"Kalau nggak ada hasil, silakan datang untuk meminta uangmu kembali," ujar Tirta dengan raut wajah datar. Resep obat yang diberikannya bisa menyembuhkan impoten. Jadi, harga yang diberikannya tidak termasuk mahal."Oke. Ayo, kita pulang dan masak obatnya." Pria paruh baya itu segera menarik istrinya dan pergi dengan tergesa-gesa."Wah! Ini konsultasi pertama, tapi kamu sudah menghasilkan begitu banyak uang. Tirta, kamu luar biasa!" puji Melati dengan penuh semangat.'Ternyata Tirta hebat juga. Itu artinya, Tirta bisa menghidupiku kelak!' batin Nabila dengan bangga. Hanya Ayu yang khawatir resep dari Tirta tidak bisa menyembuhkan pasien. Namun, setelah Tirta menenangkannya, Ayu pun percaya dan merasa jauh lebih tenang."Nak, apa kamu punya salep untuk meredakan sakit pinggang?" Seorang pria tua berusia 70 atau 80 tahun menghampiri dengan tubuh bergetar. Seluruh telapak tangannya dipenuhi kapalan. Dia pasti sering melakukan pekerjaan kasar."Aku nggak punya salep, tapi aku bisa mengobati
Plak! Terdengar tamparan yang nyaring. Hanya saja, bukan Utari yang menampar Tirta, melainkan Tirta yang menampar Utari. Wanita itu sampai mundur beberapa langkah dan terduduk di lantai."Be ... beraninya kamu menamparku!" Utari menatap Tirta sambil memegang pipinya dengan tidak percaya.Plak! Tirta menamparnya lagi, lalu membalas, "Memangnya kenapa kalau aku menamparmu? Atas dasar apa aku nggak boleh menamparmu? Aku justru merasa wajahmu telah mengotori tanganku. Kamu harus tahu, aku nggak bakal meniduri wanita sepertimu sekalipun dibayar! Menjijikkan!""Benar, pemuda ini benar sekali! Aku salut padanya!""Tamparan yang bagus! Kami semua mendukungmu!"Para penduduk desa bertepuk tangan sambil mengkritik perbuatan Utari yang kurang ajar."Berengsek, matilah kamu!" Wajah Utari memerah. Dia sontak berdiri, lalu menyerbu ke arah Tirta dengan galak."Minggir!" Tirta menendang perut Utari hingga membuatnya terhempas.Kali ini, Utari tidak bisa berkutik lagi. Dia hanya bisa berkata, "Aku aka
"Dia bukan anak kandungmu, dasar bodoh! Kamu membesarkan anak orang lain selama belasan tahun dan membiarkan jalang ini menyiksa ayahmu! Kamu memang pantas dihajar!" pekik Tirta."Istriku, apa yang dia katakan benar?" tanya Fajar dengan suara bergetar dan sempoyongan. Semua orang menatap Tirta dengan penasaran. Mereka tidak mengerti bagaimana Tirta bisa tahu tentang masalah ini?"Fajar, kamu nggak punya otak, ya? Selain tidur denganmu, aku bisa tidur dengan siapa lagi? Kalau bukan anakmu, dia anak siapa? Jangan dengarkan omong kosongnya!" sahut Utari dengan galak."Hehe. Kalau begitu, kamu berani melakukan tes DNA di rumah sakit kota nggak?" tanya Tirta yang terkekeh-kekeh sinis."Sialan, ngapain kamu ikut campur urusan rumah tangga orang! Suamiku, kita pergi dari sini. Jangan dengarkan omong kosongnya!" Ekspresi Utari tampak panik. Dia tidak ingin mencari masalah lagi, hanya ingin meninggalkan tempat ini secepat mungkin."Jangan pergi. Beri tahu aku kebenarannya, ini anakku atau bukan
"Berengsek! Beraninya kamu menyerangku! Kamu kira dirimu sudah hebat, ya? Cepat berlutut! Kalau nggak, aku akan menceraikanmu!" pekik Utari. Kemudian, dia hendak membalas tendangan Fajar tanpa merasa takut sedikit pun.Dulu setiap kali Utari mengancam ingin bercerai, Fajar pasti akan langsung mengalah dan bersikap patuh. Namun, kali ini Fajar tidak bisa menerima Utari lagi. Dia sontak berteriak, "Silakan! Kamu kira aku takut? Aku sudah cukup dibohongi jalang sepertimu! Mati saja kamu!"Fajar menarik rambut Utari, lalu menamparnya dari kiri dan kanan. Setiap tamparan itu benar-benar kuat. Tidak berselang lama, wajah Utari membengkak dan memerah. Namun, Fajar masih tidak berhenti. Dia merobek pakaian Utari di depan umum."Kamu suka mencari pria, 'kan? Kamu suka ditiduri, 'kan? Hari ini, aku mengizinkanmu melakukan semua itu! Di sini ada banyak pria! Ayo, lakukan sesuka hatimu!" Saking gusarnya, Fajar menginjak-injak bokong Utari.Kerumunan menjadi heboh kembali. "Dokter Ajaib sudah bilan
Tirta segera memapah kedua orang itu untuk berdiri dan menyahut, "Aku nggak ingin balasan apa pun. Aku cuma nggak tahan melihat wanita itu menindas orang tua. Kamu hanya perlu berbakti kepada ayahmu.""Baik. Kalau begitu, aku akan pergi ke pengadilan untuk menuntut jalang itu dulu. Aku pasti akan membalas kebaikanmu nanti!" Fajar menyuruh ayahnya pulang dulu, lalu membawa Utari dan anak laki-laki itu pergi."Tirta, kamu hebat sekali!""Kamu benar-benar pria sejati!"Melati, Nabila, dan Ayu memuji keberanian dan kehebatan Tirta. Para penduduk desa ikut memuji."Pria ini masih muda, tapi sudah menguasai kemampuan medis yang begitu luar biasa!""Benar, dia juga sangat baik hati!""Aku nggak bakal ke kota lagi kalau sakit. Aku mau ke klinik ini saja!""Pak Tirta, aku sakit. Tolong periksa aku!""Aku juga! Aku mau diobati Dokter Ajaib!"Orang-orang terus mengerumuni dan meminta diperiksa Tirta. Tirta seketika menjadi sangat sibuk sehingga hanya bisa meminta Melati dan Nabila untuk mengatur
"Boris, bukannya kamu mau menghancurkan klinikku? Coba saja kalau berani," tantang Tirta sambil mengangkat alisnya. Dia sungguh emosi karena Boris benar-benar mengajak sekelompok orang untuk membuat keributan di sini."Klinik Pak Tirta mau dihancurkan? Aku orang pertama yang nggak setuju!""Aku juga nggak setuju!"Berhubung Tirta mengatakan bahwa Boris ingin menghancurkan kliniknya, sekelompok warga desa yang datang untuk berobat sontak murka. Mereka hampir saja berkelahi dengan kelompok Boris. Orang-orang yang datang bersama Boris terkejut melihat situasi ini. Dengan kemampuan pengobatan Tirta yang payah, bagaimana bisa dia membuat begitu banyak orang rela membelanya?Boris pun menghasut, "Dia bahkan nggak punya surat izin praktik. Kliniknya ini ilegal. Apa kalian yakin mau berobat di sini? Cepat bawa pulang uang kalian, jangan buang waktu lagi di sini!"Boris tidak suka melihat Tirta yang selalu didukung oleh banyak orang, bahkan menghasilkan cukup banyak uang. Itu sebabnya, dia ber
Tirta memasukkan uang beberapa juta ke dalam saku Nabila, lalu bertanya kepada Agus, "Pak Agus, ada urusan apa kamu mencari Kak Nabila?""Ah, bukan apa-apa. Ada tamu di rumah, jadi aku ingin suruh Nabila pulang. Karena sedang membantumu, dia pulangnya nanti saja. Kalian bisa lanjutkan. Aku masih ada urusan, jadi duluan ya," jelas Agus. Ekspresinya sudah berubah total. Kini, dia tampak tersenyum lebar dan buru-buru pulang.Setelah ayahnya pergi, Nabila mengembalikan uang itu kepada Tirta seraya menolak, "Tirta, kenapa kamu memberiku uang? Ini semua hasil kerja kerasmu, aku nggak bisa menerimanya.""Aku adalah priamu. Sekarang, aku bisa menghasilkan uang. Memangnya kenapa kalau kasih kamu uang jajan?" tanya Tirta sambil mengedipkan mata."Kamu ... jangan asal bicara. Kak Melati dan Bibi Ayu masih ada di sini!" ujar Nabila yang segera tersipu.Ayu menimpali dengan gembira, "Dasar kamu ini. Kalau dikasih uang, terima saja. Kenapa harus malu-malu?"Melati juga berkata sambil tersenyum, "Ben
"Ternyata kamu," ucap Susanti. Polisi cantik itu juga mengenali Tirta sekarang. Ketika mengingat usulan pria ini untuk mengobati payudaranya, dia pun merasa sedikit malu. Segera setelah itu, Susanti bertanya, "Kamu bilang aku ditipu, apa maksudnya?"Tirta menjelaskan, "Aku mengobati sesuai dengan kondisi pasien dan kasih obat sesuai kebutuhan, tanpa meminta tambahan uang. Bahkan terhadap orang yang nggak punya uang pun, aku kasih pengobatan secara gratis. Mana mungkin aku akan melakukan penipuan?""Apa kamu benar-benar begitu baik hati hingga memberikan pengobatan gratis?" tanya polisi di belakang Susanti yang tampak tidak percaya."Kami bisa bersaksi, apa yang dikatakan Tirta memang benar." Nabila dan Melati segera membelanya.Ayu buru-buru menimpali, "Benar, Bu Polisi. Kalian harus pastikan dulu sebelum tangkap orang. Tirta adalah orang yang jujur. Dia sama sekali nggak mungkin melakukan penipuan."Susanti berpikir sejenak, lalu memberi tahu polisi di belakangnya, "Pergilah ke desa s
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di ibu kota provinsi. Tampak banyak gedung tinggi dan jalanan dipadati mobil. Pemandangannya sangat indah.Namun, Ayu tidak berminat untuk menikmati pemandangannya. Dia malah berpesan kepada Tirta dengan ekspresi cemas, "Tirta, lain kali kita abaikan saja kalau menghadapi masalah seperti ini lagi. Anggap saja kita nggak dengar omongan mereka. Aku takut kamu gegabah dan melakukan hal yang akibatnya fatal."Tirta menimpali, "Bibi, aku paham maksudmu. Aku juga nggak ingin memukul orang. Tapi, bukan kita yang cari masalah. Kita juga nggak bisa menghindari masalah yang tiba-tiba muncul."Tirta melanjutkan, "Kalau kita mengalah, orang lain akan merasa kita gampang ditindas. Tindakan mereka juga makin keterlaluan. Bibi, coba kamu pikirkan. Bukannya Elvi dan keluarganya juga begitu?"Tirta meneruskan, "Kita melawan orang yang menindas kita agar ke depannya kita nggak ditindas lagi. Sekarang aku baru paham terkadang kita harus melawan terlebih dulu s
Ekspresi Tirta sangat dingin. Dia turun dari mobil, lalu menghampiri Jayed dan bertanya dengan sinis, "Kalian mau buat aku nggak bisa keluar dari ibu kota provinsi selamanya?"Jayed menyahut dengan ekspresi sombong, "Benar, kamu nggak tuli, 'kan? Apa kamu tahu identitas Kak Diego? Bahkan anak gubernur juga menghormati Kak Diego.""Jayed, untuk apa kamu bicara panjang lebar dengannya? Biarpun kamu beri tahu dia identitasku, orang kampungan seperti dia nggak akan paham kehebatanku," timpal Diego dengan ekspresi sinis.Tirta sudah bosan menghadapi orang-orang yang arogan seperti ini. Dia membalas, "Kalian memang hebat! Tapi, apa kalian tahu anak gubernur sangat takut kepadaku?"Tirta menampar Jayed dengan kuat. Jayed mengerang, lalu marah-marah, "Dasar berengsek! Beraninya orang kampungan sepertimu memukulku! Kamu bosan hidup, ya?"Jayed menambahkan, "Biarpun aku menghabisimu, aku juga nggak akan dipenjara! Paling-paling aku cuma perlu bayar sedikit kompensasi."Ekspresi Jayed tampak beng
Malam itu, Tirta dan Farida bercinta dengan intens. Farida tidak berpengalaman. Ditambah lagi, Farida harus mengurus kebun buah setelah Tirta pergi ke ibu kota provinsi. Jadi, Tirta berusaha mengendalikan dirinya.Sebelum pergi ke ibu kota provinsi, Tirta memberikan kartu bank yang diberikan Irene kepada Farida. Di dalam rekening itu ada uang sekitar 80 miliar. Uang itu cukup untuk biaya mengurus kebun buah. Sisanya adalah gaji yang diberikan Tirta untuk Farida.Awalnya, Tirta berencana turun tangan mengarahkan bawahan untuk menanam labirin obat. Namun, Tirta harus pergi ke ibu kota provinsi. Jadi, dia terpaksa menyerahkan tugas ini kepada Nia dan Farida.Untung saja, Nia mempunyai peta yang digambar Tirta dengan detail. Seharusnya dia dan Farida bisa membereskannya.....Setelah Ayu bangun, Tirta langsung membawanya ke ibu kota provinsi. Kali ini, Tirta sudah tahu jalannya karena sebelumnya dia pernah pergi.Hanya saja, entah kenapa hari ini jalanan sangat macet. Sebenarnya mereka bis
Tubuh Farida lemas. Tirta memeluk Farida lebih erat sembari berucap, "Kamu tidur di kamar paling ujung di lantai 3 saja."Farida bergumam, "Nggak masalah. Kamu ... tidur di mana?"Farida bersandar di bahu Tirta. Dada Farida yang berisi menempel di lengan Tirta. Setelah berpikir sejenak, Tirta baru menyahut, "Aku tidur di kamar sebelah saja. Panggil aku kalau ada masalah."Alasan utamanya adalah kondisi Ayu dan Melati tidak separah Farida. Jadi, Tirta mengkhawatirkan Farida. Kalau tidak, sebenarnya malam ini Tirta ingin tidur bersama Ayu dan Melati.Farida merangkul lengan Tirta dan berkata seraya memejamkan mata, "Oke. Tirta, aku ingin ... menanyakan sesuatu padamu .... Aku mau tahu ... pemikiranmu ...."Tirta membalas, "Kak Farida mau tanya apa? Langsung tanya saja."Farida bergumam, "Aku mau tanya ... waktu itu kamu bilang mau bertanggung jawab padaku. Apa kamu serius? Kamu nggak bohong, 'kan?"Langkah Tirta terhenti. Dia menimpali dengan serius, "Nggak, Kak Farida. Aku serius. Aku m
Tidak ada yang menanggapi ucapan Tirta. Dia bergumam, "Sepertinya mereka semua mabuk berat."Tirta menggendong Agatha yang kondisinya paling parah ke lantai 3. Dia meletakkannya di tempat tidur yang mereka gunakan untuk bercinta semalam.Kemudian, Tirta juga meletakkan Susanti di tempat tidur itu. Agatha dan Susanti sudah tidak sadarkan diri. Mereka tidur sambil berpelukan.Untung saja, tadi sore Ayu dan lainnya sudah memasang seprai pada tempat tidur di setiap kamar. Tirta menyelimuti Susanti dan Agatha.Saat Tirta turun ke lantai bawah lagi, dia melihat Farida berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Tirta segera menghampiri Farida, lalu memapahnya dan bertanya, "Kak Farida, kamu mau muntah, ya?"Farida menyahut, "Nggak ... aku nggak mau muntah. Aku cuma mau buang air kecil .... Kamu nggak boleh ikut aku masuk ...."Farida yang mabuk tampak menggoda. Tirta takut Farida jatuh. Dia membalas, "Kak Farida, aku juga nggak ingin ikut kamu masuk. Tapi, sekarang kamu mabuk berat."Tirta menambah
Ayu dan lainnya memuji secara bergantian."Kak Farida, ternyata kamu begitu cantik.""Kamu sangat menawan.""Sepertinya bergelut di bidang konstruksi kurang cocok untukmu. Dengan kecantikanmu, seharusnya kamu jadi artis. Kamu pasti bisa terkenal!"Farida tersenyum dan menanggapi, "Kalian jangan bercanda. Aku nggak mau jadi artis. Aku sudah cukup puas bisa menemani kalian mengurus kebun buah bersama."Saat bicara, Farida melirik Tirta sekilas. Begitu bertatapan dengan Tirta, Farida langsung mengalihkan pandangannya.Ayu berdiri, lalu berujar, "Benar juga. Ayo, kita makan bersama. Nanti sayurnya dingin."Untung saja, ruang makan di vila cukup besar. Desain meja makan juga sangat mewah. Tirta dan lainnya tidak merasa sempit.Arum menyiapkan semua makanan lezat di meja sepanjang sore. Tirta adalah satu-satunya pria yang duduk di depan meja makan. Enam wanita lainnya juga sangat cantik.Jika semua wanita itu dibandingkan, Nia yang terlihat paling biasa. Namun, sebenarnya penampilannya cukup
Saat mereka sampai di vila, Arum dan lainnya sedang sibuk di dapur. Sementara itu, tubuh Tirta kotor setelah mengurus pupuk.Setelah menyapa Arum dan lainnya, Tirta mencari baju bersih dan mandi. Farida juga membantu Tirta mengurus pupuk. Melihat Tirta hendak mandi, Farida juga ingin membersihkan tubuhnya.Hanya saja, Farida tidak membawa baju ganti. Dia juga merasa malu untuk meminjam baju.Ayu bisa menebak pemikiran Farida. Dia berucap seraya tersenyum, "Kak Farida, kalau kamu nggak keberatan, pakai bajuku dulu. Bajuku sudah dicuci bersih. Postur tubuh kita hampir sama, seharusnya kamu bisa pakai bajuku."Ayu melanjutkan, "Untuk ... pakaian dalam, sebelumnya Tirta membeli banyak pakaian dalam baru. Nanti aku ambilkan untukmu."Farida langsung membalas dengan ekspresi antusias, "Baguslah kalau begitu! Terima kasih, Ayu! Nanti aku belikan beberapa baju baru untukmu kalau ada waktu."Orang yang menyukai kebersihan seperti Farida pasti tidak tahan jika tidak bisa membersihkan tubuhnya ya
Farida langsung menolak, "Tirta, bukannya aku sudah bilang padamu? Total gaji pekerja ditambah biaya material itu 3,4 miliar. Aku nggak mau terima uang sebanyak ini."Tirta menjelaskan dengan ekspresi serius, "Kak Farida, uang ini memang kebanyakan, tapi anggap saja ini niat baikku. Kalian sudah bekerja keras membantuku merenovasi vila. Ke depannya pekerjaan mengurus kebun bunga juga cukup melelahkan."Tirta meneruskan, "Kak Farida, kamu terima saja uang ini dan bagikan kepada para pekerja. Anggap saja aku bayar gaji mereka terlebih dulu. Selain itu, nanti gaji Kak Farida dihitung secara terpisah."Tirta menambahkan, "Jangan tolak aku. Kalau nggak, Kak Farida bawa bawahanmu kerja di tempat lain saja.""Tirta, kamu .... Ya, sudah. Aku terima uangnya. Aku benar-benar takut padamu," timpal Farida. Kemudian, dia membagikan uang kepada para pekerja.Semua pekerja tidak pandai menyanjung Tirta, tetapi mereka sudah memutuskan untuk mengurus kebun buah Tirta dengan baik. Setelah beristirahat s
Tirta berucap, "Iya, aku ingin makan. Kalau di kota ada jual, nanti kita beli sedikit. Tapi, kalau nggak ada, juga nggak apa-apa."Arum tersenyum dan menimpali, "Oke. Nanti aku pasti masak untukmu kalau ada kesempatan. Jadi, kamu bisa cicipi abalone buatanku. Aku berani jamin kamu pasti nggak bisa melupakannya setelah makan."Sekitar setengah jam kemudian, mereka sampai di pasar. Sayangnya, meski ada yang menjual abalone, Tirta datang terlambat. Abalone sudah habis terjual.Tirta pun menemani Arum membeli sayur lain dan minuman beralkohol. Sesudah selesai, mereka langsung kembali ke klinik.Tak lama setelah Tirta dan Arum pulang, bos penjual bibit datang mengantar pupuk. Filda juga ikut datang. Para sopir truk yang datang kemarin mengantar pupuknya. Truk dipenuhi dengan pupuk.Di depan pintu klinik, tidak ada tempat untuk meletakkan pupuk lagi. Tirta terpaksa menyuruh sopir truk mengantar pupuk ke tanah yang dikontraknya.Kemudian, Tirta membantu sopir truk menurunkan pupuk. Mereka sib