"Bukannya kamu pernah bilang akan memperlakukanku dengan baik seumur hidupmu? Sekarang kamu malah mengabaikan semua kenangan kita cuma karena Tirta ...." Camila masih belum mau menyerah. Dia menggenggam lengan Simon lebih erat, memohon dengan suara pilu."Diam! Aku tanya, sudah berapa banyak kamu menulis? Jawab pertanyaanku!" Simon tiba-tiba merasa sangat muak. Dia mengempaskan tangan Camila dengan kasar."Aku ... aku sudah tulis lebih dari 430 kali ...." Camila langsung menangis dengan sedih, merasa sangat tertekan."Kalau begitu, masih kurang 9.500 kali lagi. Lanjutkan saja. Setelah siap, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu." Simon menghela napas panjang, terlihat agak ragu.Melihat ekspresi Simon, Camila tiba-tiba merasa gembira. 'Simon pasti kasihan padaku. Dia pasti punya alasan tersendiri kenapa memperlakukanku seperti ini. Dia sebenarnya masih peduli padaku! Kalau nggak, dia nggak mungkin menemaniku di sini. Dia pasti menungguku selesai menulis, lalu dia akan minta maaf dan
"Hm ... Tirta, jangan. Aku ... aku belum siap ...." Tidak peduli bagaimana Bella memohon, dia tidak akan terlepas dari cengkeraman Tirta.Tirta menunjukkan teknik ciumannya yang tak tertandingi, membuat tubuh Bella melemas. Seketika, Bella hanya bisa bersandar di pelukan Tirta, membiarkan Tirta melakukan apa pun sesuka hati.Tirta mencium dengan panas sambil melirik. Kemudian, dia melihat bibir Bella yang sangat merah akibat ciumannya. Bella seperti akan meleleh di pelukannya.Setelah merasa sudah cukup, Tirta akhirnya mengakhiri ciumannya. Dengan napas berat dan tatapan linglung, Bella berkata, "Tirta, tubuhmu panas sekali ...."Terakhir kali Tirta melihat Bella seperti ini saat berada di hotel Kota Barlin. Saat itu, Bella minum obat dari Resnu. Untungnya, Tirta menyadarinya dengan cepat sehingga membantu Bella meredakan efek obat itu. Bahkan, dia sempat mengambil sedikit keuntungan dari Bella."Aku juga merasa tubuhku panas sekali. Sepertinya aku nggak tahan lagi, bantu aku redakan p
"Eh? Apa caraku melafalkan mantra salah? Apa teknik ini palsu?" gumam Tirta yang kebingungan.Setelah selesai melafalkan mantra, Tirta tidak bisa menghilang ataupun menembus dinding. Dia mencari dalam ingatannya, lalu dia baru paham. Ternyata Tirta baru memasuki tingkat pembentukan energi. Dia hanya bisa mengerahkan salah satu teknik.Selain itu, Tirta bukan hanya harus melafalkan mantra. Dia juga harus fokus untuk mengerahkan energi spiritual di bagian perutnya. Tirta harus menggunakannya secara bersamaan agar bisa efektif."Kalau begitu, aku coba Teknik Menghilang dulu biar bisa beri Bibi kejutan," ucap Tirta. Sesudah membuat keputusan, dia melafalkan mantra sesuai cara dalam ingatannya.Kemudian, Tirta melihat tubuhnya menghilang. Hanya saja, sebagian besar energi spiritual dalam tubuhnya langsung terkuras."Lain kali aku nggak boleh menguras energi spiritualku lagi. Seharusnya hasilnya sama kalau aku menggunakan energi perak," gumam Tirta.Tirta sangat antusias, lalu dia membuka pi
"Bibi, kamu bukan lagi mimpi. Ini benaran," hibur Tirta. Dia mencium mata dan alis Ayu dengan lembut.Ayu tetap memejamkan matanya sambil bergumam, "Nggak ... ini pasti mimpi. Malam ini Tirta istirahat di kamar Bu Bella. Dia nggak sempat temani aku .... Aku tahu ini mimpi. Biarpun begitu, aku sudah puas ....""Bibi, coba kamu buka matamu. Lihat apa kamu memang lagi mimpi atau bukan," timpal Tirta. Dia tidak tahan lagi. Tirta memeluk Ayu dengan erat dan berhenti menggunakan Teknik Menghilang.Ayu sudah sepenuhnya sadar. Dia membuka mata, lalu melihat Tirta memandanginya seraya tersenyum lebar. Ayu berucap, "Tirta ... kenapa ... kamu datang? Cepat kembali, nanti Bu Bella marah."Tirta menanggapi, "Nggak apa-apa, Bibi. Bu Bella sudah tidur. Sekarang aku temani kamu, besok pagi aku baru kembali. Nggak akan ada yang tahu."....Malam ini, Tirta menggunakan Teknik Pasangan kedua kalinya. Ternyata sama seperti yang dikatakan Genta.Ayu yang bukan perawan tidak memberikan tambahan energi spiri
Kemudian, Tirta tersenyum puas. Dia menyuruh Ayu memejamkan matanya lagi. Namun, kali ini Ayu tidak memejamkan mata sepenuhnya.Ayu diam-diam mengintip. Dia tidak percaya Tirta bisa langsung berpindah dari kamarnya ke kamar Bella. Hanya saja, apa yang terjadi selanjutnya membuat Ayu tercengang. Ayu melihat Tirta melafalkan sesuatu, lalu dia menghilang dari pandangan Ayu.Ayu berseru kaget, "Tirta ... benar-benar bisa sulap! Apa dia bisa melakukannya setelah aku cium bagian itu? Ajaib sekali!"Mendengar ucapan Ayu, Tirta yang sudah menggunakan Teknik Menghilang merasa lucu. Tirta menunggu sampai Ayu tertidur.Sesudah itu, Tirta baru membuka pintu dan kembali ke kamar Bella. Kala ini, Bella belum bangun. Wajahnya masih merona.Tirta berhasrat lagi setelah mengamati Bella. Dia menelan ludah, lalu mulai beraksi lagi sambil berujar, "Aku mau lanjut gunakan Teknik Pasangan. Ini juga untuk meningkatkan kekuatanku!""Tirta, kamu mau lanjut lagi? Sudah pagi ... jangan macam-macam ...," keluh Be
Setelah memakai baju, Tirta mencium Bella dan memuji, "Bu Bella, kamu memang istri yang perhatian. Ke depannya aku pasti sangat bahagia kalau hidup bersamamu.""Dasar gombal! Sudahlah, cepat gosok gigi dan cuci muka," balas Bella. Biarpun terlihat tidak peduli, sebenarnya dia sangat senang. Bella tersenyum lebar.....Setelah selesai mandi, Tirta dan Bella pergi ke kamar Ayu. Mereka mengajak Ayu sarapan. Bella baru tahu hari ini Darwan keluar untuk mengurus bisnis setelah melihat ponselnya. Hal ini membuat Bella lebih rileks.Saat berjalan ke ruang makan, Bella bertanya kepada Ayu sambil tersenyum, "Bibi Ayu, apa semalam kamu bisa tidur nyenyak?"Ayu yang merasa malu melirik Tirta sekilas dan menyahut dengan gugup, "Semalam aku bisa tidur dengan nyenyak. Bu Bella, terima kasih atas perhatianmu. Bagaimana dengan kamu dan Tirta? Dia nggak tindas kamu, 'kan?"Selesai bicara, Ayu baru menyadari ucapannya kurang pantas. Wajah Bella memerah, tetapi dia ingin meminta bantuan Ayu untuk memberi
Melihat respons Camila, tentu saja Tirta bisa menebak apa yang terjadi. Dia melirik Simon dan bertanya, "Pak Simon, seharusnya kamu yang bantu dia tulis, 'kan?"Simon menjawab, "Tirta, memang aku yang tulis. Semalam aku lihat dia nggak kuat lagi, jadi aku bantu dia karena nggak tega. Bagaimanapun, aku juga menyinggungmu. Tentu saja aku harus bertanggung jawab. Makanya ...."Suara Simon makin kecil. Tirta tidak bermaksud menyalahkan Simon. Dia menghela napas dan berkata dengan tulus, "Pak Simon, kamu nggak usah jelaskan lagi. Aku tahu kamu suka dia."Tirta meneruskan, "Aku juga bisa memahami tindakanmu. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku akan bertindak seperti kamu. Tapi, wanita ini benar-benar nggak cocok dijadikan istri. Aku sarankan Pak Simon pertimbangkan hubungan kalian lagi."Sebelum Simon menanggapi perkataan Tirta, Camila mendengus dan menegur, "Aku dan Simon saling mencintai. Kamu itu cuma orang luar, sebaiknya jangan ikut campur urusan kami."Kemudian, Camila menarik Simon berja
Simon menambahkan, "Kamu boleh minta kompensasi apa pun. Aku pasti akan memenuhinya."Mendengar ucapan Simon, wajah Camila menjadi tegang. Dia langsung bersandar di pelukan Simon dan memelas, "Simon, kamu pasti bercanda, 'kan? Ini nggak lucu, jangan takut-takuti aku, ya?"Simon mendorong Camila dengan pelan dan menyahut, "Camila, aku nggak bercanda. Sampai sekarang kamu nggak tahu kesalahanmu. Kamu benar-benar menyedihkan."Simon meneruskan, "Kamu punya nomor teleponku. Setelah memikirkan kompensasi yang kamu inginkan, kamu bisa hubungi aku kapan saja. Jangan salahkan aku terlalu kejam, aku juga terpaksa. Kalau terus bersama, kita berdua harus menanggung konsekuensi yang berat."Selesai bicara, Simon tetap mengantar Camila masuk ke mobil meski merasa tidak rela. Dia berpesan kepada sopir, "Antar Camila pulang ke kediaman Keluarga Arshad. Nanti aku naik taksi ke bandara, aku mau langsung pulang ke ibu kota. Kamu nggak usah pedulikan aku.""Oke, Tuan Simon," sahut sopir. Kemudian, dia me
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka
Setelah itu, Yuli memperhatikan bahwa wajah Idris tampak agak canggung. Dia pun mengecilkan suaranya dan bertanya dengan hati-hati, "Pak Idris, suaraku terlalu keras sampai mengganggumu ya? Maaf banget ya, aku terlalu bersemangat, jadi nggak bisa kontrol diri.""Nggak, nggak. Bu Yuli, suaramu sama sekali nggak keras. Kamu nggak perlu mengkhawatirkanku. Selama Pak Tirta nggak merasa terganggu, aku nggak akan keberatan sedikit pun." Saat melihat dari ujung mata bahwa Tirta menoleh ke arahnya, Idris buru-buru melambaikan tangan sambil tertawa canggung."Benaran?" Yuli tampak semakin tidak percaya. Seorang gubernur bisa serendah hati ini? Apalagi dari nada bicara Idris, terlihat jelas bahwa dia sangat takut pada Tirta! Jangan-jangan Tirta punya latar belakang yang bahkan membuat seorang gubernur seperti Idris gentar?"Masih sempat ngobrol, nggak pikirin kondisi anak kita sekarang kayak gimana!" Sebelum Yuli sempat melanjutkan, Anton sudah menyela dengan nada kesal."Huh! Kalau anak kita ke
"Eh ...." Tirta sebenarnya tidak menyangka bahwa Marila bisa sekompetitif itu dalam hal seperti ini. Namun, dia tetap menatap tubuh Marila dari atas sampai bawah dengan serius, lalu berkata, "Marila, sebenarnya postur tubuhmu cenderung lembut dan anggun.""Ukuran sebesar jeruk bali itu sudah sangat cocok. Bakal terlihat indah, seimbang, alami, dan menambah pesona feminin. Kalau sebesar melon, malah akan kelihatan agak aneh.""Kalau sampai lebih besar dari melon, itu malah jadi nggak enak dipandang. Nggak perlu terlalu mengejar ukuran. Yang pas itu yang terbaik."Mendengar ucapan Tirta, Marila tanpa sadar melirik tubuhnya sendiri, lalu merasa yang dikatakan Tirta masuk akal. Namun, begitu teringat pada Shinta, dia merasa enggan.Dia bertanya, "Kalau begitu, kenapa Shinta yang lebih muda dariku bilang mau sebesar melon? Kalau dia sebesar itu, bukannya juga nggak seimbang?""Benar. Makanya, aku juga nggak pernah berniat bantu dia sampai sebesar melon. Umurnya masih muda, dia belum bisa me
"Tapi, Pak Tirta sudah bilang, setelah dia mengantar Bu Susanti pulang, dia akan pergi ke ibu kota sebentar." Marila sudah tidak begitu marah lagi. Lagi pula, Shinta adalah adik kandungnya.Dia berencana untuk segera menjelaskan semuanya kepada Tirta, agar Tirta tidak melihatnya dengan pandangan yang aneh di kemudian hari."Ah, begitu ya. Kalau begitu, aku nggak akan ke sana. Tapi, Kak, sekarang aku benar-benar penasaran. Bisa nggak kamu kasih tahu aku?" Nada suara Shinta yang penuh kekecewaan seketika berubah menjadi bersemangat, bahkan dia melontarkan pertanyaan dengan nada yang berlebihan."Apa itu?" Marila tanpa sadar membalas."Tapi, jangan marah ya. Aku cuma ingin tahu, aku 'kan belum kasih tahu Kak Tirta tentang permintaanmu, terus gimana dia bisa membantumu?" Suara Shinta penuh dengan rasa penasaran dan kegembiraan."Dasar anak nakal! Nanti kalau aku kembali ke ibu kota, lihat saja gimana aku akan memberimu pelajaran!" Marila merasa sangat malu dan marah, lalu langsung memutusk
Tirta baru menyadari bahwa kejadian tadi hanyalah sebuah kesalahpahaman!Awalnya, dia berniat untuk mengejar Marila dan menjelaskan semuanya atau mungkin meminta bantuan untuk mencari bahan obat atau jarum perak, lalu benar-benar memberikan perawatan pembesaran dada seperti yang diminta.Namun, saat dia melihat Marila berbalik dan masuk ke ruangan lain, lalu menutup pintu, Tirta pun tidak mengejar lagi."Hais .... Memalukan sekali. Semoga Marila bisa melupakan kejadian ini. Kalau nggak, pasti akan canggung setiap kali kami bertemu." Setelah merasakan kemanisan tadi, Tirta kembali ke kamar tempat Susanti beristirahat untuk melihatnya.Tentu saja, Tirta sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, jadi dia merasa cukup tenang.Di sisi lain, saat Marila kembali ke kamarnya dengan penuh rasa malu, dia baru menyadari bahwa celananya ternyata sudah basah."Kapan ini terjadi? Kenapa aku nggak sadar? Gawat, Pak Tirta pasti menyadarinya! Gimana aku bisa menghadapi Pak Tirta sekarang ...." Marila
Saat itu, hati Tirta dipenuhi kebingungan dan detak jantungnya juga tak terkendali. Meskipun dada Marila datar, dia tetaplah seorang wanita!Perut putih mulusnya datar, kulitnya sehalus giok, ekspresinya yang malu-malu tampak menggoda. Semuanya membuat hati Tirta bergetar tanpa bisa dikendalikan!"Pak Tirta, tentu saja maksudku ... maksudku ...." Melihat Tirta hanya bengong tanpa melakukan apa-apa, bahkan menatapnya dengan heran, wajah Marila semakin merah. Namun, dia benar-benar malu untuk mengatakan permintaannya secara langsung.Jadi, dia hanya melirik pelan ke arah dadanya, berharap Tirta bisa mengerti maksudnya."Bu Marila, kamu ingin aku bantu ... bantu ... apa ya?" Tirta salah paham dan cukup kaget. Pikirannya mulai liar. Bukannya Marila itu tipe yang kalem? Masa iya wanita ini memintanya memijat dadanya? Mungkin dia merasa kurang nyaman jika melakukannya sendiri?"Benar, Pak Tirta. Aku memang ingin kamu bantu aku .... Tolong segera dimulai ya ...." Melihat Tirta tampak ragu, Ma
"Ada apa sih, Kak? Kok suaramu kayak lagi ngumpet-ngumpet gitu? Jangan-jangan Paman nggak dengarin nasihat Kakek lagi ya?" Suara ceria Shinta terdengar dari seberang telepon, dengan nada penuh rasa penasaran."Bukan soal Paman ...." Marila menahan rasa gugup dan malu dalam dirinya, lalu berbisik pelan, "Aku cuma mau tanya, waktu itu gimana caranya kamu buat Pak Tirta bantuin kamu besarin payudara?""Apa? Kakak bicara apa sih? Suaramu kecil banget, aku nggak dengar jelas ...." Shinta terdengar makin bingung.Wajah Marila pun langsung merah padam. Dia terpaksa mengulangi ucapannya dengan suara lebih keras, meskipun merasa malu. "Aku bilang, aku mau tanya, gimana caranya kamu bisa buat Pak Tirta bantu kamu besarin payudara ....""Hahaha! Wah, kamu ini ya! Aku benar-benar nggak nyangka! Waktu itu kamu marahin aku habis-habisan, sekarang kamu malah mau besarin juga!""Yah ... sebenarnya sih aku bisa saja kasih tahu, tapi kamu harus minta maaf dulu sama aku. Kalau suasana hatiku baik, aku bi
Ternyata setelah Shinta kembali ke ibu kota, Marila mulai menyadari ada yang aneh dengan perubahan di tubuh adiknya itu, khususnya di area payudara.Meskipun biasanya tertutupi pakaian dan tidak mudah terlihat oleh orang luar, Marila dan Shinta adalah kakak beradik. Tentu saja mereka kerap bersentuhan secara fisik.Suatu kali, Marila tanpa sengaja menyentuh tubuh Shinta dan terkejut mendapati payudara adiknya yang dulu rata telah berubah menjadi seperti buah pir besar!Karena itu, Marila curiga bahwa Shinta diam-diam melakukan operasi pembesaran payudara. Dia langsung memarahi sang adik habis-habisan.Shinta yang masih berjiwa muda dan sensitif, tentu tidak terima dituduh macam-macam tanpa alasan. Akhirnya, mereka bertengkar. Dalam perdebatan itu, Shinta keceplosan.Dari situ, Marila baru tahu bahwa Tirta memiliki kemampuan medis yang begitu ajaib! Melihat adiknya kini justru lebih "berisi" dibanding dirinya, Marila langsung merasa tertekan dan minder.Dia pun bertekad, kalau suatu har
Marila takut Tirta kehabisan kesabaran, jadi dia menunjuk ke arah sebuah gedung tinggi di pusat kota."Maaf sudah merepotkanmu. Oh ya, sebelumnya kamu sempat bilang ingin minta bantuanku, 'kan? Nanti setelah aku selesai menenangkan Susanti, aku pasti bantu kamu ...."Tirta melirik Susanti yang sedang tertidur di pelukannya, lalu mengangguk pelan. Dia seperti teringat sesuatu dan menoleh ke arah Marila. Namun, sebelum Tirta selesai bicara, Marila segera menyela dengan ekspresi agak canggung."Pak Tirta, urusanku nggak mendesak! Kamu bisa fokus dulu merawat Bu Susanti. Kalau nanti benar-benar sudah ada waktu luang, baru cari aku."Saat mengatakan itu, Marila tanpa sadar menunduk. Wajahnya pun terlihat agak malu dan pipinya sedikit memerah."Ya sudah kalau begitu." Melihat reaksi Marila, Tirta pun tak memperpanjang pembicaraan. Dia berkata ingin beristirahat sebentar, padahal sebenarnya dia masuk dalam kondisi meditasi untuk berbicara dengan Genta.'Kak Genta, lihat deh, pemandangan di Pr