:-0
"Vid?" Ralin kembali memanggil.Karena David hanya diam. "Siapa perempuan yang bersama kalian tempo hari?"David kemudian menatap Ralin dan berkata ... "Sepupu Pak Lewis, Nyonya.""Sepupu?" Tanya Ralin memastikan."Iya. Sepupu beliau."Kemudian Ralin berpikir sejenak. "Kalau cuma sepupu kenapa sikap Den Mas manis banget?" Tanyanya dengan begitu polos.Alhasil, David menatap Ralin sekian detik kemudian melontarkan pertanyaan. "Maaf, apa Nyonya cemburu?"Detik itu juga Ralin menyadari kesalahannya karena bertanya terlalu detail. Hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan Ralin. Namun, cemburu telah menggiring logikanya ke arah yang salah. Dan David bisa membaca perasaan Ralin.Jika David bisa membaca isi hati Ralin, ini tidak boleh diteruskan!Di dalam hatinya, Ralin harus segera menutupi kesalahannya atau dia sendiri yang akan malu. Ralin bisa ditertawakan oleh nyamuk sekaligus karena terlalu berani mencintai pewaris seperti Lewis. Sedang dirinya hanyalah wanita biasa yang memiliki k
"Den Mas nggak bilang apa-apa, Bu Tatik.""Den Mas berangkat pagi sekali karena ada urusan kantor. Mungkin belum bilang Den Ayu karena masih tidur."Kepala Ralin mengangguk. "Den Ayu?""Ya?""Maaf kalau saya lancang.""Kenapa, Bu Tatik?""Kenapa Den Mas kembali tidur di kamarnya sendiri? Bukannya kemarin anda berdua sudah berbaikan?"Ralin tidak menyangka jika Bu Tatik selalu memperhatikan apa yang terjadi diantara dia dan Lewis. Kemudian Ralin tersenyum dan berkata ... "Kalau tengah malam aku pergi ke kamarnya Den Mas, Bu Tatik. Pagi-pagi udah balik ke kamarku sendiri. Bu Tatik nggak usah khawatir sama hubungan kami." Bohongnya.Bu Tatik mengangguk paham. "Syukurlah kalau Den mas dan Den Ayu tidak ada masalah. Saya cuma berharap pernikahan kedua Den Mas kali ini menjadi yang terakhir. Karena tidak semua wanita yang ada di samping Den Mas bisa menjaga dan merawat Den Levi. Kasihan kalau Den Levi jatuh di tangan yang salah, Den Ayu.""Jadi Bu Tatik nganggapnya aku ini ibu yang baik
"Nyonya, tolong. Lebih baik anda pulang dulu. Nanti setelah Pak Lewis sudah di rumah, anda bisa membicarakan hal ini dengan beliau.""Den Mas selalu pulang malam, Vid. Aku mau bicara dia udah ngantuk.""Saya akan memberitahu beliau tentang hal ini, Nyonya. Agar nanti malam beliau bisa meluangkan waktunya untuk berbicara dengan Nyonya."David tetap pada posisinya dengan menghalangi jalan Ralin. Kemudian Ralin menatap kembali kaca mobil Lewis yang benar-benar gelap. Hingga ia tidak bisa melihat secuil pun keberadaannya di dalam mobil. "Kalau aku nggak kamu bolehin nemui Den Mas, tolong suruh Den Mas keluar dari mobilnya biar kami bisa bicara." Ralin berusaha bernegosiasi karena tidak tenang melihat perilaku Levi yang terlalu aktif. "Baik, akan saya sampaikan. Tolong Nyonya tetap disini.""Oke."Tetap disini?Sebegitu privasinya hingga Ralin tidak diizinkan menemui Lewis.David berbalik menuju pintu mobil yang berada di sisi kanan. Ketika jendela pintu itu dibuka, Ralin yang berada di
Seperti biasanya, Lewis berangkat sangat pagi sekali.Padahal dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kalaupun ada meeting, dia hanya akan berangkat sangat pagi sesekali saja. Bukan berurutan terus menerus seperti ini. Lalu ia mengirim pesan untuk membawakan Levi baju ganti dan akan menjemputnya usai sekolah. Perilaku Levi tetap sama seperti hari kemarin.Berlarian kesana kemari dengan membawa sesuatu di tangannya tanpa kenal lelah. Menggumam tanpa arti bahkan sulit tidur jika tidak diberi obat. Jika Ralin berusaha memperbaiki keadaan Levi tapi tidak dengan Lewis yang membebaskan segalanya, ia bisa apa?Lewis juga sulit sekali ketika Ralin hendak mengajaknya berbicara tentang Levi. Hingga tiba pada satu malam, Levi pulang bersama Lewis. Bocah itu terlihat tidak bersemangat dan tidak aktif. Ketika Ralin akan mengajarinya kembali melahap menu sehat, bocah itu tertidur di lantai dengan mata sayu. Saat tangannnya meraih Levi, ada sesuatu yang tidak beres."Lev, kamu demam?"Tangannya
David sudah pergi dari kamar rawat Levi sejak tiga jam yang lalu.Namun air mata Ralin masih merembes perlahan sembari memangku Levi. Tidak ada isakan yang keluar dari bibirnya meski hatinya hancur berkeping. Bagaimana tidak, benih cinta yang sempat tumbuh di hatinya untuk Lewis, kini harus dimusnahkan. Lewis telah menemukan wanita yang ia cintai dan sebentar lagi mungkin akan menjadi ibu untuk Levi. Ralin tidak mungkin terus menerus mempertahankan cinta yang tidak seharusnya. Dan disisa statusnya sebagai ibu tiri Levi, dia akan memenuhi hati putra tirinya itu dengan cinta dan kasih yang membuatnya ingat bahwa Ralin pernah ada menemani hari-harinya. Kemudian Levi yang tadi tertidur di atas pangkuan Ralin, bergerak pelan dengan mata mengantuk. Ralin buru-buru menghapus air matanya. "Hai jagoan, Ibu. Haus?"Kepala Levi mengangguk dengan menatap Ralin. Kemudian tangan Ralin mengambil air putih yang ada di nakas kamar rawat inap Levi dan meminumkannya. Dengan kondisi sakit seperti in
“Beliau sudah pulang, Nyonya.”“Jangan panggil aku Nyonya, Vid! Yang pantas kamu panggil Nyonya itu Zaylin! Bukan aku!”Secara tidak sadar Ralin menunjukkan kekesalannya sekaligus ... kecemburuannya.“Maaf, Lin.”“Iya.”Kemudian David melirik tas yang Ralin bawa.“Kamu bawa apa?”“Pakaian ganti Den Mas sama Levi. Apa kamu malam juga ikut nginep disini?”“Nggak. Pak Lewis bilang kalau kamu udah datang, aku bisa pulang.”Ralin kemudian mendesah panjang nan lelah sambil bersedekap dan menyandarkan punggungnya di kursi.“Kenapa?”“Males aja.”“Lin?”“Apa?”“Kalau kamu nggak ada rasa ke Pak Lewis, kenapa mesti males ketemu beliau?”Deg!Ralin merutuki kebodohannya yang kentara sekali jika dirinya menyukai Lewis. Kecemburuannya yang tidak disembunyikan secara rapi akhirnya terbaca juga oleh David.Kemudian Ralin tertawa hambar untuk menutupi kebodohannya.“Ya ampun, Vid. Aku ini cukup sadar diri sama posisiku yang cuma jadi baby sitternya Levi. Nggak lebih. Kamu aja yang mikirnya kepanjangan
Ralin menurut kemudian duduk di ujung sofa tanpa mau menatap Lewis. Menurutnya corak lantai jauh lebih menarik dari pada menatap wajah Lewis. Di malam yang benar-benar hening itu ditemani lampu kamar yang temaram, Ralin menunggu Lewis membuka suara. Namun selama beberapa menit berlalu, pria itu masih tetap diam. Dan Ralin benci dengan suasana seperti ini. "Lin?"Akhirnya pria itu bersuara. "Ya?" ucapnya tanpa mau menatap Lewis. "Maaf."Kepala Ralin mengangguk pelan sembari menatap lantai.Satu hal yang membuat Ralin salut pada Lewis. Pria itu mau meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Tak peduli setinggi apapun status sosialnya. "Aku ... aku tahu aku salah. Maaf.""Iya."Memangnya apa yang bisa Ralin katakan selain memberi Lewis maaf?Lagi pula jika ia tidak memberi maaf, masalah ini akan terus berlaru-larut dan Ralin sendiri yang akan stres. "Aku kelewat batas, Lin. Aku nyesel udah maki-maki kamu kayak tadi."Ralin mengangguk dan kembali berkata ... "Iya, Den Mas."Mendengar j
Lewis seperti enggan untuk bercerita namun Ralin tetap setia menatap pria itu. Menunggunya menjelaskan asal muasal perceraian mereka di masa lalu. Hingga menimbulkan pertentangan keras dari Ibunda dan Ayahnya Lewis. Karena setahu Ralin, kedua orang tua Lewis itu sangat baik, hangat, dan mengayomi anak-anaknya. Dan rasanya tidak mungkin mereka tiba-tiba membenci Zaylin tanpa ada sebab yang kuat. Kemudian Lewis mengulurkan kelingking kanannya lalu Ralin balas menautkan kelingkingnya."Janji. Jangan obral rahasia ini ke orang lain.""Iya."Lewis melepas tautan kelingking mereka dan menatap Ralin di keremangan lampu. "Aku dan Mas Luis bersahabat baik sama Zaylin. Bahkan waktu menempuh pendidikan ke Inggris, kami selalu bareng-bareng, Lin."Ralin memasang pendengarannya baik-baik. Jangan sampai satu kata pun tak terdengar jelas olehnya. "Pelan tapi pasti, aku jatuh hati padanya. Tapi Zaylin justru jatuh hati sama Mas Luis. Aku nggak bisa bilang apa-apa, kecuali merelakan mereka bersatu
Untuk sesaat Ralin membeku tidak percaya jika ia kini berada di dalam dekapan Lewis. Pria yang masih menjadi suaminya yang mati-matian ingin dilupakan. Ia ingin membalas pelukan Lewis namun tahu jika ini adalah mimpi. Yang mungkin sebentar lagi akan berakhir. Mimpi yang tidak boleh terlalu dituruti.Akhirnya Ralin hanya bisa mengepalkan kedua tangannya ketika tangan Lewis mendekap punggungnya agar pelukan itu terlihat natural di depan Luis. Benar saja, pelukan beberapa detik yang mendebarkan itu akhirnya harus usai ketika Lewis melepaskan dekapannya. Kedua mata Lewis dan Ralin saling tatap. Seperti ada komunikasi nonverbal yang Lewis sampaikan dan Ralin mengetipkan mata sebagai jawaban bahwa ia paham. Lalu terdengar suara tawa lirih Luis yang membuat Ralin dan Lewis menoleh. Kemudian kembaran Lewis itu bertepuk tangan dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Nice drama, Dek."Lewis hanya memandang Luis. Menunggu apa yang akan dikatakan kembarannya itu. "Kamu mungkin
Tangan David berada di pinggang Ralin dan baru melepasnya ketika mencapai pintu salon. Kemudian dia berjalan di sisi Ralin dengan begitu sopan layaknya bodyguard pada sang nyonya dan membuka pintu mobil Lewis. Aroma wangi dan sejuk keluar dari dalam kabin mobil mewahnya. Lewis sedang duduk dengan memangku Levi. Pria itu dan Levi memakai batik dengan corak dan warna senada. Rambut keduanya disisir sangat rapi. Dan itu cukup mencuri pandangan Ralin sekian detik namun ia segera mengalihkannya. Ia tidak akan membiarkan Lewis mengira dirinya masih menaruh cinta.Tidak! Kemudian David mempersilahkan Ralin menaiki mobil. Seakan-akan Ralin adalah nyonya dari tuannya. Lalu menutup pintu mobil dan ia berjalan memutar lalu menaiki kursi penumpang sebelah sopir. Ketika mobil mulai berjalan, Ralin hanya duduk dengan mata memandang keluar jendela. Dia tidak tertarik mengucapkan salam pada Levi atau Lewis. Dia benar-benar ingin menjaga jarak dengan keduanya. Namun, keadaan berubah ketika Lewi
Lewis berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ralin. Sedang David berjalan di sisinya dan berbisik. "Semuanya akan baik-baik aja. Ingat, aku selalu ada di belakangmu, Lin."Ralin tersenyum dan mengangguk. "Thanks, Vid."Kemudian David kembali berbisik, "I love you."Blush!Ralin tersenyum dan salah tingkah dengan perbuatan David yang selalu manis dan di luar ekspektasinya. Lelaki itu nampak tegas, menakutkan, dan kurang bersahabat ketika mendampingi Lewis.Namun berubah tiga ratus enam puluh derajat jika bersama Ralin. David membukakan pintu untuk Ralin kemudian keduanya masuk ke dalam rumah. "Aku males ngadepin drama ini, Vid.""Aku nggak akan pulang sampai nganter kamu ke tempat yang baru."Kemudian Ralin menoleh, "Kamu yang cariin tempat itu?"Kepala David mengangguk, "Memangnya siapa lagi?""Kenapa kamu nggak bilang ke aku sebelumnya?""Karena aku tahu gimana kesalnya kamu kalau disuruh kembali kemari.""Lalu gimana caranya Den Mas tahu kalau aku pulang ke rumah orang tua?""Beliau
"Lewis bilang kalau dia kelepasan bicara karena emosi. Makanya dia nyusul kamu kemari karena mau minta maaf. Ya sudah, kalian bicara dulu aja. Masalah rumah tangga harus diselesaikan. Jangan berlarut-larut."Setelah Ayahnya pergi, di ruang tamu hanya menyisakan Ralin, Lewis, dan David. David duduk di sebelah Lewis dan terus memandang Ralin dengan sorot datar. Mulutnya diam tak berbicara sepatah kata pun. Namun tatapan matanya penuh makna menatap Ralin.Dia tahu jika saat ini Lewis lah yang paling berkuasa pada Ralin. "Vid, tolong tinggalkan kami." Perintah Lewis.Dengan patuh, David pun mengangguk. Meski hati dan kakinya seperti enggan meninggalkan keduanya. Ia hanya bisa menunggu di teras tanpa tahu apa yang akan Lewis katakan.Lalu Ralin menatap Lewis tanpa rasa takut karena tidak merasa bersalah. "Aku pikir kedatanganmu kemari ingin menyelesaikan kesepakatan pernikahan kita, Den Mas."Lewis hanya menatap Ralin lekat tanpa berbicara sepatah kata pun."Apa kita akan diam terus kaya
Lewis tidak berani menatap Ralin karena rahasia pernikahannya dengan Zaylin telah terbongkar. Padahal ia ingin menyembunyikan rahasia pernikahan itu sampai semuanya tepat untuk diutarakan. Namun Zaylin menyalahi kesepakatan. "Sekarang kamu udah tahu kan siapa aku?! Aku adalah Nyonya Lewis! Nyonya di rumah ini!" ucap Zaylin dengan bersedekap sombong. "Jadi, kamu jangan mbantah atau ngelawan ucapanku! Posisimu di rumah ini cuma baby sitter! Pengasuhnya Levi! Inget itu baik-baik!"Ralin kemudian mengangguk dengan hati terpatah-patah."Yang! Kita udah sepakat mau jaga rahasia ini, kan!?" Lewis mengingatkan. Padahal Lewis tidak mau Ralin terus dikonfrontasi tentang status pernikahan Lewis dan Zaylin."Kamu ngerasa nggak sih, Mas? Ralin tuh baby sitter yang nggak patuh sama majikannya. Sama kamu aja dia berani ngelawan kayak tadi. Gimana sama aku?""Kalau dia nggak dikasih tahu kita udah nikah, dia pasti jauh lebih berani! Udah bener aku kan kalau dia mending dipecat aja? Kamu malah ngga
Begitu bel pintu apartemen berbunyi, Ralin langsung melepas celemek dan membukanya. "Hai, Vid.""Hai." David balas menyapa dengan wajah bingung.Setelah David masuk, Ralin segera menutup pintu lalu menuju dapur kembali. Waktunya menuangkan air panas ke dalam cappucino yang sedang ia buat. David memperhatikan meja makan mini yang sudah tersaji tiga jenis menu makanan yang menggugah selera beserta minumannya. Juga memperhatikan mimik wajah Ralin yang tidak terlihat sendu. Melainkan ada seulas senyum yang tersungging di bibirnya."Selesai. Kamu mau makan sekarang, Vid?"David justru menarik kursi dan menatap Ralin. Ia masih mengenakan kemeja kerja."Tumben kamu belum pulang, Lin? Ini hampir jam tujuh malam.""Kamu nggak suka aku di apartemenmu lebih lama?""Kalau bisa kamu di apartemenku aja setiap hari. Nggak usah pulang ke rumah Pak Lewis."Ralin tertawa lirih mendengar pengakuan David yang mirip sebuah rayuan gombal. "Oke, aku akan pulang sekarang."Ketika Ralin akan menuju sofa, D
"Masuk, Lin."Ralin datang dengan membawa beberapa camilan dan minuman ringan. Meletakkan kantong plastik itu di meja depan televisi. "Soft drink. Mau?"Kepala David mengangguk dengan terus menatap Ralin. Kemudian tangannya menangkap kaleng soft drink itu. "Tumben nggak berangkat kursus mendekati jam masuk, Lin?" Tanya David lalu meneguk minuman itu. "Di rumah sepi, Vid. Aku nggak punya teman ngobrol. Den Mas pergi liburan sama Zaylin dan Levi."Kepala David mengangguk membenarkan. "Sekarang, aku merasa kesepian gara-gara Levi nggak boleh sering-sering ketemu aku. Mending aku main ke apartemenmu aja."Ralin kemudian meneguk soft drink miliknya. "Apa kamu juga pengen liburan?"Kemudian Ralin menatap David. "Liburan kemana?""Dieng barangkali. Disana bagus."Belum pernah Ralin pergi ke tempat itu kemudian David menunjukkan pemandangan bagus Dieng melalui ponselnya. Seketika membuat Ralin berbinar namun senyumnya kembali pupus. "Aku kan ada jadwal kursus, Vid. Mana bisa?"Kemudian
"Masuk!"Kemudian Ralin menutup pintu ruang kerja dan berjalan mendekat. Lewis, pria itu sedang bersandar di meja kerja dan menatap Ralin tanpa keraguan. Begitu juga dengan Ralin, dia balas menatap Lewis seakan-akan tidak takut. "Kenapa kamu keluar dari kesepakatan?""Kesepakatan yang mana?"Lewis mendengus geli lalu berdiri di depan Ralin dengan wajah serius. Dan Ralin pun membalas tatapan mata tajam Lewis tanpa mundur satu langkah pun. "Jangan jadi kacang yang lupa sama kulitnya, Lin. Aku nyelametin hidupmu setelah diusir dan diperlakukan Emran dengan cara yang nggak baik. Aku kasih kamu tumpangan di rumah ini dan gaji yang lebih dari cukup setiap bulannya karena merawat dan mendidik Levi.""Terima kasih, Den Mas.""Tapi kenapa kamu lalai sama tugasmu? Kenapa kamu biarin Levi berubah nggak terkontrol?! Kenapa kamu biarin Zaylin kelimpungan sendiri ngurus Levi, heh?!"Jadi, Zaylin masih membiarkan Lewis tenggelam dalam kesalahpahamannya. Atau justru dia makin membuat Lewis salah pa
Levi menangis dan memporak-porandakan makanannya di atas meja makan. Dan Zaylin berada di sampingnya berusaha menenangkan namun Levi menolak sentuhan dari ibu kandungnya itu. Ketika Ralin tiba di ruang makan, sorot mata Lewis begitu tajam menatapnya. Pria itu tetap duduk di kursi makan yang biasa ia tempati tanpa berusaha membantu Zaylin menenangkan Levi. "Apa kamu mau tetap diam disitu dan jadi penonton setia?!"Mendengar sindiran Lewis, kemudian Ralin melangkah lebar menghampiri Levi.Bocah itu menangis dengan air mata meleleh di pipi dengan kedua tangan terulur. Ia ingin dipeluk dan didekap Ralin. Tanpa mengucapkan permisi pada Zaylin, tangan Ralin langsung menggapai Levi. Mengangkatnya untuk digendong lalu mengusap rambutnya. "Cup, sayang."Ceceran nasi dan lauk yang ada di atas piring Levi ada di atas meja dan lantai. Bahkan sebagian lagi ada yang mengotori seragam sekolah Levi yang berwarna putih.Entah apa yang terjadi sampai membuat Levi menangis. Lalu mata Ralin menatap me