Berat badan pria botak itu mencapai 100 kilogram lebih. Lengannya saja lebih tebal dari paha Tirta. Meskipun demikian, Tirta bisa mengangkatnya dengan mudah!"Bu ... bukan kami yang mau memangsa harimau itu, tapi Bu Clara dari kota ...." Pria botak itu tentu menyadari bahwa lawan mereka ini bukan sembarangan orang.Ditambah lagi dirinya melakukan sesuatu yang ilegal, pria botak itu pun menjadi makin panik. Tanpa ragu sedikit pun, dia hendak menjelaskan semuanya.Namun, sebelum temannya selesai bicara, pria setengah botak itu tiba-tiba menyela, "Lepaskan dia. Kalaupun kamu polisi, kamu nggak boleh menghukum kami sembarangan. Kami memang berburu tanpa izin, tapi semua ini atas kehendak kami sendiri. Tangkap saja kami."Jelas sekali, pria setengah botak ini lebih memilih untuk dipenjara daripada membongkar dalang di balik mereka."Hehe. Tenang saja, kalian memang bakal dipenjara." Tirta melepaskan tangannya. Pria botak itu pun terjatuh dan langsung terduduk di tanah."Tapi, kalau kalian b
"Tapi, kalau kalian bisa bekerja sama dengan polisi dan bersaksi untuk melawan Clara, aku bisa mengajukan permohonan kepada atasan supaya hukuman kalian diringankan. Selain itu, kalau sikap kalian bagus di penjara, kalian juga bisa keluar lebih cepat," jelas Susanti."Masih harus dipenjara ya .... Kalau begitu ... gimana dengan ibuku ...." Dhio hanya bisa termangu di tempatnya. Seluruh energinya seolah-olah terkuras habis."Ayolah, Dhio. Polisi sudah sangat baik pada kita." Rauf membuang rokoknya dan menginjaknya, lalu menarik Dhio dari tanah.Namun, Dhio menolak dan malah bersujud kepada Susanti sambil memohon, "Bu, apa bisa tunggu sebentar? Biarkan aku menemani ibuku dulu.""Tenang saja, aku nggak bakal kabur. Ibuku sakit kanker. Kalau dia tahu aku dipenjara, dia pasti bakal syok!""Eee ...." Susanti tampak dilema. Dia harus menaati hukum, tetapi merasa tidak tega pada Dhio."Kumohon .... Aku bakal menanggung kesalahanku. Permintaanku cuma satu. Aku mau menemani ibuku untuk yang tera
"Kalau begitu, kita turun gunung sekarang. Setelah bersaksi, aku akan membawamu ke tempat ibuku," ujar Dhio setelah bangkit."Benar. Kalian atur saja semua. Kami bakal mengikuti instruksi kalian," ucap Rauf. Dia bisa melihat bahwa Susanti sangat patuh terhadap Tirta. Selain itu, dia merasa sangat puas karena Tirta bersedia mengobati ibu temannya."Nggak usah terburu-buru. Aku kenal harimau yang kalian tembak tadi. Aku harus periksa lukanya dulu," tutur Tirta setelah berpikir sejenak.Kini, Tirta merasa sangat kesal terhadap rumah sakit di kota itu. Putri direktur rumah sakit ingin memelihara harimau. Selain itu, Arum juga ditipu mereka baru-baru ini.Tirta bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk memberi mereka pelajaran. Akan tetapi, sebelum itu, dia harus menemukan harimau itu dulu supaya harimau itu tidak mati karena kehabisan darah."Hah? Tirta, kamu nggak bercanda? Harimau sangat ganas dan bisa menyerang manusia kapan saja. Gimana kamu bisa mengenal harimau?" tanya Susanti dengan ti
"Dik, Ini bahaya sekali. Sebaiknya kita pergi saja." Rauf dan Dhio adalah pelaku yang melukai harimau besar itu. Kini, mereka ketakutan hingga bercucuran keringat dingin saat melihat keganasan harimau. Apalagi, mereka tidak punya senjata sekarang."Kalian menjauh sedikit. Biar aku saja yang maju." Tirta bisa melihat bahwa cedera yang dialami harimau besar itu sangat parah. Dia merasa cemas. Kemudian, dia masuk dengan perlahan."Hati-hati ya, Tirta. A ... aku ikut kamu masuk deh." Susanti khawatir terjadi sesuatu pada Tirta. Dia memberanikan dirinya dan memegang pistolnya, lalu perlahan-lahan berjalan masuk. Dia tidak percaya Tirta mengenal harimau besar itu. Jika Tirta masuk sembarangan, harimau itu bisa saja memakannya!"Sebaiknya ... sebaiknya kita jangan masuk. Kita sembunyi saja ....""Ya, kalau terjadi sesuatu, kita juga jangan kabur. Kita bantu mereka ...."Rauf dan Dhio sungguh ketakutan. Mereka buru-buru bersembunyi di balik batu besar sambil menyaksikan pemandangan di depan sa
"Tirta, nggak ada alat di sini. Kamu mau pakai apa untuk mengeluarkan pelurunya? Apa aku perlu cari pisau di mobil?" tanya Susanti yang memberanikan diri untuk mendekat sedikit."Nggak usah. Kalau kamu pergi, setidaknya butuh dua sampai tiga jam untuk kembali. Kamu nggak usah repot-repot. Aku bisa mengatasi semua ini sendiri." Tirta menggeleng.Saat berikutnya, Tirta perlahan-lahan meletakkan tangannya di atas bagian tubuh harimau yang terluka. Seketika, aliran energi perak mengalir masuk ke area luka. Energi itu membalut bola baja hingga akhirnya mengeluarkannya dari tubuh harimau.Kemudian, Tirta tidak membuang-buang waktu dan langsung mengeluarkan bola baja yang ada di kaki belakang harimau. Seluruh proses ini hanya memakan waktu beberapa detik. Harimau itu pun hanya mengernyit sesaat."Sudah beres?" Susanti sulit memercayainya."Ya, sudah. Nanti tinggal ditutup dengan herbal. Dia bakal sembuh dalam waktu singkat." Tirta mengangguk."Apa? Pelurunya sudah dikeluarkan?""Tapi, bukanny
iTirta tertawa terbahak-bahak, lalu menggendong ketiga anak harimau itu keluar dari gua. Harimau besar dan induk harimau mengikuti di belakang."Eee ... ini benar-benar sulit dipercaya. Jangan-jangan Tirta sebenarnya adalah siluman harimau? Kalau nggak, kenapa mereka begitu nurut padanya?"Ini adalah satu-satunya penjelasan yang bisa dipikirkan Susanti. Meskipun demikian, hal ini tidak memengaruhi niatnya untuk menjadi kekasih Tirta. Sekalipun Tirta adalah siluman harimau, dia tetap menyukai Tirta!Sementara itu, Dhio dan Rauf yang bersembunyi di luar gua sungguh mengagumi Tirta. Tirta bukan hanya mengangkut para harimau itu, tetapi juga membuat mereka bekerja untuknya.Tirta ini tidak ada bedanya dengan dewa yang hidup! Namun, mereka tidak berani terlalu dekat dengan Tirta karena takut diterkam oleh harimau!....Setelah Tirta menemukan tumbuhan obat dan membalut luka harimau itu, dia membawa mereka ke Desa Persik.Sekarang sudah pukul tiga sore. Ayu dan Melati tentu sudah bangun. Mer
Untungnya, suara Tirta sangat lirih saat mengatakan hal ini. Ditambah lagi Ayu dan lainnya sangat ketakutan dengan kedua ekor harimau di belakang, jadi mereka pun tidak mendengarnya. Jika tidak, Tirta pasti sudah diberi pelajaran."Bi Ayu, Kak Melati, Kak Arum, Tirta membawa harimau-harimau ini turun gunung untuk menjaga rumah. Mereka sangat patuh, jadi nggak bakal menggigit manusia. Kalian nggak usah takut," ucap Susanti untuk menenangkan ketiga wanita itu. Setelah berinteraksi dengan para harimau, Susanti pun tidak begitu takut lagi sekarang."Apa? Tirta membawa harimau-harimau ini untuk menjaga rumah? Bu Susanti, kamu nggak bercanda?" Ayu sungguh tercengang mendengarnya. Dia sampai mengira ada yang salah dengan pendengarannya."Harimau adalah binatang buas. Gimana bisa mereka menjaga rumah? Sudah syukur mereka nggak memakanku. Tirta, sebaiknya suruh mereka pergi ...." Arum ketakutan hingga wajahnya memucat dan suaranya bergetar.Hanya Melati yang menatap harimau besar itu dengan ten
"Kata orang kita nggak boleh sentuh bokong harimau. Sepertinya itu cuma rumor." Usai berbicara, Melati memberanikan diri untuk menghampiri induk harimau itu dan menyentuh bokongnya.Induk harimau itu sama sekali tidak melawan ataupun marah. Begitu melihatnya, Ayu dan Arum pun tidak begitu takut lagi. Mereka jadi ingin mencoba. Mereka masih ingin mencoba, tetapi masih tidak berani."Bi Ayu, Kak Arum, kalian coba raba saja. Bulu mereka halus sekali lho!" Tirta mendekat, lalu menurunkan ketiga ekor anak harimau itu.Ketiga anak harimau itu pun tidak kabur setelah diturunkan. Mereka berlari mengelilingi Tirta sambil mengaum. Sesekali, mereka akan menggoyangkan kepala mereka. Sungguh menggemaskan!"Wow! Aku benaran menyentuh harimau! Harimau hidup!" Arum yang tidak bisa menahan godaan pada akhirnya memberanikan diri untuk menggendong salah satu anak harimau itu, lalu mengelusnya."Aku juga mau coba ...." Ketika melihat kedua wanita itu mengelus harimau, Ayu pun tidak mau kalah. Dia berjongk
Di sisi lain, Tirta menelepon Ayu setelah Idris dan Rasmi pergi. Setelah panggilan terhubung, Ayu yang sudah 2 hari tidak bertemu Tirta tentu merasa khawatir. Dia terus menanyakan kondisi Tirta.Tirta menjelaskan kondisinya dengan singkat, "Bi, Susanti terancam bahaya. Jadi, aku langsung naik pesawat untuk mencari Susanti. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Sekarang semuanya sudah aman."Tirta memberi tahu Ayu pemikirannya, "Aku berencana membawa Susanti menemuimu setelah dia bangun, lalu kita dan Bi Elisa langsung kembali ke Desa Persik. Kita tinggal di sana untuk beberapa waktu."Mendengar ucapan Tirta, Ayu yang khawatir bertanya, "Ha? Tirta, kalau kamu mau kembali ke Desa Persik, tentu saja aku dan Elisa nggak keberatan. Masalahnya, gimana caranya kamu menjelaskan pada Bu Bella?"Ayu menambahkan, "Bagaimana kalau Bu Bella mau ikut kita kembali ke Desa Persik? Aku rasa berdasarkan sifat Bu Bella, dia pasti nggak terima kalau tahu kamu punya banyak kekasih.""Aku yang akan jelaskan pada
"Aku rasa otakmu bermasalah karena terlalu lama tinggal di Provinsi Naru!" bentak Rasmi. Ucapannya menunjukkan dia tidak menyukai Tirta."Rasmi, kenapa kamu bicara seperti itu? Pak Tirta itu saudara Ayah. Bukannya sudah seharusnya kita bersikap hormat padanya? Lagi pula ...," sahut Idris.Idris berniat menceritakan pada Rasmi bahwa Tirta sudah membantunya menyelesaikan masalah mereka yang tidak bisa mempunyai keturunan.Namun, sebelum Idris selesai bicara, Rasmi menyela, "Apa? Aku nggak marah kalau nggak ungkit masalah itu! Ayah sudah pikun, makanya dia mengakui pemuda itu sebagai saudaranya."Rasmi melanjutkan, "Waktu Ayah menceritakan masalah ini padaku, aku sudah sarankan dia cepat batalkan keputusannya. Ayah pikun karena tua, masa kamu juga sama? Kalau waktu itu Ayah mengakui anak 3 tahun jadi saudaranya, apa kamu juga mau memuja anak kecil itu?"Rasmi menambahkan, "Aku nggak peduli! Apa pun caranya, kamu harus usir pemuda itu dari rumah kita secepatnya! Aku nggak mau tinggal di ho
Begitu melontarkan perkataannya, Marila baru merasa kurang pantas. Dia berbisik lagi dengan wajah memerah, "Pak Tirta, bukan itu maksudku. Jangan salah paham."Tentu saja Tirta tahu Marila tidak bermaksud seperti itu. Dia tertawa, lalu menanggapi, "Oke. Aku tunggu Bu Marila pulang setelah beli bahan obat-obatan."Sesudah itu, Tirta tidak mengatakan apa pun lagi. Mendengar perkataan Tirta, Marila baru merasa tenang. Kemudian, Marila berpamitan dengan Idris.Tirta merasa bosan saat menunggu Marila. Dia kembali ke kamar untuk menemani Susanti. Tirta duduk di samping tempat tidur. Pikirannya sangat kacau.Tirta mendesah dan bergumam, "Setelah Susanti bangun, aku bawa dia cari Bi Ayu, lalu langsung kembali ke Desa Persik. Kak Nabila, Kak Melati, Kak Arum, Kak Farida, dan lainnya pasti merindukanku."Sebenarnya sebelum Susanti tertimpa masalah, Tirta berencana pergi ke ibu kota setelah meninggalkan Provinsi Dohe. Namun, masalah ini terjadi.Tirta juga memahami satu hal. Dia memang bisa menge
"Aku nggak akan pergi lagi. Jangan tiduri aku, ya?" mohon Selina. Wajahnya memerah setelah mendengar ucapan Tirta.Selina berusaha menggerakkan pinggangnya untuk menjauhi sumber masalah itu. Napas Tirta yang hangat membuat wajah Selina merah padam.Tirta menegaskan, "Aku nggak peduli, pokoknya sekarang aku harus menidurimu sampai puas. Terserah kamu mau pergi atau tetap tinggal, aku tetap akan melakukannya!"Hasrat Tirta membara karena pinggang Selina terus bergerak. Dia segera mengerahkan 2 teknik. Yang pertama adalah Teknik Menghilang untuk menyembunyikan tubuhnya dan Selina. Yang kedua adalah Teknik Senyap untuk menutupi suara yang dikeluarkan Selina selanjutnya.Kemudian, Tirta langsung bersanggama dengan Selina. Sementara itu, Selina memelas, "Tirta ... jangan ... aku benci kamu ...."Biarpun mengeluh, tubuh Selina tetap terangsang. Jelas-jelas Tirta sudah melepaskannya, tetapi Selina tidak melepaskan Tirta dan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan Tirta memberinya kompensasi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,
Selain itu, perasaan Selina campur aduk saat melihat Tirta. Melihat ekspresi mereka yang terkejut, Idris tertawa dan bertanya, "Apa Pak Tirta nggak pernah beri tahu kalian?"Idris membatin, 'Pak Tirta sangat hebat. Biarpun nggak ada Pak Saba, Pak Tirta bisa mendekati petinggi negara yang lain asalkan dia mau.'Sayangnya, Idris sudah berjanji kepada Tirta tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Kalau tidak, Idris akan menjadi pelindung Tirta dan memamerkan kehebatannya.Yuli masih merasa antusias. Bahkan, dia sangat bangga hingga memandangi Tirta seraya tersenyum lebar dan menjawab, "Nggak. Pak Tirta, kenapa kamu nggak beri tahu kami hal sepenting ini?"Sekarang Tirta terpaksa harus mengakuinya. Dia berdeham, lalu menanggapi dengan ekspresi tenang, "Karena aku merasa hal seperti ini nggak perlu diumbar. Aku juga nggak ingin memanfaatkan status Pak Saba untuk bertindak semena-mena."Kenyataannya memang seperti itu. Tirta tidak pernah berinisiatif mengatakan dirinya adalah saudara Saba.Yu
Tirta tertawa licik, lalu membalas, 'Oke. Kak, aku akan pergi. Nanti malam jangan berpikiran untuk menghabisiku lagi.'Kemudian, Tirta keluar dengan perasaan gembira. Dia melihat Idris yang antusias sedang duduk tegak sambil mengobrol dengan Marila, Yuli, dan Selina.Begitu Tirta keluar, Idris langsung berhenti bicara. Dia berdiri, lalu menyambut Tirta, "Pak Tirta ...."Yuli juga menghampiri Tirta dan menimpali sembari tersenyum, "Pak Tirta, apa kita bisa bicara sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.""Ada apa? Tentu saja boleh," sahut Tirta.Yuli sangat senang melihat Tirta menyetujui permintaannya. Dia segera menarik Tirta kembali ke kamar. Namun, sebelum Yuli membawa Tirta masuk ke kamar, Anton yang keberatan menghentikan Yuli, "Aduh, berhenti! Yuli, kamu gila, ya? Kenapa kamu nggak langsung bertanya pada Pak Tirta di sini saja? Untuk apa kamu bawa dia ke kamar? Kamu kira ini rumahmu?"Anton berucap pada Tirta dengan ekspresi canggung, "Pak Tirta, begini. Ibunya Susanti ingin
Namun, bagian tubuh yang telah dipijat oleh Tirta terasa hangat dan nyaman, membuat Idris sangat rileks."Sudah beres. Pak Idris, masalahmu berasal dari kelelahan berkepanjangan ditambah dengan faktor bawaan, menyebabkan kondisi tubuhmu lebih lemah dari orang lain, makanya sulit menghasilkan sperma.""Dengan metode kedokteran barat, masalah seperti ini sangat sulit ditangani, bahkan sering kali tak terdeteksi.""Tapi di tanganku, ini bukan masalah besar. Kalau kondisi tubuh istrimu juga memungkinkan, aku jamin malam ini kamu bisa langsung tepat sasaran."Saat mengatakan itu, alis Tirta tiba-tiba berkerut. Dia baru teringat satu hal. Dia sudah berhubungan intim dengan begitu banyak wanita, tetapi sejauh ini belum ada satu pun yang hamil."Wah, terima kasih banyak, Pak Tirta! Kalau aku dan istriku benar-benar bisa punya anak, aku pasti akan undang kamu ke acara syukuran!"Idris yang tenggelam dalam euforia itu sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah Tirta. Dia sangat bersyukur
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka