Alicia memasuki pintu batu arah tenggara. Tirta berbisik kepada Susanti dengan waspada, "Kamu jalan di belakangku saja. Aku khawatir wanita ini berniat jahat."Setelah mengikuti Alicia berputar-putar, mereka tidak menemukan monster apa pun sepanjang jalan. Tirta juga bisa merasakan bahwa mereka makin naik. Samar-samar, dia bisa mendengar suara air.'Sepertinya sudah dekat, 'kan?' batin Tirta. Pada akhirnya, setelah keluar dari lorong makam terakhir, mereka melihat sebuah gua gelap yang lebarnya lebih dari 10 meter. Terdapat sungai bawah tanah yang ujungnya entah ke mana.'Sepertinya ini sungai bawah tanah yang kutemui waktu masuk,' tebak Tirta dalam hati."Di sini nggak ada jalan lagi. Kita harus lewat mana?" tanya Susanti dengan heran."Sungai ini terhubung dengan luar. Kita bisa keluar setelah lompat dari sini. Tapi, aku nggak yakin di luar sana adalah waduk atau bukan," jelas Alicia yang memegang detektor sambil menatap sungai bawah tanah."Kalau begitu, kamu lompat duluan. Kami iku
Suara ini terdengar sangat menusuk telinga. Apalagi, orang itu sepertinya merasa senang atas penderitaan mereka.Melati dan lainnya segera menoleh untuk melihat. Tampak Elvi sekeluarga menghampiri dengan senyuman gembira.Di belakang mereka, terlihat pula seorang pria tua beruban yang mengenakan mantel dan penuh wibawa. Pria itu tidak lain adalah Bima, guru Danang. Danang sengaja memanas-manasi Bima dan memfitnah Tirta agar Bima bersedia membantunya.Elvi sekeluarga awalnya membawa Bima kemari untuk memberi Tirta pelajaran. Siapa duga, mereka malah mendengar kabar bahwa Tirta jatuh ke waduk dan sudah hilang 3 hari.Itu sebabnya, mereka bergegas kemari. Mereka yakin bahwa Tirta sudah mati di dasar waduk. Itu sebabnya, bocah itu masih belum kembali sampai sekarang.Mereka pun memutuskan untuk mengambil semua uang Tirta. Sesudah mendapatkannya, mereka akan membagikan sedikit kepada Bima sehingga perjalanan Bima tidak sia-sia."Ngapain kalian kemari? Tempat ini nggak menyambut kalian! Perg
"Ya! Cepat pergi dari sini. Kalian nggak seharusnya berada di sini!" hardik Troy dengan ekspresi masam. Mereka adalah polisi berpengalaman. Hanya dengan melihat sekilas, mereka sudah tahu orang-orang ini datang untuk merebut harta."Eee ...." Elvi dan lainnya masih ingin berbicara. Namun, Niko sudah menginstruksi beberapa polisi untuk mengusir mereka."Kita nggak boleh pergi begitu saja! Setelah polisi bubar, kita minta uang lagi dari mereka! Nggak masalah kalau harus menunggu lama!" Elvi sekeluarga, termasuk Bima, tahu mereka tidak boleh mengusik polisi. Jadi, mereka menunggu di kejauhan."Benar, uang bocah sialan itu setidaknya mencapai puluhan miliar. Kita harus mendapatkan semua uangnya!" Pandu sudah mulai membayangkan kehidupan mewah yang akan dilewatinya.Melati dan lainnya tentu tahu mereka menunggu di kejauhan. Hal ini pun membuat mereka makin marah."Menjengkelkan sekali! Setelah Tirta kembali, aku akan menyuruhnya memberi mereka pelajaran supaya mereka nggak berani membuat on
Sama seperti sebelumnya, Alicia sontak meraih tangan Tirta dan mengisapnya dengan kuat. Makin diisap, dia merasa makin nyaman dan kecanduan.Tirta sampai curiga mulut Alicia adalah mesin penyedot debu. Isapannya benar-benar kuat. Seluruh jari Tirta sampai masuk ke mulutnya.Sementara itu, Susanti tidak bisa menerima situasi ini. Tirta adalah miliknya. Dia tentu kesal melihat wanita lain mengisap jari dan meminum darah Tirta."Sudah cukup, 'kan? Cepat ikut kami," ujar Tirta yang langsung menarik jarinya. Dia tidak memberi Alicia kesempatan untuk menolak."Sebentar, aku harus pipis." Alicia langsung memegang perutnya dan memasang ekspresi tidak tahan."Kamu ingin mencari kesempatan untuk kabur, 'kan?" ejek Tirta sambil terkekeh-kekeh."Aku benar-benar nggak tahan lagi. Kamu boleh ikut denganku kalau takut aku kabur," sahut Alicia sambil mengejapkan mata dan memasang ekspresi memelas.Setelah Tirta melepaskan mantel kulitnya, Alicia hanya memakai pakaian ketat sehingga payudaranya yang be
Alicia tidak berbohong soal ini. Kakinya memang kram karena tersapu arus sungai terlalu lama. Darah Tirta tidak akan bisa mengatasi masalah ini.Sementara itu, celananya tersangkut di lututnya sehingga Alicia tidak bisa mengangkatnya. Lubang kemaluan dan bokongnya sampai kedinginan karena ditiup angin."Tirta, kakinya kram. Kita harus gimana?" tanya Susanti yang merasa Alicia tidak sedang berbohong. Tangannya masih menutupi mata Tirta sejak tadi."Kalau kram, kita harus memijat kakinya," sahut Tirta yang berpura-pura tidak melihat apa pun."Aku nggak bisa. Kamu saja. Aku akan terus menutup matamu." Setelah merenung sejenak, Susanti memilih untuk mengalah."Oke." Tirta mengiakan. Dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Desa Persik. Alicia ini hanya beban, tetapi Tirta hanya bisa membantunya untuk sekarang.Kemudian, Susanti membawa Tirta ke hadapan Alicia sambil menutup matanya. Tirta sudah tahu, tetapi masih berpura-pura bertanya, "Kaki yang mana?""Yang kanan," jawab Alicia. Sebenarnya
"Jangan beri aku kesempatan. Kalau nggak, kamu yang akan menyesal!" seru Alicia. Dia tahu tidak ada jalan untuk kabur lagi sehingga berhenti meronta-ronta dan membiarkan Tirta membawanya.Tirta hanya melemparkan batu ke titik akupunktur Alicia, jadi wanita itu masih bisa berjalan dengan bebas sesaat kemudian."Ayo, kita kembali." Tirta dan Susanti tidak membuang-buang waktu lagi. Mereka sudah tidak sabar untuk kembali ke Desa Persik.Perjalanan ini seharusnya menghabiskan waktu sejam. Namun, Tirta dan Susanti berjalan secepat mungkin sehingga hanya menghabiskan waktu 40 menit. Mereka akhirnya melihat Desa Persik."Eh, Tirta? Kenapa kamu dari gunung belakang? Cepat pergi ke waduk. Wanita nggak tahu malu itu membuat keributan lagi. Dia menyumpahimu mati dan menyuruh bibimu menyerahkan uangmu," ucap seorang wanita paruh baya. Dia sangat terkejut saat melihat Tirta."Apa? Elvi dan keluarganya datang lagi?" Tirta sontak mengernyit. Hatinya yang sudah lebih tenang menjadi gusar kembali."Cep
"Huh, siapa yang mencemaskanmu? Aku saja nggak nangis. Jangan terlalu percaya diri!" timpal Nabila yang segera menghentikan air matanya. Dia khawatir penampilannya terlihat jelek."Hehe. Kamu yang tercantik, jangan khawatir," goda Tirta. Setelah mengobrol sesaat, Tirta berhasil membuat ketiga wanita itu tertawa kembali.'Ternyata ... bocah ini ... punya begitu banyak kekasih! Huh!' batin Susanti. Dia merasa getir melihat situasi ini, tetapi tidak berani mengatakan apa pun.Di sisi lain, ekspresi Elvi sekeluarga tampak sangat suram. "Ini nggak mungkin. Dia sudah tenggelam selama 3 hari. Kenapa masih hidup? Kita pasti melihat setan! Sialan, kenapa dia beruntung sekali?"Pandu menggertakkan gigi dengan geram. Karena Tirta selamat, mereka tidak akan bisa mendapat sepeser pun darinya.Meskipun Elvi sekeluarga berbicara dengan lirih, Tirta dan lainnya tetap bisa mendengar semuanya. Jadi, sekelompok orang itu pun menghampiri Elvi sekeluarga.Nabila langsung berkata, "Sekarang Tirta sudah pula
"Tirta, kamu sendiri yang mengatakan ini. Kalau begitu, jangan menyesal ya. Asal kamu tahu, Pak Bima bahkan pernah mengalahkan harimau dan beruang. Sebagian besar sekolah bela diri di kota dipimpin oleh guruku! Kamu pasti kalah darinya!" seru Danang.Pujian Danang ini tentu membuat Bima merasa bangga. Yang dikatakan Danang memang benar. Banyak bos besar yang ingin mempekerjakannya sebagai pengawal pribadi, bahkan menawarkannya gaji tinggi.Namun, setelah mendengarnya, tebersit kekesalan pada sorot mata Tirta. Dia melambaikan tangan seperti mengusir lalat, lalu berkata, "Sudah, sudah. Cepat maju kalau mau bertarung. Jangan basa-basi begini. Lagian, dia sudah tua.""Apa katamu?" Bima sontak murka. Tirta bukan hanya memukul muridnya, tetapi juga merendahkan dirinya. Dia bertekad akan memberi Tirta pelajaran hari ini.Ketika melihat tatapan Tirta yang sinis, Bima pun maju dan membentak, "Bocah, harus kuakui kalau kamu pemberani. Kalau begitu, aku nggak akan berbelaskasihan padamu!"Saat be
Melihat respons Lutfi, Shinta tertawa dan mengomentari, "Kak Lutfi, apa Kak Tirta lebih hebat darimu?"Lutfi menyahut, "Bukan cuma lebih hebat dariku. Bahkan, guruku juga nggak berhasil melatih Tinju Harimau Ganas seperti Tirta."Lutfi yang penasaran bertanya, "Tirta, katakan dengan jujur, apa sebelumnya kamu sudah pernah berlatih Tinju Harimau Ganas? Aku baru saja memberimu buku-buku itu."Tirta yang merasa antusias menjawab, "Kak Lutfi, kamu salah paham. Sebelum kamu memberiku buku-buku itu, aku nggak pernah berlatih ilmu bela diri. Kemarin aku cuma melihatnya sekilas, aku juga nggak menyangka bisa menguasainya. Apa aku benar-benar lebih hebat dari gurumu?"Lutfi menanggapi dengan ekspresi kaget, "Kamu cuma melihatnya sekilas? Tirta, sepertinya kamu itu memang genius langka dalam dunia bela diri. Tinju Harimau Ganas ini memang terdengar biasa saja. Tapi, dibandingkan teknik lain dari buku-buku yang kuberikan padamu, Tinju Harimau Ganas paling sulit dilatih."Lutfi meneruskan, "Guruku
Sebelum Niko sempat bicara, Lutfi menunjuk Karsa sambil marah-marah, "Sepertinya kamu masih nggak menyesali perbuatanmu! Awalnya kamu cuma dijatuhi hukuman tembak mati! Kalau kamu nggak takut mati, aku rasa lebih baik kamu dipenjara seumur hidup seperti dia!"Tindakan Lutfi sudah melanggar perintah Saba, tetapi seharusnya Saba tidak akan menyalahkan Lutfi. Sementara itu, Pinot sudah gila. Dia baru berusia 40-an tahun, tetapi harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara.Ekspresi Ladim menjadi masam setelah mendengar ucapan Lutfi. Dia berseru, "Apa? Aku nggak mau dihukum seperti dia! Aku mohon, bunuh aku!"Jika tahu dirinya akan berakhir tragis, tadi Ladim pasti tidak akan berbicara. Sayangnya, semua sudah terlambat.Akhirnya, Ladim dan lainnya pun dipenjara. Niko baru tertawa terbahak-bahak, lalu pergi ke kantor Susanti.Setelah mendengar laporan Niko, Susanti tersenyum dan menanggapi, "Mereka memang pantas dihukum! Kalau mereka itu pemimpin yang memedulikan rakyat, mereka nggak akan be
Biasanya Saba memang terlihat ramah, tetapi dia tidak akan memaafkan orang-orang seperti Ladim dan lainnya yang melakukan perbuatan keji.Begitu Saba melontarkan ucapannya, Ladim dan lainnya sangat terpukul. Biarpun mereka terus memohon kepada Saba, Lutfi juga tidak peduli. Dia memimpin anggotanya untuk membawa Ladim dan lainnya keluar dari klinik."Mereka memang pantas dihukum!" celetuk Tirta. Dia yang merasa puas memandang Saba sembari bertanya, "Kak Saba, sebenarnya ada yang mau kutanyakan."Saba kembali tersenyum. Dia menyahut, "Tirta, kamu langsung bilang saja. Nggak usah sungkan."Tirta mengungkapkan kebingungannya, "Bukannya kemarin kamu bilang sudah pensiun dan nggak punya jabatan apa pun lagi? Kenapa sekarang aku merasa kamu tetap berkuasa? Kamu nggak kelihatan seperti kehilangan jabatan."Saba tertawa, lalu menjelaskan, "Tirta, ini semua berkat kamu. Sebenarnya aku nggak berniat memberitahumu. Tapi, aku akan bicara jujur karena kamu sudah bertanya."Saba meneruskan, "Awalnya
Ladim sungguh emosional sekarang. Dia menerjang ke arah Karsa dan menghajarnya. Dia ingin sekali menembak mati Karsa sekarang juga!"Karsa, akan kuhabisi kamu! Matilah kamu! Beraninya kamu menipuku untuk melawan teman Pak Saba! Kamu harus mati!"Pinot yang murka dan takut juga menyerbu ke arah Karsa dan menghajarnya habis-habisan."Ah ... ah .... Tolong berhenti! Aku nggak tahu dia teman Pak Saba!" teriak Karsa dengan kesakitan. Bagaimanapun, dia masih belum pulih dari cedera sebelumnya. Dia hampir tewas dibuat Ladim dan Pinot."Bagus, bagus sekali." Tirta menonton dengan seru, bahkan bertepuk tangan."Sialan! Kalau nggak ada Pak Saba, kamu bukan siapa-siapa!" Karsa memelototi Tirta dengan tatapan penuh kebencian dan keengganan."Kamu benar, kamu hebat. Tapi, asal kamu tahu, kalau bukan karena ada hukum di negara ini, kamu pasti sudah kubunuh kemarin. Kamu kira aku takut padamu?" sahut Tirta dengan suara rendah sambil maju. Tatapannya terlihat dingin.Seketika, jantung Karsa seperti be
"Hehe, jadi kamu Tirta ya? Masih muda dan cuma rakyat jelata, tapi berani menyuruhku masuk untuk menemuimu? Benar-benar nggak tahu diri!" Setelah memasuki klinik, Pinot menatap Tirta dengan tatapan tajam. Sikapnya terlihat seperti pejabat tinggi yang penuh wibawa."Ayah Angkat, dia Tirta. Jangan lepaskan dia begitu saja! Tirta, ayah angkatku sudah datang. Kamu akan berakhir tragis. Setahun lagi akan menjadi hari peringatan kematianmu!" Karsa yang dibawa masuk langsung dipenuhi api kebencian setelah melihat Tirta. Setelah berbicara kepada Pinot, dia berteriak dengan marah kepada Tirta."Kamu ayah angkat Karsa? Huh, sudah tua dan mau mati, tapi masih saja bodoh. Pendiri negara, Pak Saba, ada di sini. Kamu malah berani sesombong ini?" Tirta sama sekali tidak peduli dengan Karsa, melainkan menatap Pinot dan tersenyum dingin."Pak Saba? Saba Dinata? Hahaha, kenapa nggak bilang dia raja saja? Kamu ini cuma orang kampung yang picik. Atas dasar apa kamu mengenal orang sehebat Pak Saba?" Pinot
"Bu ... buset! Me ... mereka punya pistol!" Begitu melihat perubahan situasi yang mendadak, orang-orang itu pun terkesiap.Apalagi, aura yang dipancarkan oleh para pengawal Nagamas itu dipenuhi niat membunuh. Mereka ketakutan hingga memucat dan sekujur tubuh gemetar. Seketika, tidak ada yang berani bergerak.Saat ini, terdengar suara santai seseorang. "Aku Tirta. Beri tahu bos kalian, kalau mau menemuiku, suruh dia masuk sendiri. Mau aku yang keluar? Dia nggak pantas!"Tirta menyesap tehnya, lalu menyunggingkan senyuman meremehkan."Ya, cuma wali kota rendahan. Atas dasar apa dia menyuruh Kak Tirta keluar menemuinya? Dia saja yang merangkak masuk!" ucap Shinta yang memeluk anak harimau."Kita keluar!" Para bawahan itu tidak berani membantah karena mereka dibidik dengan pistol. Mereka berlari keluar dengan ketakutan."Hm? Aku suruh kalian bawa Tirta keluar. Kenapa kalian malah keluar secepat ini?" tanya Pinot dengan kesal saat melihat bawahannya keluar dengan tangan kosong."Ayah Angkat
Semua orang mengikuti arah pandang Pinot. Begitu melihatnya, mereka semua terkejut. Bagaimana bisa mobil dengan plat nomor ibu kota muncul di tempat terpencil seperti ini?Bahkan, mobil yang berada di paling depan punya plat nomor yang begitu istimewa, A99999! Jelas, pemilik mobil ini bukan orang biasa!"Pak Pinot, aku rasa kamu berlebihan. Orang-orang di ibu kota itu nggak mungkin datang ke tempat jelek seperti ini. Ini nggak masuk akal. Mungkin saja, ini rekayasa Tirta. Jangan menakuti diri sendiri," ucap Ladim sambil tersenyum tipis setelah terpikir akan kemungkinan ini."Masuk akal. Kalau Tirta kenal tokoh besar di ibu kota, mana mungkin dia masih tinggal di tempat bobrok seperti ini?""Ayah Angkat, dia mungkin tahu kita bakal kemari untuk balas dendam. Dia takut, makanya ingin menakuti kita dengan cara seperti ini. Kamu jangan tertipu," ujar Karsa yang ingin sekali membalas dendam."Seharusnya begitu. Huh! Bocah ini licik juga! Kalian semua, masuk dan tangkap dia!" Setelah menghel
"Pak Ladim, kalau kamu suka, kita bisa pindahkan dia ke Kota Lais supaya lebih dekat. Setelah kamu menundukkannya, jangan lupa kirim ke tempatku.""Ya, aku memang punya rencana seperti itu." Ladim tertawa terbahak-bahak.Saat ini, tenaga Karsa telah pulih banyak. Tatapannya dipenuhi kebencian. Dia mengertakkan gigi sambil berkata dengan susah payah, "Ayah Angkat, akhirnya kamu datang. Aku jadi cacat gara-gara mereka. Gimana aku bisa berbakti padamu di kemudian hari?""Kamu harus membantuku membalas dendam! Kalau nggak, aku nggak bakal bisa tenang seumur hidup!""Sebenarnya siapa yang membuatmu jadi begini? Kejam sekali." Pinot baru memperhatikan penampilan tragis Karsa. Bukan hanya patah tangan dan kaki, tetapi kelima jari di tangan kiri juga putus.Pinot tak kuasa menarik napas dalam-dalam saking terkejutnya. Kondisi Harto juga sama tragisnya."Nama bocah itu Tirta! Kami bertemu di kota kecil sekitar. Bukan cuma aku, tapi adikku juga! Ayah Angkat, Pak Ladim, kalian harus membalaskan d
Di sisi lain, di dalam kantor polisi.Wali Kota Hamza, Pinot, bersama dengan kepala kepolisian, Ladim, duduk dengan santai di aula utama. Mereka mulai bertanya kepala polisi yang berjaga di depan, Niko."Kapan atasan kalian keluar? Cuma menyerahkan penjahat, sepertinya nggak perlu terlalu lama, 'kan?" Yang berbicara adalah Ladim. Dia menerima banyak hadiah dari Karsa. Ketika ada masalah, dia tentu harus turun tangan."Huh, Bu Susanti sedang sibuk dan nggak punya waktu untuk bertemu dengan kalian. Kalian bisa kembali saja. Lagian, para penjahat itu ditangkap di wilayah kami. Tanpa izin dari Bu Susanti, aku nggak akan melepaskan mereka!"Niko jelas bisa merasakan bahwa mereka datang dengan niat buruk. Makanya, dia mendengus dan berkata dengan kesal."Hehe, memang benar kalian yang tangkap, tapi mereka semua berasal dari Kota Hamza. Jadi, sudah seharusnya diserahkan ke Kepolisian Kota Hamza untuk diproses. Kalian nggak punya hak untuk bernegosiasi denganku. Suruh atasan kalian keluar dan