Celine terpana. Tubuhnya tidak siap dengan semua ujian ini. Celine memaksakan diri membuka kain jarik. Melihat malaikatnya yang sudah tak bernyawa.
Tini sudah bersih. Semua lubangnya tertutup kapas. Wajah yang paling Celine sayangi itu terbujur tak bernyawa. Tidak bisa lagi menjadi tempat bercerita. Tidak bisa lagi mendapat belaian kasih sayangnya. Lalu setelah ini mau bagaimana? Mau hidup dengan siapa?
Tidak! Ini pasti mimpi. Mungkin Celine terlalu lelah sampai berhalusinasi. Mungkin saja akalnya bermasalah karena habis mendaki.
Celine mencubit tangan sendiri dan rasanya memang sakit.
“Mamah pergi pagi tadi, Teteh.” Chacha menjelaskan kalau ini memang bukan mimpi.
“Enggak. Enggak mungkin, Cha.” Celine menggeleng. Terpana menatap ibunya. Air mata yang tadi berderai begitu mendapat kabar, kini hanya menggantung saja.
Bukankah Tuhan tidak pernah memberikan ujian di luar batas kemampuan hambanya? Lantas ini apa? Ini diluar batas kemampuan Celin
Tanpa rumah. Tanpa ibu. Lengkap sudah penderitaan dua gadis itu. Mereka hanya memeluk satu sama lain untuk saling menguatkan.Menangis. Berhenti sebentar. Lalu menangis lagi. Begitu terus.Matahari beranjak ke barat. Para kerabat dan tetangga pulang. Tersisa lah keluarga pemilik rumah dan Celine yang menumpang.Rumah jadi sepi. Hanya obrolan ringan diselimuti duka yang terdengar di sana.“Tadi pagi datang orang suruhannya Pak Kades ke rumah.” Chacha bicara. Merasa harus menjelaskan semua pada kakaknya.Dani duduk agak jauh dari kedua anak perempuannya. Bersila sambil menunduk.Celine mengernyit. “Pak Kades? Kenapa Pak Kades?”“Katanya bapak pinjam uang buat bayar pinjol sama Pak Kades gara-gara kalah ju di online.” Chacha menjelaskan ditemani isak. Kembali menangis.“Pak Kades ambil rumahnya karena udah jatuh tempo.”“Astagfirullah.” Celine mengelus dada. Napasn
Hari semakin gelap. Sinar mentari yang tenggelam seakan membawa cahaya hidup Celine dan adiknya menjadi kelam.Rumah Bi Rina hanya memiliki dua kamar. Di hunian yang tak luas itu anggota keluarganya ada lima orang. Ditambah Celine, Chacha, dan Dani. Jadi delapan orang. Sempit dan pengap.Satu kamar diisi oleh Rina dan anak-anak perempuannya. Satu kamar lagi diisi oleh Celine dan adiknya. Sementara para lelaki tidur di tengah rumah.Celine membuka Al-Quran. Mengaji. Mengurai rindu pada dia yang baru saja pergi. Juga menghalau sunyi sepi yang menakutkan malam ini. Celine merasa bahwa dia sedang berada si titik ternadir hidupnya. Ibarat mendaki, kakinya sudah tidak bisa melangkah sama sekali.Bersama lantunan ayat-ayat, Celine menenangkan hati. Entah ke mana takdir akan membawanya setelah hari ini.Semalaman adik kakak itu tidak tertidur. Tidak nyamannya menginap di tempat orang lain dan duka yang baru mereka terima membuat terjaga semalaman. Chacha m
“Aduh, Celine. Asal kamu gak ngurusin bapak kamu yang gak tahu diri itu kamu pasti bisa hidup enak dengan jadi penyanyi kok. Rumah pasti keganti. Atau kamu mau kayak aku. Jadi wanita simpanan. Tinggal diam di rumah, uang datang sendiri. Punya rumah, punya mobil. Hidup enak. Ya, manggung mah buat pencitraan aja biar gak diomongin tetangga.”“Aku juga gak bisa seperti itu.”“Ya terserah kamu kalau gitu. Aku Cuma ngasih saran aja. Dari pada sekarang numpang di rumah bibi kamu. Aku bisa kasih kamu kenalan. Dijamin kamu pasti dikasih rumah bagus hari ini juga.”Edelweis di puncak Ciremai. Celine mengingat itu. Meski yang dibilang Lusi terdengar menyelesaikan masalah, tapi itu tidak mencerminkan Edelweis sama sekali. Edelweis itu hanya tinggal di ketinggian. Edelweis itu kokoh meski ditimpa dingin, Edelweis itu kuat walaupun tanpa air, dan Edelweis tak mudah terjamah.“Makasih, tapi aku gak mau.”“Ter
Seorang wanita paruh baya membuka pintu. Wanita itu terlihat lebih muda dari usianya. Kulit bersih dengan bulu mata lentik. Memakai kerudung pendek.Bu Kades terpana begitu melihat Celine berdiri di depan rumahnya."Celine? Ngapain kamu ke sini?"Celine menatap Bu Kades dengan segenap amarah. Ada bara di kedua netra gadis itu. Bu Kades jadi segan melihatnya."Pak, Bapak! Lihat ada siapa?""Siapa?""Sini cepat!" Bu Kades memanggil suaminya.Pak Kades turut menghampiri. Berdiri di pintu untuk melihat siapa yang bertamu. Pria yang sudah siap berangkat ke kantor desa itu cukup kaget dengan keberadaan Celine. Kenapa gadis itu berani datang ke sini? Apa ada hubungan dengan kematian ibunya?"Ada apa kamu ke sini?!" Pak Kades bertanya garang. Membentak."Saya ingin mengatakan selamat. Kalian sudah menang." Celine tidak berkedip menatap mata Pak Kades. Tidak ada segan, takut, apalagi rasa hormat. Dua iris bulat itu memandang deng
Celine berangkat ke terminal. Di sana dia menaiki sebuah bus tujuan Bandung. Kendaraan itu melaju pukul delapan pagi. Meninggalkan kecamatan Cijati.Sebenarnya Celine tidak perlu merantau. Dengan tetap menjadi biduan panggung saja dia tentu bisa menghidupi diri sendiri dan adiknya. Namun, ada bara dalam dada yang membuat mimpinya jadi melesat tinggi sekali.Gadis itu memandang kaca jendela. Pohon-pohon pinggir jalan muncul dan berlalu dengan cepat. Di kejauhan Ciremai menjulang tinggi.Ditemani latar kaca jendela yang semakin jauh meninggalkan Majalengka, Celine menyusun rencana. Ada beberapa hal terlintas di benaknya. Celine akan meniti itu setelah jiwa dan raganya benar-benar sembuh. Celine akan serius mendaki puncak-puncak kehidupan. Agar tidak ada orang yang merendahkannya lagi. Namun, untuk saat ini. Celine akan beristirahat sejenak. Mengatur napas dan memperkuat kakinya untuk kembali berdiri.Celine turun di pusat kota Bandung. Mencari kontrakan yan
Dari Bandung Celine akan memulai rencananya. Dia memang sudah dikenal di Majalengka. Tapi kariernya tidak lekas naik. Panggilan manggung sebagian besar berada di daerah yang dekat dengan Cijati. Paling sesekali manggung ke kabupaten tetangga.Video yang viral juga tidak begitu mendobrak popularitas. Sampai diundang ke acara TV misalnya. Pencapaian hidup Celine ya begitu-begitu saja.Gadis berkaus putih polos itu mengawali hari dengan membeli kompor portabel, dan sebuah wajan. Kemudian beli beras, sayur, dan telur.Di pagi itu, untuk pertama kalinya. Isi piring Celine hanya merupakan kudapan yang sama sekali tidak menggugah selera.Sedikit nasi putih. Ditemani telur rebus dan sayuran yang hanya direbus juga. Celine teringat kata Pak Yash. ‘Seorang penyanyi itu untuk menjaga suaranya saja ada yang tidak makan gorengan bertahun-tahun.’ Kemarin, begitu sulit menahan diri dari makanan-makanan lezat. Sekarang, ternyata lebih sulit menerima hinaan orang lain.Mulai hari ini Celine mendedikas
Hari ke empat belas, Celine melamar di salah satu tempat wisata. Sebuah taman bunga yang ada di daerah Lembang. “Taman Bunga Panca Warna” begitu namanya. Di tempat itu terdapat kafe; situ yang dilengkapi dengan mainan bebek-bebekan; juga sebuah panggung hiburan yang kadang dipergunakan untuk karaokean para pengunjung.“Di sini tidak ada lowongan untuk penyanyi. Kalau tukang bersih-bersih ada,” kata petugas di sana.Celine menimbang. Uangnya sudah menipis. Sementara empat puluh hari Tini tinggal beberapa minggu lagi.“Boleh deh, Pak. Apa saja lah.”“Kamu, mau?”“Mau, Pak.”“Ya sudah, saya laporkan pada atasan kalau kamu mau. Sekarang kamu sudah bisa bekerja.”“Hari ini langsung, Pak?” Celine memastikan.“Kalau kamu tidak mau hari ini, pulang saja. Tidak perlu kerja. Kerja kok menye menye.”“Siap, Pak. Saya siap langsung kerja.”“Asep, sini ajarkan anak baru!” Pria berseragam formal itu memanggil karyawan lain. Namanya Asep, pria berseragam yang membawa sapu dan pengki.“Oke, Pak ... Ha
Empat puluh hari Tini, Celine hanya mengaji di dalam rumah. Mengirim doa dengan memperbanyak dzikir. Setiap kali ayat-ayat Tuhan keluar dari bibirnya, penyesalan demi penyesalan terlintas dalam benak.Kenapa dulu Celine harus puas dengan pencapaian yang tak seberapa. Padahal jika dia lebih serius menggeluti bidang yang dikuasai sepertinya Celine bisa menjadi penyanyi yang lebih terkenal. Andai Celine punya omset sendiri. Tak akan sengsara walau rumahnya dijual Dani.Pada ingatan yang lain, Celine menyesali kenapa sedikit sekali waktu yang dihabiskan dengan Tini. Bisa dihitung jari berapa kali mereka pernah berlibur bersama. Celine lebih sering jalan-jalan sama teman-teman dari pada bersama Tini. Kalau sedang tidak ada jadwal manggung dan kuliah pun yang lebih banyak menyita waktunya adalah ponsel. Game, medsos, dan lainnya. Bukannya bantu masak. Ngobrol sama orang tua.“Mah, Celine kangen ....” Kedua matanya membayang.Ini rindu paling menyaki
Seiring dengan menyelesaikan kontrak yang sudah terlanjut ditanda tangan, Celine membangun rumah sebagaimana yang dijanjikan. Gubuk yang catnya mengelupas itu berubah jadi istana. Hunian paling mewah di desa Jatitilu.Tiga bulan setelah lamaran itu, Celine dan Yash melangkah ke jenjang pernikahan. Foto-foto prewedding mereka dibagikan di laman medsos. Mengisi akun-akun gosip. Tag line yang menjadi trending adalah ‘gadis yang dulu ditolak keluarga polisi kini dinikahi keluarga gubernur.’Lingkup penggemar kontes dangdut biasanya ada di orang itu-itu saja. Tidak menjangkau masyarakat seluruh lapisan. Namun, ketika tag line itu naik. Semua pemberitaan di layar kaca dan seluruh media sosial adalah Celine. Perjalanan hidupnya mulai diulik. Maka pernikahan itu membuat Celine lebih terkenal lagi.Hari pernikahan tiba. Dilakukan dengan mengikuti adat sunda yang hikmat. Siraman, seserahan, lalu akad yang dilaksanakan di masjid agung Bandung. Semua proses itu
Di bawah langit Bandung, cincin cantik itu masuk ke jari manis Celine. Membuat hati menjadi kembang kempis. Setelah tersemat, Yash kembali berdiri. Menatap Celine dengan kelegaan.Kalimat Yash tadi cukup membuat Celine mengerti untuk tidak memandang Yash dari latar belakang keluarganya. Yash dengan pilihan hidupnya terlihat amat keren di mata Celine.“Memangnya Bapak yakin kalau orang tua bapak bisa menerima aku?”“Kamu tidak dengar apa yang mereka katakan tadi? Sebenarnya, selain butuh istri, saya juga butuh guru vokal untuk Ibu karena suaranya yang...” Yash meringis. “Fals di semua bagian.”Celine tersenyum menunjukkan gigi-giginya. “Terus yang minta ketemuan di Belle Vue siapa?”“Ada yang ngajak ketemuan di sana?” Pria itu berekspresi seakan tak mengerti.“Bapak ternyata nyebelin.”Yash tersenyum kecil. Lalu menggenggam tangan Celine. Menuntun gadis itu ke tempat lain.“Katanya gak bisa romantis. Ini bisa.”“Iya. Hasi
“Huh, cape sekali.” Celine duduk di samping Yash. Mengatur napas.Yash membuka mata. Memperbaiki duduknya. Kaget mendapati gadis yang dia inginkan sudah ada di sebelahnya.“Kenapa mendadak ngajak ketemuan, Pak? Kenapa bilang tidak akan ketemu lagi?”Yash tersenyum bahagia sekaligus bangga. Rasanya ingin memeluk dan menciumi gadisnya. Di kening, di hidung, di bibir, dan di semua tempat. Sayangnya belum halal. Jadi hanya bisa menatap Celine dengan haru. Yash pikir Celine wanita yang bisa dibeli oleh uang dan jabatan, nyatanya bukan. Gadis jelita itu lebih memilih menghampiri dia yang seorang dosen dari pada anak gubernur.“Kenapa kamu mau ke sini?”“Dih. Kan bapak yang ngajak. Pake ngancem tidak akan ketemu lagi.” Celine lirik kana-kiri. Beberapa orang di sana sedang mengamati wajahnya. Sepertinya mulai menyadari kalau dia adalah artis KD.“Bapak... di sini banyak orang.” Gadis itu merengek. Takut dikerumuni masa atau direkam diam-diam, lalu d
“Yash... Yash... kemari!”Suara langkah kaki terdengar dari lorong. Lalu muncul lah pria berkaki jenjang. Memakai baju hitam-hitam. Rambut plontos. Mukanya garang.Celine pikir Pak Yashona Panca Sila yang dipanggil. Ternyata bukan.Buat apa cowok itu dipanggil? Aduh, jangan-jangan anak Pak Gubernur naksir. Terus mau dijodohkan. Jangan sampai!Selama pria itu mendekat, Celine bergumam terus dalam hati.Pria itu menghampiri Pak Gubernur. Lalu membisikan sesuatu.“His! Ada-ada saja anak itu.” Reaksi Pak Gubernur begitu menerima bisikkan.Pak Gubernur kembali melihat Celine. “Celine, putra saya menunggu kamu di Belle Vue.” Pria itu menyebutkan nama restoran mewah yang terletak di salah satu hotel bintang lima.“Untuk apa ya, Pak?”“Dia ingin berbicara secara private denganmu.”“Em... tapi...”Belum sempat Celine menyetujui, Pak Gub
Seperti rencana. Hari itu Celine manggung di kecamatan Cijati. Disaksikan ribuan warga. Lapangan dekat kantor kecamatan itu dipenuhi penonton. Maman, Lusi, Diana dan semua kru D’Star mengungkapkan kebanggaannya. Celine kembali mengambil motornya dari Lusi. Menambahkan uangnya sebagai ganti rugi. Lalu dia berikan motor itu pada anaknya Rina.“Aku salut sama kamu Celine. Kamu bisa lebih kaya dari sugar baby.” Lusi menutup pipi sendiri. Yang dimaksud sugar baby itu dirinya sendiri maksudnya.Di atas panggung itu, Celine dan Diana tertawa menyaksikan ekspresi Lusi.“Semua orang juga bisa. Tinggal seberapa niatnya saja.”Sorenya Celine bertolak ke Bandung untuk menghadiri undangan dari Pak Gubernur. Celine dan empat kontestan lain yang mewakili Jawa Barat diminta untuk mengisi konser di alun-alun kota.Waktu isya Celine dan Chacha sudah berada di hotel yang disediakan oleh Pak Gubernur. Mandi dan istirahat di sana. Kemudian
Celine yang sekarang bukan lagi ikan kecil di wadah yang kecil. Dia menjadi ikan besar di lautan. Masalah-masalah yang dulu terasa berat, kini ringan saja. Tak ayal serupa mendaki gunung. Mulanya kaki melangkah amat sulit. Namun setelah terbiasa, semua menjadi ringan.Perjuangan dua tahu ini membuat hatinya menjadi lapang. Mungkin sudah saatnya berbicara dengan orang tua sendiri. Bukankah hubungan yang paling utama harus diperbaiki itu dengan keluarga sendiri?Dani memasuki rumah dengan langkah tergesa. Dia celingukan. Pura-pura tidak tahu apa-apa. Terlalu sungkan menyapa dua anak gadisnya.“Ada apa?” tanyanya. Lantas duduk di karpet.Celine menatap ayahnya yang berjarak dua meter. “Hampir dua tahun aku pergi dari rumah ini. Apa Bapak tidak merindukanku?”Polos sekali yang dikatakan Celine. Layaknya seorang anak perempuan yang menginginkan dirindukan ayahnya. Dani tak menyangka kalimat itu yang keluar dari bibir Celine. Dia
“Syaratnya mudah bukan, Parman?” Pak Camat bertanya. “Kamu memang harus meminta maaf. Terus apa kamu menggunakan rumah Celine?”“Sampai saat ini kosong, Pak,” Kades Cirandu menjelaskan.“Nah, kamu juga tidak menggunakan bangunannya.”Pak kades tak berkutik. Lalu tanpa kuasa mendebat dia bilang, “Saya menyetujui syaratnya, Pak.”Celine tersenyum senang mendengarnya. Tak sia-sia perjuangan dua tahu ini. Dia kembali mendapati dirinya sebagai manusia. Manusia yang diperlakukan secara manusiawi.“Saya akan mengabari istri.” Pak Kades undur diri. Dia menjauh. Mendekatkan ponsel ke telinga. Memanggil istri dan anaknya.Sembari menunggu keluarga Pak Kades, Celine dan Pak Camat mengobrol santai. Menceritakan bagaimana perjuangan di KD.Jam sembilan malam, ketika Bu Kades dan anaknya tiba di kediaman Rina. Hari sudah sangat gelap. Sebagian besar perkampungan pun telah sepi.
“Catat sumpah saya. Saya akan kembali ke tempat ini dengan segenap martabat dan harga diri yang tidak bisa kalian injak lagi!”Begitu sumpah seorang gadis dengan penuh kemarahan sekitar dua tahun lalu. Dan sekarang sumpah itu benar terjadi. Celine duduk di kursi dengan anggun. Dikelilingi oleh para petinggi kecamatan. Penampilannya berkelas. Dia tersenyum menawan. Aura yang dia bawa membuat semua orang tak kuasa mengusiknya.Dia. Yang dulu terusir dan tercampakan. Kini bisa mengangkat dagu dengan bangga. Sementara orang yang menghinanya terus tertunduk tanpa kuasa mengangkat wajah.Hidup keluarga Pak Kades tak mulus setelah tayangan lima besar itu. Shifa dan Bu Kades semakin tidak berani ke luar rumah saking banyaknya suara sumbang warga. Dukungan untuk dua periode pun menipis tajam.Meski Celine tidak menjelaskan secara detail tujuan pertemuan ini, Pak Kades tentu sudah tahu ke mana arahnya. Apa lagi kalau bukan untuk membuktikan sum
Celine beserta keluarga Rina kembali ke Majalengka. Menggunakan mobil khusus dari Daffa TV yang akan meliputnya.Panggung besar sudah berdiri di lapangan GGM. Para penonton memenuhi lapangan. Jalanan macet di mana-mana. Dipenuhi kendaraan dan pedagang. Trotoar diisi pejalan kaki yang tidak sedikit juga.Lapangan GGM berada tepat di samping kampus Celine. Yash, Pak Bagus, dan beberapa dosen melihat keramaian penyambutan Celine dari gedung universitas. Para mahasiswa berkumpul di depan gerbang. Ada pula yang naik ke pagar demi melihat Celine melewati tempat itu.Fitri dan beberapa temannya ikut berdiri di depan kampus. Berjinjit demi melihat temannya yang mendadak pergi tanpa kabar itu.Mendekati kampus. Celine membuka atap mobil. Sontak itu membuat para pendukungnya teriak histeris. Pihak keamanan berjalan mengamankan laju mobil. Celine melambaikan tangan menyapa semua penggemarnya.“Hai...”“Terima kasih, ya, terima kasih.&