Staf menyeka telapak tangannya yang basah karena keringat. Kemudian, dia lanjut memotong batu mentah itu hingga kandas.Seperti yang dikatakan Tirta, sebagian isi batu mentah itu adalah zamrud. Kilauan hijau yang indah itu membuat semua orang terpana.Di bawah sinar matahari, zamrud yang belum dipoles itu memancarkan cahaya yang lebih memikat daripada giok.Setelah staf memeriksa dengan senter, dia tak kuasa berseru takjub, "Ajaib sekali! Ini adalah keajaiban! Umumnya, zamrud memiliki beberapa noda dan retakan alami. Tapi, zamrud ini sangat jernih dan tidak terdapat noda ataupun retakan.""Ini adalah zamrud dengan kualitas sempurna. Harganya bahkan bisa melampaui berlian dengan kualitas yang sama."Tangan staf itu sampai gemetaran. Bagaimanapun, dia jarang berkesempatan melihat dan memegang zamrud.Zamrud sempurna yang dipegangnya ini setara dengan berlian alami. Harganya sungguh tak ternilai. Jika terjadi kecelakaan, staf itu tidak mungkin bisa ganti rugi.Orang-orang di sekitar tentu
Ini hanya taruhan batu, tetapi membuat semua orang merasa diri sendiri seperti sedang naik kereta luncur. Terkadang mereka seperti berada di neraka, terkadang seperti berada di surga. Jika raja neraka melihat mereka bolak-balik dari gerbang kematian, mungkin dia akan merasa bingung.Afrian tersenyum lega sambil berkata, "Aku sudah lama berkecimpung di bisnis batu giok, tapi baru kali ini aku merasa begitu bersemangat. Jantungku sampai hampir copot." Gilang sependapat. Dia menyahut, "Pak, bukan cuma kamu, aku juga sama. Kita harus bertahan sampai akhir. Kita punya harapan besar."Ketika melihat zamrud yang begitu indah, Irene tidak sempat mempertahankan citranya lagi. Dia sontak mengepalkan tangan, lalu berkata dengan antusias, "Tirta, kamu hebat sekali! Matamu memang ajaib."Irene memeluk Tirta yang berekspresi datar, lalu mengambil inisiatif untuk menciumnya. Ciuman ini bukan mendarat di pipi Tirta melainkan di bibirnya.Tirta pun tidak sungkan-sungkan. Dia langsung merangkul pinggang
"Kalau ada masalah dengan otak kalian, nggak usah mengadakan ekspo! Jangan-jangan kalian menaruh semua batu mentah berkualitas tinggi di zona kelas rendah? Pokoknya, aku mau bertemu dengan pihak penyelenggara ekspo ini! Aku mau minta penjelasan!" pekik Putro.Putro mengira dirinya sudah pasti menang, tetapi malah diinjak-injak oleh Tirta. Jika bukan karena tidak ada air minum, Putro pasti sudah memakan obat perangsang sejak tadi. Begitu efek obat bekerja, dia akan langsung memberi Irene pelajaran. Untungnya, dia belum memakan obat itu sampai sekarang.Gania menatap sikap Putro yang tidak masuk akal dengan ekspresi datar. Berani sekali pria ini mempermalukan pihak penyelenggara. Dia langsung memberi peringatan, "Pak Putro, tolong jaga sikapmu. Jangan mengacaukan ketertiban ekspo ini. Kalau kamu melanggar aturan, kami berhak untuk mengusirmu."Putro sedang naik pitam. Dia memelototi Gania dan menyahut, "Kalau begitu, kamu saja yang memberiku penjelasan. Gimana cara pihak penyelenggara me
Aina memaki, "Dasar wanita penggoda, apa yang kamu katakan? Siapa kamu? Beraninya kamu membentak Kak Putro! Kamu sudah bosan hidup ya? Kalau nggak mau mati, cepat pergi dari sini! Kalau nggak, aku akan menyuruh orang-orang menidurimu!"Tebersit kilatan tajam pada tatapan wanita misterius itu. Plak! Staf di samping sontak menampar Aina. Saking kuatnya tamparan itu, Aina pun terjatuh.Staf menegur dengan ekspresi dingin dan marah, "Jaga omonganmu atau kamu mungkin nggak bisa keluar dari sini hari ini!"Aina memegang pipinya yang memerah karena ditampar. Dia tahu dirinya bukan lawan mereka. Dia menghampiri Putro sambil menggoyangkan lengan Putro dengan wajah berlinang air mata."Kak Putro, lihat, aku ditindas mereka. Mereka memukul wanita. Kamu harus memberiku keadilan. Habisi wanita itu atau jual dia ke luar negeri. Biar dia tahu gimana rasanya dinodai ramai-ramai," pinta AinaAina hendak membalas dendam kepada wanita misterius itu. Dia pun menatap wanita itu dengan tatapan penuh kebenci
Putro tidak lagi terlihat meremehkan lawannya. Asalkan bisa menang dalam ronde ketiga, dia sudah merasa sangat puas.Putro menghibur diri sendiri dalam hati, 'Baguslah kalau begitu. Karena Pak Sandy begitu yakin, seharusnya semuanya akan baik2 saja.'Di sisi lain, Aina yang ditampar 2 kali hanya bisa berdiri di samping Putro dengan ekspresi masam tanpa melontarkan apa pun.Aina tidak bisa bersikap arogan seperti sebelumnya lagi. Meskipun demikian, dia yang masih kesal dan mencoba untuk melampiaskan amarahnya kepada staf di samping."Hei, kamu tuli ya? Kamu nggak dengar omongan Kak Putro? Cepat belah batunya! Jangan buang-buang waktu!"Staf pun mengerlingkan matanya dengan kesal. Meskipun demikian, dia tetap membelah batu itu. Tatapan semua orang tertuju pada batu terakhir yang dipilih oleh Sandy.Begitu dibelah, terlihat kilauan ungu di dalamnya. Staf berseru takjub, "Ada isinya! Warnanya ungu!"Sandy seketika merasa bersemangat. Dia membelalakkan matanya sambil mendesak, "Cepat belah!"
Afrian dan dua orang lainnya mulai merasa agak gugup. Dengan wajah kesal, Gilang berkata, "Dia berhasil buka batu yang mengandung giok violet, ini benar-benar merepotkan. Peluang untuk ngalahin mereka sangat tipis."Irene mengepalkan tangan dan meletakkannya di depan dada sambil menatap Tirta dengan cemas. Dengan ekspresi bingung, Tirta bertanya pada Irene, "Memangnya giok violet lebih berharga daripada zamrud?"Sebelum Irene sempat menjawab, seorang wanita misterius di antara penonton membuka suara dan menjelaskan, "Giok violet memang sedikit lebih rendah daripada zamrud, tapi hanya sedikit sekali perbedaannya.""Zamrud yang kamu dapatkan sebelumnya memang berkualitas sangat baik, tapi ukurannya nggak terlalu besar. Jadi secara keseluruhan, nilainya masih kalah sedikit dibandingkan dengan giok violet yang luar biasa ini."Mendengar penjelasan wanita misterius itu, wajah Afrian, Irene, dan Gilang menjadi semakin pucat. Mereka menyadari bahwa peluang untuk menang sangatlah kecil. Mereka
"Pengalamanmu masih belum cukup. Tapi karena kamu berbakat, kalau kamu bersedia mengakuiku sebagai gurumu, aku bisa mohon sama Pak Putro untuk nggak mematahkan tangan dan kakimu. Kamu hanya perlu berlutut dan minta maaf."Untungnya Sandy tidak memiliki janggut. Jika dia punya janggut, saat ini dia pasti sudah berlagak seperti seorang ahli besar yang mengelus-elus janggutnya.Di sampingnya, Putro mengernyit. Dia merasa tidak puas dengan usul Sandy. Setelah mengalahkan Tirta dengan susah payah, dia memang ingin menyiksa Tirta habis-habisan sebagai balas dendam atas penghinaan yang dia terima sebelumnya. Namun, saat ini dia masih bergantung pada Sandy sepenuhnya, jadi dia tidak ingin menyinggung pria itu.Setelah dipikir-pikir, hal yang paling diinginkannya saat ini adalah mendapatkan Irene dan bersenang-senang dengannya. Mengenai Tirta, Putro bisa menerima jika Sandy berhasil mempermalukan dan membuatnya berlutut minta maaf.Akhirnya, Putro menyetujui usul itu dengan terpaksa. "Baiklah k
Wanita misterius itu mengangguk dengan kagum. "Tirta memang kalah dalam pertandingan ini, tapi lawannya adalah Sandy, seorang ahli besar di bidang batu giok. Berhubung usianya masih muda, wajar kalau mentalnya agak goyah.""Tapi dengan kemampuan dan standar seperti ini, dia sudah patut dihormati dalam industri batu giok. Kalah dari seorang ahli seperti Sandy bukanlah hal yang memalukan. Masa depannya sangat cerah. Talenta pemuda ini masih bisa diasah.""Setelah pemilihan batu selesai, mungkin kita bisa menemui Tirta secara pribadi dan coba merekrutnya ke pihak kita." Jelas bahwa wanita misterius itu sangat mengagumi kemampuan Tirta.Dengan suara gemuruh mesin yang beroperasi, batu terakhir milik Tirta mulai dipotong. Sinar yang memukau terlihat samar-samar di celah batu itu. Ahli pemilih batu di antara penonton memperhatikan batu tersebut dengan penuh konsentrasi.Tiba-tiba, dia menjadi sangat bersemangat. Pria itu bahkan sampai berdiri dan berteriak dengan suara pecah, "Bukan, ini buk
Melihat respons Lutfi, Shinta tertawa dan mengomentari, "Kak Lutfi, apa Kak Tirta lebih hebat darimu?"Lutfi menyahut, "Bukan cuma lebih hebat dariku. Bahkan, guruku juga nggak berhasil melatih Tinju Harimau Ganas seperti Tirta."Lutfi yang penasaran bertanya, "Tirta, katakan dengan jujur, apa sebelumnya kamu sudah pernah berlatih Tinju Harimau Ganas? Aku baru saja memberimu buku-buku itu."Tirta yang merasa antusias menjawab, "Kak Lutfi, kamu salah paham. Sebelum kamu memberiku buku-buku itu, aku nggak pernah berlatih ilmu bela diri. Kemarin aku cuma melihatnya sekilas, aku juga nggak menyangka bisa menguasainya. Apa aku benar-benar lebih hebat dari gurumu?"Lutfi menanggapi dengan ekspresi kaget, "Kamu cuma melihatnya sekilas? Tirta, sepertinya kamu itu memang genius langka dalam dunia bela diri. Tinju Harimau Ganas ini memang terdengar biasa saja. Tapi, dibandingkan teknik lain dari buku-buku yang kuberikan padamu, Tinju Harimau Ganas paling sulit dilatih."Lutfi meneruskan, "Guruku
Sebelum Niko sempat bicara, Lutfi menunjuk Karsa sambil marah-marah, "Sepertinya kamu masih nggak menyesali perbuatanmu! Awalnya kamu cuma dijatuhi hukuman tembak mati! Kalau kamu nggak takut mati, aku rasa lebih baik kamu dipenjara seumur hidup seperti dia!"Tindakan Lutfi sudah melanggar perintah Saba, tetapi seharusnya Saba tidak akan menyalahkan Lutfi. Sementara itu, Pinot sudah gila. Dia baru berusia 40-an tahun, tetapi harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara.Ekspresi Ladim menjadi masam setelah mendengar ucapan Lutfi. Dia berseru, "Apa? Aku nggak mau dihukum seperti dia! Aku mohon, bunuh aku!"Jika tahu dirinya akan berakhir tragis, tadi Ladim pasti tidak akan berbicara. Sayangnya, semua sudah terlambat.Akhirnya, Ladim dan lainnya pun dipenjara. Niko baru tertawa terbahak-bahak, lalu pergi ke kantor Susanti.Setelah mendengar laporan Niko, Susanti tersenyum dan menanggapi, "Mereka memang pantas dihukum! Kalau mereka itu pemimpin yang memedulikan rakyat, mereka nggak akan be
Biasanya Saba memang terlihat ramah, tetapi dia tidak akan memaafkan orang-orang seperti Ladim dan lainnya yang melakukan perbuatan keji.Begitu Saba melontarkan ucapannya, Ladim dan lainnya sangat terpukul. Biarpun mereka terus memohon kepada Saba, Lutfi juga tidak peduli. Dia memimpin anggotanya untuk membawa Ladim dan lainnya keluar dari klinik."Mereka memang pantas dihukum!" celetuk Tirta. Dia yang merasa puas memandang Saba sembari bertanya, "Kak Saba, sebenarnya ada yang mau kutanyakan."Saba kembali tersenyum. Dia menyahut, "Tirta, kamu langsung bilang saja. Nggak usah sungkan."Tirta mengungkapkan kebingungannya, "Bukannya kemarin kamu bilang sudah pensiun dan nggak punya jabatan apa pun lagi? Kenapa sekarang aku merasa kamu tetap berkuasa? Kamu nggak kelihatan seperti kehilangan jabatan."Saba tertawa, lalu menjelaskan, "Tirta, ini semua berkat kamu. Sebenarnya aku nggak berniat memberitahumu. Tapi, aku akan bicara jujur karena kamu sudah bertanya."Saba meneruskan, "Awalnya
Ladim sungguh emosional sekarang. Dia menerjang ke arah Karsa dan menghajarnya. Dia ingin sekali menembak mati Karsa sekarang juga!"Karsa, akan kuhabisi kamu! Matilah kamu! Beraninya kamu menipuku untuk melawan teman Pak Saba! Kamu harus mati!"Pinot yang murka dan takut juga menyerbu ke arah Karsa dan menghajarnya habis-habisan."Ah ... ah .... Tolong berhenti! Aku nggak tahu dia teman Pak Saba!" teriak Karsa dengan kesakitan. Bagaimanapun, dia masih belum pulih dari cedera sebelumnya. Dia hampir tewas dibuat Ladim dan Pinot."Bagus, bagus sekali." Tirta menonton dengan seru, bahkan bertepuk tangan."Sialan! Kalau nggak ada Pak Saba, kamu bukan siapa-siapa!" Karsa memelototi Tirta dengan tatapan penuh kebencian dan keengganan."Kamu benar, kamu hebat. Tapi, asal kamu tahu, kalau bukan karena ada hukum di negara ini, kamu pasti sudah kubunuh kemarin. Kamu kira aku takut padamu?" sahut Tirta dengan suara rendah sambil maju. Tatapannya terlihat dingin.Seketika, jantung Karsa seperti be
"Hehe, jadi kamu Tirta ya? Masih muda dan cuma rakyat jelata, tapi berani menyuruhku masuk untuk menemuimu? Benar-benar nggak tahu diri!" Setelah memasuki klinik, Pinot menatap Tirta dengan tatapan tajam. Sikapnya terlihat seperti pejabat tinggi yang penuh wibawa."Ayah Angkat, dia Tirta. Jangan lepaskan dia begitu saja! Tirta, ayah angkatku sudah datang. Kamu akan berakhir tragis. Setahun lagi akan menjadi hari peringatan kematianmu!" Karsa yang dibawa masuk langsung dipenuhi api kebencian setelah melihat Tirta. Setelah berbicara kepada Pinot, dia berteriak dengan marah kepada Tirta."Kamu ayah angkat Karsa? Huh, sudah tua dan mau mati, tapi masih saja bodoh. Pendiri negara, Pak Saba, ada di sini. Kamu malah berani sesombong ini?" Tirta sama sekali tidak peduli dengan Karsa, melainkan menatap Pinot dan tersenyum dingin."Pak Saba? Saba Dinata? Hahaha, kenapa nggak bilang dia raja saja? Kamu ini cuma orang kampung yang picik. Atas dasar apa kamu mengenal orang sehebat Pak Saba?" Pinot
"Bu ... buset! Me ... mereka punya pistol!" Begitu melihat perubahan situasi yang mendadak, orang-orang itu pun terkesiap.Apalagi, aura yang dipancarkan oleh para pengawal Nagamas itu dipenuhi niat membunuh. Mereka ketakutan hingga memucat dan sekujur tubuh gemetar. Seketika, tidak ada yang berani bergerak.Saat ini, terdengar suara santai seseorang. "Aku Tirta. Beri tahu bos kalian, kalau mau menemuiku, suruh dia masuk sendiri. Mau aku yang keluar? Dia nggak pantas!"Tirta menyesap tehnya, lalu menyunggingkan senyuman meremehkan."Ya, cuma wali kota rendahan. Atas dasar apa dia menyuruh Kak Tirta keluar menemuinya? Dia saja yang merangkak masuk!" ucap Shinta yang memeluk anak harimau."Kita keluar!" Para bawahan itu tidak berani membantah karena mereka dibidik dengan pistol. Mereka berlari keluar dengan ketakutan."Hm? Aku suruh kalian bawa Tirta keluar. Kenapa kalian malah keluar secepat ini?" tanya Pinot dengan kesal saat melihat bawahannya keluar dengan tangan kosong."Ayah Angkat
Semua orang mengikuti arah pandang Pinot. Begitu melihatnya, mereka semua terkejut. Bagaimana bisa mobil dengan plat nomor ibu kota muncul di tempat terpencil seperti ini?Bahkan, mobil yang berada di paling depan punya plat nomor yang begitu istimewa, A99999! Jelas, pemilik mobil ini bukan orang biasa!"Pak Pinot, aku rasa kamu berlebihan. Orang-orang di ibu kota itu nggak mungkin datang ke tempat jelek seperti ini. Ini nggak masuk akal. Mungkin saja, ini rekayasa Tirta. Jangan menakuti diri sendiri," ucap Ladim sambil tersenyum tipis setelah terpikir akan kemungkinan ini."Masuk akal. Kalau Tirta kenal tokoh besar di ibu kota, mana mungkin dia masih tinggal di tempat bobrok seperti ini?""Ayah Angkat, dia mungkin tahu kita bakal kemari untuk balas dendam. Dia takut, makanya ingin menakuti kita dengan cara seperti ini. Kamu jangan tertipu," ujar Karsa yang ingin sekali membalas dendam."Seharusnya begitu. Huh! Bocah ini licik juga! Kalian semua, masuk dan tangkap dia!" Setelah menghel
"Pak Ladim, kalau kamu suka, kita bisa pindahkan dia ke Kota Lais supaya lebih dekat. Setelah kamu menundukkannya, jangan lupa kirim ke tempatku.""Ya, aku memang punya rencana seperti itu." Ladim tertawa terbahak-bahak.Saat ini, tenaga Karsa telah pulih banyak. Tatapannya dipenuhi kebencian. Dia mengertakkan gigi sambil berkata dengan susah payah, "Ayah Angkat, akhirnya kamu datang. Aku jadi cacat gara-gara mereka. Gimana aku bisa berbakti padamu di kemudian hari?""Kamu harus membantuku membalas dendam! Kalau nggak, aku nggak bakal bisa tenang seumur hidup!""Sebenarnya siapa yang membuatmu jadi begini? Kejam sekali." Pinot baru memperhatikan penampilan tragis Karsa. Bukan hanya patah tangan dan kaki, tetapi kelima jari di tangan kiri juga putus.Pinot tak kuasa menarik napas dalam-dalam saking terkejutnya. Kondisi Harto juga sama tragisnya."Nama bocah itu Tirta! Kami bertemu di kota kecil sekitar. Bukan cuma aku, tapi adikku juga! Ayah Angkat, Pak Ladim, kalian harus membalaskan d
Di sisi lain, di dalam kantor polisi.Wali Kota Hamza, Pinot, bersama dengan kepala kepolisian, Ladim, duduk dengan santai di aula utama. Mereka mulai bertanya kepala polisi yang berjaga di depan, Niko."Kapan atasan kalian keluar? Cuma menyerahkan penjahat, sepertinya nggak perlu terlalu lama, 'kan?" Yang berbicara adalah Ladim. Dia menerima banyak hadiah dari Karsa. Ketika ada masalah, dia tentu harus turun tangan."Huh, Bu Susanti sedang sibuk dan nggak punya waktu untuk bertemu dengan kalian. Kalian bisa kembali saja. Lagian, para penjahat itu ditangkap di wilayah kami. Tanpa izin dari Bu Susanti, aku nggak akan melepaskan mereka!"Niko jelas bisa merasakan bahwa mereka datang dengan niat buruk. Makanya, dia mendengus dan berkata dengan kesal."Hehe, memang benar kalian yang tangkap, tapi mereka semua berasal dari Kota Hamza. Jadi, sudah seharusnya diserahkan ke Kepolisian Kota Hamza untuk diproses. Kalian nggak punya hak untuk bernegosiasi denganku. Suruh atasan kalian keluar dan