"Benar begitu?" tanya Aiko dengan tidak percaya."Tentu saja. Tirta sekarang sangat kaya dan hebat. Apa kamu pernah melihat dia mencampakkan pacarnya? Satu pun nggak pernah, 'kan? Jadi, kamu berpikir terlalu jauh.""Mungkin Tirta terlalu sibuk belakangan ini, makanya nggak sempat menghubungimu. Setelah dia punya waktu, dia pasti datang mencarimu," hibur Naura sambil menepuk tangan Aiko."Ya, kamu benar. Tirta pasti mencariku kalau punya waktu." Aiko akhirnya tersenyum. Kemudian, dia bertanya dengan cemas, "Kalau begitu ... Naura, kamu bisa bantu aku telepon Tirta nggak? Tanya dia kapan punya waktu.""Ya, ya. Terserah kamu saja. Kembalikan ponselku. Aku mau meneleponnya." Naura meminta ponselnya dengan tidak berdaya. Namun, sebelum dia sempat menelepon Tirta, Saad tiba-tiba meneleponnya."Ayah, ada urusan apa? Kalau nggak ada urusan penting, aku tutup ya. Kak Aiko lagi nungguin aku telepon Tirta. Dia mau tanya Tirta kapan punya waktu kemari."Begitu ucapan ini dilontarkan, Aiko langsung
"Kak! Ka ... kamu ini ya! Karena kamu yang mulai duluan, aku nggak bakal sungkan-sungkan lagi! Waktu Tirta mengantarmu pulang hari itu, aku melihat bulu keriting di mulutmu! Cepat jujur, apa itu .... Ah!"Naura sungguh kewalahan karena ditindas Aiko. Tanpa sempat berpikir lagi, dia langsung mengungkapkan apa yang dilihatnya hari itu.Begitu mendengarnya, wajah Aiko sontak memerah. Dia buru-buru menutup mulutnya dan berteriak nyaring, "Ah! Nggak mungkin! Kamu pasti salah lihat! Kalau kamu berani bicara sembarangan, aku bakal menyiksamu mati-matian!"....Mobil akhirnya berhenti di depan klinik. Setelah turun dari mobil, Tirta membuka bagasi dan menurunkan barang belanjaan mereka. Kemudian, dia dan Arum sama-sama memasuki klinik.Sebelum Tirta meletakkan barang-barangnya, Ayu menghampiri dan berkata dengan cemas, "Tirta, Arum, akhirnya kalian pulang! Dua ekor harimau besar kabur saat Melati membuka pintu untuk mengambil barang!""Melati sedang mencari mereka! Taruh saja barang-barang kal
"Bu Yanti, kedua harimau itu nggak melukai siapa pun. Untuk apa kamu lapor polisi?"Begitu mendengarnya, Tirta menghentikan mobilnya. Kemudian, dia turun, tetapi tidak berniat membawa Yanti mencari harimau.Sepertinya, Yanti melihat kedua harimau itu waktu mereka kabur. Makanya, dia mengejar kedua harimau itu bersama Melati."Harimau sangat ganas. Mereka bisa memangsa orang. Aku melihat mereka di desa tadi! Mereka pasti mencari mangsa di bawah gunung karena nggak ada yang bisa dimakan di pegunungan!""Aku tentu harus lapor polisi supaya mereka menangkap kedua harimau itu. Kemudian, mereka akan dibawa ke pusat perlindungan satwa! Kalau ditunda, takutnya akan ada yang terluka!" jelas Yanti dengan ekspresi cemas dan napas terengah-engah.Bisa dilihat bahwa kepala desa ini sangat baik hati. Namun, dia tidak tahu bahwa kedua harimau itu adalah milik Tirta. Mereka ditugaskan untuk menjaga rumah."Kamu berpikir terlalu jauh. Mungkin mereka cuma mau jalan-jalan. Kalau tujuan mereka adalah mema
"Tirta, aku perlu ikut nggak?" tanya Melati dengan agak panik."Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri. Nanti aku bawa Bu Yanti balik. Kamu tenang saja," sahut Tirta sambil mengeluarkan jarum perak di sakunya dan menunjukkannya kepada Melati."Kamu ingin membuat Bu Yanti lupa kejadian hari ini ya? Ya sudah, kamu kejar dia. Aku nggak bakal ikut supaya kamu nggak repot." Melati memahami maksud Tirta. Dia pun hanya menunggu di mobil.Tirta turun dari mobil, lalu berteriak kepada Yanti yang berlari di depan, "Bu Yanti, tunggu aku! Aku salah makan siang ini. Perutku terus mulas. Aku jadi nggak kuat lari. Jangan terlalu cepat, aku nggak bisa menyusulmu!""Kamu masih begitu muda. Seharusnya tubuhmu kuat. Kenapa malah lemas sekali? Cepat sedikit! Aku nggak lihat harimaunya lagi!" Yanti sama sekali tidak berhenti dan terus berlari. Payudaranya yang besar itu pun terus berguncang dibuatnya."Hais ...." Tirta menghela napas dengan tidak berdaya. Ketika dia memutuskan untuk tidak berpura-pura lagi dan
"Bakal berbekas kalau infeksi? Serius? Jangan-jangan kamu cuma mau ambil keuntungan dariku? Kamu bicara begitu untuk menakutiku, 'kan?" tanya Yanti yang masih belum berbalik. Namun, dia merasa yang dikatakan Tirta masuk akal.Yanti terluka dan pakaiannya rusak. Dia pasti tidak bisa mengejar harimau lagi untuk sekarang. Dia terpaksa mengesampingkan masalah ini dulu."Kalau aku ingin ambil untung darimu, ngapain aku repot-repot ngarang kebohongan? Di sini nggak ada siapa-siapa. Aku bisa langsung menidurimu kalau memang mau!" sahut Tirta dengan pasrah."Terserah kamu saja. Pokoknya aku sudah mengingatkanmu. Mau diobati atau nggak, terserah kamu," lanjut Tirta."Kamu benaran bukan ingin ambil untung, 'kan? Kalau begitu, kamu mau gimana? Aku bakal turuti ucapanmu." Setelah ragu-ragu sejenak, Yanti akhirnya membuat keputusan. Payudara wanita sangat penting, hampir sama dengan kemaluan pria. Dia tentu tidak ingin payudaranya berbekas."Kita cari sungai yang bersih dulu untuk bersihkan lukamu.
"Hais, memang nggak bagus kalau ada yang tahu. Pokoknya, aku nggak bakal beri tahu siapa pun tentang masalah hari ini," balas Tirta sambil melangkah dengan stabil. Dia bisa merasakan payudara besar di punggungnya.Setelah mendengarnya, Yanti pun mengiakan dan tidak merespons lagi. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria. Kini, Tirta malah menopang bokongnya dan bajunya rusak. Hal ini tentu membuat perasaannya campur aduk dan tak kuasa berpikir sembarangan.'Waktu itu, dia nggak sengaja menyemprotku. Kali ini, dia malah melihat dadaku. Jangan-jangan ... semua ini adalah takdir?'Tirta tentu tidak tahu apa-apa tentang pemikirkan Yanti ini. Sambil menggendong Yanti, dia terus mencari tanaman obat yang bisa digunakan untuk menghilangkan bekas luka.Sekitar tujuh atau delapan menit kemudian, mereka tiba di depan air terjun itu. Di bawahnya adalah air bersih.Tirta berjongkok untuk menurunkan Yanti, lalu berujar, "Bu, kamu bersihkan diri dulu di sini. Tadi aku melihat tanaman obat yang bisa
"Tirta! Dasar cabul! Kamu mengintipku mandi! Benar-benar nggak tahu malu!"Cuaca di bulan Juli sangat panas. Tirta Hadiraja yang mendaki gunung untuk memetik bahan obat kepanasan sehingga langsung melepaskan pakaiannya dan menyelam di sungai. Begitu muncul ke permukaan, dia malah melihat pemandangan indah di depannya!Nabila Frenaldi, putri kepala desa, tampak memaki Tirta seraya menunjuknya. Dia baru berusia 18 tahun. Melalui air sungai yang bergoyang, samar-samar terlihat sepasang buah dada yang memikat dan ....Tirta yang tidak pernah melihat pemandangan seperti ini sontak terperangah di tempatnya!"Berengsek! Kalau kamu masih menatapku, akan kucungkil bola mata!" maki Nabila dengan wajah memerah sambil menutupi bagian tubuhnya yang penting.Nabila juga kepanasan. Kebetulan, sekarang liburan musim panas. Dia merasa bosan sehingga diam-diam keluar untuk berendam. Tanpa diduga, dia malah diintip oleh Tirta!"A ... aku nggak mengintipmu. Aku juga datang untuk berendam. Apa aku perlu be
"Tirta, ada apa denganmu?" tanya Ayu dengan bingung. Dia tidak tahu apa yang membuat Tirta begitu gembira."Oh, bukan apa-apa, Bibi. Ayo, kita pulang dulu," balas Tirta sambil menahan kegembiraannya dan memapah Ayu. Dia akan mencari kesempatan untuk menguji kejantanannya nanti!Ayu mengangguk, lalu berpesan dengan sungguh-sungguh, "Lain kali, kamu harus lebih berhati-hati kalau keluar memetik bahan obat. Kalau nggak ada Nabila, kita mungkin sudah nggak bisa bertemu. Cari waktu ke supermarket besok. Kita beli barang, lalu bertamu ke rumah Nabila untuk berterima kasih. Aku akan menemanimu.""Aku sudah tahu, Bi. Tenang saja." Kemudian, Tirta membatin, 'Kalau bukan karena Nabila, aku juga nggak mungkin berniat bunuh diri.'Lantaran masih merasa enggan, Tirta menggaruk kepala sambil mengeluh dengan kesal, "Bibi, aku boleh nggak pergi nggak? Wanita itu terlalu sombong.""Jangan bicara omong kosong! Dia yang menolongmu lho! Kamu seharusnya bersikap lebih ramah! Pokoknya, besok kamu harus ikut
"Hais, memang nggak bagus kalau ada yang tahu. Pokoknya, aku nggak bakal beri tahu siapa pun tentang masalah hari ini," balas Tirta sambil melangkah dengan stabil. Dia bisa merasakan payudara besar di punggungnya.Setelah mendengarnya, Yanti pun mengiakan dan tidak merespons lagi. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria. Kini, Tirta malah menopang bokongnya dan bajunya rusak. Hal ini tentu membuat perasaannya campur aduk dan tak kuasa berpikir sembarangan.'Waktu itu, dia nggak sengaja menyemprotku. Kali ini, dia malah melihat dadaku. Jangan-jangan ... semua ini adalah takdir?'Tirta tentu tidak tahu apa-apa tentang pemikirkan Yanti ini. Sambil menggendong Yanti, dia terus mencari tanaman obat yang bisa digunakan untuk menghilangkan bekas luka.Sekitar tujuh atau delapan menit kemudian, mereka tiba di depan air terjun itu. Di bawahnya adalah air bersih.Tirta berjongkok untuk menurunkan Yanti, lalu berujar, "Bu, kamu bersihkan diri dulu di sini. Tadi aku melihat tanaman obat yang bisa
"Bakal berbekas kalau infeksi? Serius? Jangan-jangan kamu cuma mau ambil keuntungan dariku? Kamu bicara begitu untuk menakutiku, 'kan?" tanya Yanti yang masih belum berbalik. Namun, dia merasa yang dikatakan Tirta masuk akal.Yanti terluka dan pakaiannya rusak. Dia pasti tidak bisa mengejar harimau lagi untuk sekarang. Dia terpaksa mengesampingkan masalah ini dulu."Kalau aku ingin ambil untung darimu, ngapain aku repot-repot ngarang kebohongan? Di sini nggak ada siapa-siapa. Aku bisa langsung menidurimu kalau memang mau!" sahut Tirta dengan pasrah."Terserah kamu saja. Pokoknya aku sudah mengingatkanmu. Mau diobati atau nggak, terserah kamu," lanjut Tirta."Kamu benaran bukan ingin ambil untung, 'kan? Kalau begitu, kamu mau gimana? Aku bakal turuti ucapanmu." Setelah ragu-ragu sejenak, Yanti akhirnya membuat keputusan. Payudara wanita sangat penting, hampir sama dengan kemaluan pria. Dia tentu tidak ingin payudaranya berbekas."Kita cari sungai yang bersih dulu untuk bersihkan lukamu.
"Tirta, aku perlu ikut nggak?" tanya Melati dengan agak panik."Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri. Nanti aku bawa Bu Yanti balik. Kamu tenang saja," sahut Tirta sambil mengeluarkan jarum perak di sakunya dan menunjukkannya kepada Melati."Kamu ingin membuat Bu Yanti lupa kejadian hari ini ya? Ya sudah, kamu kejar dia. Aku nggak bakal ikut supaya kamu nggak repot." Melati memahami maksud Tirta. Dia pun hanya menunggu di mobil.Tirta turun dari mobil, lalu berteriak kepada Yanti yang berlari di depan, "Bu Yanti, tunggu aku! Aku salah makan siang ini. Perutku terus mulas. Aku jadi nggak kuat lari. Jangan terlalu cepat, aku nggak bisa menyusulmu!""Kamu masih begitu muda. Seharusnya tubuhmu kuat. Kenapa malah lemas sekali? Cepat sedikit! Aku nggak lihat harimaunya lagi!" Yanti sama sekali tidak berhenti dan terus berlari. Payudaranya yang besar itu pun terus berguncang dibuatnya."Hais ...." Tirta menghela napas dengan tidak berdaya. Ketika dia memutuskan untuk tidak berpura-pura lagi dan
"Bu Yanti, kedua harimau itu nggak melukai siapa pun. Untuk apa kamu lapor polisi?"Begitu mendengarnya, Tirta menghentikan mobilnya. Kemudian, dia turun, tetapi tidak berniat membawa Yanti mencari harimau.Sepertinya, Yanti melihat kedua harimau itu waktu mereka kabur. Makanya, dia mengejar kedua harimau itu bersama Melati."Harimau sangat ganas. Mereka bisa memangsa orang. Aku melihat mereka di desa tadi! Mereka pasti mencari mangsa di bawah gunung karena nggak ada yang bisa dimakan di pegunungan!""Aku tentu harus lapor polisi supaya mereka menangkap kedua harimau itu. Kemudian, mereka akan dibawa ke pusat perlindungan satwa! Kalau ditunda, takutnya akan ada yang terluka!" jelas Yanti dengan ekspresi cemas dan napas terengah-engah.Bisa dilihat bahwa kepala desa ini sangat baik hati. Namun, dia tidak tahu bahwa kedua harimau itu adalah milik Tirta. Mereka ditugaskan untuk menjaga rumah."Kamu berpikir terlalu jauh. Mungkin mereka cuma mau jalan-jalan. Kalau tujuan mereka adalah mema
"Kak! Ka ... kamu ini ya! Karena kamu yang mulai duluan, aku nggak bakal sungkan-sungkan lagi! Waktu Tirta mengantarmu pulang hari itu, aku melihat bulu keriting di mulutmu! Cepat jujur, apa itu .... Ah!"Naura sungguh kewalahan karena ditindas Aiko. Tanpa sempat berpikir lagi, dia langsung mengungkapkan apa yang dilihatnya hari itu.Begitu mendengarnya, wajah Aiko sontak memerah. Dia buru-buru menutup mulutnya dan berteriak nyaring, "Ah! Nggak mungkin! Kamu pasti salah lihat! Kalau kamu berani bicara sembarangan, aku bakal menyiksamu mati-matian!"....Mobil akhirnya berhenti di depan klinik. Setelah turun dari mobil, Tirta membuka bagasi dan menurunkan barang belanjaan mereka. Kemudian, dia dan Arum sama-sama memasuki klinik.Sebelum Tirta meletakkan barang-barangnya, Ayu menghampiri dan berkata dengan cemas, "Tirta, Arum, akhirnya kalian pulang! Dua ekor harimau besar kabur saat Melati membuka pintu untuk mengambil barang!""Melati sedang mencari mereka! Taruh saja barang-barang kal
"Benar begitu?" tanya Aiko dengan tidak percaya."Tentu saja. Tirta sekarang sangat kaya dan hebat. Apa kamu pernah melihat dia mencampakkan pacarnya? Satu pun nggak pernah, 'kan? Jadi, kamu berpikir terlalu jauh.""Mungkin Tirta terlalu sibuk belakangan ini, makanya nggak sempat menghubungimu. Setelah dia punya waktu, dia pasti datang mencarimu," hibur Naura sambil menepuk tangan Aiko."Ya, kamu benar. Tirta pasti mencariku kalau punya waktu." Aiko akhirnya tersenyum. Kemudian, dia bertanya dengan cemas, "Kalau begitu ... Naura, kamu bisa bantu aku telepon Tirta nggak? Tanya dia kapan punya waktu.""Ya, ya. Terserah kamu saja. Kembalikan ponselku. Aku mau meneleponnya." Naura meminta ponselnya dengan tidak berdaya. Namun, sebelum dia sempat menelepon Tirta, Saad tiba-tiba meneleponnya."Ayah, ada urusan apa? Kalau nggak ada urusan penting, aku tutup ya. Kak Aiko lagi nungguin aku telepon Tirta. Dia mau tanya Tirta kapan punya waktu kemari."Begitu ucapan ini dilontarkan, Aiko langsung
Sambil digoda oleh Tirta, Arum akhirnya selesai memakai pakaiannya dalam waktu lima hingga enam menit. Kemudian, Tirta berkemudi ke Desa Persik.....Pada saat yang sama, di kota, di sebuah vila kalangan atas. Aiko yang duduk di ruang tamu tampak menopang dagunya. Dia memandang ke luar jendela dengan tatapan hampa, seolah-olah jiwanya meninggalkan tubuhnya."Kak Aiko, sejak Tirta pergi, kamu nggak bisa makan dan tidur. Apa kamu sudah tersihir olehnya?" Naura duduk di sampingnya sambil menghela napas. Dia baru selesai mandi dan hanya membalut tubuh seksinya dengan handuk. Begitu keluar, dia langsung melihat Aiko yang seperti tidak punya semangat hidup."Naura, kamu bicara apa? Aku nggak mikirin Tirta. Aku lagi mencemaskan perusahaan orang tuaku. Entah kondisi perusahaan sudah membaik atau belum." Aiko tersadar dari lamunannya. Dia menarik napas dalam-dalam dan memaksakan senyuman."Kita bukan baru kenal. Kamu nggak bakal bisa menutupi apa pun dariku. Tirta mengumpulkan uang sebanyak 14
"Kalau begitu ... kamu bantu aku pijat. Yang penting Bibi Ayu dan lainnya nggak curiga waktu melihatku. Kalau nggak, aku yang malu ...." Arum menyetujui usul Tirta. Kemudian, dia pelan-pelan bergeser dari pelukan Tirta dan bersandar di jok.Setelah satu ronde yang sengit berakhir, Arum bercucuran keringat dan sangat lelah. Dia hanya bergerak sedikit, tetapi kakinya sudah bergetar. Ini membuatnya terlihat makin menggoda! Kalau bukan karena Arum tak sanggup lagi, Tirta pasti melanjutkan pertarungannya!"Kak Arum, rileks saja, nggak usah gugup." Tirta menahan hasrat dalam dirinya dan menjulurkan tangan dengan perlahan. Kedua tangannya mulai memijat Arum dengan lembut ....Sekitar 10 menit kemudian, Tirta selesai memijat Arum. Arum menarik napas dalam-dalam, merasa jauh lebih nyaman. Hanya saja, kulitnya menjadi merah kembali karena pijatan Tirta."Gimana, Kak? Sudah mendingan? Masih ada yang sakit?" tanya Tirta sambil mengambil tisu dan membantu Arum menyeka tubuhnya."Nggak terlalu sakit
Pada saat yang sama, Arum juga memahami beberapa hal yang tak dipahami sebelumnya. Yang menancap dari belakang belum tentu pisau! Berlutut belum tentu memohon! Berteriak belum tentu kesakitan! Menangis belum tentu merasa sedih! Yang keluar dari mulut juga belum tentu air liur!Dua jam kemudian, Tirta dan Arum menyelesaikan ronde pertama mereka. Ketika melihat Arum kelelahan, Tirta pun memilih untuk berhenti.Kini, Arum yang dikalahkan akhirnya mengerti alasan Ayu, Melati, Susanti, Agatha, dan Nabila begitu terobsesi pada Tirta.Seperti yang dikatakan Susanti, ini adalah kunci untuk membuka dunia baru. Arum merasa dirinya seperti terbang ke langit dan ... tidak ingin berhenti! Rasanya sungguh nikmat! Pantas saja, Ayu yang begitu menjaga diri merindukan Tirta setiap hari!"Kak Arum, rupanya kamu ingin mencobanya karena mendengar penjelasan Susanti? Kukira kamu menyukaiku, makanya ingin bercinta denganku. Apa tindakanmu ini termasuk mempermainkan perasaanku?" keluh Tirta sambil mengenakan