Melihat tekad di mata Nabila, Niko dan yang lainnya pun berhenti membujuknya."Baiklah, kami coba pikirkan cara lain untuk menemukan Bu Susanti dan Pak Tirta."Troy, Harris, dan lainnya segera berkumpul untuk membahas ulang rencana mereka buat terjun ke dalam air."Nak, Tuhan pasti melindungi Tirta. Kamu nggak usah terlalu khawatir," ucap Agus. Dia dan Betari menghampiri Nabila, menghapus air mata dan menghibur sang putri."Terima kasih, semuanya. Aku pulang dulu untuk memasak buat kalian. Setelah Tirta ditemukan, aku akan menyuruh dia berterima kasih dengan benar pada kalian," ujar Melati pada para polisi itu.Melati meminta Nabila menjaga Ayu. Kemudian, dia dan Arum kembali ke klinik untuk memasak."Jangan sedih, Bi. Tirta pasti kembali dengan selamat," hibur Nabila pada Ayu yang terus berlinang air mata.Namun, kata-kata hiburan itu tidak memberi kelegaan sama sekali pada Ayu. Dia terus menangis sambil menyandar di bahu Nabila."Tirta, kamu harus pulang dengan selamat. Kalau nggak,
"Apa pun yang terjadi, kita harus bersama!" ucap Susanti dengan mata berkaca-kaca.Susanti tentu saja mengerti maksud Tirta. Dia langsung menggeleng dan menolak dengan tegas."Jangan banyak bacot. Aku kekasihmu, jadi kamu harus menurut padaku. Wanita nggak usah banyak membantah!" ujar Tirta sambil memelototi Susanti. Dia sengaja melontarkan kata-kata kejam agar wanita itu pergi."Nggak, aku mau bersamamu. Kalaupun harus mati, aku mau mati bersamamu!" balas Susanti. Dia lalu mencengkeram tangan Tirta dengan keras kepala.Jarak duyung itu dari mereka kini tidak sampai 50 meter. Seolah-olah mencium sesuatu, dia seketika membuang sisa mayat di tangannya.Duyung itu meraung dengan suara rendah, lalu menambah kecepatan dan menerjang ke arah Tirta dan yang lainnya."Sialan! Cepat lari!" seru Tirta. Dengan jantung berdegup kencang, dia langsung menggendong Susanti dan berlari sekuat tenaga.Seruan Tirta segera menarik perhatian duyung itu. Dia kembali mengeluarkan suara raungan aneh, lalu berg
"Berengsek!" umpat Tirta tanpa bisa ditahan.Setelah berlari sekitar 5 menit, Tirta sampai di depan tiga lorong. Dia tidak tahu detektor ditaruh di lorong yang mana. Jadi, dia terpaksa berhenti dan bertanya, "Lorong yang mana?""Aku jalan di depan, kamu ikut dari belakang. Kalian hanya bisa menemukan detektor itu dengan mengikutiku," ucap Alicia dengan nada mengejek. Dia berlari terengah-engah menuju lorong di tengah."Larimu saja lambat begitu, kamu masih menyuruh orang menunggu?" cibir Tirta, lalu bergegas menyerbu masuk ke lorong tengah.Setelah berlari cukup lama, kekuatan Alicia hampir mencapai batasnya. Tujuan Alicia menyuruh Tirta berjalan di belakang tentu saja untuk memastikan pria itu menjadi perisainya dari si duyung. Tirta mana mau?Setelah Tirta berlari belasan meter, Alicia yang masih bergeming di pintu lorong mendadak berucap dingin, "Maaf, aku salah ingat. Yang benar itu lorong yang kiri."Tanpa memedulikan reaksi Tirta, Alicia memimpin jalan dan memasuki lorong sebelah
Tirta menurunkan Susanti, lalu menggendong Alicia sambil mengumpat. Alicia pun murka hingga sekujur tubuhnya bergetar. Dia menggigit bahu Tirta sambil memaki, "Dasar bocah sialan! Jangan sentuh aku! Akan kugigit kamu sampai mati!"Tanpa diduga, ternyata bahu Tirta sangat keras. Alicia menggigit sekuat tenaga dan merasa giginya hampir hancur. Dia baru teringat bahwa peluru tidak bisa menembus tubuh Tirta. Jadi, bagaimana mungkin dia bisa menggigit Tirta? Dia hanya bisa membiarkan Tirta menggendongnya."Biarkan saja, cepat lari!" Susanti menarik lengan Tirta. Keduanya mulai berlari di makam kuno. Sesudah berlari sekitar 10 menit, terlihat pertigaan jalan. Makam kuno ini seolah-olah tak berujung. Tirta sampai tidak tahu sudah berapa jauh dia berlari."Berengsek, kamu menipu kami ya?" tanya Tirta sambil memukul bokong Alicia. Dia mengira mereka kembali ke tempat sebelumnya."Nggak. Kali ini pilih jalan yang di tengah," sahut Alicia dengan lemas. Dia merasa sangat lelah setelah berlari deng
"Sialan! Aku nggak ingin minum darahmu!" Alicia segera memalingkan wajah untuk menghindar. Menurutnya, ini adalah sebuah penghinaan besar."Kamu kira aku ingin memberimu darahku? Darahku ini berharga sekali. Kalau bukan karena situasi terdesak, mana mungkin kuberikan!" Tirta tidak peduli. Dia langsung menahan kepala Alicia dan memasukkan jarinya lagi ke mulut Alicia secara paksa."Um ... um ...." Alicia merasa malu sekaligus murka. Dia awalnya masih meronta-ronta. Namun, sesudah merasakan kesegaran dan kemanisan dari darah Tirta, sekujur tubuhnya seketika menjadi nyaman dan tidak terasa lelah lagi. Darah Tirta bahkan lebih lezat daripada minuman mahal di luar sana!Alicia mengisap dengan kuat, seolah-olah ingin menyedot semua darah Tirta. Ekspresi yang semula dipenuhi penolakan menjadi sangat menikmati. Lidahnya terus melilit jari Tirta. Dia ingin mengisap lebih banyak."Berengsek! Sudah cukup!" Tirta tidak ingin Alicia minum terlalu banyak. Jika energi wanita ini pulih total, mereka y
Alicia memasuki pintu batu arah tenggara. Tirta berbisik kepada Susanti dengan waspada, "Kamu jalan di belakangku saja. Aku khawatir wanita ini berniat jahat."Setelah mengikuti Alicia berputar-putar, mereka tidak menemukan monster apa pun sepanjang jalan. Tirta juga bisa merasakan bahwa mereka makin naik. Samar-samar, dia bisa mendengar suara air.'Sepertinya sudah dekat, 'kan?' batin Tirta. Pada akhirnya, setelah keluar dari lorong makam terakhir, mereka melihat sebuah gua gelap yang lebarnya lebih dari 10 meter. Terdapat sungai bawah tanah yang ujungnya entah ke mana.'Sepertinya ini sungai bawah tanah yang kutemui waktu masuk,' tebak Tirta dalam hati."Di sini nggak ada jalan lagi. Kita harus lewat mana?" tanya Susanti dengan heran."Sungai ini terhubung dengan luar. Kita bisa keluar setelah lompat dari sini. Tapi, aku nggak yakin di luar sana adalah waduk atau bukan," jelas Alicia yang memegang detektor sambil menatap sungai bawah tanah."Kalau begitu, kamu lompat duluan. Kami iku
Suara ini terdengar sangat menusuk telinga. Apalagi, orang itu sepertinya merasa senang atas penderitaan mereka.Melati dan lainnya segera menoleh untuk melihat. Tampak Elvi sekeluarga menghampiri dengan senyuman gembira.Di belakang mereka, terlihat pula seorang pria tua beruban yang mengenakan mantel dan penuh wibawa. Pria itu tidak lain adalah Bima, guru Danang. Danang sengaja memanas-manasi Bima dan memfitnah Tirta agar Bima bersedia membantunya.Elvi sekeluarga awalnya membawa Bima kemari untuk memberi Tirta pelajaran. Siapa duga, mereka malah mendengar kabar bahwa Tirta jatuh ke waduk dan sudah hilang 3 hari.Itu sebabnya, mereka bergegas kemari. Mereka yakin bahwa Tirta sudah mati di dasar waduk. Itu sebabnya, bocah itu masih belum kembali sampai sekarang.Mereka pun memutuskan untuk mengambil semua uang Tirta. Sesudah mendapatkannya, mereka akan membagikan sedikit kepada Bima sehingga perjalanan Bima tidak sia-sia."Ngapain kalian kemari? Tempat ini nggak menyambut kalian! Perg
"Ya! Cepat pergi dari sini. Kalian nggak seharusnya berada di sini!" hardik Troy dengan ekspresi masam. Mereka adalah polisi berpengalaman. Hanya dengan melihat sekilas, mereka sudah tahu orang-orang ini datang untuk merebut harta."Eee ...." Elvi dan lainnya masih ingin berbicara. Namun, Niko sudah menginstruksi beberapa polisi untuk mengusir mereka."Kita nggak boleh pergi begitu saja! Setelah polisi bubar, kita minta uang lagi dari mereka! Nggak masalah kalau harus menunggu lama!" Elvi sekeluarga, termasuk Bima, tahu mereka tidak boleh mengusik polisi. Jadi, mereka menunggu di kejauhan."Benar, uang bocah sialan itu setidaknya mencapai puluhan miliar. Kita harus mendapatkan semua uangnya!" Pandu sudah mulai membayangkan kehidupan mewah yang akan dilewatinya.Melati dan lainnya tentu tahu mereka menunggu di kejauhan. Hal ini pun membuat mereka makin marah."Menjengkelkan sekali! Setelah Tirta kembali, aku akan menyuruhnya memberi mereka pelajaran supaya mereka nggak berani membuat on
Melihat respons Lutfi, Shinta tertawa dan mengomentari, "Kak Lutfi, apa Kak Tirta lebih hebat darimu?"Lutfi menyahut, "Bukan cuma lebih hebat dariku. Bahkan, guruku juga nggak berhasil melatih Tinju Harimau Ganas seperti Tirta."Lutfi yang penasaran bertanya, "Tirta, katakan dengan jujur, apa sebelumnya kamu sudah pernah berlatih Tinju Harimau Ganas? Aku baru saja memberimu buku-buku itu."Tirta yang merasa antusias menjawab, "Kak Lutfi, kamu salah paham. Sebelum kamu memberiku buku-buku itu, aku nggak pernah berlatih ilmu bela diri. Kemarin aku cuma melihatnya sekilas, aku juga nggak menyangka bisa menguasainya. Apa aku benar-benar lebih hebat dari gurumu?"Lutfi menanggapi dengan ekspresi kaget, "Kamu cuma melihatnya sekilas? Tirta, sepertinya kamu itu memang genius langka dalam dunia bela diri. Tinju Harimau Ganas ini memang terdengar biasa saja. Tapi, dibandingkan teknik lain dari buku-buku yang kuberikan padamu, Tinju Harimau Ganas paling sulit dilatih."Lutfi meneruskan, "Guruku
Sebelum Niko sempat bicara, Lutfi menunjuk Karsa sambil marah-marah, "Sepertinya kamu masih nggak menyesali perbuatanmu! Awalnya kamu cuma dijatuhi hukuman tembak mati! Kalau kamu nggak takut mati, aku rasa lebih baik kamu dipenjara seumur hidup seperti dia!"Tindakan Lutfi sudah melanggar perintah Saba, tetapi seharusnya Saba tidak akan menyalahkan Lutfi. Sementara itu, Pinot sudah gila. Dia baru berusia 40-an tahun, tetapi harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara.Ekspresi Ladim menjadi masam setelah mendengar ucapan Lutfi. Dia berseru, "Apa? Aku nggak mau dihukum seperti dia! Aku mohon, bunuh aku!"Jika tahu dirinya akan berakhir tragis, tadi Ladim pasti tidak akan berbicara. Sayangnya, semua sudah terlambat.Akhirnya, Ladim dan lainnya pun dipenjara. Niko baru tertawa terbahak-bahak, lalu pergi ke kantor Susanti.Setelah mendengar laporan Niko, Susanti tersenyum dan menanggapi, "Mereka memang pantas dihukum! Kalau mereka itu pemimpin yang memedulikan rakyat, mereka nggak akan be
Biasanya Saba memang terlihat ramah, tetapi dia tidak akan memaafkan orang-orang seperti Ladim dan lainnya yang melakukan perbuatan keji.Begitu Saba melontarkan ucapannya, Ladim dan lainnya sangat terpukul. Biarpun mereka terus memohon kepada Saba, Lutfi juga tidak peduli. Dia memimpin anggotanya untuk membawa Ladim dan lainnya keluar dari klinik."Mereka memang pantas dihukum!" celetuk Tirta. Dia yang merasa puas memandang Saba sembari bertanya, "Kak Saba, sebenarnya ada yang mau kutanyakan."Saba kembali tersenyum. Dia menyahut, "Tirta, kamu langsung bilang saja. Nggak usah sungkan."Tirta mengungkapkan kebingungannya, "Bukannya kemarin kamu bilang sudah pensiun dan nggak punya jabatan apa pun lagi? Kenapa sekarang aku merasa kamu tetap berkuasa? Kamu nggak kelihatan seperti kehilangan jabatan."Saba tertawa, lalu menjelaskan, "Tirta, ini semua berkat kamu. Sebenarnya aku nggak berniat memberitahumu. Tapi, aku akan bicara jujur karena kamu sudah bertanya."Saba meneruskan, "Awalnya
Ladim sungguh emosional sekarang. Dia menerjang ke arah Karsa dan menghajarnya. Dia ingin sekali menembak mati Karsa sekarang juga!"Karsa, akan kuhabisi kamu! Matilah kamu! Beraninya kamu menipuku untuk melawan teman Pak Saba! Kamu harus mati!"Pinot yang murka dan takut juga menyerbu ke arah Karsa dan menghajarnya habis-habisan."Ah ... ah .... Tolong berhenti! Aku nggak tahu dia teman Pak Saba!" teriak Karsa dengan kesakitan. Bagaimanapun, dia masih belum pulih dari cedera sebelumnya. Dia hampir tewas dibuat Ladim dan Pinot."Bagus, bagus sekali." Tirta menonton dengan seru, bahkan bertepuk tangan."Sialan! Kalau nggak ada Pak Saba, kamu bukan siapa-siapa!" Karsa memelototi Tirta dengan tatapan penuh kebencian dan keengganan."Kamu benar, kamu hebat. Tapi, asal kamu tahu, kalau bukan karena ada hukum di negara ini, kamu pasti sudah kubunuh kemarin. Kamu kira aku takut padamu?" sahut Tirta dengan suara rendah sambil maju. Tatapannya terlihat dingin.Seketika, jantung Karsa seperti be
"Hehe, jadi kamu Tirta ya? Masih muda dan cuma rakyat jelata, tapi berani menyuruhku masuk untuk menemuimu? Benar-benar nggak tahu diri!" Setelah memasuki klinik, Pinot menatap Tirta dengan tatapan tajam. Sikapnya terlihat seperti pejabat tinggi yang penuh wibawa."Ayah Angkat, dia Tirta. Jangan lepaskan dia begitu saja! Tirta, ayah angkatku sudah datang. Kamu akan berakhir tragis. Setahun lagi akan menjadi hari peringatan kematianmu!" Karsa yang dibawa masuk langsung dipenuhi api kebencian setelah melihat Tirta. Setelah berbicara kepada Pinot, dia berteriak dengan marah kepada Tirta."Kamu ayah angkat Karsa? Huh, sudah tua dan mau mati, tapi masih saja bodoh. Pendiri negara, Pak Saba, ada di sini. Kamu malah berani sesombong ini?" Tirta sama sekali tidak peduli dengan Karsa, melainkan menatap Pinot dan tersenyum dingin."Pak Saba? Saba Dinata? Hahaha, kenapa nggak bilang dia raja saja? Kamu ini cuma orang kampung yang picik. Atas dasar apa kamu mengenal orang sehebat Pak Saba?" Pinot
"Bu ... buset! Me ... mereka punya pistol!" Begitu melihat perubahan situasi yang mendadak, orang-orang itu pun terkesiap.Apalagi, aura yang dipancarkan oleh para pengawal Nagamas itu dipenuhi niat membunuh. Mereka ketakutan hingga memucat dan sekujur tubuh gemetar. Seketika, tidak ada yang berani bergerak.Saat ini, terdengar suara santai seseorang. "Aku Tirta. Beri tahu bos kalian, kalau mau menemuiku, suruh dia masuk sendiri. Mau aku yang keluar? Dia nggak pantas!"Tirta menyesap tehnya, lalu menyunggingkan senyuman meremehkan."Ya, cuma wali kota rendahan. Atas dasar apa dia menyuruh Kak Tirta keluar menemuinya? Dia saja yang merangkak masuk!" ucap Shinta yang memeluk anak harimau."Kita keluar!" Para bawahan itu tidak berani membantah karena mereka dibidik dengan pistol. Mereka berlari keluar dengan ketakutan."Hm? Aku suruh kalian bawa Tirta keluar. Kenapa kalian malah keluar secepat ini?" tanya Pinot dengan kesal saat melihat bawahannya keluar dengan tangan kosong."Ayah Angkat
Semua orang mengikuti arah pandang Pinot. Begitu melihatnya, mereka semua terkejut. Bagaimana bisa mobil dengan plat nomor ibu kota muncul di tempat terpencil seperti ini?Bahkan, mobil yang berada di paling depan punya plat nomor yang begitu istimewa, A99999! Jelas, pemilik mobil ini bukan orang biasa!"Pak Pinot, aku rasa kamu berlebihan. Orang-orang di ibu kota itu nggak mungkin datang ke tempat jelek seperti ini. Ini nggak masuk akal. Mungkin saja, ini rekayasa Tirta. Jangan menakuti diri sendiri," ucap Ladim sambil tersenyum tipis setelah terpikir akan kemungkinan ini."Masuk akal. Kalau Tirta kenal tokoh besar di ibu kota, mana mungkin dia masih tinggal di tempat bobrok seperti ini?""Ayah Angkat, dia mungkin tahu kita bakal kemari untuk balas dendam. Dia takut, makanya ingin menakuti kita dengan cara seperti ini. Kamu jangan tertipu," ujar Karsa yang ingin sekali membalas dendam."Seharusnya begitu. Huh! Bocah ini licik juga! Kalian semua, masuk dan tangkap dia!" Setelah menghel
"Pak Ladim, kalau kamu suka, kita bisa pindahkan dia ke Kota Lais supaya lebih dekat. Setelah kamu menundukkannya, jangan lupa kirim ke tempatku.""Ya, aku memang punya rencana seperti itu." Ladim tertawa terbahak-bahak.Saat ini, tenaga Karsa telah pulih banyak. Tatapannya dipenuhi kebencian. Dia mengertakkan gigi sambil berkata dengan susah payah, "Ayah Angkat, akhirnya kamu datang. Aku jadi cacat gara-gara mereka. Gimana aku bisa berbakti padamu di kemudian hari?""Kamu harus membantuku membalas dendam! Kalau nggak, aku nggak bakal bisa tenang seumur hidup!""Sebenarnya siapa yang membuatmu jadi begini? Kejam sekali." Pinot baru memperhatikan penampilan tragis Karsa. Bukan hanya patah tangan dan kaki, tetapi kelima jari di tangan kiri juga putus.Pinot tak kuasa menarik napas dalam-dalam saking terkejutnya. Kondisi Harto juga sama tragisnya."Nama bocah itu Tirta! Kami bertemu di kota kecil sekitar. Bukan cuma aku, tapi adikku juga! Ayah Angkat, Pak Ladim, kalian harus membalaskan d
Di sisi lain, di dalam kantor polisi.Wali Kota Hamza, Pinot, bersama dengan kepala kepolisian, Ladim, duduk dengan santai di aula utama. Mereka mulai bertanya kepala polisi yang berjaga di depan, Niko."Kapan atasan kalian keluar? Cuma menyerahkan penjahat, sepertinya nggak perlu terlalu lama, 'kan?" Yang berbicara adalah Ladim. Dia menerima banyak hadiah dari Karsa. Ketika ada masalah, dia tentu harus turun tangan."Huh, Bu Susanti sedang sibuk dan nggak punya waktu untuk bertemu dengan kalian. Kalian bisa kembali saja. Lagian, para penjahat itu ditangkap di wilayah kami. Tanpa izin dari Bu Susanti, aku nggak akan melepaskan mereka!"Niko jelas bisa merasakan bahwa mereka datang dengan niat buruk. Makanya, dia mendengus dan berkata dengan kesal."Hehe, memang benar kalian yang tangkap, tapi mereka semua berasal dari Kota Hamza. Jadi, sudah seharusnya diserahkan ke Kepolisian Kota Hamza untuk diproses. Kalian nggak punya hak untuk bernegosiasi denganku. Suruh atasan kalian keluar dan