"Kopi?" Kusodorkan gelas kertas berisi cairan hitam pekat. Telunjukku mengetuk stoples kecil berisi butiran putih di meja. "Tanpa gula. Kalau perlu gula, ini."
"Makasih." Aya mengangkat gelas yang kuberikan dengan kedua tangan. Bibirnya masih pucat meski kami telah berpindah dalam ruangan."Bajumu basah?" Pertanyaanku tentu hanya basa-basi. Hujan deras jelas menyiram kami sebelumnya sampai tiba di ruanganku.Ketukan pada pintu terbuka terdengar seiring kata, "Paket, Pak Abra."Ah, itu Nanda mengantar tas kertas berlogo salah satu market store terkemuka yang membuka pelayanan online.Aku menghampiri ambang pintu, mengucap terima kasih sambil meraih benda yang disebut paket oleh Nanda. Bisa kulihat senyuman dari perawat baru itu saat melirik dalam ruangan."Aku enggak tahu ukuranmu, jadi tadi pesan yang kelihatan aja." Kuletakkan tas kertas di meja, tepat samping tangan Aya, kemudian menunjuk pintu di sudut ruangan. "Ada kamar mandi."Aya mengeluarkan isi tas. Keningnya mengernyit. Hanya ada blus lengan panjang navy dan rok hitam. Satu stel yang kutemukan pada tampilan layar saat membuka situs pemesanan. Kalau pilih celana, tentu harus tahu dulu ukurannya."Kamu? Basah juga, kan?" Dia baru menyadari kalau isi tas itu hanya untuknya."Selalu ada baju ganti di sini." Aku beralih pada nakas di dekat meja. Laci-laci di dalamnya masih penuh dengan kaus berplastik yang kubeli secara grosir di pasar. Murah dan nyaman, tergantung keahlian memilih."Yah, terkadang enggak selalu bisa pulang. Bahkan tidur saja belum tentu kalau dapet jaga malam." Kutarik keluar salah satu dan berhenti sesaat, memperhatikan Aya yang menyeruput kopinya sebelum masuk kamar mandi.Tanpa gula? Gokil.Kugelengkan kepala, menyadari senyuman yang kembali muncul setelah melihatnya justru luntur karena pembicaraan panjang mengenai hari itu. Kejadian yang membuatku terus berpikir ulang tentang rasa bersalah menodainya di akhir sekolah menengah.Ketika penyerahan penghargaan siswa terbaik selesai diberikan, Aya menghilang dari kerumunan siswa.Aku cukup tahu kalau banyak yang tidak menyukai prinsipnya untuk jujur. Bahkan Aya mau memberi bimbingan gratis kalau memang teman-teman berniat belajar. Sayangnya, momok menakutkan dari ujian saat itu juga menentukan syarat masuk universitas yang tidak hanya meningkatkan kecurangan, tapi juga menghilangkan moral.Kayak aku bermoral juga? Menurutmu? Aku enggak sebaik yang terlihat.Aya benar kalau aku juga menikmati momen pertama saat itu. Namun, belum ada yang mampu memberi kenikmatan yang sama seperti saat menyentuhnya."Aya?" Aku terkejut, mendapati gadis itu terdiam di depan kamar mandi melihatku melepas kemeja. Tanganku sudah meraih kaus yang akan dikenakan, tetapi pergerakan terhenti saat menyadari tatapan lebarnya."Maaf, Bra. Aku cuma mau nanya plastik buat baju basah." Tangan kiri Aya masih memegangi kenop pintu kamar mandi, memutarnya sambil menunduk.Kuambil lipatan bungkusan dari laci dan menghampiri Aya. "Ini."Dia masih tidak bergerak atau menoleh sampai aku perlu menarik sudut dagunya biar melihat ke arahku. "Enggak ada yang luka, kan?" Pertanyaanku saat menghadapinya di IGD berulang, memastikan lagi meski hasil rontgen Aya tidak menunjukkan pergeseran selain lebam kebiruan yang terlihat jelas di bahunya saat pemeriksaan."Aya?"Kedua tanganku melambai di depan wajahnya berkali-kali. Aya tampak terkejut saat kupergoki sedang memperhatikan perutku yang tak tertutup."Lihat ini, Ya?" Telunjukku mengarah pada tonjolan yang terbentuk seiring usia."Apaan sih, Bra!" Kepalan tangan kanan Aya mengenai bahu kiri dan sukses membuatku mengaduh. Dia bergegas merebut benda di tanganku sebelum masuk kamar mandi.Seperti ... berbeda.Di satu sisi aku bertemu Aya yang membenciku. Di sisi lain, Aya seolah menganggap keberadaanku sebagai hal biasa, tidak pernah berarti.Apa yang terjadi denganmu, Ya?"Mas Abra setelah ini langsung pulang?" tanya pria yang lebih sering kusebut Mas Anan. Kebiasaan panggilan dalam lingkup kerja yang mayoritas didominasi pendatang. Dia menopang lengan pada daun pintu yang memang tidak tertutup.Aku mengangguk, mengambil kaus yang harus dikenakan dan jaket dari laci nakas lainnya. "Datang cuma buat nganter korban aja, Mas. Kebetulan ada di lokasi kejadian. Liburku masih panjang.""Enggak ibadah?""Ikut doa aja, Mas.""Kebiasaan!" Mas Anan masuk ruangan. Dia sempat memegang gelas kopi bekas Aya dan menoleh pada pintu kamar mandi yang terbuka. "Ini siapa?"Aya melihatku dan Mas Anan bergantian sebelum mendekat. Plastik hitam yang dipegangnya langsung kurebut dan tanpa ragu kusampirkan jemari di bahu Aya."Pacarku, Mas." Kurasakan injakan dari sepatu basah Aya di atas kulit kakiku yang hanya beralaskan sandal jepit. Ingin berteriak, tetapi sandiwara baru dimulai.Sepertinya Aya benar-benar ingin merasakan perhitungan dariku."Yang ke berapa, Mas?"Oke, aku merasa diinterogasi kali ini. Mungkin lebih tepatnya, memastikan. Mas Anan terus melirik Aya ketika mengambil salah satu kursi dari tumpukan di sudut ruangan."Satu-satunya lah." Kuabaikan nyeri di kaki hanya untuk menarik Aya ke sisi mejaku.Mas Anan tertawa sambil membuka laci di meja dengan penanda namanya. "Yang tempo hari ngamuk di pos satpam siapa?"Bukan rahasia lagi. Dokter yang lebih tua beberapa angkatan dariku itu seringkali mengambil alih urusan para fans yang sering dadakan datang mencariku."Orang gila itu, Mas." Celetukanku justru menambah gelegar tawanya. Anggap saja hanya candaan."Oalah! Ada ya orang gila cantik tenan?"Tawa yang kupaksakan mendadak berhenti karena pelototan Aya. Riasan serba misteriusnya memang tidak lagi terlihat, tergerus hujan. Namun, kesan garangnya masih kuat."Udah, Ya. Enggak usah didengerin." Kumasukkan plastik berisi pakaian basahnya dalam tas kertas. Setelah yakin tidak perlu membawa apa pun selain ponsel, dompet, dan kunci, jemariku mengisi kekosongan dalam genggaman tangan Aya. "Mas Anan cuma iri liat cewek cantik."Tanpa perlawanan, gadis itu hanya mengikuti tarikanku keluar ruangan meski harus diiringi siulan Mas Anan."Abra! Abraham!" Panggilan yang keluar dari bibir Aya tak menghentikan langkahku di sepanjang lorong menuju keluar rumah sakit melalui jalan belakang.Pepohonan sawit tampak di sepanjang sisi lorong. Menua tak terawat. Sedangkan di kejauhan terlihat pembangunan untuk gedung baru rumah sakit. Di persimpangan, kami belok ke area parkir di depan gedung belajar milik fakultas kedokteran universitas terkemuka.Nyeri menghunjam lengan. Kusadari gigi Aya mencengkeram dalam di dekat nadi."Aya! Lepasin!"Aku refleks memegangi bekas dalam yang bersarang setelah Aya mundur. Dia mampu tersenyum lebar bersama binar cerah di bawah cahaya lampu yang menyambut malam."Sial! Ini sakit tahu, Ya.""Anggap saja bayaran dari pegangan tanpa izin tadi."Aya bersedekap. Terlihat manis dengan blus yang kupilihkan. Warna gelap sangat kontras dengan kulit cerahnya."Kita ke mana, Bra?""Menurutmu?"***Setelah menemani Aya mengantarkan pakaian ganti dan perlengkapan mandi untuk bapaknya di ruang ICCU, aku bisa bernapas lega sejenak. Bantuan yang kuulurkan untuk Pak Raden ternyata dianggapnya sebagai utang. Itu juga termasuk lucu bagiku.Gimana, ya?Mama selalu memberi contoh padaku untuk memberi tanpa meminta imbalan. Bahkan ketika ibu penghuni sebelah rumah harus melahirkan, tidak perlu ditanya dua kali, Mama langsung membantu mencari tumpangan dan bantu pembiayaan si ibu. Ya, tanpa imbalan. Mama tidak pernah menagih besaran biaya sekalipun kami pernah mengalami kesulitan keuangan sejak ditinggal Ayah.Ah, mengingatnya lagi saat perjalanan pulang membuat darah menggelegak. Kepalan tanganku spontan memukul roda kemudi sampai Aya meneriakkan namaku."Sorry, Ya. Aku lagi enggak fokus." Kupinggirkan kendaraan roda empat milikku setelah memastikan tidak ada tanda dilarang parkir atau berhenti. Pelipisku harus ditekan beberapa kali sampai nyeri yang menusuk dadakan hilang.Aliran napas di
"Kenapa udah deket jamnya baru minta aku datang?"Aku terkejut ketika menutup lemari pendingin dan mendapati Caca sudah berada di ruang makan. Dia duduk dan memakan beberapa donat yang tersedia tanpa keributan. Sepertinya Mama meninggalkan camilan sebelum pergi. Memiliki banyak cabang dalam bidang kuliner justru jadi alasan Mama sering keluar kota."Calonnya baru setuju." Kuanggukkan kepala ke sisi kanan sebelum menghampiri meja dan membawa dua kaleng bir. "Mau?"Caca membuka salah satu kaleng. Bahunya naik ketika meneguk paksa isinya. Jelas, dia enggak terbiasa dengan soda apalagi bir. Anggur bisa lah dikit. Tumben."Cewek mana lagi yang malam ini mau jadi korbanmu?" tanya Caca sambil mengambil lembaran tisu dari kotak untuk membersihkan jari dan bibirnya.Pinggangku bersandar pada pinggiran meja. Sesekali mendongak ketika meminum isi kaleng. "Yang jelas manusia. Enggak mungkin aku bawa succubus. Entar bukannya ke pesta, malah ngider di kasur." Gelak yang keluar dari bibirku justru me
"Brengsek!" Aya memberi tonjokan di pipi kiriku.Lucu. Begitulah pemikiranku jika ingin membandingkannya dengan gadis lain yang paling jauh menamparku. Ini ringan untuk ukuran Aya.Dia bahkan dua kali hampir mencelakaiku. Baret di mobil dan tabrakan motor itu.Bisa saja kecenderungan berbahayanya kulaporkan ke polisi, tapi tawaran perjanjian yang kuberikan untuknya saat bicara di tempat makan gado-gado ternyata berjalan mulus."Hanya perlu jadi pacarku sampai rencana pernikahan dibatalkan. Bagaimana?"Aya berhenti menyuap. Kedua kakinya yang naik bersila di bangku terlihat bergoyang. Ternyata dia mengenakan celana pendek di balik rok yang membuatnya terlihat feminin. Aya menyiramkan air dari botol ke tangannya di atas piring makan. "Apa untungnya buatku?"Sudut bibir kananku naik begitu menyadari ada ketertarikan dalam intonasinya. "Mau lihat duniaku? Kamu kan selalu ngebahas hal yang terlihat dari jauh. Aku juga bisa menanggung biaya pengobatan bapakmu, Aya.""Enggak perlu, Bra. Terim
"Nah, tuan muda Abraham sudah datang!" Tepuk tangan mengiringi kalimat pemuda sepantaran denganku di sudut kapal yang disewanya hanya untuk pesta bikini di pinggiran Selat Makassar.Memang belum beranjak dari pelabuhan, menunggu jingga berganti kegelapan di penghabisan cakrawala."Enggak lucu tau, Zar." Kurengutkan bibir saat harus menanggapi tinjuan persahabatan darinya lalu mengambil gelas tinggi dan kurus dari pelayan yang menghampiri.Elzar namanya. Hanya celana pendek yang biasa digunakannya untuk renang yang tersisa. Padahal dingin yang menyapa mulai menusuk lapisan terluar kulit. Aku saja sampai harus mengusap lengan atas berkali-kali karena hanya mengenakan kaus tanpa lengan."Gimana Aya?"Sudah kuduga dia akan menanyakan gadis itu setelah beberapa hari pertaruhan berjalan. Lumayan. Akuisisi perusahaan yang dia pegang dengan salah satu rumah pemberian Ayah. Wajah Elzar begitu tenang saat mengisap lintingan yang kuyakin tidak hanya berisi tembakau dari aroma yang menguar.Kuseru
"Bra! Aku bilang bakal bayar ke kamu, tapi enggak bisa sekarang." Aya memegang kepala sabuk pengamannya, belum lagi dimasukkan dalam sambungan di bangku penumpang. Dia menunduk sebelum melihatku menyerahkan tas plastik berisi beberapa jenis botol cairan obat injeksi dalam kotak beserta nota pembelian."Aku enggak bilang sekarang. Aku cuma ngasih kamu pilihan." Kututup pintu mobil. Berdiam diri sejenak dan menghela napas panjang.Daftar obat yang diserahkan Aya tidak mudah didapat, juga tidak bisa sembarang beli. Penggantinya memang banyak, tapi bakal menunggu keputusan dari dokter yang mengampu prosedur pengobatan lagi. "Bapakmu kehilangan kesadaran sampai harus menerima injeksi?"Aya mengangguk pelan. Bibir bawahnya dimajukan hingga menutup bibir atas. Jari-jarinya memainkan pegangan tas plastik, semakin keras sampai harus kupegangi."Ya Tuhan. Aya?" Kumajukan diri hingga lebih dekat di depan Aya, berusaha menatap kedua mata kelamnya dengan menarik naik dagu Aya. Lingkar gelap di seke
"Kamu itu nyadar enggak sih, Bra?" Tatapan sendu itu berganti sorot tajam ketika telunjuk Aya naik menyusuri sisi kiri wajahku. "Aku berkali-kali berusaha menghindar, kamunya malah selalu datang di saat aku enggak punya pilihan."Suara Aya yang terdengar serak, menggairahkan. Wajahnya mendekat, memberi napas hangat yang menggoda. Lalu, cengkeraman di leher membuatku tersentak. Dia menekan tepat di saluran napas hingga aku harus berusaha tetap tenang. Kepanikan hanya mempercepat habisnya oksigen dalam aliran darah.Gelas di tangan jatuh, pecah di dekat pijakan."Tuhan bener, dong," ucapku tanpa lepaskan pandangan tepat pada kedua titik matanya."Bener?""Kalau kamu memang cocok jadi jodohku."Aya melepaskan cengkeramannya dengan mendorongku hingga menabrak pagar pembatas. Syukur masih selamat, enggak jatuh atau ....Hanya kebayang ketinggian dari lantai tiga bangunan besar nan luas. Aku bergidik ngeri. Mungkin enggak bakal ketahuan kalau ada yang mati membusuk."Gila!" Sindiran Aya meng
"Cewek yang dijodohin sama kamu?" tanya Aya saat aku masih berkutat dengan obeng kembang untuk membuka setiap baut yang terpasang pada benda kotak berbahan plastik.Ukurannya seperti televisi layar datar saat pertama kali keluar, hanya saja tidak ada layar kecuali disambungkan pada monitor terpisah. Kotak ini memiliki slot pemutar disket dan cakram. Kabel yang mungkin dipasangkan pada slot belakangnya masih berukuran besar."Caca?" Kusebutkan nama gadis yang seringkali dipertanyakan Aya. Mungkin dia enggak ingat."Yang waktu itu dandanin aku, kan?"Jadi ngerasa diinterogasi terus-terusan. Meski Aya sibuk dengan bongkar-pasang komputer dan laptop di meja utama, otaknya seolah bisa memikirkan hal lain yang enggak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan."Iya.""Kamu akrab sama dia. Kenapa enggak jadian beneran aja?"Bolehkah aku ngerasa percaya diri kali ini? Kayak nemu kecemburuan dalam intonasi bicaranya.Kupastikan jumlah baut dalam kotak penyimpanan yang Aya berikan sebelumnya lalu mend
"Ada tamu, Kanaya?"Suara berat yang terdengar diiringi batuk mendekat. Aya mendadak mendorongku. Kalau enggak nguasai diri, mungkin saja aku bakal menjatuhkan lemari pembatas karena panik. Untungnya, Pak Raden melihatku seperti baru keluar dari dapur."Eh, Bapak." Aya lebih dulu menyapa dan menarik kursi untuk duduk bapaknya. Senyumannya seolah dipaksakan, terlihat dari bagaimana mata besarnya melotot padaku beberapa kali."Tadi ngetok, tapi pintu enggak ditutup. Kalian lagi nyiapin makanan?" Bapaknya Aya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dari kukusan."Makan, Pak." Kusodorkan panci berisi sayur ke dekatnya.Perlengkapan di rumah Aya tidak seperti d/i tempat Mama yang membedakan segala jenis hidangan berdasarkan ukuran. Semua seadanya, pakai yang ada aja."Pak dokter, kan?" Pak Raden menoleh padaku, menyambut dengan senyum keramahan. Lengkung yang terbentuk di matanya menyorotkan ketulusan ketika mempersilakan. "Ayo, makan juga."Kutarik kursi berbeda dari kayu tanpa sandara
"Kamu yang jemput?" Aku menjawab panggilan suara setelah memastikan barang-barang yang dibawa ke ruang rawat inap sudah lengkap masuk dalam tas besar."Enggak suka?" Suara Aya terdengar merajuk. "Aku balik aja lagi kalau gitu."Lucu aja, sih. Aya yang manja seperti ini biasanya cuma ketemu pas dia lagi hamil. Kalau lagi mode normal, banyakan cueknya.Atau jangan-jangan .... Ah, enggak. Belum ada ngapa-ngapain kok semenjak nifasnya selesai. Aku juga masih mikirin kondisi tubuh Aya yang mungkin kesulitan semenjak operasi.Ujungnya, aku cuma terkekeh ketika diantarkan pihak medis berpakaian APD lengkap melalui lorong keluar dari bangsal karantina. Kebanyakan ruangan memang kosong, tetapi bangsal yang terisi tampak miris.Kayaknya belakangan yang diterima karantina hanya untuk kasus khusus.Aku mendengar beberapa selentingan mengenai isolasi mandiri jika terlular tanpa gejala membahayakan. Lumayan, kalau memang benar, efeknya bisa mengurangi penuhnya IGD seperti yang belakangan terjadi."
Beberapa orang yang masuk ruanganku menggunakan seragam APD datang berbaris. Dokter paling depan jelas kukenali, sementara orang-orang di belakangnya mungkin dokter baru yang bertugas mencatat dan membawa perlengkapan."Sudah enakan?" tanya Iren, sambil menggerakkan diaphgram stetoskop di dadaku sementara yang lain melakukan pemeriksaan terhadap laju cairan infus, bahkan mengambil urin yang sengaja diminta."Lumayan." Aku mengangguk, jauh lebih baik setelah menelepon Aya dan mendapat tontonan biru secara pribadi.Masih kebayang gimana panasnya Aya ketika memainkan puncak di depan tubuhnya sambil memejamkan mata. Caranya memanggil namaku dengan sangat sensual.Sulit menahan diri untuk tidak pergi ke kamar mandi meski harus membawa tiang infus dan penyangga tabung oksigen.Mengingat Aya saja sudah bisa membuatku tegang kembali. Sial!"Usahakan tidak stres, atur pola makan, dan perbanyak istirahat, ya." Pesan Iren, selaku dokter yang menanganiku kali ini.Dalam sehari ada dua kali kunjun
Lepas masker sesampai di rumah, aku melihat lagi citra luar dari jendela kaca yang terlindungi vitrase dan menyamarkan keberadaanku. Penguntit tadi memang tidak mengikuti lagi, tetapi mobil berkaca riben dengan plat nomor yang sama berkali-kali melintas."Baru pulang?" Suara lembut datang menyusul terbukanya pintu dari ruangan di belakangku, mamanya Abra. Tangis rendah menyertai dalam gendongannya."Udah dari tadi, Ma." Aku bergegas mencapai keran di bak cuci, mencuci tangan dan wajah sebelum mengambil bayi dari wanita yang juga aku panggil 'mama' itu."Maureen belum tidur?" tanyaku meski tahu jawabannya hanya sebatas senyum dan binar.Dia salah satu alasanku bertahan hidup meski tidak lagi memiliki keluarga. Dia salah satu alasanku mencoba menetapkan hati pada Abra. Entah bagaimana perasaan papanya yang jujur padaku.Setiap kata cinta atau rindu yang terucap dari bibirnya selalu meninggalkan perih, sangat dalam."Sudah telepon Abra?" Mama terlihat menutup tirai yang melapisi vitrase.
"Masih belum mau bicara juga?" Andi keluar dari konter dapur membawa pisau daging. Dari gerakannya sih aku nebaknya si barista cuma membersihkan pisau, tapi efeknya ternyata menakutkan bagi si penguntit."Saya cuma disuruh. Ampun." Lelaki berpakaian lengkap dengan topi kupluknya itu bak wartawan pengejar berita di sekitar kehidupan Elzar.Tidak dimungkiri, pernah dalam hubungan saling menguntungkan dengan si artis yang cuma modal wajah dan tubuh itu cukup memberiku informasi tentang kehidupan entertain di luar sana. Segala keluhan pekerjaan hingga larangan memiliki hubungan pribadi membuat kami mencapai satu kesepakatan kontrak dulu.Dulu sekali, sebelum ketemu Abra kembali."Transaksinya gimana?" Abyan mengambil ponsel si penguntit dari rampasan Aris.Model lama ponsel yang digunakan hanya untuk panggilan suara dan pesan singkat itu tidak memberi petunjuk. Layar penampil pesan dan panggilan terakhir benar-benar kosong,"Saya dihubungi menggunakan nomor pribadi," aku pria tua itu samb
"Jangan terlalu naif deh, Ya." Lagi-lagi pemilik nama lengkap Natasha Wiratama itu menertawakanku. Matanya menghilang di balik lengkungan setiap tertawa.Kalau boleh sedikit percaya diri, pantas saja Abra memilih bersamaku dibanding anak orang kaya ini. Terlalu banyak hal aneh yang aku dapati ketika bicara dekat dengannya, tetapi hanya dia kan yang bisa aku ajak bicara untuk sementara ini?Menoleransi kekurangan orang lain sebenarnya bukanlah kebiasaanku. Aku lebih mudah menarik diri jika merasa tidak nyaman atau menjadi berbahaya ketika merasa terancam.Naif? Yang aku tahu pengertian dari kata naif itu hanya dua, lugu atau bodoh. Mungkin aku termasuk yang kedua. Sudah mengetahui tanda jika dibodohi, tetapi masih saja terus berada di sisi seseorang yang memanfaatkanku.Caca condong maju ke arahku. Ujung-ujung rambut pendeknya mengikuti arah gravitasi, menebar di sisi pipi.Dengan sorot serius, dia bilang, "Di keluarga ini terlalu banyak mata dan telinga. Semua emang punya niatan salin
Bagianku dimulai dari sini, ketika harus menunggu kabar Abra bisa sadar semenjak dia masuk ruang intensif khusus. Komplikasi yang dijelaskan dokter juga di luar dugaanku.Seingatku Abra itu bukan perokok. Tidak pernah aku menemukan aroma tembakau di pakaiannya, hanya sesekali wangi parfum wanita atau bercak sisa lipstik.Anggaplah aku tidak terlalu peduli. Selama dia tidak mencari masalah denganku, aku mungkin bisa menghargai ruang yang diinginkannya meskipun semakin lama ternyata melubangi hatiku sendiri."Aku paling benci berharap pada manusia tau, Ca." Itu yang sebenarnya aku rasakan ketika Caca terus mengorek masalah yang belakangan mempengaruhi hubunganku dengan Abra.Berharap pada manusia itu seperti memberi kesempatan bagi kecewa untuk menghancurkan diri, seperti yang aku alami di masa lalu. Harapan untuk bisa lulus sekolah dengan damai dan bisa kuliah di luar negeri pun pupus seketika.Aku membenci dan ingin menghapus garis waktu di masa itu, tetapi berakhir menjadi jarak tak
Proses pemakaman berlangsung cepat. Lagian, di masa penyebaran virus seperti sekarang, kerumunan masih sangat dilarang. Jadi, tidak banyak orang yang bertandang ke rumah Mbak Dara.Hanya ... kebiasaan warga setempat yang kerap mengadakan pengajian sebagai bentuk doa bagi jenazah dan keluarga yang ditinggalkan."Di mana Randy?" tanya Caca ketika bertemu di pelataran rumah dan membiarkan dua anak lelaki yang bersamanya masuk ke dalam.Kami memilih berada di luar kerumunan dan melihat orang-orang yang melintas masuk bergantian ke dalam rumah. Aku belum bertemu Randy lagi semenjak dia ikut mengantarkan suami Dara ke tempat peristirahatan terakhir.Sesekali aku bersin, mungkin efek tidak tidur semalaman dan dingin mengigit meski telah mengenakan jaket tebal."Ikut pengajian di dalam?" jawabku datar setelah menengok dari ambang pintu. Benar, saudara dari istri keduaku ini sedang berkomat-kamit melihat buku kecil dalam pegangannya."Randy? Ngaji?" Caca hampir-hampir tidak percaya dan ikut me
"Hei! Hei! Ada apa?" Randy tiba di lorong depan ICU. Dia ikut berjongkok seperti Mbak Dara yang masih menangis semenjak keluar dari ruang tempat sang suami ditangani."Mas Khalil, Ran ...." Kedua tangan Dara menyatu di depan wajah, tampak bergetar dan memucat.Aku tahu pasti keinginan Randy untuk menenangkan Mbak Dara, terlihat dari kedua tangannya yang menggantung di samping Mbak Dara. Namun, tidak ada yang terjadi. Mbak Dara memeluk diri sendiri dan terus tenggelam di antara lututnya."Kenapa?" Terlihat frustrasi, Randy menghampiri aku yang memilih berdiri di dekat pintu masuk ruang ICU."Masih nunggu." Aku mengangguk ragu sambil menunjuk ke arah pintu.Ya, aku juga masih merinding setelah melihat kondisi pasien secara langsung. Jemariku saja bergerak tidak tentu di wajah. Terkadang menutup keseluruhan, terkadang hanya mengusap ujung hidung yang beberapa kali terasa gatal."Lo kenapa muncul di sini?" singgung Randy. "Ngilang sana!""Sialan lo! Udah bagus gue bantuin Mbak Dara tadi."
Aya berdiri mantap ketika aku berbalik melihatnya. Tatapan tajam itu sangat aku kenali, penuh dengan dendam.Aku enggak takut, hanya saja ketika amarah mengambil alih emosi, mungkin saja bagi Aya melakukan hal berbahaya lagi.Ya Tuhan! Terlibat dengan tiga wanita bermasalah saja sudah membuatku terus mengeluh."Kamu bicarain apa, Ya?" Tidak sanggup aku berteriak, hanya mencicit lemah.Aya benar, aku selalu membawa sarung pengaman dulu, ketika Nanda belum menunjukkan tanda kehamilannya dan memilih menggugurkan kandungan."Pikir aja sendiri!"Aya bahkan tidak menjawab maksud dari kecurigaannya, aku jadi enggak tahu sejauh apa informasi yang dimilikinya. Mungkin nama atau tempat dia memergoki atau mengawasi aku?Bodoh! Enggak mungkinlah Aya membongkar penyamaran dengan mudah kalau bisa mendapat bukti yang lebih banyak.Dia menendang kursi yang tadi diduduki hingga besinya bertabrakan dengan kaki meja kabinet."Aya!" panggilku ketika Aya memilih menuju kamar kami. "Aku bicarain kamu! Ken