Untungnya, suara Tirta sangat lirih saat mengatakan hal ini. Ditambah lagi Ayu dan lainnya sangat ketakutan dengan kedua ekor harimau di belakang, jadi mereka pun tidak mendengarnya. Jika tidak, Tirta pasti sudah diberi pelajaran."Bi Ayu, Kak Melati, Kak Arum, Tirta membawa harimau-harimau ini turun gunung untuk menjaga rumah. Mereka sangat patuh, jadi nggak bakal menggigit manusia. Kalian nggak usah takut," ucap Susanti untuk menenangkan ketiga wanita itu. Setelah berinteraksi dengan para harimau, Susanti pun tidak begitu takut lagi sekarang."Apa? Tirta membawa harimau-harimau ini untuk menjaga rumah? Bu Susanti, kamu nggak bercanda?" Ayu sungguh tercengang mendengarnya. Dia sampai mengira ada yang salah dengan pendengarannya."Harimau adalah binatang buas. Gimana bisa mereka menjaga rumah? Sudah syukur mereka nggak memakanku. Tirta, sebaiknya suruh mereka pergi ...." Arum ketakutan hingga wajahnya memucat dan suaranya bergetar.Hanya Melati yang menatap harimau besar itu dengan ten
"Kata orang kita nggak boleh sentuh bokong harimau. Sepertinya itu cuma rumor." Usai berbicara, Melati memberanikan diri untuk menghampiri induk harimau itu dan menyentuh bokongnya.Induk harimau itu sama sekali tidak melawan ataupun marah. Begitu melihatnya, Ayu dan Arum pun tidak begitu takut lagi. Mereka jadi ingin mencoba. Mereka masih ingin mencoba, tetapi masih tidak berani."Bi Ayu, Kak Arum, kalian coba raba saja. Bulu mereka halus sekali lho!" Tirta mendekat, lalu menurunkan ketiga ekor anak harimau itu.Ketiga anak harimau itu pun tidak kabur setelah diturunkan. Mereka berlari mengelilingi Tirta sambil mengaum. Sesekali, mereka akan menggoyangkan kepala mereka. Sungguh menggemaskan!"Wow! Aku benaran menyentuh harimau! Harimau hidup!" Arum yang tidak bisa menahan godaan pada akhirnya memberanikan diri untuk menggendong salah satu anak harimau itu, lalu mengelusnya."Aku juga mau coba ...." Ketika melihat kedua wanita itu mengelus harimau, Ayu pun tidak mau kalah. Dia berjongk
"Oke, Tirta. Aku akan segera menelepon Clara dan mengundangnya ke rumahku!" ucap Dhio sambil menghela napas panjang. Dia berusaha menenangkan diri, lalu segera menelepon Clara.Dhio memberi tahu, "Nona Clara, anak harimau yang kamu minta sudah kudapatkan. Bukan cuma satu, tapi tiga ekor. Semuanya sangat sehat tanpa luka sedikit pun. Sekarang, mereka ada di rumahku. Apa kamu punya waktu untuk datang sekarang?""Kerja bagus, Dhio. Aku benaran nggak nyangka, ternyata kamu punya kemampuan juga!" Di ujung telepon, suara seorang wanita muda terdengar jelas meskipun bercampur dengan dentuman musik yang sangat bising.Clara menjelaskan, "Tapi, aku lagi sibuk main di kota sama teman-teman. Mungkin aku baru bisa datang sekitar satu jam lagi. Kamu tunggu saja di rumah!""Oke, Nona Clara ...," timpal Dhio buru-buru. Sebelum dia selesai berbicara, panggilan sudah terputus.Dhio menyampaikan informasi dengan jujur, "Tirta, Bu Susanti, Clara bilang dia lagi main di kota sama teman-temannya. Mungkin b
Sejak kejadian terakhir, Aaris selalu murung dan tidak bersemangat. Untuk mengusir kebosanan, dia memutuskan untuk mengajak wanita baru yang dia dekati belakangan ini, yaitu Clara untuk keluar bersama. Tujuannya sederhana, hanya untuk bersantai dan melepas penat.Namun setelah mendengar bahwa Clara berhasil mendapatkan tiga ekor anak harimau, tiba-tiba muncul ide di kepalanya untuk kembali mendekati Tirta.Aaris memberi tahu, "Clara, tiga ekor anak harimau itu sebenarnya sangat berguna untukku. Berikan semuanya padaku. Aku berencana menjadikannya sebagai hadiah untuk seorang tokoh besar!"Aaris berpikir jika bisa memberikan anak-anak harimau itu kepada Tirta, dia pasti bisa menjalin hubungan baik dengannya. Dengan begitu, di kota ini tidak akan ada lagi yang berani macam-macam dengannya. Posisinya juga akan menjadi makin kuat."Um ... Kak Aaris, kamu pasti mau kasih anak harimau itu pada Naura, 'kan?" Mendengar itu, Clara langsung menebak maksudnya. Dia pun menunjukkan ekspresi kesal s
"Haha. Tenang saja, Clara. Nanti, aku pasti akan membawamu untuk bertemu dengannya!" balas Aaris, tetapi di matanya tersirat sedikit ejekan.Pria itu menambahkan, "Kalau bukan karena kamu yang mendapatkan anak-anak harimau ini, aku mungkin nggak akan punya kesempatan untuk bertemu Tirta.""Wah, Kak Aaris, kamu baik sekali padaku. Makasih ya!" seru Clara dengan manja. Namun di dalam hatinya, dia sudah memikirkan bagaimana caranya agar bisa menjalin hubungan dengan Tirta setelah bertemu nanti."Kak Aaris, tunggu kami!"Anak-anak muda lainnya bergegas keluar dari ruang VIP dan mengikuti Aaris. Mereka berpikir kalau tidak bisa mendekati orang sehebat Tirta, mendekati Aaris saja sudah cukup bagus.....Pada saat yang sama. Di tepi desa kecil, tepatnya di Desa Atmaja, sebuah mobil polisi melaju pelan di atas jalan beton yang lurus.Dhio duduk di kursi belakang. Dia menunjuk ke arah sebuah rumah dua lantai sederhana yang tidak jauh di depan mereka.Dhio bertanya dengan ragu-ragu, "Tirta, Bu S
Dhio berujar, "Semua ini salahku yang nggak berguna sebagai anak .... Kalau saja aku punya uang, Ibu nggak akan sampai berpikir untuk mengakhiri hidup ...."Dhio berlutut di lantai sambil memegang erat tangan ibunya yang sudah dingin. Dia menangis tersedu-sedu penuh penyesalan.Seorang kepala desa berusia 30 tahunan, Yanti, menepuk pundak Dhio dan mencoba menghiburnya, "Orang yang sudah meninggal nggak akan bisa hidup kembali. Jangan menangis lagi, Dhio. Lebih baik pikirkan gimana caranya mengurus pemakaman ibumu agar dia bisa pergi dengan tenang."Tubuh dan rambut Yanti basah kuyup karena baru saja menyelamatkan ibu Dhio dari sungai. Dia terlihat sangat lelah. Rambutnya menempel satu per satu di kepalanya.Begitu melihat seorang wanita berseragam polisi masuk ke dalam rumah, Yanti awalnya mengira bahwa Susanti datang untuk menyelidiki kasus bunuh diri ini. Dia pun hendak menjelaskan kejadian tersebut.Namun sebelum sempat bicara, Tirta langsung menyela sambil mengernyit, "Nggak perlu
"Sebenarnya ... kamu nggak perlu terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kalau Tirta bilang dia bisa menyelamatkan orang, berarti dia memang punya cara. Lebih baik kita tunggu dan lihat dulu," ujar Susanti dengan nada selembut mungkin kepada Yanti.Yanti membalas, "Apa? Benar-benar nggak kusangka. Meskipun masih muda, dia ternyata penipu yang sangat cerdik, sampai-sampai bisa menipu polisi juga. Kalau begitu, baiklah. Aku akan buka mataku lebar-lebar dan lihat dengan jelas gimana dia akan menyelamatkan ibu Dhio!"Di dalam hatinya, Yanti sudah melabeli Tirta sebagai seorang penipu. Bahkan, kata-kata Susanti sama sekali tidak memengaruhi pendapatnya.Berhubung Yanti tidak percaya, Rauf mencoba membujuk, "Bu Yanti, anak muda ini jauh lebih hebat daripada yang kamu pikirkan. Jangan terbelenggu oleh pandanganmu sendiri.""Siapa tahu dia benar-benar bisa menyelamatkan ibu Dhio? Dibandingkan dengan nyawa, mengguncang tubuhnya beberapa kali bukan masalah besar, 'kan?" tanya Rauf.Yanti mendengus s
Bahkan ada beberapa orang yang maju untuk meminta maaf pada Tirta, "Nggak seharusnya kami ngomong begitu tadi.""Nggak apa-apa, lagian aku nggak rugi apa pun," balas Tirta sambil tertawa. Dia tidak ambil pusing tentang masalah ini. Jika tidak, dia pasti sudah kesal sejak awal."Hei, Nak, maaf ya. Aku memang salah paham padamu. Nggak kusangka kamu ternyata benar-benar sanggup menolong orang .... Kalau kamu merasa permintaan maafku kurang tulus, aku rela dipenjara beberapa hari."Melihat hal ini, Yanti juga meminta maaf dengan malu. Hatinya benar-benar merasa bersalah. Seandainya saja dia mengusir Tirta tadi, bukankah itu berarti mencelakai ibu Dhio?"Kak, untuk apa aku penjarain kamu? Nggak ada untungnya untukku, yang penting kamu sadar sama kesalahanmu saja. Aku nggak mau permasalahkan hal kecil begini," ujar Tirta dengan santai."Kak? Apa aku setua itu? Aku baru berumur 31 tahun, bahkan masih belum punya pasangan," ucap Yanti sambil mengerutkan alisnya. Sepertinya dia sangat keberatan
Di sisi lain, Tirta menelepon Ayu setelah Idris dan Rasmi pergi. Setelah panggilan terhubung, Ayu yang sudah 2 hari tidak bertemu Tirta tentu merasa khawatir. Dia terus menanyakan kondisi Tirta.Tirta menjelaskan kondisinya dengan singkat, "Bi, Susanti terancam bahaya. Jadi, aku langsung naik pesawat untuk mencari Susanti. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Sekarang semuanya sudah aman."Tirta memberi tahu Ayu pemikirannya, "Aku berencana membawa Susanti menemuimu setelah dia bangun, lalu kita dan Bi Elisa langsung kembali ke Desa Persik. Kita tinggal di sana untuk beberapa waktu."Mendengar ucapan Tirta, Ayu yang khawatir bertanya, "Ha? Tirta, kalau kamu mau kembali ke Desa Persik, tentu saja aku dan Elisa nggak keberatan. Masalahnya, gimana caranya kamu menjelaskan pada Bu Bella?"Ayu menambahkan, "Bagaimana kalau Bu Bella mau ikut kita kembali ke Desa Persik? Aku rasa berdasarkan sifat Bu Bella, dia pasti nggak terima kalau tahu kamu punya banyak kekasih.""Aku yang akan jelaskan pada
"Aku rasa otakmu bermasalah karena terlalu lama tinggal di Provinsi Naru!" bentak Rasmi. Ucapannya menunjukkan dia tidak menyukai Tirta."Rasmi, kenapa kamu bicara seperti itu? Pak Tirta itu saudara Ayah. Bukannya sudah seharusnya kita bersikap hormat padanya? Lagi pula ...," sahut Idris.Idris berniat menceritakan pada Rasmi bahwa Tirta sudah membantunya menyelesaikan masalah mereka yang tidak bisa mempunyai keturunan.Namun, sebelum Idris selesai bicara, Rasmi menyela, "Apa? Aku nggak marah kalau nggak ungkit masalah itu! Ayah sudah pikun, makanya dia mengakui pemuda itu sebagai saudaranya."Rasmi melanjutkan, "Waktu Ayah menceritakan masalah ini padaku, aku sudah sarankan dia cepat batalkan keputusannya. Ayah pikun karena tua, masa kamu juga sama? Kalau waktu itu Ayah mengakui anak 3 tahun jadi saudaranya, apa kamu juga mau memuja anak kecil itu?"Rasmi menambahkan, "Aku nggak peduli! Apa pun caranya, kamu harus usir pemuda itu dari rumah kita secepatnya! Aku nggak mau tinggal di ho
Begitu melontarkan perkataannya, Marila baru merasa kurang pantas. Dia berbisik lagi dengan wajah memerah, "Pak Tirta, bukan itu maksudku. Jangan salah paham."Tentu saja Tirta tahu Marila tidak bermaksud seperti itu. Dia tertawa, lalu menanggapi, "Oke. Aku tunggu Bu Marila pulang setelah beli bahan obat-obatan."Sesudah itu, Tirta tidak mengatakan apa pun lagi. Mendengar perkataan Tirta, Marila baru merasa tenang. Kemudian, Marila berpamitan dengan Idris.Tirta merasa bosan saat menunggu Marila. Dia kembali ke kamar untuk menemani Susanti. Tirta duduk di samping tempat tidur. Pikirannya sangat kacau.Tirta mendesah dan bergumam, "Setelah Susanti bangun, aku bawa dia cari Bi Ayu, lalu langsung kembali ke Desa Persik. Kak Nabila, Kak Melati, Kak Arum, Kak Farida, dan lainnya pasti merindukanku."Sebenarnya sebelum Susanti tertimpa masalah, Tirta berencana pergi ke ibu kota setelah meninggalkan Provinsi Dohe. Namun, masalah ini terjadi.Tirta juga memahami satu hal. Dia memang bisa menge
"Aku nggak akan pergi lagi. Jangan tiduri aku, ya?" mohon Selina. Wajahnya memerah setelah mendengar ucapan Tirta.Selina berusaha menggerakkan pinggangnya untuk menjauhi sumber masalah itu. Napas Tirta yang hangat membuat wajah Selina merah padam.Tirta menegaskan, "Aku nggak peduli, pokoknya sekarang aku harus menidurimu sampai puas. Terserah kamu mau pergi atau tetap tinggal, aku tetap akan melakukannya!"Hasrat Tirta membara karena pinggang Selina terus bergerak. Dia segera mengerahkan 2 teknik. Yang pertama adalah Teknik Menghilang untuk menyembunyikan tubuhnya dan Selina. Yang kedua adalah Teknik Senyap untuk menutupi suara yang dikeluarkan Selina selanjutnya.Kemudian, Tirta langsung bersanggama dengan Selina. Sementara itu, Selina memelas, "Tirta ... jangan ... aku benci kamu ...."Biarpun mengeluh, tubuh Selina tetap terangsang. Jelas-jelas Tirta sudah melepaskannya, tetapi Selina tidak melepaskan Tirta dan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan Tirta memberinya kompensasi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,
Selain itu, perasaan Selina campur aduk saat melihat Tirta. Melihat ekspresi mereka yang terkejut, Idris tertawa dan bertanya, "Apa Pak Tirta nggak pernah beri tahu kalian?"Idris membatin, 'Pak Tirta sangat hebat. Biarpun nggak ada Pak Saba, Pak Tirta bisa mendekati petinggi negara yang lain asalkan dia mau.'Sayangnya, Idris sudah berjanji kepada Tirta tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Kalau tidak, Idris akan menjadi pelindung Tirta dan memamerkan kehebatannya.Yuli masih merasa antusias. Bahkan, dia sangat bangga hingga memandangi Tirta seraya tersenyum lebar dan menjawab, "Nggak. Pak Tirta, kenapa kamu nggak beri tahu kami hal sepenting ini?"Sekarang Tirta terpaksa harus mengakuinya. Dia berdeham, lalu menanggapi dengan ekspresi tenang, "Karena aku merasa hal seperti ini nggak perlu diumbar. Aku juga nggak ingin memanfaatkan status Pak Saba untuk bertindak semena-mena."Kenyataannya memang seperti itu. Tirta tidak pernah berinisiatif mengatakan dirinya adalah saudara Saba.Yu
Tirta tertawa licik, lalu membalas, 'Oke. Kak, aku akan pergi. Nanti malam jangan berpikiran untuk menghabisiku lagi.'Kemudian, Tirta keluar dengan perasaan gembira. Dia melihat Idris yang antusias sedang duduk tegak sambil mengobrol dengan Marila, Yuli, dan Selina.Begitu Tirta keluar, Idris langsung berhenti bicara. Dia berdiri, lalu menyambut Tirta, "Pak Tirta ...."Yuli juga menghampiri Tirta dan menimpali sembari tersenyum, "Pak Tirta, apa kita bisa bicara sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.""Ada apa? Tentu saja boleh," sahut Tirta.Yuli sangat senang melihat Tirta menyetujui permintaannya. Dia segera menarik Tirta kembali ke kamar. Namun, sebelum Yuli membawa Tirta masuk ke kamar, Anton yang keberatan menghentikan Yuli, "Aduh, berhenti! Yuli, kamu gila, ya? Kenapa kamu nggak langsung bertanya pada Pak Tirta di sini saja? Untuk apa kamu bawa dia ke kamar? Kamu kira ini rumahmu?"Anton berucap pada Tirta dengan ekspresi canggung, "Pak Tirta, begini. Ibunya Susanti ingin
Namun, bagian tubuh yang telah dipijat oleh Tirta terasa hangat dan nyaman, membuat Idris sangat rileks."Sudah beres. Pak Idris, masalahmu berasal dari kelelahan berkepanjangan ditambah dengan faktor bawaan, menyebabkan kondisi tubuhmu lebih lemah dari orang lain, makanya sulit menghasilkan sperma.""Dengan metode kedokteran barat, masalah seperti ini sangat sulit ditangani, bahkan sering kali tak terdeteksi.""Tapi di tanganku, ini bukan masalah besar. Kalau kondisi tubuh istrimu juga memungkinkan, aku jamin malam ini kamu bisa langsung tepat sasaran."Saat mengatakan itu, alis Tirta tiba-tiba berkerut. Dia baru teringat satu hal. Dia sudah berhubungan intim dengan begitu banyak wanita, tetapi sejauh ini belum ada satu pun yang hamil."Wah, terima kasih banyak, Pak Tirta! Kalau aku dan istriku benar-benar bisa punya anak, aku pasti akan undang kamu ke acara syukuran!"Idris yang tenggelam dalam euforia itu sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah Tirta. Dia sangat bersyukur
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka