:-0
"Apa Nyonya butuh alat bantu jalan?"Kepala Ralin mengangguk. "Sebenarnya iya. Tadi dokter bilang begitu sekalian untuk terapi jalan.""Besok akan saya bawakan."Ralin tersenyum dan mengangguk karena David seakan-akan tahu apa yang dibutuhkan. Tanpa Ralin harus meminta-minta. "Makasih banyak, Vid. Maaf merepotkan.""Sama-sama, Nyonya. Saya undur diri dulu."Setidaknya, masih ada David yang membantu Ralin manakala Lewis masih diliputi rasa kecewa. Kemudian Bu Tatik datang dengan membawa minuman dan camilan. Setelah menandaskannya bersama Levi, Ralin meminum obatnya. "Den Ayu, apa perlu saya temani tidur?"Kepala Ralin mengangguk tegas ketika mendapatkan tawaran yang lagi-lagi sangat ia butuhkan tanpa harus meminta. "Kalau Bu Tatik nggak merasa repot.""Tugas saya sudah pasti untuk melayani keluarga Den Mas. Tidak ada kata repot untuk itu."Satu lagi, selain David, kini Bu Tatik juga menunjukkan dukungan selama Ralin belum sembuh sepenuhnya. Setidaknya Ralin bisa melewati ini semu
Ralin kemudian menunduk dan David segera berdiri lalu sedikit membungkuk hormat. "Selamat pagi, Pak."Lewis ternyata sudah berdiri di depan pintu entah sejak kapan. Apakah dia sempat melihat David mengajari Ralin berjalan menggunakan alat bantu jalan itu atau tidak?Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar Ralin dengan penampilan tidak jauh berbeda dari David. Sudah sangat tampan dan rapi karena hendak menuju pabrik.Ia memperhatikan Ralin dan alat bantu jalan yang digunakan. "Kamu yang membelikannya, Vid?""Iya, Pak." Jawab David tanpa keraguan.Jiwa lelaki sejatinya tidak perlu diragukan. "Karena Nyonya membutuhkan alat itu."Lewis tidak bertanya lagi kemudian menghampiri Levi. "Ayo kita sarapan, Lev?"Levi kemudian menggeleng. "Makan. Ibu."Ralin paham jika yang Levi maksud adalah ingin sarapan bersama Ralin. "Kamu bisa jalan ke meja makan, Lin?""Akan aku coba, Den Mas."Jangankan ke meja makan, menuju kamar mandi saja Ralin membutuhkan bantuan. Namun, bagaimana dia menolak permi
Dengan berbaring miring sambil memeluk Levi, Lewis menatap Ralin dan melanjutkan ucapannya. "Waktu kamu bilang mau mundur dari pernikahan ini, mau menyudahi pernikahan ini, aku kayak ditampar kenyataan, Lin. Kalau kamu sesakit ini juga karena perbuatan Emran.""Meski kamu sakit pun, kamu masih merhatiin Levi. Masih ngurusin Levi sama keterbatasanmu.""Padahal dalam perjanjian pra nikah, nggak ada pasal yang ngatur ketika kamu sakit harus terus merawat dan menjaga Levi. Tapi apa yang kamu lakukan, melebihi perjanjian pra nikah yang aku buat."Lalu Lewis mengusap rambut Levi yang sudah terlelap dan mencium kening putra semata wayangnya itu. Itu semua tak lepas dari pandangan Ralin."Kamu ngasih dia cinta dan sayang jauh lebih besar ketimbang aku sebagai Ayahnya. Bahkan sekedar tidur pun, dia nggak mau kalau nggak sama kamu. Aku kalah telak dari kamu, Lin.""Dan ucapanmu tadi pagi bikin aku sadar diri, Lin. Kalau kamu juga menderita karena Emran dan Levi bakal jauh lebih kehilangan kala
Kepala Ralin reflek menggeleng. "Bukan gitu, Den Mas.""Kalau memang begitu, biar aku panggilin David."Ralin kembali menggeleng. "Aku cuma nggak mau kelihatan kayak perempuan nggak tahu diri aja, Den Mas. Kamu itu pewaris. Mana etis gendong perempuan kayak aku.""Stop! Intinya pagi ini, kamu mau sarapan sama aku apa nggak?"Tentu saja Ralin ingin. Hanya saja dia tidak sampai hati mengatakannya. Belum sempat Ralin menjawab, Lewis kemudian memindahkan alat bantu jalan itu dan langsung menggendongnya begitu saja. Ralin reflek langsung melingkarkan tangannya di belakang leher Lewis. Untuk beberapa detik, Ralin dan Lewis saling tatap. Dan itu membuat seluruh darah Ralin terasa sangat dingin. Dengan jarak sedekat ini, Ralin berharap detak jantungnya yang menggila, tidak terdengar oleh Lewis. "Levi, ayo makan di ruang makan." Lewis berucap pada putranya. Levi mengangguk lalu berjalan bersama Lewis menuju ruang makan dengan menggendong Ralin. Dan pemandangan itu terlihat oleh Bu Tati
"Apa Den Mas marah gara-gara kamu punya inisiatif beliin aku ponsel?"Kepala David menggeleng."Saya rasa tidak, Nyonya.""Dia nggak bilang apapun?""Tidak.""Dia masih ngajak kamu bicara kayak biasanya?""Iya. Ada apa, Nyonya?"Ralin menghela nafas sambil menatap beberapa orang yang lalu lalang di dalam rumah sakit ini. "Aku takut Den Mas punya pikiran kita lagi mengkhianati dia, Vid." Kemudian Ralin menatap David kembali, "Lagian, kenapa kamu jujur banget kalau punya ide beliin aku ponsel?""Saya lebih suka terbuka dan apa adanya pada Pak Lewis, Nyonya."Ralin berdecak kesal. "Kalau Den Mas mikir yang nggak-nggak, gimana?""Beliau pasti akan menegur bila saya melakukan kesalahan."Jika David saja bisa bersikap santai dan biasa saja, mengapa Ralin harus terlihat takut setengah mati?Kentara sekali jika Ralin sedang berusaha menjaga perasaan Lewis. Sedangkan dia tidak membutuhkan hal itu karena memang tidak mencintai Ralin. ****Siang ini Ralin akan menjalani terapi terakhir. Ia s
Saat lampu telah berubah hijau, mau tidak mau sopir menekan pedal gas. Meninggalkan pemandangan yang membuatku bertanya-tanya. 'Den Mas, kamu sama siapa?' Batin Ralin. Mata Ralin tidak lagi bisa menjangkau apa yang terjadi selanjutnya. Perasaan bahagia yang tadi baru bermunculan, kini mendadak dipenuhi kesedihan. Apalagi jika bukan karena ia merasa cemburu?!Mana mungkin seorang lelaki mengulurkan tangannya pada wanita dengan penampilan all out seperti tadi jika bukan karena ada perasaan tertentu?!Kepala Ralin lantas menggeleng dan kembali mengeyahkan perasaan yang jelas-jelas salah ini. Bahwa ia tidak boleh terus menerus membiarkan rasa cinta ini tumbuh lalu tidak bisa melepaskannya. Setibanya di rumah, Ralin melahap bubur kacang hijau itu bersama Levi. Kemudian menunggu Levi selesai mandi sendiri. Buah dari kejadian saat ia belum bisa berjalan. Ralin terus menyibukkan diri bersama Levi untuk mengenyahkan bayangan tadi siang. Pertanyaan tentang siapa wanita yang bersamanya tad
"Vid?" Ralin kembali memanggil.Karena David hanya diam. "Siapa perempuan yang bersama kalian tempo hari?"David kemudian menatap Ralin dan berkata ... "Sepupu Pak Lewis, Nyonya.""Sepupu?" Tanya Ralin memastikan."Iya. Sepupu beliau."Kemudian Ralin berpikir sejenak. "Kalau cuma sepupu kenapa sikap Den Mas manis banget?" Tanyanya dengan begitu polos.Alhasil, David menatap Ralin sekian detik kemudian melontarkan pertanyaan. "Maaf, apa Nyonya cemburu?"Detik itu juga Ralin menyadari kesalahannya karena bertanya terlalu detail. Hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan Ralin. Namun, cemburu telah menggiring logikanya ke arah yang salah. Dan David bisa membaca perasaan Ralin.Jika David bisa membaca isi hati Ralin, ini tidak boleh diteruskan!Di dalam hatinya, Ralin harus segera menutupi kesalahannya atau dia sendiri yang akan malu. Ralin bisa ditertawakan oleh nyamuk sekaligus karena terlalu berani mencintai pewaris seperti Lewis. Sedang dirinya hanyalah wanita biasa yang memiliki
"Den Mas nggak bilang apa-apa, Bu Tatik.""Den Mas berangkat pagi sekali karena ada urusan kantor. Mungkin belum bilang Den Ayu karena masih tidur."Kepala Ralin mengangguk. "Den Ayu?""Ya?""Maaf kalau saya lancang.""Kenapa, Bu Tatik?""Kenapa Den Mas kembali tidur di kamarnya sendiri? Bukannya kemarin anda berdua sudah berbaikan?"Ralin tidak menyangka jika Bu Tatik selalu memperhatikan apa yang terjadi diantara dia dan Lewis. Kemudian Ralin tersenyum dan berkata ... "Kalau tengah malam aku pergi ke kamarnya Den Mas, Bu Tatik. Pagi-pagi udah balik ke kamarku sendiri. Bu Tatik nggak usah khawatir sama hubungan kami." Bohongnya.Bu Tatik mengangguk paham. "Syukurlah kalau Den mas dan Den Ayu tidak ada masalah. Saya cuma berharap pernikahan kedua Den Mas kali ini menjadi yang terakhir. Karena tidak semua wanita yang ada di samping Den Mas bisa menjaga dan merawat Den Levi. Kasihan kalau Den Levi jatuh di tangan yang salah, Den Ayu.""Jadi Bu Tatik nganggapnya aku ini ibu yang baik
Seperti biasanya, Lewis berangkat sangat pagi sekali.Padahal dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kalaupun ada meeting, dia hanya akan berangkat sangat pagi sesekali saja. Bukan berurutan terus menerus seperti ini. Lalu ia mengirim pesan untuk membawakan Levi baju ganti dan akan menjemputnya usai sekolah. Perilaku Levi tetap sama seperti hari kemarin.Berlarian kesana kemari dengan membawa sesuatu di tangannya tanpa kenal lelah. Menggumam tanpa arti bahkan sulit tidur jika tidak diberi obat. Jika Ralin berusaha memperbaiki keadaan Levi tapi tidak dengan Lewis yang membebaskan segalanya, ia bisa apa?Lewis juga sulit sekali ketika Ralin hendak mengajaknya berbicara tentang Levi. Hingga tiba pada satu malam, Levi pulang bersama Lewis. Bocah itu terlihat tidak bersemangat dan tidak aktif. Ketika Ralin akan mengajarinya kembali melahap menu sehat, bocah itu tertidur di lantai dengan mata sayu. Saat tangannnya meraih Levi, ada sesuatu yang tidak beres."Lev, kamu demam?"Tanganny
"Nyonya, tolong. Lebih baik anda pulang dulu. Nanti setelah Pak Lewis sudah di rumah, anda bisa membicarakan hal ini dengan beliau.""Den Mas selalu pulang malam, Vid. Aku mau bicara dia udah ngantuk.""Saya akan memberitahu beliau tentang hal ini, Nyonya. Agar nanti malam beliau bisa meluangkan waktunya untuk berbicara dengan Nyonya."David tetap pada posisinya dengan menghalangi jalan Ralin. Kemudian Ralin menatap kembali kaca mobil Lewis yang benar-benar gelap. Hingga ia tidak bisa melihat secuil pun keberadaannya di dalam mobil. "Kalau aku nggak kamu bolehin nemui Den Mas, tolong suruh Den Mas keluar dari mobilnya biar kami bisa bicara." Ralin berusaha bernegosiasi karena tidak tenang melihat perilaku Levi yang terlalu aktif. "Baik, akan saya sampaikan. Tolong Nyonya tetap disini.""Oke."Tetap disini?Sebegitu privasinya hingga Ralin tidak diizinkan menemui Lewis.David berbalik menuju pintu mobil yang berada di sisi kanan. Ketika jendela pintu itu dibuka, Ralin yang berada d
"Den Mas nggak bilang apa-apa, Bu Tatik.""Den Mas berangkat pagi sekali karena ada urusan kantor. Mungkin belum bilang Den Ayu karena masih tidur."Kepala Ralin mengangguk. "Den Ayu?""Ya?""Maaf kalau saya lancang.""Kenapa, Bu Tatik?""Kenapa Den Mas kembali tidur di kamarnya sendiri? Bukannya kemarin anda berdua sudah berbaikan?"Ralin tidak menyangka jika Bu Tatik selalu memperhatikan apa yang terjadi diantara dia dan Lewis. Kemudian Ralin tersenyum dan berkata ... "Kalau tengah malam aku pergi ke kamarnya Den Mas, Bu Tatik. Pagi-pagi udah balik ke kamarku sendiri. Bu Tatik nggak usah khawatir sama hubungan kami." Bohongnya.Bu Tatik mengangguk paham. "Syukurlah kalau Den mas dan Den Ayu tidak ada masalah. Saya cuma berharap pernikahan kedua Den Mas kali ini menjadi yang terakhir. Karena tidak semua wanita yang ada di samping Den Mas bisa menjaga dan merawat Den Levi. Kasihan kalau Den Levi jatuh di tangan yang salah, Den Ayu.""Jadi Bu Tatik nganggapnya aku ini ibu yang baik
"Vid?" Ralin kembali memanggil.Karena David hanya diam. "Siapa perempuan yang bersama kalian tempo hari?"David kemudian menatap Ralin dan berkata ... "Sepupu Pak Lewis, Nyonya.""Sepupu?" Tanya Ralin memastikan."Iya. Sepupu beliau."Kemudian Ralin berpikir sejenak. "Kalau cuma sepupu kenapa sikap Den Mas manis banget?" Tanyanya dengan begitu polos.Alhasil, David menatap Ralin sekian detik kemudian melontarkan pertanyaan. "Maaf, apa Nyonya cemburu?"Detik itu juga Ralin menyadari kesalahannya karena bertanya terlalu detail. Hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan Ralin. Namun, cemburu telah menggiring logikanya ke arah yang salah. Dan David bisa membaca perasaan Ralin.Jika David bisa membaca isi hati Ralin, ini tidak boleh diteruskan!Di dalam hatinya, Ralin harus segera menutupi kesalahannya atau dia sendiri yang akan malu. Ralin bisa ditertawakan oleh nyamuk sekaligus karena terlalu berani mencintai pewaris seperti Lewis. Sedang dirinya hanyalah wanita biasa yang memiliki
Saat lampu telah berubah hijau, mau tidak mau sopir menekan pedal gas. Meninggalkan pemandangan yang membuatku bertanya-tanya. 'Den Mas, kamu sama siapa?' Batin Ralin. Mata Ralin tidak lagi bisa menjangkau apa yang terjadi selanjutnya. Perasaan bahagia yang tadi baru bermunculan, kini mendadak dipenuhi kesedihan. Apalagi jika bukan karena ia merasa cemburu?!Mana mungkin seorang lelaki mengulurkan tangannya pada wanita dengan penampilan all out seperti tadi jika bukan karena ada perasaan tertentu?!Kepala Ralin lantas menggeleng dan kembali mengeyahkan perasaan yang jelas-jelas salah ini. Bahwa ia tidak boleh terus menerus membiarkan rasa cinta ini tumbuh lalu tidak bisa melepaskannya. Setibanya di rumah, Ralin melahap bubur kacang hijau itu bersama Levi. Kemudian menunggu Levi selesai mandi sendiri. Buah dari kejadian saat ia belum bisa berjalan. Ralin terus menyibukkan diri bersama Levi untuk mengenyahkan bayangan tadi siang. Pertanyaan tentang siapa wanita yang bersamanya tad
"Apa Den Mas marah gara-gara kamu punya inisiatif beliin aku ponsel?"Kepala David menggeleng."Saya rasa tidak, Nyonya.""Dia nggak bilang apapun?""Tidak.""Dia masih ngajak kamu bicara kayak biasanya?""Iya. Ada apa, Nyonya?"Ralin menghela nafas sambil menatap beberapa orang yang lalu lalang di dalam rumah sakit ini. "Aku takut Den Mas punya pikiran kita lagi mengkhianati dia, Vid." Kemudian Ralin menatap David kembali, "Lagian, kenapa kamu jujur banget kalau punya ide beliin aku ponsel?""Saya lebih suka terbuka dan apa adanya pada Pak Lewis, Nyonya."Ralin berdecak kesal. "Kalau Den Mas mikir yang nggak-nggak, gimana?""Beliau pasti akan menegur bila saya melakukan kesalahan."Jika David saja bisa bersikap santai dan biasa saja, mengapa Ralin harus terlihat takut setengah mati?Kentara sekali jika Ralin sedang berusaha menjaga perasaan Lewis. Sedangkan dia tidak membutuhkan hal itu karena memang tidak mencintai Ralin. ****Siang ini Ralin akan menjalani terapi terakhir. Ia s
Kepala Ralin reflek menggeleng. "Bukan gitu, Den Mas.""Kalau memang begitu, biar aku panggilin David."Ralin kembali menggeleng. "Aku cuma nggak mau kelihatan kayak perempuan nggak tahu diri aja, Den Mas. Kamu itu pewaris. Mana etis gendong perempuan kayak aku.""Stop! Intinya pagi ini, kamu mau sarapan sama aku apa nggak?"Tentu saja Ralin ingin. Hanya saja dia tidak sampai hati mengatakannya. Belum sempat Ralin menjawab, Lewis kemudian memindahkan alat bantu jalan itu dan langsung menggendongnya begitu saja. Ralin reflek langsung melingkarkan tangannya di belakang leher Lewis. Untuk beberapa detik, Ralin dan Lewis saling tatap. Dan itu membuat seluruh darah Ralin terasa sangat dingin. Dengan jarak sedekat ini, Ralin berharap detak jantungnya yang menggila, tidak terdengar oleh Lewis. "Levi, ayo makan di ruang makan." Lewis berucap pada putranya. Levi mengangguk lalu berjalan bersama Lewis menuju ruang makan dengan menggendong Ralin. Dan pemandangan itu terlihat oleh Bu Tati
Dengan berbaring miring sambil memeluk Levi, Lewis menatap Ralin dan melanjutkan ucapannya. "Waktu kamu bilang mau mundur dari pernikahan ini, mau menyudahi pernikahan ini, aku kayak ditampar kenyataan, Lin. Kalau kamu sesakit ini juga karena perbuatan Emran.""Meski kamu sakit pun, kamu masih merhatiin Levi. Masih ngurusin Levi sama keterbatasanmu.""Padahal dalam perjanjian pra nikah, nggak ada pasal yang ngatur ketika kamu sakit harus terus merawat dan menjaga Levi. Tapi apa yang kamu lakukan, melebihi perjanjian pra nikah yang aku buat."Lalu Lewis mengusap rambut Levi yang sudah terlelap dan mencium kening putra semata wayangnya itu. Itu semua tak lepas dari pandangan Ralin."Kamu ngasih dia cinta dan sayang jauh lebih besar ketimbang aku sebagai Ayahnya. Bahkan sekedar tidur pun, dia nggak mau kalau nggak sama kamu. Aku kalah telak dari kamu, Lin.""Dan ucapanmu tadi pagi bikin aku sadar diri, Lin. Kalau kamu juga menderita karena Emran dan Levi bakal jauh lebih kehilangan kala
Ralin kemudian menunduk dan David segera berdiri lalu sedikit membungkuk hormat. "Selamat pagi, Pak."Lewis ternyata sudah berdiri di depan pintu entah sejak kapan. Apakah dia sempat melihat David mengajari Ralin berjalan menggunakan alat bantu jalan itu atau tidak?Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar Ralin dengan penampilan tidak jauh berbeda dari David. Sudah sangat tampan dan rapi karena hendak menuju pabrik.Ia memperhatikan Ralin dan alat bantu jalan yang digunakan. "Kamu yang membelikannya, Vid?""Iya, Pak." Jawab David tanpa keraguan.Jiwa lelaki sejatinya tidak perlu diragukan. "Karena Nyonya membutuhkan alat itu."Lewis tidak bertanya lagi kemudian menghampiri Levi. "Ayo kita sarapan, Lev?"Levi kemudian menggeleng. "Makan. Ibu."Ralin paham jika yang Levi maksud adalah ingin sarapan bersama Ralin. "Kamu bisa jalan ke meja makan, Lin?""Akan aku coba, Den Mas."Jangankan ke meja makan, menuju kamar mandi saja Ralin membutuhkan bantuan. Namun, bagaimana dia menolak permi