istri simpanan gue yakin sedikit saja elo mau di perhatikan apalagi, ah bentar lagi lo lahiran. Keluarga dia tau?"Aku menghangat dengan ucapan Coki, dia benar-benar teman baikku selama perjalananku
Pintu kamar terpentang perlahan. Aku mendongak menatap kehadirannya. Suamiku telah berganti pakaian. Meski wajahnya begitu kusut.Aku tidak bereaksi apa-apa sewaktu dia duduk di tepi ranjang di sampingku. Dua detik yang hening, dia akhiri dengan pelukan. Aku tetap diam. Tidak tahu harus memeluknya balik atau tidak. Semua ini rasanya hanya sebatas peleburan maaf yang singkat. "Dimana Naufal?" tanyaku. Mengalihkan pembicaraan.Pak Ardi kembali melimpah rindunya dengan memelukku lagi. "Maaf Anna, saya tidak mampu memenuhi janji.""Berhentilah hanya mengucapkan kata maaf jika kita bertemu mas. Berhentilah minta maaf. Itu sama sekali tidak menenangkan aku!" kataku sembari memundurkan tubuhku.Pak Ardi menghela napas. Dia menatapku sedih.Aku menggeleng. "Aku tidak tau berada di tempat yang salah apa benar sekarang, semua ini udah terjadi. Tapi disini adalah egomu yang bicara mas. Egomu yang slalu mengartikan bahwa semua ini akan terus bisa kamu kendalikan.""Kamu yang minta statusmu di s