Selain itu, Tirta memang memiliki "modal" yang sangat luar biasa! Bahkan jika Ayu dan Melati berlatih selama 100 tahun lagi, mereka tetap saja tidak akan bisa menyaingi Tirta."Menjadi tak terkalahkan itu ternyata sangat kesepian ...," gumam Tirta sambil memandang kedua wanita yang tertidur pulas. Dia mulai berpikir, kapan dia bisa menemukan lawan yang seimbang, seseorang yang benar-benar bisa menantang batas kemampuannya.Namun, ketika Tirta sedang melamun, tiba-tiba terdengar suara batuk yang pelan dari kamar sebelah. Suara itu terdengar seperti sengaja ditahan. Di kamar sebelah hanya ada Arum yang tidur."Hm? Jangan-jangan Kak Arum ada urusan mencariku?"Setelah berpikir sejenak, Tirta memutuskan untuk mengenakan pakaiannya dan membuka pintu kayu untuk memeriksa situasi di kamar sebelah. Gerakannya sangat berhati-hati, sehingga Ayu dan Melati yang masih tertidur itu tidak terganggu sama sekali."Eh, Kak Arum, ada apa kamu memanggilku?" tanya Tirta. Saat berjalan mendekati tempat tid
"Tirta ... tunggu! Benaran nggak usah repot-repot! Aku minum obat saja nanti, nggak usah akupunktur lagi. Benaran, kok!" seru Arum dengan wajah memelas. Dia buru-buru mencengkeram erat selimutnya agar Tirta tidak bisa menyibaknya."Kak Arum, kamu malu ya?" tanya Tirta yang tiba-tiba sadar."Ya ... aku nggak pakai baju .... Sebaiknya nggak usah akupunktur saja ...." Sambil mengatakan hal itu, Arum membenamkan wajahnya ke dalam selimut dan hanya menyisakan kedua matanya. Dia tidak berani menatap langsung kepada Tirta saking malunya."Kak Arum, sebenarnya aku juga nggak mau jalankan akupunktur padamu. Tapi, dua hari lagi kamu akan datang bulan," kata Tirta sambil menghela napas. "Kalau nggak segera disembuhkan, aku khawatir nanti kondisimu akan semakin parah.""Begitu ya .... Kalau gitu ...." Mendengar hal itu, Arum tampak ragu. Dia memang merasa sangat tidak nyaman sekarang dan membayangkan datang bulan dalam kondisi seperti ini membuatnya semakin khawatir.Namun, tiba-tiba, Arum seperti
Tirta berkata sambil meletakkan jarum perak di meja kecil dekat tempat tidur, lalu menggulung lengan bajunya untuk memeriksa nadi Arum."Baiklah, tolong periksa apa yang bermasalah di tubuhku," kata Arum sambil menganggukkan kepala dan wajah merona. Dalam sekejap, tangannya yang putih mulus diulurkan dari balik selimut dan disodorkan ke hadapan Tirta."Hmm .... Pantas saja aku nggak bisa melihat ada masalah. Ternyata ini cuma masalah kecil. Rahimmu agak dingin, tapi gejalanya nggak terlalu serius. Cuma perlu diterapi akupunktur dan pijat saja sudah beres." Sentuhan lengan Arum terasa hangat dan halus. Karena merasa gugup, tangannya bahkan agak gemetaran."Jadi cuma rahim dingin .... Aku benar-benar bodoh. Kalau nggak, aku nggak akan tertipu sama dokter di klinik kecil itu," ujar Arum dengan nada penuh rasa bersalah.Namun, memikirkan dua metode yang ditawarkan Tirta, wajahnya kembali memerah. Dengan sedikit canggung, dia bertanya, "Tirta, selain akupunktur dan pijatan, apa nggak ada me
"Oke, Kak. Aku bantu pijat sebentar." Melihat Arum telah menyetujuinya, Tirta menarik napas dalam-dalam dan mengatur posisi duduknya. Kedua tangannya diletakkan di perut Arum dan mulai memijatnya.Gerakannya sangat lembut dan tenaganya juga sangat pas. Berhubung perutnya telah ditancapkan delapan jarum akupunktur, bagian yang bisa dipijat Tirta juga sangat terbatas. Akhirnya, dia terpaksa memijat ke bagian yang lebih bawah ....Namun, Arum yang hanyut dalam kenikmatan akupunktur dan pijatan itu, tidak menyadari bahwa suasananya semakin intim. Bahkan, dia secara refleks mengeluarkan desahan lembut."Ah ... memang nyaman sekali .... Tirta, kamu hebat sekali ....""Ehem .... Kak Arum, tolong jangan bersuara. Jangan sampai bangunkan Bibi dan Kak Melati ...," ujar Tirta dengan suara pelan untuk mengingatkan Arum, meskipun dalam hati dia merasa darahnya mendidih.Meski saat ini dia memang hanya sedang menjalankan pengobatan untuk Arum, prosesnya ini terlalu intim! Jika sampai ketahuan oleh k
Tirta pun berbalik masuk ke dapur."Bukan Kak Arum meremehkanmu, tapi masakanmu benar-benar nggak enak. Sebaiknya Kak Arum saja yang masak," ujar Arum mentertawakannya dari belakang. Kini setelah flunya sembuh dan tahu bahwa dirinya tidak mengidap kanker serviks, hatinya menjadi lebih lega dan ceria."Baiklah, kalau begitu maaf merepotkan Kak Arum. Aku keluar untuk jalan-jalan dulu. Setelah kamu selesai masak nanti, aku juga pasti sudah pulang."Dia memastikan pintu klinik tertutup rapat untuk mencegah ada yang melihat Arum sedang berganti pakaian. Setelah itu, dia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Tirta juga berniat untuk mampir dan melihat progres pembangunan vila milik Farida.Namun saat baru berjalan beberapa langkah, terlihat beberapa mobil polisi yang mendekat dari kejauhan tiba-tiba menghentikannya. Pintu mobil yang berada di paling depan barisan itu terbuka. Susanti yang sudah lama tidak dijumpainya itu bergegas turun dari mobil."Tirta ... sejak kapan kamu pulan
"Kasus apa sampai harus kubantu untuk menyelesaikannya? Mendesak nggak? Kalau mendesak, aku perlu pamit dulu ke Bibi," tanya Tirta setelah menurunkan Susanti."Nggak mendesak, bukan kasus besar. Nggak perlu pamit sama bibimu dulu," jelas Susanti sambil merapikan pakaiannya yang berantakan karena Tirta."Beberapa waktu lalu saat aku patroli di sekitar Desa Persik, aku mendengar suara tembakan dari bukit belakang. Menurutku, ada dua kemungkinan: entah itu kasus kriminal atau ada warga desa yang berburu secara ilegal di gunung.""Jadi, aku mau kamu ikut aku ke sana untuk menyelidiki, biar kita tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mendengar penjelasan Susanti, Tirta merasa lega. Dia tidak ingin baru saja kembali ke desa sudah harus ikut keluar untuk urusan jauh. Jika penyelidikannya hanya di sekitar Desa Persik, dia masih bisa menerimanya."Oh, cuma itu. Kukira ada kasus besar apaan," ucap Tirta setelah berpikir sejenak. "Karena nggak mendesak, kita pergi ke gunung setelah aku selesai makan
"Jadi kamu pikir tubuh kecilmu itu bisa bertahan seharian? Setengah hari saja mungkin sudah ngos-ngosan. Nanti pas di bukit, kamu bakal tahu rasanya capek," ujar Tirta sambil mengangkat alis, mengingat pengalaman sebelumnya.Dia teringat saat Melati ikut ke bukit untuk mencari tanaman obat dengannya. Karena terlalu lelah, Melati hampir tidak bisa berjalan dan akhirnya Tirta harus menggendongnya turun gunung.Namun, percakapan ini terdengar berbeda di telinga Arum yang sedang sibuk di dapur."Uh ... sampai pulangnya nggak bisa jalan? Jadi benar seperti yang kupikirkan ... Bu Susanti dan Tirta pasti mau melakukan 'itu' di bukit .... Dasar Tirta nggak tahu diri! Baru semalam sudah heboh, hari ini malah mikir mau 'itu' lagi .... Kalau terus begini, tubuhnya pasti bakal rusak!"Dengan pikiran itu, Arum segera memutuskan untuk memasak beberapa hidangan tambahan agar mereka punya cukup energi. Setelah hampir satu jam, makanan pun selesai dimasak.Arum membawa dua piring lauk ke meja makan sam
"Kak Arum, sebenarnya aku nggak lapar. Gimana kalau aku nggak usah makan dulu. Selain itu, tubuhku sehat sekali, nggak butuh makanan seperti ini."Melihat sepiring besar tumis kemaluan sapi yang telah dipotong kecil-kecil seukuran kuku, Tirta merasa panik."Nggak bisa, kamu cuma terlihat sehat saja," tolak Arum. "Sebenarnya tubuhmu sudah hampir terkuras habis. Kamu masih muda dan kuat sekarang, jadi nggak terasa. Tapi kalau sudah lewat usia 30-an, mungkin kamu akan mulai merasakan dampaknya. Jadi, kamu harus makan ini dan nggak boleh sisain sedikit pun!""Kalau kamu nggak makan, aku nggak bakal izinin kamu pergi ke bukit sama Bu Susanti untuk urusan apa pun!" tambahnya sambil menatap tajam. "Ini semua untuk kebaikanmu. Ayo duduk dan makan, jangan biarkan Bu Susanti menunggu terlalu lama.""Baiklah, aku makan," kata Tirta pasrah, lalu duduk dengan berat hati dan mengambil sendok."Kamu makan saja dulu, aku ambilkan nasi untukmu," ujar Arum sambil bergegas kembali ke dapur.Dalam hati,
Tirta berpikir sejenak, lalu tersenyum licik dan berucap, "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, kamu kabulkan satu keinginanku saja. Anggap sebagai kompensasi."Agatha segera mengangguk seraya menyahut, "Apa keinginanmu? Kamu bilang saja. Asalkan aku bisa melakukannya, aku pasti kabulkan keinginanmu."Tirta mengedipkan matanya, lalu menimpali, "Nanti kita baru bicarakan di mobil. Sekarang kita bicarakan masalah bibit pohon buah dengan bos toko dulu.""Oh. Kalau begitu, nanti kita baru bicarakan di mobil," balas Agatha. Dia merasa Tirta berniat jahat, tetapi dia tidak keberatan.Anak bos toko sudah tertidur setelah minum susu. Bos toko keluar dari kamar. Dia membawa sepiring buah yang sudah dicuci.Bos toko berujar, "Kalian sudah menunggu lama. Istirahat dulu dan makan buah.""Terima kasih, Bu," sahut Tirta. Dia tidak sungkan lagi dan langsung duduk di bangku. Tirta mengambil buah pir dan memakannya.Agatha dan Nia juga mengambil buah, lalu duduk di samping Tirta sambil memakan buahn
"Aduh, maaf ... aku ...," ucap bos toko. Dia baru tersadar. Bos toko segera merapikan pakaiannya dengan ekspresi malu.Bos toko berniat mengambil tisu untuk menyeka punggung Tirta, tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Dia merasa bersalah dan juga ragu. Bos toko berputar-putar di tempat.Agatha segera mengambil tisu di mobil, lalu berujar, "Tirta, biar aku yang menyeka punggungmu."Agatha merasa bersalah karena tadi dia salah paham kepada Tirta. Dia menyeka punggung Tirta.Tirta sedang sibuk menyelamatkan anak itu sehingga tidak menanggapi ucapan Agatha. Setelah ditepuk-tepuk Tirta beberapa saat, anak itu memuntahkan potongan buah. Kemudian, kondisinya perlahan menjadi normal kembali.Tirta baru mengembuskan napas lega. Dia menyerahkan anak itu kepada bos dan berpesan, "Bu, sekarang anakmu baik-baik saja. Dia masih terlalu kecil, nggak bisa konsumsi makanan yang terlalu keras. Ingat, ke depannya jangan beri dia makanan yang keras lagi supaya kejadian begini nggak terulang."B
Dada wanita itu pun terlihat. Masalahnya, anak itu tetap menangis meski telah diberi susu. Sepertinya tidak tampak tanda-tanda tangisannya akan mereda.Tirta melihat anak itu. Dia baru menyadari ada yang tidak beres. Ternyata, ada potongan buah yang tersangkut di tenggorokan anak itu.Alhasil, anak itu kesulitan bernapas. Itulah sebabnya dia tidak berhenti menangis. Jika tidak segera ditangani, nyawa anak itu akan terancam.Saat Tirta hendak meminta bos toko untuk menyerahkan anaknya, tiba-tiba Agatha mencubit pinggangnya dan menegur, "Tirta, apa yang kamu lihat? Bos itu lagi menyusui anaknya! Cepat kembali ke mobil!"Agatha berbicara sambil mendorong Tirta ke mobil. Dia merasa Tirta makin keterlaluan. Bisa-bisanya dia diam-diam melihat wanita yang sedang menyusui anaknya!Tirta yang hendak keluar dari mobil buru-buru menjelaskan, "Bukan ... Kak Agatha, kamu salah paham. Aku nggak diam-diam melihat bos itu. Aku lagi lihat anaknya. Dia bukan lapar, tapi ada makanan yang tersangkut di te
Tirta yang berdiri di luar kamar pas bergumam setelah mendengar percakapan Agatha dan Nia, "Aneh, apa setiap wanita yang dadanya kecil berharap dadanya membesar?"Tirta berpikir ukuran dada wanita sama pentingnya dengan ukuran alat kelamin pria. Tentu saja pria tidak ingin mempunyai alat kelamin yang kecil. Bahkan, Agus meminta resep kepada Tirta untuk memperbesar alat kelaminnya.Tirta membatin, 'Nanti waktu melakukan akupunktur pada Kak Nia, aku sekalian bantu Kak Nia perbesar ukuran dadanya.'Tak lama kemudian, Agatha dan Nia keluar dari kamar pas. Agatha menunjukkan pakaian dalam renda yang seksi kepada Tirta, lalu berujar sembari mengerjap, "Tirta, aku sudah selesai pilih. Ukurannya sudah pas, kamu langsung bayar. Malam ini aku nggak pulang lagi."Nia paham maksud Agatha. Dia langsung bergeser ke samping. Sementara itu, Tirta berdeham dan menyahut, "Oke. Aku bayar sekarang."Namun, Tirta merasa khawatir. Malam ini Susanti kembali ke klinik. Pasti akan terjadi keributan lagi. Nanti
Susanti melihat Harto dan lainnya dengan ekspresi dingin. Niko menyahut, "Oke, Bu Susanti!"Kemudian, Niko memerintah bawahan untuk menangkap Harto dan lainnya. Susanti menghampiri Agatha dan Nia, lalu bertanya, "Bu Agatha, Bu Nia, apa kalian disakiti?""Nggak. Tapi, kalau nggak ada Tirta, kami pasti celaka," sahut Agatha yang masih merasa takut.Susanti mengeluarkan pena dan catatan, lalu mencari tahu seluk-beluk kejadiannya. Dia berkata, "Yang penting kalian baik-baik saja. Aku butuh pengakuan kalian. Waktu mengurus kasus, aku butuh ...."Setelah selesai bertanya kepada Agatha dan Nia, Susanti berpamitan dengan Tirta dan buru-buru pergi. Sudah jelas Susanti makin sibuk sejak Mauri dipindahkan. Yang mengejutkan Tirta adalah kali ini Susanti dan Agatha tidak berdebat.Agatha melihat Susanti turun ke lantai bawah, lalu menghampiri Tirta dan merangkul lengannya sembari bertanya, "Tirta, apa yang harus kita lakukan sekarang?"Tirta merangkul pinggang Agatha dan menjawab, "Lanjut beli paka
Tendangan Tirta sangat kuat. Wajah Karsa babak belur dan tulangnya patah. Karsa merasakan sakit kepala hebat. Dia berteriak, "Lihat saja nanti! Ayah angkatku pasti akan membalas dendam untukku setelah tahu masalah ini!""Berisik!" seru Tirta. Dia menendang Karsa lagi. Kali ini, Karsa tidak bersuara.Harto berucap dengan geram seraya menatap Tirta, "Kak Karsa .... Dasar bocah sialan! Kamu bunuh kakakku! Polisi sudah datang, mereka pasti nggak akan lepaskan kamu!"Tirta melempar parang, lalu menimpali, "Kamu salah. Aku cuma membantu masyarakat untuk membasmi orang jahat. Polisi nggak akan mempersulitku.""Lagi pula, aku ini dokter. Aku tahu batasan saat bertindak. Paling-paling kakakmu cuma jadi orang cacat selamanya dan hidup menderita. Nggak adil kalau orang jahat sepertinya langsung mati," lanjut Tirta.Tirta tersenyum sinis dan menambahkan, "Tentu saja, nasibmu hampir saja dengan dia."Harto ketakutan, tetapi dia tetap memarahi Tirta, "Kamu itu memang gila!"Namun, Tirta tidak memedu
Tirta membentak, "Cepat bilang! Kalau nggak, aku lumpuhkan kalian!"Seorang bawahan didorong oleh orang di belakangnya. Dia langsung berlutut di depan Tirta saking takutnya, lalu menyahut sembari menangis, "Kak, kami nggak berani bilang. Kami cuma bawahan rendahan, kami nggak ingin singgung tokoh hebat itu."Bawahan itu menambahkan, "Lagi pula, kamu sudah tahu. Jangan tanya kami lagi. Kalau nggak, kami bisa mati."Tirta mendengus dan memarahi, "Kalian juga berengsek! Kalian pantas mati! Cepat berlutut!"Tirta berpikir nanti dia akan memberi tahu masalah ini kepada Saba setelah Saba dan Shinta datang. Jadi, Saba bisa mengutus orang untuk membereskan wali Kota Hamza.Para bawahan tidak berani melawan Tirta. Mereka langsung berlutut dan berujar, "Oke ... kami berlutut."Sementara itu, Agatha sudah melepaskan pipa besi yang dipegangnya. Dia dan Nia bergegas menghampiri Tirta. Agatha bertanya, "Tirta, apa sekarang aku perlu telepon Bu Susanti supaya dia bisa bawa anggotanya kemari?""Tunggu
Tirta tertawa sinis, lalu berkata, "Baguslah kalau kamu maju. Aku memang berniat membuat perhitungan denganmu!"Tirta mengerahkan kekuatan Tinju Harimau Ganas sampai maksimal. Energi tinjuannya benar-benar dahsyat dan menimbulkan suara yang memekakkan telinga, seperti suara auman harimau!Semua orang di lantai 2 menutup telinga mereka. Kala ini, mereka sangat ketakutan. Bahkan, tubuh mereka lemas.Ini adalah kekuatan Tinju Harimau Ganas tingkat tertinggi. Energinya saja sudah cukup membuat orang gentar. Jika Lutfi berada di sini, dia pasti tercengang.Hal ini karena guru Lutfi juga tidak berhasil mempelajari Tinju Harimau Ganas tingkat tertinggi setelah puluhan tahun. Namun, Tirta bisa menguasai teknik ini setelah mempelajarinya dalam waktu singkat.Parang Karsa menghantam Tinju Harimau Ganas yang dilancarkan Tirta. Parang itu langsung hancur berkeping-keping. Sementara itu, tinjuan Tirta seperti menghancurkan selembar kertas yang tipis.Tirta tidak berhenti melancarkan serangan. Dia l
Siapa sangka, terjadi sesuatu yang mengejutkan! Hanya dalam sekejap, sekitar 5 bawahan Karsa terpental karena serangan Tirta. Bahkan, bawahan yang diserang masih terbengong-bengong.Nia yang bersembunyi di sudut bertanya kepada Agatha, "Kak Agatha, kenapa ... Tirta begitu hebat?"Agatha terus memandangi Tirta sambil menyahut, "Aku juga nggak tahu. Tapi, Tirta memang hebat. Seharusnya orang-orang ini nggak bisa melawannya.""Benaran?" tanya Nia dengan ragu-ragu.Saat Agatha dan Nia berbicara, terdengar suara teriakan lagi. Tirta berhasil mengalahkan sekitar 8 bawahan lagi.Kekuatan Tirta yang dahsyat membuat bawahan lain ketakutan. Mereka pun mundur. Harto yang berbaring di lantai mengingatkan, "Kak ... orang ini menguasai ilmu bela diri! Kamu harus hati-hati!""Harto, kamu tenang saja. Biarpun dia itu ahli, hari ini dia tetap akan dicincang!" timpal Karsa dengan santai. Kemudian, dia membentak bawahan, "Dasar orang-orang bodoh! Langsung tebas dia pakai parang!"Karsa menambahkan, "Jang