Saat mereka sampai di vila, Arum dan lainnya sedang sibuk di dapur. Sementara itu, tubuh Tirta kotor setelah mengurus pupuk.Setelah menyapa Arum dan lainnya, Tirta mencari baju bersih dan mandi. Farida juga membantu Tirta mengurus pupuk. Melihat Tirta hendak mandi, Farida juga ingin membersihkan tubuhnya.Hanya saja, Farida tidak membawa baju ganti. Dia juga merasa malu untuk meminjam baju.Ayu bisa menebak pemikiran Farida. Dia berucap seraya tersenyum, "Kak Farida, kalau kamu nggak keberatan, pakai bajuku dulu. Bajuku sudah dicuci bersih. Postur tubuh kita hampir sama, seharusnya kamu bisa pakai bajuku."Ayu melanjutkan, "Untuk ... pakaian dalam, sebelumnya Tirta membeli banyak pakaian dalam baru. Nanti aku ambilkan untukmu."Farida langsung membalas dengan ekspresi antusias, "Baguslah kalau begitu! Terima kasih, Ayu! Nanti aku belikan beberapa baju baru untukmu kalau ada waktu."Orang yang menyukai kebersihan seperti Farida pasti tidak tahan jika tidak bisa membersihkan tubuhnya ya
Ayu dan lainnya memuji secara bergantian."Kak Farida, ternyata kamu begitu cantik.""Kamu sangat menawan.""Sepertinya bergelut di bidang konstruksi kurang cocok untukmu. Dengan kecantikanmu, seharusnya kamu jadi artis. Kamu pasti bisa terkenal!"Farida tersenyum dan menanggapi, "Kalian jangan bercanda. Aku nggak mau jadi artis. Aku sudah cukup puas bisa menemani kalian mengurus kebun buah bersama."Saat bicara, Farida melirik Tirta sekilas. Begitu bertatapan dengan Tirta, Farida langsung mengalihkan pandangannya.Ayu berdiri, lalu berujar, "Benar juga. Ayo, kita makan bersama. Nanti sayurnya dingin."Untung saja, ruang makan di vila cukup besar. Desain meja makan juga sangat mewah. Tirta dan lainnya tidak merasa sempit.Arum menyiapkan semua makanan lezat di meja sepanjang sore. Tirta adalah satu-satunya pria yang duduk di depan meja makan. Enam wanita lainnya juga sangat cantik.Jika semua wanita itu dibandingkan, Nia yang terlihat paling biasa. Namun, sebenarnya penampilannya cukup
Tidak ada yang menanggapi ucapan Tirta. Dia bergumam, "Sepertinya mereka semua mabuk berat."Tirta menggendong Agatha yang kondisinya paling parah ke lantai 3. Dia meletakkannya di tempat tidur yang mereka gunakan untuk bercinta semalam.Kemudian, Tirta juga meletakkan Susanti di tempat tidur itu. Agatha dan Susanti sudah tidak sadarkan diri. Mereka tidur sambil berpelukan.Untung saja, tadi sore Ayu dan lainnya sudah memasang seprai pada tempat tidur di setiap kamar. Tirta menyelimuti Susanti dan Agatha.Saat Tirta turun ke lantai bawah lagi, dia melihat Farida berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Tirta segera menghampiri Farida, lalu memapahnya dan bertanya, "Kak Farida, kamu mau muntah, ya?"Farida menyahut, "Nggak ... aku nggak mau muntah. Aku cuma mau buang air kecil .... Kamu nggak boleh ikut aku masuk ...."Farida yang mabuk tampak menggoda. Tirta takut Farida jatuh. Dia membalas, "Kak Farida, aku juga nggak ingin ikut kamu masuk. Tapi, sekarang kamu mabuk berat."Tirta menambah
Tubuh Farida lemas. Tirta memeluk Farida lebih erat sembari berucap, "Kamu tidur di kamar paling ujung di lantai 3 saja."Farida bergumam, "Nggak masalah. Kamu ... tidur di mana?"Farida bersandar di bahu Tirta. Dada Farida yang berisi menempel di lengan Tirta. Setelah berpikir sejenak, Tirta baru menyahut, "Aku tidur di kamar sebelah saja. Panggil aku kalau ada masalah."Alasan utamanya adalah kondisi Ayu dan Melati tidak separah Farida. Jadi, Tirta mengkhawatirkan Farida. Kalau tidak, sebenarnya malam ini Tirta ingin tidur bersama Ayu dan Melati.Farida merangkul lengan Tirta dan berkata seraya memejamkan mata, "Oke. Tirta, aku ingin ... menanyakan sesuatu padamu .... Aku mau tahu ... pemikiranmu ...."Tirta membalas, "Kak Farida mau tanya apa? Langsung tanya saja."Farida bergumam, "Aku mau tanya ... waktu itu kamu bilang mau bertanggung jawab padaku. Apa kamu serius? Kamu nggak bohong, 'kan?"Langkah Tirta terhenti. Dia menimpali dengan serius, "Nggak, Kak Farida. Aku serius. Aku m
Malam itu, Tirta dan Farida bercinta dengan intens. Farida tidak berpengalaman. Ditambah lagi, Farida harus mengurus kebun buah setelah Tirta pergi ke ibu kota provinsi. Jadi, Tirta berusaha mengendalikan dirinya.Sebelum pergi ke ibu kota provinsi, Tirta memberikan kartu bank yang diberikan Irene kepada Farida. Di dalam rekening itu ada uang sekitar 80 miliar. Uang itu cukup untuk biaya mengurus kebun buah. Sisanya adalah gaji yang diberikan Tirta untuk Farida.Awalnya, Tirta berencana turun tangan mengarahkan bawahan untuk menanam labirin obat. Namun, Tirta harus pergi ke ibu kota provinsi. Jadi, dia terpaksa menyerahkan tugas ini kepada Nia dan Farida.Untung saja, Nia mempunyai peta yang digambar Tirta dengan detail. Seharusnya dia dan Farida bisa membereskannya.....Setelah Ayu bangun, Tirta langsung membawanya ke ibu kota provinsi. Kali ini, Tirta sudah tahu jalannya karena sebelumnya dia pernah pergi.Hanya saja, entah kenapa hari ini jalanan sangat macet. Sebenarnya mereka bis
Ekspresi Tirta sangat dingin. Dia turun dari mobil, lalu menghampiri Jayed dan bertanya dengan sinis, "Kalian mau buat aku nggak bisa keluar dari ibu kota provinsi selamanya?"Jayed menyahut dengan ekspresi sombong, "Benar, kamu nggak tuli, 'kan? Apa kamu tahu identitas Kak Diego? Bahkan anak gubernur juga menghormati Kak Diego.""Jayed, untuk apa kamu bicara panjang lebar dengannya? Biarpun kamu beri tahu dia identitasku, orang kampungan seperti dia nggak akan paham kehebatanku," timpal Diego dengan ekspresi sinis.Tirta sudah bosan menghadapi orang-orang yang arogan seperti ini. Dia membalas, "Kalian memang hebat! Tapi, apa kalian tahu anak gubernur sangat takut kepadaku?"Tirta menampar Jayed dengan kuat. Jayed mengerang, lalu marah-marah, "Dasar berengsek! Beraninya orang kampungan sepertimu memukulku! Kamu bosan hidup, ya?"Jayed menambahkan, "Biarpun aku menghabisimu, aku juga nggak akan dipenjara! Paling-paling aku cuma perlu bayar sedikit kompensasi."Ekspresi Jayed tampak beng
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di ibu kota provinsi. Tampak banyak gedung tinggi dan jalanan dipadati mobil. Pemandangannya sangat indah.Namun, Ayu tidak berminat untuk menikmati pemandangannya. Dia malah berpesan kepada Tirta dengan ekspresi cemas, "Tirta, lain kali kita abaikan saja kalau menghadapi masalah seperti ini lagi. Anggap saja kita nggak dengar omongan mereka. Aku takut kamu gegabah dan melakukan hal yang akibatnya fatal."Tirta menimpali, "Bibi, aku paham maksudmu. Aku juga nggak ingin memukul orang. Tapi, bukan kita yang cari masalah. Kita juga nggak bisa menghindari masalah yang tiba-tiba muncul."Tirta melanjutkan, "Kalau kita mengalah, orang lain akan merasa kita gampang ditindas. Tindakan mereka juga makin keterlaluan. Bibi, coba kamu pikirkan. Bukannya Elvi dan keluarganya juga begitu?"Tirta meneruskan, "Kita melawan orang yang menindas kita agar ke depannya kita nggak ditindas lagi. Sekarang aku baru paham terkadang kita harus melawan terlebih dulu s
Bella berkata dengan antusias, "Nggak usah. Ayahku sudah utus bawahannya untuk menunggumu di setiap pintu keluar tol. Kamu langsung bilang kamu keluar dari tol mana, biar aku suruh orang untuk jemput kalian."Tirta menyahut, "Bu Bella, aku keluar dari tol di kota bagian timur.""Oke, kamu tunggu sebentar. Kamu cari tempat untuk hentikan mobilmu dulu. Aku segera suruh bawahan jemput kamu," timpal Bella.Selesai bicara, Bella langsung mengakhiri panggilan telepon. Sementara itu, Tirta menghentikan mobilnya di tepi jalan.Beberapa menit kemudian, belasan mobil Rolls-Royce berwarna hitam berhenti di depan mobil Tirta. Sekumpulan mobil mewah ini menarik perhatian orang-orang.Pintu mobil Rolls-Royce yang berada di paling depan dibuka. Seorang pria paruh baya yang parasnya mirip dengan Darwan turun dari mobil. Dia menghampiri Tirta dan bertanya, "Apa kamu ini Pak Tirta?"Tirta turun dari mobil, lalu menyahut seraya tersenyum, "Benar, aku Tirta. Apa kamu diutus Keluarga Purnomo?"Fakhri mempe
Tirta membalas dengan sopan, "Um .... Baiklah, Kak Yahsva. Sebenarnya ini semua cuma kesalahpahaman. Setelah dijelaskan, semuanya beres."Melihat ketulusan Yahsva, Tirta hanya bisa mengangguk setuju. Tak lama, telepon itu kembali diberikan kepada Saba.Saba memberi tahu, "Tirta, aku benar-benar nggak tahu bahwa hari ini adalah pesta pertunanganmu. Waktu yang begitu singkat bikin aku nggak sempat ke ibu kota provinsi. Begini saja, nanti ketika kamu datang ke ibu kota, pastikan untuk membawa tunanganmu juga.""Nantinya, aku akan memberikan kompensasi khusus untuk kalian berdua. Aku harap kalian nggak menyalahkanku karena nggak hadir," ucap Saba dengan nada penuh penyesalan."Kak Saba, aku juga belum sempat memberitahumu soal ini ...." Tirta berbicara beberapa saat lagi dengan Saba sebelum akhirnya menutup telepon dan berjalan menuju aula.Simon mengejar Tirta dengan langkah cepat, lalu berbicara dengan suara pelan di sampingnya, "Kakek Tirta, nanti ketika keluar, aku akan memanggilmu Tir
Simon menimpali, "Hubungan senioritas nggak boleh dibolak-balik! Tadi, di luar banyak orang dan suasana nggak mendukung. Jadi, aku merasa nggak enak untuk memanggilmu Kakek. Tolong jangan salahkan aku atas hal ini. Kalau kamu nggak mau memaafkanku, aku nggak akan bangkit!"Meskipun Simon merasa sedikit tertekan dan malu, setelah berpikir dari sudut pandang lain, dia menyadari bahwa sekalipun tidak pernah menyinggung Tirta, berdasarkan senioritas Tirta, dia tetap harus menghormatinya dengan sujud dan memberikan salam.Pikiran ini perlahan meredakan rasa kesalnya. Terlebih lagi, permintaan untuk berlutut dan meminta maaf itu adalah perintah langsung dari kakeknya. Simon tidak berani menolak perintah tersebut.Tirta memberi tahu, "Simon, aku tahu kamu melakukan ini karena menghormati Pak Saba. Sejujurnya, aku nggak punya dendam yang dalam denganmu.""Kalau kamu nggak mempersulitku, aku juga nggak akan mempermasalahkannya. Tapi, tolong perhatikan perilaku pacarmu. Anggap saja urusan ini se
"Ayah, ayo kita segera pergi dari sini! Kita nggak mungkin bisa tetap di tempat ini lagi!" Melihat Simon merendahkan diri dan bersikap lunak terhadap Tirta, Camila meninggalkan aula dengan wajah penuh rasa malu.Sementara itu, Wirya, Diego, Sofyan, dan beberapa orang yang sebelumnya paling keras mengejek Tirta, mulai merasakan ketakutan. Mereka coba memanfaatkan keramaian untuk menyelinap keluar melalui kerumunan tanpa menarik perhatian.Hanya saja sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, Joshua yang duduk di kursi utama berdiri dan berbicara dengan nada dingin, "Berhenti di situ. Pak Sofyan, Pak Diego, Pak Wirya, kalian mau pergi ke mana? Apa kalian lupa apa yang sudah aku katakan sebelumnya?"Orang-orang di sekitar mereka segera membuka jalan. Mereka sebisa mungkin menjauh dari ketiga orang itu karena takut terseret dalam masalah. Sofyan, Diego, dan Wirya kini tidak bisa melangkah maju ataupun mundur. Mereka terdiam di tempat, bahkan tubuh mereka kaku seperti patung.Mereka sudah
"Pak Simon sudah membungkuk dan minta maaf di depan umum. Itu sudah cukup menghargaimu! Tapi, kamu masih ragu dan enggan pergi ke belakang aula bersamanya!""Kamu kira setelah menjadi saudara angkat Pak Saba, kamu langsung berubah menjadi seorang bangsawan? Padahal sejak awal, kamu cuma orang kampungan yang nggak punya nilai!"Dari kejauhan, Camila memperhatikan semuanya dengan diam-diam. Ketika melihat Tirta ragu, dia mengepalkan tinjunya sambil bergumam demikian dengan gigi terkatup.Camila memang sengaja tidak henti-hentinya menyebut Tirta sebagai orang kampungan. Tujuannya adalah untuk menonjolkan status pacarnya sebagai cucu seorang veteran, sekaligus merendahkan Bella.Namun kini, pacarnya yang begitu dibanggakannya malah membungkuk dan meminta maaf kepada Tirta di depan banyak orang. Bisa dibayangkan betapa tertekan dan geramnya Camila saat ini. Dalam situasi seperti ini, Camila hanya bisa mengutuk Tirta dalam hatinya tanpa bisa berbuat apa-apa.Di saat Tirta masih ragu apakah d
Camila tidak pernah melihat Simon mengamuk seperti ini. Mungkin karena ucapan Yahsva, Simon yang marah juga terlihat sedikit ketakutan.Camila yang dipaksa untuk menerima kenyataan berusaha menahan emosinya dan menghibur Simon, "Simon, biarpun dia itu adik angkat Kakek Saba, kamu itu cucu kandung Kakek Yahsva. Kamu nggak usah panik cuma karena masalah sepele seperti ini."Camila melanjutkan, "Paling-paling kita minta maaf kepada ... Tirta untuk menghormati Kakek Saba. Bagaimanapun, Kakek Yahsva nggak akan mempersulitmu demi orang luar."Camila takut ditendang Simon lagi, tetapi sebenarnya dia tetap menganggap Tirta sebagai orang kampungan. Camila tidak akan mengubah pandangannya karena Tirta adalah adik angkat Saba.Simon memelototi Camila sambil membentak, "Dasar tolol! Kalau memang segampang itu, aku nggak mungkin begitu marah! Kamu tahu Kakek menyuruhku minta maaf pada Tirta dengan cara apa?"Simon ingin menampar Camila. Sementara itu, Camila mulai ketakutan. Dia mundur, lalu beruca
"Kenapa aku bisa punya cucu yang nggak berguna sepertimu? Apa kamu tahu Saba mau bawa bawahannya untuk memberimu pelajaran?" lanjut Yahsva.Sebelumnya Yahsva masih berharap orang yang dilawan Simon bukan temannya Tirta. Setelah mendengar perkataan Simon, amarah Yahsva langsung meluap. Dia terus memarahi Simon.Biarpun Simon sudah mematikan pengeras suara, sebagian orang yang berdiri di dekat Simon bisa samar-samar mendengar suara Yahsva. Salah satu orang menceletuk, "Pak Yahsva nggak bercanda, 'kan? Ternyata pria kam ... salah ... Tirta itu adik angkat Pak Saba! Apa tadi aku salah dengar?"Suasana menjadi heboh. Para tamu mulai berkomentar, tetapi mereka tidak menyebut Tirta orang kampungan lagi."Tadi aku juga dengar, sepertinya memang benar!""Kalau nggak, ekspresi Pak Simon juga nggak akan begitu masam!""Pantas saja, Tirta sama sekali nggak takut kepada Pak Simon. Ternyata omongan Pak Chandra memang benar. Tirta lebih hebat daripada Pak Simon!""Tirta itu adik angkat Pak Saba! Hubu
Simon tertawa sinis, lalu mengomentari, "Kamu menyarankanku jangan bersikap keterlaluan? Memangnya orang seperti kalian pantas menegurku?"Tiba-tiba, ponsel Simon berdering. Dia bergumam, "Eh, Kakek yang menelepon. Apa Kakek sudah menyuruh orang untuk mencabut jabatan Pak Chandra?"Ekspresi Simon tampak senang. Dia hendak menjawab panggilan telepon. Namun, Camila berniat memamerkan latar belakang keluarga pacarnya.Camila berucap kepada Simon, "Simon, bagaimana kalau kamu aktifkan pengeras suara biar pria kampungan itu dan semuanya bisa mendengarnya dengan jelas? Dengan begitu, mereka bisa menyerah!"Wirya juga maju dan memanas-manasi, "Benar, Pak Simon. Pria kampungan ini bilang bisa mencari orang untuk melindungi Pak Chandra dan lainnya. Jadi, kamu harus buat dia dipermalukan habis-habisan!"Simon malas berbuat seperti itu, tetapi dia tidak bisa menolak permintaan Camila. Jadi, dia menuruti kemauan Camila untuk mengaktifkan pengeras suara setelah menjawab panggilan telepon.Suasana d
Tirta menambahkan, "Tadi aku sudah menghubungi Pak Saba. Dia bilang dia akan bantu aku selesaikan masalah ini."Camila mencibir saat mendengar Tirta mengakui dirinya memang mempunyai sokongan hebat. Ketika hendak menyindir Tirta dan Bella, tiba-tiba Simon mengernyit.Simon yang mempunyai firasat buruk bergumam, "Saba? Apa yang dia maksud itu Kakek Saba? Nggak mungkin ... aku bahkan jarang bertemu Kakek Saba. Mana mungkin dia berteman dengan orang rendahan seperti ini? Dugaanku pasti salah."Melihat ekspresi Simon yang khawatir, Camila langsung bertanya, "Simon, kamu bilang apa?"Simon menahan kegelisahannya dan menjelaskan kepada Camila, "Nggak apa-apa. Belakangan ini aku dapat kabar teman kakekku yang bernama Saba kembali ke ibu kota negara dan menduduki jabatannya sebelumnya. Aku berencana bawa kamu bertemu Kakek Saba saat senggang."Camila sengaja berseru ke arah Bella, "Kakek Saba itu salah satu sesepuh di dunia pemerintahan yang paling terkenal, ya? Wah! Simon, kamu nggak bercanda
Jika Tirta belum menghubungi Saba, mungkin Chandra dan lainnya tidak akan memedulikan sindiran mereka. Namun, sekarang mereka tahu Tirta sudah menghubungi Saba untuk menyelesaikan masalah ini. Jadi, Chandra dan lainnya tidak akan berdiam diri lagi.Hendrik melihat Wirya dan Diego dengan dingin sambil angkat bicara, "Semuanya belum pasti. Pak Diego, Pak Wirya, kalian begitu yakin Keluarga Gumarang, Keluarga Reksa, Keluarga Wisono, dan Grup Sapari akan bangkrut. Apa kalian nggak takut kami akan melawan Keluarga Bazan dan Keluarga Liman setelah kami selamat?"Mendengar ucapan Hendrik, Diego tertawa terbahak-bahak dan menyindir, "Kalian hampir celaka, tapi masih bisa berkhayal! Apa kalian kira Pak Simon cuma bercanda saat bilang mau buat kalian bangkrut dalam waktu setengah jam? Apa kalian juga punya sokongan hebat yang bisa membuat Pak Simon takut seperti Keluarga Purnomo?"Bukan hanya Diego yang tidak percaya. Selain orang-orang yang dekat dengan Tirta, semua orang di aula merasa Chandra