Aya sebenarnya terlihat berbeda dengan tampilan kerja. Jauh lebih dewasa daripada saat bertemu di rumah sakit. Tidak ada kets hitam atau jins ketat. Benar-benar feminin.
Namun, cara makannya menggunakan jari-jari dan suapan penuh ternyata menarik. Sulit untukku berpaling atau menggerakkan sendok di tangan karena takjub dengan tingkah tanpa malunya Aya. Padahal dia tadi sudah menghinaku terang-terangan ketika mengacungkan jari tengah terus ngakunya enggak inget. Aneh.Mengajak makan calon gebetan--calon korban--setelah mengisi perut dengan gadis lain sebenarnya bukan gayaku. Kalau memaksa perut untuk tetap diisi saat penuh, mungkin sampai rumah aku enggak bakal bisa tidur cepat."Memang kenapa kalau kamu enggak mau dijodohkan?" tanya Aya setelah kuceritakan masalah perjodohan dengan sedikit bumbu.Siapa yang tidak akan simpatik dengan kisah sedih di zaman sekarang? Orang tertindas akan selalu dianggap pihak protagonis, bukan? Aku harap sih mempan di Aya."Umur dua delapan di Indo sudah dianggap aneh kalau masih melajang, Ya."Siku kiriku sudah naik ke meja dengan telapak tangan menopang dagu hanya untuk mengamatinya yang tak teralihkan. Aya fokus pada campuran lontong dan sayuran yang disiram saus kacang.Aku sangat ingat dia bilang, "Buat yang pedes banget yah, Mbok," pada penjaja gado-gado di tempat kami mampir.Enggak kebayang berapa banyak cabe rawit yang mampu membuat Aya berkeringat. Kulit cerahnya merona seiring butiran air yang terus mengalir dari pori-pori.Seksi.Sekilas pemikiranku memang berputar pada urusan daleman. Butuh momen tertentu untuk melihat sisi menarik seorang perempuan dan aku mendapati imajinasi liar yang mengalir seketika.Beberapa kali Aya menjilat permukaan bibirnya setiap mengenai saus kacang. Sudut mata yang berair. Dan ... desah yang terdengar setiap dia berhenti menyuap mampu memanggil singa yang sedang tertidur."Ya udah, nikahlah."Kalimat Aya sontak memudarkan segala angan yang terbangun. Aku terkikik, sekadar menertawakan deja vu dalam pikiran tentangnya dulu. Tentang cengkeraman Aya di bahuku ketika mendapatkan puncak gairahnya. Tentang miliknya yang sangat ketat hingga membuatku sulit bertahan lebih lama. Salahkan libidoku yang sulit dikendalikan semenjak kenal dengannya dulu.Kutarik salah satu botol dari susunan di pertengahan meja, membuka tutupnya sebelum diminum. Selesai sekali tegukan, aku kembalikan pertanyaannya. "Kamu sendiri? Sudah menikah? Pasti sudah punya anak. Reuni terakhir aja, teman kita ada yang bawa tiga buntut."Aya berhenti menyuap. Jarinya tenggelam di antara sisa saus kacang. Bisa kulihat tatapannya sempat terpaku padaku lalu beralih pada jalan setapak di sisi kanan yang langsung mengarah taman penuh patung karakter kartun."Aku ...."Jarum arloji penghias pergelangan tangan kananku seolah bergerak lambat saat menunggu kelanjutan kata dari bibir Aya. Namun, aku tidak sesabar itu untuk bertanya lagi."Maaf, atau sudah cerai?" Salahkan lancangnya bibir ini yang terlalu ingin tahu.Aya tergelak, menunduk sebentar baru bertemu lagi dalam pantulan basah di permukaan bola mata. "Kamu lupa? Aku udah bilang cuma tinggal berdua sama Bapak. Lagian, aku enggak pernah ikutan reuni sekolah."Sumpah, enggak ada yang lucu. Aku bisa menangkap getir dalam kalimatnya ketika memaksakan tawa. Semenjak jumpa di IGD, Aya terus memasang topeng, dinding tebal tak kasatmata di antara kami."Bener juga." Punggungku menegak, mencipta jarak dari meja saat lepaskan sendok. "Sorry, aku bisa mati penasaran kalau enggak nanya. Bapak gimana abis dipindah ke ICCU?""Lebih baik." Aya menjawab singkat, kemudian melanjutkan suapannya.Sekali lagi dia berhenti saat bertemu tatap. Ibu jariku berhenti tepat di depan bibirnya, menunggu persetujuan. Karena Aya tetap diam, kuusap sudut bibirnya dari sisa saus.Mata kelam Aya seakan mampu menghipnotis untuk bertahan padanya. Jika tidak menyadari keberadaan, mungkin saja aku memilih menculiknya sebagai pengganti pelampiasan beberapa hari terakhir. Namun, aku justru mundur, mengambil tisu dari kotak di pertengahan meja untuk membersihkan jemari yang menyisihkan saus kacang.Sebisa mungkin kujaga pikiran agar tidak terdistraksi pada rencana kotor seperti dulu, ketika teman-teman memberi hukuman pada Aya di masa akhir sekolah menengah dengan menjadikannya mainan yang bisa digunakan bergantian. Pasti menyakitkan untuk Aya."Gimana kamu kerja jadi teknisi kalau kerja di sini jaga parkir?" Kualihkan pembicaraan pada hal lain. Seenggaknya masih ada hal yang kuingat dari pembicaraan dengannya mengenai pekerjaan saat di rumah sakit."Freelance, Bra. Enggak ada batasan waktu buat kapan kerja atau libur. Kerja dapet duit, enggak kerja yah sabar-sabar dulu. Makasih buat traktirannya, Bra." Aya mengangkat piringnya ke udara sesaat.Kuputar bola mata saat mendengar panggilan itu lagi. Siapa juga ngasih nama panggilan seperti benda pusaka para perempuan? Kenapa enggak panggil Nathan atau El yang kerenan dikit kayak para cowok di sinetron tontonan Mama?Senyuman lebar yang kupaksakan hanya menyamarkan rencana balas dendam. "Enggak masalah. Lain kali ... kita bisa ketemu lagi?" Tersisa sudut kanan yang naik ketika Aya justru memberi jawaban dengan gelengan."Kamu memanggilku Bra, bukan Abra, dengan mudah. Kamu enggak benar-benar lupa sama aku kan, Ya?" Kuperjelas dugaan beberapa hari terakhir dari cara Aya menciptakan masalah yang terus mengejutkanku. Perilaku anarkisnya terlalu kentara."Kamu perlu jawaban seperti apa?" Aya menuntaskan suapan. Jari-jarinya yang diselimuti saus kacang masuk dalam mulut satu per satu, diisapnya hingga benar-benar bersih."Sial!" Aku menegang. Bukan hanya wajahku, tetapi juga hasrat yang susah payah aku tahan semenjak makan bersamanya.Selesai mencuci tangan di pinggiran parit tepat di samping meja kami, Aya berseloroh dengan datar, "To the point. Apa tujuan kamu nemuin aku kayak gini?"***"Kenapa, Nan?" tanyaku begitu selesai memasang jas putih sambil menyusuri lorong dan bertemu si perawat baru yang sudah bisa kuhafal namanya saking seringnya berada dalam satu sif.Gadis kurus berkulit putih itu mengiringi di sisi sambil memberi formulir yang sudah diisi keluarga pasien. Dia mengangsur pulpen dan secangkir kopi yang sebelumnya kuminta selama berada di perjalanan dalam panggilan.Bertemu dengan Aya sebelum bertugas benar-benar masalah. Aku harus bisa profesional dengan fokus pada pekerjaan. Meneguk tuntas cairan gelap kehitaman dari Nanda cukup membantu. Cangkir yang kukembalikan pada Nanda segera berganti lembaran tebal yang menunjukkan data gadis kecil berusia tujuh tahun dengan gejala sesak napas."Keluarganya mana?" Pertanyaan pertama kuajukan melihat tidak ada penunggu di sisi brankar selain petugas medis."Tadi bilang bapaknya mau lunasin jamkes dulu, Pak."Kepalaku mengangguk, berusaha menolerir kemungkinan tunggakan jaminan. Jumlah pembayaran bulanan memang jadi beban yang tidak sedikit bagi keluarga dengan penghasilan rendah, dan aku pun pernah rasakan saat memilih tinggal bersama Mama.Akan tetapi, manfaat jaminan kesehatan baru terasa ketika memerlukan pembiayaan yang tinggi. Ah, aku hanya berpikir untuk tidak sakit dan pembiayaan yang kubayar berguna untuk orang lain.Saat tiba di ruang gawat darurat, monitor di sampingnya berbunyi cepat. Saturasi darah rendah seiring lurusnya garis yang menunjukkan detak jantung. Apalagi tidak ada denyut pada nadi di urat leher."Defibrilasi, Nan!" Aku spontan mengambil tindakan resusitasi, menekan kedua tangan yang ditumpuk pada dada pasien."Mbak Dara! Tolong!" Kupanggil wanita berjilbab yang baru masuk ruangan menenteng ransel. "Minta intubasi! Epinefrin!"Setelahnya, aku tidak memperhatikan. Hanya fokus memancing detakan sampai Nanda membawa defibrilator, alat kejut jantung, mendekat."200 Joule, Nan! Siap?" Kuambil kedua paddle yang permukaannya diolesi gel, menunggu tekanan dipersiapkan dengan menaikkan kaus pasien, lalu kutekan dada bagian depan pasien begitu Nanda menjawab ya.Belum ada perubahan. Mbak Dara menyuntikkan cairan dari ampul biru melalui jarum infus pasien.Aku mengangguk pada Nanda, "300, Nan. Siap?" bersiap menekan paddle lagi pada dada pasien, berharap kali ini tidak ada yang meninggal di bawah pengawasanku.Hitungan satu sampai tiga dari bibirku terasa dingin. Tuhan, biarkan dia sembuh dulu.Tekanan terakhir hampir membuatku putus asa. Sesak. Namun, suara tampilan EKG pada monitor menunjukkan adanya kehidupan."Syukurlah." Lututku rasanya melemas. Getaran di kedua tangan masih ada meski tidak lagi memegang alat kejut jantung.Kudengar Mbak Dara juga menghela napas, melepaskan syukur dalam bahasa yang tak kumengerti, termasuk dua perawat di dekat kami."Kerja bagus, Mas Abra." Mbak Dara mengambil suntikan lain pada saluran infus dan memeriksa selang pernapasan yang dipasang sebelumnya."Laporannya sesak napas, Mbak. Mungkin juga alergi pada jenis makanan tertentu.""Apa-apa zaman sekarang kamu sebut alergi. Enggak ada bahasan lain?" protesnya sambil menerima lembaran kertas yang sempat kutinggalkan pada meja di ujung ranjang pasien."Lah, bahan makanan sekarang kan banyakan rekayasa genetik, Mbak. Ini anak kecil sudah ngalamin henti jantung.""Nanti kita tanya keluarganya. Semoga mereka mau bicara jujur."Kuembuskan napas dengan kasar ketika Mbak Dara sudah lebih dulu keluar dari ruangan, memikirkan hal paling berat dalam tugas di garda depan pelayanan. Rasa bersalah dan dipersalahkan.Segala sesuatu dalam sumpah dan prosedur ketika menjadi tenaga medis bukanlah hal mudah. Kalau boleh mengeluhkan, tekanan yang kami alami tidak hanya dari tuntutan pasien untuk maksimal, tapi juga kalangan atas yang meminta minimalisir pembiayaan karena hutang. Entah hal mana yang harus dipegang.Perhatianku teralihkan pada getar ponsel di saku jas. Sebuah pesan yang tampak di layar tanpa perlu dibuka."Aku terima tawaranmu." Nama Aya tertera pada pengirim pesan. Oke, ikan telah memakan umpan.***"Di mana?" tanya pemanggil dalam sambungan dari ponselku menggunakan pelantang tanpa kabel. Suaranya semakin familier di telinga dan mampu mengundang geli di perut. Ingin tersenyum terus rasanya.Jalan menurun di ujung jalan layang sempat mengundang kekhawatiran. Hampir seluruh kendaraan berkecepatan tinggi. Aku bahkan kesulitan mencari pelataran parkir saking banyaknya tempat makan. Buat apa coba Aya ngajak ketemuan di tempat ramai siang terik begini?Kuangsurkan selembar biru pada anak kecil di pinggiran trotoar setelah menanyakan harga sekotak klepon, makanan berbentuk bola hijau berisi gula merah dengan taburan kelapa parut. Usianya mungkin sekitar lima atau enam tahun. Dua anak kecil di dekatnya jauh lebih kecil dan kurus, duduk sambil menyapu keringat."Ambil tiga sepuluh ribu, Om."Aku tergelak disebut om. Lucu. Setua itukah wajahku? "Harga biasa aja, Dik. Ambilkan empat."Si anak kecil terlihat memeriksa bungkusan plastiknya setelah menyerahkan pesananku. Terlihat lembaran lusu
"Kopi?" Kusodorkan gelas kertas berisi cairan hitam pekat. Telunjukku mengetuk stoples kecil berisi butiran putih di meja. "Tanpa gula. Kalau perlu gula, ini.""Makasih." Aya mengangkat gelas yang kuberikan dengan kedua tangan. Bibirnya masih pucat meski kami telah berpindah dalam ruangan."Bajumu basah?" Pertanyaanku tentu hanya basa-basi. Hujan deras jelas menyiram kami sebelumnya sampai tiba di ruanganku.Ketukan pada pintu terbuka terdengar seiring kata, "Paket, Pak Abra."Ah, itu Nanda mengantar tas kertas berlogo salah satu market store terkemuka yang membuka pelayanan online.Aku menghampiri ambang pintu, mengucap terima kasih sambil meraih benda yang disebut paket oleh Nanda. Bisa kulihat senyuman dari perawat baru itu saat melirik dalam ruangan."Aku enggak tahu ukuranmu, jadi tadi pesan yang kelihatan aja." Kuletakkan tas kertas di meja, tepat samping tangan Aya, kemudian menunjuk pintu di sudut ruangan. "Ada kamar mandi."Aya mengeluarkan isi tas. Keningnya mengernyit. Hanya
Setelah menemani Aya mengantarkan pakaian ganti dan perlengkapan mandi untuk bapaknya di ruang ICCU, aku bisa bernapas lega sejenak. Bantuan yang kuulurkan untuk Pak Raden ternyata dianggapnya sebagai utang. Itu juga termasuk lucu bagiku.Gimana, ya?Mama selalu memberi contoh padaku untuk memberi tanpa meminta imbalan. Bahkan ketika ibu penghuni sebelah rumah harus melahirkan, tidak perlu ditanya dua kali, Mama langsung membantu mencari tumpangan dan bantu pembiayaan si ibu. Ya, tanpa imbalan. Mama tidak pernah menagih besaran biaya sekalipun kami pernah mengalami kesulitan keuangan sejak ditinggal Ayah.Ah, mengingatnya lagi saat perjalanan pulang membuat darah menggelegak. Kepalan tanganku spontan memukul roda kemudi sampai Aya meneriakkan namaku."Sorry, Ya. Aku lagi enggak fokus." Kupinggirkan kendaraan roda empat milikku setelah memastikan tidak ada tanda dilarang parkir atau berhenti. Pelipisku harus ditekan beberapa kali sampai nyeri yang menusuk dadakan hilang.Aliran napas di
"Kenapa udah deket jamnya baru minta aku datang?"Aku terkejut ketika menutup lemari pendingin dan mendapati Caca sudah berada di ruang makan. Dia duduk dan memakan beberapa donat yang tersedia tanpa keributan. Sepertinya Mama meninggalkan camilan sebelum pergi. Memiliki banyak cabang dalam bidang kuliner justru jadi alasan Mama sering keluar kota."Calonnya baru setuju." Kuanggukkan kepala ke sisi kanan sebelum menghampiri meja dan membawa dua kaleng bir. "Mau?"Caca membuka salah satu kaleng. Bahunya naik ketika meneguk paksa isinya. Jelas, dia enggak terbiasa dengan soda apalagi bir. Anggur bisa lah dikit. Tumben."Cewek mana lagi yang malam ini mau jadi korbanmu?" tanya Caca sambil mengambil lembaran tisu dari kotak untuk membersihkan jari dan bibirnya.Pinggangku bersandar pada pinggiran meja. Sesekali mendongak ketika meminum isi kaleng. "Yang jelas manusia. Enggak mungkin aku bawa succubus. Entar bukannya ke pesta, malah ngider di kasur." Gelak yang keluar dari bibirku justru me
"Brengsek!" Aya memberi tonjokan di pipi kiriku.Lucu. Begitulah pemikiranku jika ingin membandingkannya dengan gadis lain yang paling jauh menamparku. Ini ringan untuk ukuran Aya.Dia bahkan dua kali hampir mencelakaiku. Baret di mobil dan tabrakan motor itu.Bisa saja kecenderungan berbahayanya kulaporkan ke polisi, tapi tawaran perjanjian yang kuberikan untuknya saat bicara di tempat makan gado-gado ternyata berjalan mulus."Hanya perlu jadi pacarku sampai rencana pernikahan dibatalkan. Bagaimana?"Aya berhenti menyuap. Kedua kakinya yang naik bersila di bangku terlihat bergoyang. Ternyata dia mengenakan celana pendek di balik rok yang membuatnya terlihat feminin. Aya menyiramkan air dari botol ke tangannya di atas piring makan. "Apa untungnya buatku?"Sudut bibir kananku naik begitu menyadari ada ketertarikan dalam intonasinya. "Mau lihat duniaku? Kamu kan selalu ngebahas hal yang terlihat dari jauh. Aku juga bisa menanggung biaya pengobatan bapakmu, Aya.""Enggak perlu, Bra. Terim
"Nah, tuan muda Abraham sudah datang!" Tepuk tangan mengiringi kalimat pemuda sepantaran denganku di sudut kapal yang disewanya hanya untuk pesta bikini di pinggiran Selat Makassar.Memang belum beranjak dari pelabuhan, menunggu jingga berganti kegelapan di penghabisan cakrawala."Enggak lucu tau, Zar." Kurengutkan bibir saat harus menanggapi tinjuan persahabatan darinya lalu mengambil gelas tinggi dan kurus dari pelayan yang menghampiri.Elzar namanya. Hanya celana pendek yang biasa digunakannya untuk renang yang tersisa. Padahal dingin yang menyapa mulai menusuk lapisan terluar kulit. Aku saja sampai harus mengusap lengan atas berkali-kali karena hanya mengenakan kaus tanpa lengan."Gimana Aya?"Sudah kuduga dia akan menanyakan gadis itu setelah beberapa hari pertaruhan berjalan. Lumayan. Akuisisi perusahaan yang dia pegang dengan salah satu rumah pemberian Ayah. Wajah Elzar begitu tenang saat mengisap lintingan yang kuyakin tidak hanya berisi tembakau dari aroma yang menguar.Kuseru
"Bra! Aku bilang bakal bayar ke kamu, tapi enggak bisa sekarang." Aya memegang kepala sabuk pengamannya, belum lagi dimasukkan dalam sambungan di bangku penumpang. Dia menunduk sebelum melihatku menyerahkan tas plastik berisi beberapa jenis botol cairan obat injeksi dalam kotak beserta nota pembelian."Aku enggak bilang sekarang. Aku cuma ngasih kamu pilihan." Kututup pintu mobil. Berdiam diri sejenak dan menghela napas panjang.Daftar obat yang diserahkan Aya tidak mudah didapat, juga tidak bisa sembarang beli. Penggantinya memang banyak, tapi bakal menunggu keputusan dari dokter yang mengampu prosedur pengobatan lagi. "Bapakmu kehilangan kesadaran sampai harus menerima injeksi?"Aya mengangguk pelan. Bibir bawahnya dimajukan hingga menutup bibir atas. Jari-jarinya memainkan pegangan tas plastik, semakin keras sampai harus kupegangi."Ya Tuhan. Aya?" Kumajukan diri hingga lebih dekat di depan Aya, berusaha menatap kedua mata kelamnya dengan menarik naik dagu Aya. Lingkar gelap di seke
"Kamu itu nyadar enggak sih, Bra?" Tatapan sendu itu berganti sorot tajam ketika telunjuk Aya naik menyusuri sisi kiri wajahku. "Aku berkali-kali berusaha menghindar, kamunya malah selalu datang di saat aku enggak punya pilihan."Suara Aya yang terdengar serak, menggairahkan. Wajahnya mendekat, memberi napas hangat yang menggoda. Lalu, cengkeraman di leher membuatku tersentak. Dia menekan tepat di saluran napas hingga aku harus berusaha tetap tenang. Kepanikan hanya mempercepat habisnya oksigen dalam aliran darah.Gelas di tangan jatuh, pecah di dekat pijakan."Tuhan bener, dong," ucapku tanpa lepaskan pandangan tepat pada kedua titik matanya."Bener?""Kalau kamu memang cocok jadi jodohku."Aya melepaskan cengkeramannya dengan mendorongku hingga menabrak pagar pembatas. Syukur masih selamat, enggak jatuh atau ....Hanya kebayang ketinggian dari lantai tiga bangunan besar nan luas. Aku bergidik ngeri. Mungkin enggak bakal ketahuan kalau ada yang mati membusuk."Gila!" Sindiran Aya meng
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken