Mendengar perkataan Naura, Tirta terkejut sejenak. Wali kota mengelola semua desa dan kota kecil di sekitarnya, bahkan sampai daerah penting di kota ini. Tidak mungkin dibandingkan dengan kepala desa biasa seperti Agus. Bagi seorang warga biasa seperti Tirta, status wali kota benar-benar merupakan posisi yang tidak terjangkau.Tirta tidak pernah menyangka bahwa Naura, putri wali kota, akan berlutut di depannya."Nona, Anda ini putri yang sangat berharga. Kenapa berlutut pada orang desa seperti dia ini? Cepat berdiri!" Dede ketakutan melihat Naura berlutut di hadapan Tirta. Dia buru-buru ingin segera memapah Naura."Kalau dia bisa menolong ayahku, aku rela berlutut padanya. Memangnya putri wali kota berhak merendahkan semua orang? Kalaupun dokter ajaib nggak mau mengobati ayahku nanti, aku hanya akan menganggap ini sebagai permintaan maaf. Nggak memalukan sama sekali," balas Naura dengan tegas.Dede kehabisan kata-kata melihat sikap Naura."Nona Naura, kamu berdiri dulu. Aku bisa ikut p
Dede juga merasa bahwa Tirta hanya bermimpi bisa mendapatkan vila seperti ini."Untuk apa repot-repot? Kalau kamu bisa menyembuhkan ayahku, vila ini bisa kuberikan padamu sebagai hadiah," ujar Naura yang berdiri di sampingnya."Nona, waktu itu kamu menghabiskan 10 miliar untuk membeli vila ini! Bukankah biaya pengobatan ini terlalu mahal?" protes Dede sambil mengernyit."Nggak usah, Nona Naura. Aku masih punya uang untuk membangun vila. Sebaiknya kamu cepat bawa aku temui pasien saja. Hari sudah mau malam, aku masih harus kembali ke desa untuk tidur," balas Tirta dengan ekspresi datar setelah melirik Dede sekilas.Naura merasa agak terkejut. Tirta malah menolak vila senilai puluhan miliar ini begitu saja? Tampaknya, kepribadian pria ini lumayan bagus. Tanpa sadar, penilaian Naura terhadap Tirta jadi semakin tinggi."Baiklah, kalau begitu silakan ikut aku." Naura tidak tahu bahwa Tirta telah memiliki aset ratusan miliar. Puluhan miliar tidak berarti apa pun baginya. Setelah berkeliling
Setelah Wardah mengatakan hal itu, suasana di ruangan itu menjadi hening seketika. Raut wajah semua orang menjadi sangat masam, termasuk Tirta."Bibi, apa kamu punya bukti menuduhku malpraktik?" tanya Tirta. Penampilan wanita ini memang lumayan cantik, tetapi Tirta tidak bisa bersabar jika wanita ini terus memfitnahnya. Dia langsung berjalan ke arah wanita itu dan menanyakannya."Orang kampungan, kamu panggil aku apa tadi?" Wardah tampaknya tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya, melainkan malah berbalik membentak Tirta. Dia merasa panggilan "Bibi" ini terlalu kampungan dan tidak pernah membayangkan akan ada orang luar yang memanggilnya dengan panggilan seperti itu."Kamu jauh lebih tua dariku, memangnya salah aku memanggilmu Bibi? Kalau nggak, bagaimana kalau aku memanggilmu Nenek?" Tirta menggaruk telinganya dan memasang ekspresi yang berlebihan."Orang kampungan, apa kamu tahu tempat apa ini? Kamu tahu aku siapa? Berani-beraninya kamu berbuat onar di sini. Sepertinya kamu masih
Wardah tidak percaya bahwa Tirta bisa sehebat itu. Namun, karena merasa bersalah, dia tetap tidak akan membiarkan Tirta mengujinya."Nggak berani, 'kan?" Tirta terkekeh-kekeh, lalu berjalan ke hadapan Wardah. Sebelum Wardah sempat bereaksi, Tirta telah menancapkan jarum itu ke titik meridian di kepala Wardah. Seketika, Wardah langsung berdiri terpaku di tempat dengan bengong bagaikan boneka.Melihat hal itu, Saad marah besar karena mengira Tirta telah membuat istrinya menjadi bodoh. Dia langsung membentak Naura dengan kasar, "Sialan, lihat saja orang seperti apa yang kamu bawa ini! Sekarang juga, cepat tangkap dan penjarakan dia. Kalau nggak, aku akan anggap nggak punya putri sepertimu!""Pak Saad, bisa nggak beri aku sedikit waktu?" tanya Tirta dengan tenang. Tanpa menunggu jawaban dari Saad, Tirta langsung mengajukan pertanyaan pada Wardah, "Coba kamu bilang sendiri, kamu berselingkuh nggak?"Wardah menjawab dengan kaku, "Aku memang berselingkuh setiap ada kesempatan. Salah satunya a
Saad tampak diliputi amarah. Pria ini pasti tidak akan melepaskan Wardah begitu saja. Naura juga menatap Wardah dengan ekspresi dingin. Dia ingin wanita ini mendapat pelajaran!"Suamiku, aku salah bicara tadi. Aku nggak punya hubungan apa pun dengan siapa pun. Semua ini fitnah! Tolong percaya padaku sekali saja. Aku benaran nggak bohong!" jelas Wardah buru-buru saat menyadari dirinya salah berbicara.Saad makin murka. Dengan wajah memerah, dia bertanya dengan geram, "Kamu kira aku masih bisa percaya pada omong kosongmu? Siap-siap mendekam di penjara! Kalau aku menemukan sesuatu, kamu pasti bakal menanggung konsekuensinya!"Kemudian, Saad menyuruh orang untuk membawa Wardah dan anak laki-laki itu pergi. Wardah terus meronta-ronta sampai celananya lepas karena ditarik orang. Sebelumnya dia terlihat sangat arogan di hadapan Tirta, tetapi sekarang terlihat sangat menyedihkan.Tirta tentu merasa puas melihatnya. Saad tersenyum getir sambil berucap kepada Tirta, "Pak, maaf sudah membuat keri
"Lihat baik-baik. Jarum ini seharusnya ditancapkan di sini. Ini juga ...." Tirta melakukan akupunktur untuk Saad sambil menjelaskan kepada Aiko.Aiko awalnya mengira Tirta hanya ingin mempermalukannya. Namun, setelah melihat keterampilan Tirta, Aiko merasa sangat takjub. "Ternyata begitu, ini ajaran mana?"Aiko tidak pernah melihat teknik akupunktur yang digunakan Tirta. Seiring berjalannya waktu, rona wajah Saad pun membaik. Ini membuat tatapan Aiko saat menatap Tirta menjadi sangat rumit."Sudah. Dua hari lagi, Pak Saad harus menjalani terapi akupunktur kembali. Setelah itu, kondisinya akan makin baik," ucap Tirta kepada Naura sambil menepuk-nepuk tangan. Dia meneruskan, "Tolong suruh orang antar aku pulang. Sudah malam, aku mau istirahat."Naura merasa jauh lebih lega sekarang. Dia tersenyum kepada Tirta sambil bertanya, "Pak, sekarang sudah malam. Gimana kalau kamu menginap di rumah kami semalam? Aku akan menjamumu.""Nggak perlu repot-repot. Sebaiknya antar aku pulang saja," tolak
Ketika melihat Melati begitu berinisiatif dan dipenuhi penantian, Tirta menjadi makin dipenuhi antusiasme. Dia berkata, "Sini."Tirta mulai merasa bergairah. Dia melakukan akupunktur untuk Melati. Entah mengapa, dia merasa nafsu Melati makin lama makin besar. Mungkin ini seperti prinsip bertani. Makin bagus cangkul dan makin sering disiram, maka tanah akan menjadi makin subur."Tirta, aku juga mau." Ketika Tirta keenakan melakukan akupunktur untuk Melati, Ayu yang berada di sebelah tiba-tiba bersuara."Jangan terburu-buru, Bi. Aku akan melakukannya satu per satu," sahut Tirta. Dia berharap dirinya menguasai jurus seribu bayangan supaya bisa merasakan 2 macam kenikmatan sekaligus.Selain itu, ranjang di rumah ini terlalu kecil. Tirta tiba-tiba teringat pada uang 600 miliar dari Irene. Tirta pun memutuskan untuk tidak membuka klinik besok. Dia akan pergi ke kota untuk mengambil sebagian uang itu, lalu membangun rumah besar di desa, membeli ranjang besar dan mobil keren!"Tirta, kamu laya
Kedua wanita itu berusaha memikirkan cara untuk membuat Tirta senang. Namun, kesedihan semacam itu tidak akan pernah dilupakan oleh Tirta."Bi, Kak, terima kasih sudah memperlakukanku dengan begitu baik. Kalian istirahatlah, sudah malam. Besok aku masih harus ke kota," ujar Tirta.Kemudian, Tirta berbaring dan matanya masih berkaca-kaca. Ini pertama kalinya Melati dan Ayu melihat Tirta begitu sedih. Mereka sampai tidak berniat untuk tidur.Kedua wanita itu tidak berbicara lagi. Mereka sama-sama memeluk Tirta. Sesaat kemudian, Ayu baru menghibur, "Tirta, jangan terlalu dipikirkan. Tidurlah. Aku masih ingat dengan janjiku."Melati tentu tidak berani berbicara begitu terang-terangan. Namun, dia akan menggunakan aksinya untuk membuat Tirta senang.....Keesokan pagi, suasana hati Tirta jauh lebih baik. Dia berkata, "Aku ada urusan di kota hari ini, jadi klinik nggak buka dulu. Kalian istirahat saja di rumah."Setelah berpamitan, Tirta pun bersiap-siap ke kota. Sebelumnya, Tirta sempat meny
Kemudian, Ayu kembali sibuk di dapur. Agatha keluar dari klinik, lalu bertanya kepada Tirta, "Tirta, Bibi Ayu bilang apa denganmu? Kenapa kalian kelihatan misterius?"Tirta menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa. Bibi Ayu tanya kenapa Kak Nia tiba-tiba tinggal di klinik.""Oh. Kamu cepat lihat dulu, nanti malam Kak Nia tidur di mana?" timpal Agatha. Dia menarik Tirta masuk ke klinik, lalu melanjutkan dengan ekspresi khawatir, "Selain itu, kita bertiga ... kita tidur di mana? Nggak ada tempat lagi."Nia yang berdiri di depan pintu klinik berujar dengan canggung, "Tirta, apa aku merepotkan kalian? Kalau nggak, aku tinggal di hotel saja."Tirta menepuk dadanya sambil menjamin, "Nggak usah, Kak Nia. Aku sudah atur semuanya. Klinik ini cukup untuk ditempati kita semua.""Kalau begitu, kamu lakukan akupunktur pada Kak Nia. Aku lihat Bibi Ayu butuh bantuan atau nggak," ucap Agatha. Selesai bicara, dia masuk ke dapur.Tirta menutup pintu klinik, lalu mengambil jarum dan berkata kepada Nia, "Ka
Tirta memang kuat. Kalau tidak, dia juga tidak bisa mengancam Agatha. Melihat Agatha sudah setuju, Tirta langsung mengangguk dan berujar, "Kak Agatha, kamu tenang saja. Aku pasti akan membereskan Susanti dan nggak akan membuatmu merasa nggak nyaman."Agatha mendengus, lalu membalas sembari memelototi Tirta, "Cuma kali ini, ya. Ke depannya aku nggak mau melakukannya bersama Susanti."Agatha melepaskan dirinya dari pelukan Tirta, lalu berjalan ke mobil terlebih dahulu. Tirta yang merasa puas segera mengikuti Agatha kembali ke mobil.Nia bertanya, "Agatha, apa perutmu masih sakit?"Agatha berusaha tenang saat menjawab, "Nggak, Kak Nia. Setelah kita kembali, suruh Tirta lakukan akupunktur padamu untuk menyembuhkan sesak napasmu."Nia menyahut seraya mengangguk, "Oke."....Setengah jam kemudian, mereka kembali ke klinik. Kala ini, Ayu, Melati, dan Arum sedang sibuk di dapur. Ayu penasaran ketika melihat Nia juga turun dari mobil dan membawa banyak keperluan sehari-hari.Ayu menarik Tirta k
Tirta langsung berbicara terus terang. Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Agatha mencebik dan berujar, "Tirta, kamu memang berengsek! Kamu nggak pernah tiduri aku di klinik. Kamu lebih suka tiduri Susanti atau aku?"Tirta menyahut, "Tentu saja aku lebih suka tiduri kamu. Dadamu lebih besar, bokongmu lebih montok, kakimu ramping, kulitmu mulus, sifatmu juga baik ...."Dalam situasi seperti ini, tentu saja Tirta tahu siapa yang lebih baik. Dia terus memuji Agatha.Agatha memutar bola matanya, tetapi dia tidak terlalu marah lagi. Agatha menyela, "Cukup, kamu itu munafik. Jelas-jelas punya Susanti hampir sama denganku, kamu terlalu berlebihan."Agatha bertanya, "Jadi, apa semua ini ada hubungannya dengan keinginanmu?"Tirta mengusap tangannya seraya menjawab, "Tentu saja ada. Bukannya malam ini Kak Agatha mau tinggal di klinik? Susanti juga pulang ke klinik, kalian ....""Tunggu!" sergah Agatha. Dia merasa ada yang tidak beres. Agatha menegaskan, "Malam ini aku nggak mau tinggal di klin
Tirta menegaskan, "Bu, sudah kubilang kamu nggak usah sungkan. Kebetulan aku ada di sini, jadi aku bisa menyelamatkan anakmu. Untuk urusan bisnis, semuanya tetap harus diperhitungkan dengan jelas. Kalau aku kurang bayar 1 miliar, takutnya kamu nggak dapat keuntungan. Kalau kamu nggak mau terima, aku nggak beli lagi."Bos toko bersikeras berkata, "Jangan begitu. Aku juga nggak marah biarpun kamu nggak beli. Aku cuma punya 1 anak, dia lebih berharga dari nyawaku. Kamu menyelamatkan anakku dan memesan begitu banyak bibit pohon buah dariku. Aku sangat berterima kasih padamu, mana mungkin aku membiarkan kamu menghabiskan begitu banyak uang?"Bos toko menambahkan, "Lagi pula, setelah kamu bayar 3 miliar, aku sudah bisa dapatkan keuntungan 1 miliar lebih. Aku nggak rugi."Tirta terpaksa menanyakan pendapat Agatha dan Nia, "Kak Agatha, Kak Nia, bagaimana menurut kalian?"Agatha bertatapan dengan Nia, lalu menyahut sembari tersenyum, "Tirta, bos mau berterima kasih padamu dan kita memang kekura
Tirta berpikir sejenak, lalu tersenyum licik dan berucap, "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, kamu kabulkan satu keinginanku saja. Anggap sebagai kompensasi."Agatha segera mengangguk seraya menyahut, "Apa keinginanmu? Kamu bilang saja. Asalkan aku bisa melakukannya, aku pasti kabulkan keinginanmu."Tirta mengedipkan matanya, lalu menimpali, "Nanti kita baru bicarakan di mobil. Sekarang kita bicarakan masalah bibit pohon buah dengan bos toko dulu.""Oh. Kalau begitu, nanti kita baru bicarakan di mobil," balas Agatha. Dia merasa Tirta berniat jahat, tetapi dia tidak keberatan.Anak bos toko sudah tertidur setelah minum susu. Bos toko keluar dari kamar. Dia membawa sepiring buah yang sudah dicuci.Bos toko berujar, "Kalian sudah menunggu lama. Istirahat dulu dan makan buah.""Terima kasih, Bu," sahut Tirta. Dia tidak sungkan lagi dan langsung duduk di bangku. Tirta mengambil buah pir dan memakannya.Agatha dan Nia juga mengambil buah, lalu duduk di samping Tirta sambil memakan buahn
"Aduh, maaf ... aku ...," ucap bos toko. Dia baru tersadar. Bos toko segera merapikan pakaiannya dengan ekspresi malu.Bos toko berniat mengambil tisu untuk menyeka punggung Tirta, tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Dia merasa bersalah dan juga ragu. Bos toko berputar-putar di tempat.Agatha segera mengambil tisu di mobil, lalu berujar, "Tirta, biar aku yang menyeka punggungmu."Agatha merasa bersalah karena tadi dia salah paham kepada Tirta. Dia menyeka punggung Tirta.Tirta sedang sibuk menyelamatkan anak itu sehingga tidak menanggapi ucapan Agatha. Setelah ditepuk-tepuk Tirta beberapa saat, anak itu memuntahkan potongan buah. Kemudian, kondisinya perlahan menjadi normal kembali.Tirta baru mengembuskan napas lega. Dia menyerahkan anak itu kepada bos dan berpesan, "Bu, sekarang anakmu baik-baik saja. Dia masih terlalu kecil, nggak bisa konsumsi makanan yang terlalu keras. Ingat, ke depannya jangan beri dia makanan yang keras lagi supaya kejadian begini nggak terulang."B
Dada wanita itu pun terlihat. Masalahnya, anak itu tetap menangis meski telah diberi susu. Sepertinya tidak tampak tanda-tanda tangisannya akan mereda.Tirta melihat anak itu. Dia baru menyadari ada yang tidak beres. Ternyata, ada potongan buah yang tersangkut di tenggorokan anak itu.Alhasil, anak itu kesulitan bernapas. Itulah sebabnya dia tidak berhenti menangis. Jika tidak segera ditangani, nyawa anak itu akan terancam.Saat Tirta hendak meminta bos toko untuk menyerahkan anaknya, tiba-tiba Agatha mencubit pinggangnya dan menegur, "Tirta, apa yang kamu lihat? Bos itu lagi menyusui anaknya! Cepat kembali ke mobil!"Agatha berbicara sambil mendorong Tirta ke mobil. Dia merasa Tirta makin keterlaluan. Bisa-bisanya dia diam-diam melihat wanita yang sedang menyusui anaknya!Tirta yang hendak keluar dari mobil buru-buru menjelaskan, "Bukan ... Kak Agatha, kamu salah paham. Aku nggak diam-diam melihat bos itu. Aku lagi lihat anaknya. Dia bukan lapar, tapi ada makanan yang tersangkut di te
Tirta yang berdiri di luar kamar pas bergumam setelah mendengar percakapan Agatha dan Nia, "Aneh, apa setiap wanita yang dadanya kecil berharap dadanya membesar?"Tirta berpikir ukuran dada wanita sama pentingnya dengan ukuran alat kelamin pria. Tentu saja pria tidak ingin mempunyai alat kelamin yang kecil. Bahkan, Agus meminta resep kepada Tirta untuk memperbesar alat kelaminnya.Tirta membatin, 'Nanti waktu melakukan akupunktur pada Kak Nia, aku sekalian bantu Kak Nia perbesar ukuran dadanya.'Tak lama kemudian, Agatha dan Nia keluar dari kamar pas. Agatha menunjukkan pakaian dalam renda yang seksi kepada Tirta, lalu berujar sembari mengerjap, "Tirta, aku sudah selesai pilih. Ukurannya sudah pas, kamu langsung bayar. Malam ini aku nggak pulang lagi."Nia paham maksud Agatha. Dia langsung bergeser ke samping. Sementara itu, Tirta berdeham dan menyahut, "Oke. Aku bayar sekarang."Namun, Tirta merasa khawatir. Malam ini Susanti kembali ke klinik. Pasti akan terjadi keributan lagi. Nanti
Susanti melihat Harto dan lainnya dengan ekspresi dingin. Niko menyahut, "Oke, Bu Susanti!"Kemudian, Niko memerintah bawahan untuk menangkap Harto dan lainnya. Susanti menghampiri Agatha dan Nia, lalu bertanya, "Bu Agatha, Bu Nia, apa kalian disakiti?""Nggak. Tapi, kalau nggak ada Tirta, kami pasti celaka," sahut Agatha yang masih merasa takut.Susanti mengeluarkan pena dan catatan, lalu mencari tahu seluk-beluk kejadiannya. Dia berkata, "Yang penting kalian baik-baik saja. Aku butuh pengakuan kalian. Waktu mengurus kasus, aku butuh ...."Setelah selesai bertanya kepada Agatha dan Nia, Susanti berpamitan dengan Tirta dan buru-buru pergi. Sudah jelas Susanti makin sibuk sejak Mauri dipindahkan. Yang mengejutkan Tirta adalah kali ini Susanti dan Agatha tidak berdebat.Agatha melihat Susanti turun ke lantai bawah, lalu menghampiri Tirta dan merangkul lengannya sembari bertanya, "Tirta, apa yang harus kita lakukan sekarang?"Tirta merangkul pinggang Agatha dan menjawab, "Lanjut beli paka