"Jadi, masalah selingkuh itu sebenarnya nggak ada. Lagian, kalaupun Aiko benaran sedang hamil anakku, itu adalah kebebasannya sendiri. Nggak ada hubungannya sama sekali dengan Pak Billy.""Kamu juga bukannya tulus mencintai Aiko. Kamu cuma mau mempermainkannya. Selain itu, Aiko juga sudah ceritakan soal membuat matamu buta. Kamu yang duluan diam-diam berniat balas dendam dengan menghancurkan perusahaan orang tuanya."Setelah itu, kamu mau menodai Aiko dengan memberinya obat-obatan terlarang. Aiko cuma nggak sengaja melukaimu karena mau melindungi diri. Itulah kejadian yang sebenarnya terjadi. Apa benar ucapanku, Pak Billy?" ucap Tirta sambil memicingkan matanya.Semua tuduhannya itu beralasan dan disertai dengan bukti kuat. Semua orang yang berada di sana pun mendengarnya dengan jelas."Ternyata begitu!""Harwin, anakmu melakukan semua itu, kamu masih berani minta bantuan dariku?" bentak Budi terhadap Harwin."Billy ... apa benar yang dibilang Pak Tirta?" tanya Harwin dengan suara geme
Kata-kata Tirta sangat jelas. Dia memang bukan tipe orang yang suka membalas dendam. Namun, menghadapi orang yang licik seperti Billy, Tirta merasa tidak nyaman membiarkannya begitu saja. Lebih baik memastikan bahwa Billy kehilangan kemampuan untuk melakukan balas dendam!Melihat Billy mengingatkan Tirta pada Pasha, yang pernah dia temui di Kota Barlin.Jika dia memberi Billy kesempatan kedua dan pria itu kemudian melukai Aiko lagi ke depannya, Tirta akan merasa sangat menyesal!"Ja ... jangan, Pak Tirta! Keluarga Sutejo nggak ada hubungannya sama semua yang dilakukan si berengsek ini. Terserah mau bagaimana Anda menghukumnya, tapi jangan sampai melibatkan Keluarga Sutejo!"Mendengar hal itu, Harwin langsung berlutut dan bersujud di hadapan Tirta."Nggak, mungkin Pak Harwin salah paham. Aku cuma mau lawan kalian berdua. Aku nggak pernah bilang mau lawan semua Keluarga Sutejo. Tentu saja, lain lagi ceritanya kalau Keluarga Sutejo mau balas dendam," timpal Tirta."I ... ini ...." Mende
Billy yang berani melakukan kekerasan di depan umum jelas tidak bisa dibiarkan begitu saja!"Pak Budi, aku nggak apa-apa. Kamu bawa saja mereka berdua. Aku nggak mau lihat mereka lagi," ujar Tirta setelah menghibur Aiko yang ketakutan."Baik, aku akan suruh orang untuk bawa mereka pergi! Kalau ada masalah, Pak Tirta silakan hubungi aku saja!" jawab Budi. Setelah itu, dia menyuruh bawahan dari tiga keluarga besar untuk membawa pergi Billy dan Harwin."Tunggu, kalau Pak Harwin benar-benar menyesali perbuatannya, aku bisa saja mengampuninya. Kalau nggak, Pak Budi tangani saja sendiri," timpa Tirta.Dari yang terlihat sejauh ini, perilaku Harwin setidaknya masih belum terlalu berlebihan. Jika bukan demikian, Tirta tentu tidak akan memberikan kelonggaran seperti itu."Ya, ya," jawab Budi sebelum membawa orang-orangnya keluar dari pintu utama. Dia sudah memutuskan untuk menyerahkan Billy kepada Chandra, agar Chandra yang menangani hukuman untuknya secara langsung.Adapun Keluarga Sutejo, mes
"Hm? Kamu nggak usah ikut aku pulang lagi deh?" Mendengar ucapan Aiko, Tirta merasa agak terkejut. Tentu saja dia mengerti maksud ucapan Aiko. Masalahnya adalah, saat ini terlalu banyak wanita di rumahnya. Kalau ditambah satu lagi, jelas tidak ada tempat untuk tidur!Belum lagi, jika Ayu dan Melati melihat dia membawa Aiko pulang, bukankah mereka akan marah besar dan mungkin langsung menghukumnya?"Huh! Masih saja pura-pura. Kalau aku nggak ikut kamu pulang, kamu tidur di sini saja? Kamu pasti merasa kurang nyaman di rumahku, 'kan? Kalau di rumahmu, kamu bisa tiduri aku sesuka hatimu!" Jelas sekali, Aiko salah mengartikan ucapan Tirta."Putri kita memang hebat, berani mengejar sesuatu yang disukainya! Sama seperti gayaku waktu muda dulu!" Hubert menguping pembicaraan mereka, lalu tersenyum dan bertukar pandang dengan istrinya."Uhuk uhuk ...." Tirta hampir saja tersedak. Pada akhirnya, dia terpaksa menjelaskan kesulitannya."Ini ... Aiko, rumahku lagi renovasi sekarang. Aku sendiri saj
Pemandangan ini benar-benar memikat!"Kamu lagi nyetir, nggak boleh lihat ke sana! Kalau sudah senggang nanti, aku kasih kamu lihat sampai puas." Melihat tatapan Tirta yang tampak membara, Aiko tampak malu sekaligus bahagia."Aiko, aku cuma boleh lihat? Nggak boleh lakukan yang lain?" Pada dasarnya, Tirta memang tidak mengantuk. Namun setelah mendengar ucapan Aiko ini, dia jadi semakin bersemangat."Tentu saja cuma boleh lihat, memangnya kamu mau ngapain? Dasar mesum!" Aiko masih muda dan jarang berteman dengan lawan jenis. Kini setelah digoda oleh Tirta, wajahnya langsung merah padam."Mana ada orang yang cuma boleh lihat, nggak boleh sentuh? Kamu ini benar-benar nggak masuk akal!" ujar Tirta dengan kesal."Aku cuma sekadar ngomong kok. Setelah naik ke ranjang, semuanya jadi tergantung sama kamu, 'kan? Kamu ini entah benaran nggak ngerti atau sengaja mau goda aku?" balas Aiko dengan sinis. Setelah itu, dia terus-terusan menguap. Saat ini, dia benar-benar mengantuk."Tirta ... aku ngan
"Cuih, dasar berengsek. Aku bukannya mau bantu kamu .... Kamu terlalu menganggapku buruk!" Melihat ekspresi Tirta yang tampak nakal dan malah menikmatinya, Aiko akhirnya menyerah dan buru-buru melepaskannya.Dia teringat kejadian di ruang VIP sebelumnya, di mana "hal ini" hampir membuatnya meragukan hidupnya sendiri!Dalam hati, Tirta terkekeh-kekeh, 'Hehe, aku tahu kamu nggak nakal, tapi aku nakal!'Namun, Tirta berpura-pura menguap dan menunjukkan ekspresi lelah sambil berkata, "Aiko, aku nggak seperti yang kamu bayangkan, kok. Aku cuma agak ngantuk sampai sulit membuka mata.""Setelah kamu pegang sebentar tadi, aku jadi semangat. Makanya, aku menyuruhmu lebih kuat supaya aku bisa semangat. Perjalanan dari sini ke kabupaten masih jauh. Kalau aku ngantuk berat, gawat sekali kalau sampai terjadi kecelakaan.""Hush, jangan bicara sembarangan. Kita nggak akan kecelakaan." Aiko mana mungkin menyangka ternyata Tirta masih begitu bersemangat.Melihat penampilan Tirta yang terlihat ngantuk,
Suara Naura terdengar lebih dulu dari seberang telepon. "Halo, Kak Aiko, apa uang yang dijanjikan Tirta sudah masuk ke rekeningmu? Gimana kondisi perusahaan ayah dan ibumu sekarang?""Ya, Tirta sudah mengumpulkan banyak uang untuk membantu perusahaan orang tuaku," jawab Aiko sambil berusaha menahan rasa tidak nyaman di tenggorokannya. "Jadi, kondisi perusahaan sudah nggak perlu dikhawatirkan lagi.""Sekarang Tirta sedang mengemudi membawaku kembali ke kota, kami hampir sampai. Kamu masih punya satu rumah kosong, 'kan? Aku mau pinjam rumah itu untuk tinggal sementara," tambahnya."Eh? Kak Aiko, kamu pulang sama Tirta?" Suara Naura terdengar sedikit aneh, mencerminkan pikirannya yang seketika melayang ke kejadian sebelumnya ketika Tirta tidak sengaja melihatnya dalam situasi yang memalukan.Namun, dia segera menekan perasaan aneh yang muncul dan buru-buru menyetujui permintaan Aiko."Oke, aku cari kuncinya dulu. Aku langsung tunggu kalian di sana saja. Oh ya, Kak. Kenapa suaramu serak se
"Hah? Tirta nyari wanita nakal di kota?" Seketika, Susanti merasa cemburu. Tirta pergi malam-malam, dan masih belum kembali sampai sekarang! Tanpa perlu dijelaskan pun, sudah jelas apa yang dilakukan Tirta semalaman dengan perempuan itu."Pantas saja kemarin dia suruh aku jangan datang terlalu pagi, rupanya dia takut aku akan tahu dia ketemuan sama wanita itu? Apa dia cuma pura-pura waktu mengatakan aku akan menjadi istri utamanya? Cuma untuk menipuku?"Semakin Susanti memikirkannya, hatinya semakin sakit. Air mata mulai mengalir deras di wajahnya."Bibi, tolong sampaikan pada Tirta, aku nggak akan pernah datang mencarinya lagi!"Setelah berkata demikian sambil menangis, Susanti menyeka air matanya, lalu naik ke mobil polisi dan melaju meninggalkan tempat itu dengan cepat."Bu Susanti, kamu ... kenapa langsung pergi begitu saja? Kamu nggak mau nunggu Tirta pulang dan menghukumnya?" Melati yang sama sekali tidak menyangka reaksi Susanti akan seperti ini, merasa cemas."Melati! Kenapa ka
"Bi Ayu, aku sudah bawa Tirta kembali! Waktu aku sampai, dia sedang makan nasi kotak di vila!" Setelah kembali ke klinik, Arum melepaskan Tirta dan menepuk tangannya sambil berkata dengan tidak puas."Tirta, Arum sudah masak banyak makanan bergizi untukmu. Kenapa nggak dimakan dan malah pergi ke vila untuk makan nasi kotak?" tanya Ayu dengan bingung."Kenapa lagi?" Agatha tertawa dan menyela, "Karena dia nggak ingin makan kemaluan sapi!"Di sudut meja makan, Nia yang mendengar ini merasa agak malu."Tirta, terakhir kali kamu menghabiskan sepiring penuh kemaluan sapi dalam dua hingga tiga menit. Kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Arum dengan kesal. "Aku kira kamu suka makan itu, jadi aku masak dua batang kali ini!""Ya, Tirta, kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Melati dengan bingung."Aku ... hais, aku sebenarnya nggak butuh makan itu. Tubuhku sehat-sehat saja, makanan seperti itu berlebihan untukku," timpal Tirta dengan lesu."Kenapa berlebihan? Makanan itu sangat b
Farida menebak Tirta pasti menyembunyikan sesuatu. Dia mengambil nasi kotak dari mobil, lalu memberikannya kepada Tirta. Farida berkata, "Nggak ada nasi kotak yang tersisa lagi. Kalau kamu nggak keberatan, ini nasi kotakku."Farida yang membawa nasi kotak. Di atasnya terdapat gambar kartun kucing berwarna merah muda. Gambar itu juga terdapat di pakaian dalam yang sering dikenakannya. Siapa sangka, Farida yang lebih tua daripada Ayu menyukai barang lucu seperti ini."Kak Farida, kalau kamu berikan nasi kotakmu padaku, kamu makan apa?" tanya Tirta. Dia merasa malu. Apalagi setelah melihat gambar kucing di nasi kotak itu.Farida melihat tatapan Tirta tertuju pada gambar kucing itu. Dia takut Tirta mentertawakannya. Farida menyahut dengan gugup, " Aku nggak lapar, anggap saja aku lagi diet. Kamu makan saja.""Oke. Terima kasih, Kak Farida. Oh, iya. Bagaimana perkembangan renovasi vila? Apa malam ini aku bisa tinggal di vila?" timpal Tirta.Tirta tidak sungkan lagi. Dia membuka nasi kotak,
Tiba-tiba, terdengar suara batuk Agatha. Dia bertanya, "Tirta, apa maksudmu?"Tirta terkejut. Dia segera menyimpan mata tembus pandang, lalu membuka pintu dan berkata seraya tersenyum, "Kak Agatha, maksudku Kak Nia sangat kompeten. Ke depannya pria yang bersamanya pasti bahagia."Agatha yang curiga bertanya, "Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu? Bukannya kamu lagi melakukan akupunktur pada Kak Nia? Apa yang dia lakukan?"Tirta menjawab dengan tenang, "Maksudku untuk urusan kebun buah. Tadi kami membahas masalah kebun buah waktu melakukan terapi akupunktur. Kak Nia bisa mengurus semuanya tanpa bantuanku. Dia sangat kompeten."Agatha mengangguk sambil menanggapi, "Kak Nia memang kompeten. Aku pun nggak bisa melakukannya sendiri. Aku pasti kewalahan."Agatha bertanya lagi, "Mana Kak Nia? Apa terapi akupunktur sudah selesai?"Tirta menyahut, "Sudah. Dia lagi ganti baju."Agatha berusaha menahan tawanya dan menimpali, "Makanannya sudah siap. Kamu cuci tangan dulu sebelum makan. Kak Aru
Tirta berkata sebelum memulai akupunktur, "Kak Nia, terapi akupunktur kali ini mungkin berbeda dengan sebelumnya. Aku akan menambahkan pijatan agar efeknya lebih bagus."Tirta melanjutkan, "Sebaiknya kamu persiapkan mentalmu. Tentu saja, aku nggak berniat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau kamu keberatan, aku hanya melakukan akupunktur.""Pijatan?" ujar Nia. Dia menghela napas, lalu mengangguk dan menambahkan, "Itu ... nggak masalah. Lagi pula, semua itu untuk mengobati penyakitku. Aku bisa terima, yang penting bisa menyembuhkanku.""Oke, Kak Nia. Mungkin nanti akan sedikit gatal. Tahan sebentar, ya," timpal Tirta. Selesai bicara, dia langsung menusukkan jarum ke bagian dada Nia.Kali ini, Tirta melakukan terapi akupunktur pada Nia untuk menyembuhkan sesak napas yang dideritanya. Setelah Tirta mencabut jarum, Nia belum merasakan gatal.Kemudian, Tirta melakukan terapi akupunktur sesi kedua. Begitu Tirta menusukkan jarum, Nia merasa gatal hingga mengeluarkan desahan. Dia bergu
Kemudian, Ayu kembali sibuk di dapur. Agatha keluar dari klinik, lalu bertanya kepada Tirta, "Tirta, Bibi Ayu bilang apa denganmu? Kenapa kalian kelihatan misterius?"Tirta menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa. Bibi Ayu tanya kenapa Kak Nia tiba-tiba tinggal di klinik.""Oh. Kamu cepat lihat dulu, nanti malam Kak Nia tidur di mana?" timpal Agatha. Dia menarik Tirta masuk ke klinik, lalu melanjutkan dengan ekspresi khawatir, "Selain itu, kita bertiga ... kita tidur di mana? Nggak ada tempat lagi."Nia yang berdiri di depan pintu klinik berujar dengan canggung, "Tirta, apa aku merepotkan kalian? Kalau nggak, aku tinggal di hotel saja."Tirta menepuk dadanya sambil menjamin, "Nggak usah, Kak Nia. Aku sudah atur semuanya. Klinik ini cukup untuk ditempati kita semua.""Kalau begitu, kamu lakukan akupunktur pada Kak Nia. Aku lihat Bibi Ayu butuh bantuan atau nggak," ucap Agatha. Selesai bicara, dia masuk ke dapur.Tirta menutup pintu klinik, lalu mengambil jarum dan berkata kepada Nia, "Ka
Tirta memang kuat. Kalau tidak, dia juga tidak bisa mengancam Agatha. Melihat Agatha sudah setuju, Tirta langsung mengangguk dan berujar, "Kak Agatha, kamu tenang saja. Aku pasti akan membereskan Susanti dan nggak akan membuatmu merasa nggak nyaman."Agatha mendengus, lalu membalas sembari memelototi Tirta, "Cuma kali ini, ya. Ke depannya aku nggak mau melakukannya bersama Susanti."Agatha melepaskan dirinya dari pelukan Tirta, lalu berjalan ke mobil terlebih dahulu. Tirta yang merasa puas segera mengikuti Agatha kembali ke mobil.Nia bertanya, "Agatha, apa perutmu masih sakit?"Agatha berusaha tenang saat menjawab, "Nggak, Kak Nia. Setelah kita kembali, suruh Tirta lakukan akupunktur padamu untuk menyembuhkan sesak napasmu."Nia menyahut seraya mengangguk, "Oke."....Setengah jam kemudian, mereka kembali ke klinik. Kala ini, Ayu, Melati, dan Arum sedang sibuk di dapur. Ayu penasaran ketika melihat Nia juga turun dari mobil dan membawa banyak keperluan sehari-hari.Ayu menarik Tirta k
Tirta langsung berbicara terus terang. Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Agatha mencebik dan berujar, "Tirta, kamu memang berengsek! Kamu nggak pernah tiduri aku di klinik. Kamu lebih suka tiduri Susanti atau aku?"Tirta menyahut, "Tentu saja aku lebih suka tiduri kamu. Dadamu lebih besar, bokongmu lebih montok, kakimu ramping, kulitmu mulus, sifatmu juga baik ...."Dalam situasi seperti ini, tentu saja Tirta tahu siapa yang lebih baik. Dia terus memuji Agatha.Agatha memutar bola matanya, tetapi dia tidak terlalu marah lagi. Agatha menyela, "Cukup, kamu itu munafik. Jelas-jelas punya Susanti hampir sama denganku, kamu terlalu berlebihan."Agatha bertanya, "Jadi, apa semua ini ada hubungannya dengan keinginanmu?"Tirta mengusap tangannya seraya menjawab, "Tentu saja ada. Bukannya malam ini Kak Agatha mau tinggal di klinik? Susanti juga pulang ke klinik, kalian ....""Tunggu!" sergah Agatha. Dia merasa ada yang tidak beres. Agatha menegaskan, "Malam ini aku nggak mau tinggal di klin
Tirta menegaskan, "Bu, sudah kubilang kamu nggak usah sungkan. Kebetulan aku ada di sini, jadi aku bisa menyelamatkan anakmu. Untuk urusan bisnis, semuanya tetap harus diperhitungkan dengan jelas. Kalau aku kurang bayar 1 miliar, takutnya kamu nggak dapat keuntungan. Kalau kamu nggak mau terima, aku nggak beli lagi."Bos toko bersikeras berkata, "Jangan begitu. Aku juga nggak marah biarpun kamu nggak beli. Aku cuma punya 1 anak, dia lebih berharga dari nyawaku. Kamu menyelamatkan anakku dan memesan begitu banyak bibit pohon buah dariku. Aku sangat berterima kasih padamu, mana mungkin aku membiarkan kamu menghabiskan begitu banyak uang?"Bos toko menambahkan, "Lagi pula, setelah kamu bayar 3 miliar, aku sudah bisa dapatkan keuntungan 1 miliar lebih. Aku nggak rugi."Tirta terpaksa menanyakan pendapat Agatha dan Nia, "Kak Agatha, Kak Nia, bagaimana menurut kalian?"Agatha bertatapan dengan Nia, lalu menyahut sembari tersenyum, "Tirta, bos mau berterima kasih padamu dan kita memang kekura
Tirta berpikir sejenak, lalu tersenyum licik dan berucap, "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, kamu kabulkan satu keinginanku saja. Anggap sebagai kompensasi."Agatha segera mengangguk seraya menyahut, "Apa keinginanmu? Kamu bilang saja. Asalkan aku bisa melakukannya, aku pasti kabulkan keinginanmu."Tirta mengedipkan matanya, lalu menimpali, "Nanti kita baru bicarakan di mobil. Sekarang kita bicarakan masalah bibit pohon buah dengan bos toko dulu.""Oh. Kalau begitu, nanti kita baru bicarakan di mobil," balas Agatha. Dia merasa Tirta berniat jahat, tetapi dia tidak keberatan.Anak bos toko sudah tertidur setelah minum susu. Bos toko keluar dari kamar. Dia membawa sepiring buah yang sudah dicuci.Bos toko berujar, "Kalian sudah menunggu lama. Istirahat dulu dan makan buah.""Terima kasih, Bu," sahut Tirta. Dia tidak sungkan lagi dan langsung duduk di bangku. Tirta mengambil buah pir dan memakannya.Agatha dan Nia juga mengambil buah, lalu duduk di samping Tirta sambil memakan buahn