"Nggak, Mas, apapun alasan Mas Fikri, aku tetap tidak setuju Kartika tinggal di sini. Rumah ini bukan tempat penampungan janda ya, Mas! Silahkan Mas Fikri bantu mereka tapi tidak tinggal di sini! Kalau Mas Fikri tetap bersikeras Kartika tinggal di sini, aku yang akan pergi dari rumah in!" bentakku geram.
Mataku nanar menatap perempuan muda berjilbab yang menggendong bayi perempuan dan menggandeng 2 balita laki-laki. Dia tampak menunduk ketakutan di belakang Mas Fikri."Tiara, dengar penjelasanku dulu. Sebelumnya aku minta maaf tidak minta ijin kamu dulu. Aku mohon kamu bisa ngerti, Ra. Semoga masih ada belas kasihanmu pada mereka. Kasihan Kartika, ditinggal suaminya di saat anaknya masih kecil-kecil.""Kita bisa menolongnya tanpa menampungnya di sini, kan?!" protesku."Anak anaknya bukan hanya butuh materi tapi juga butuh kasih sayang seorang ayah," sanggah Mas Fikri yang menurutku mengada ada dan tidak masuk akal"Jangan mengada ada, Mas. Kamu bukan ayahnya jadi kenapa tanggung jawab itu harus Mas Fikri yang memikulnya? Banyak saudara Kartika yang lain!""Tapi di keluarga besar kami, aku yang dianggap paling mapan dan dianggap bisa memenuhi kebutuhan Kartika dan anak anaknya. Keluarga menyerahkan Kartika padaku, Ra.""Apa?! Menyerahkan apa maksudnya, Mas. Ini tidak adil, Mas! Kenapa keluargamu egois sekali! Mereka tidak menganggapku ada dan minta persetujuanku! Apa kata tetangga nanti, Mas. Mas Fikri tidak memikirkan aku?""Tiara, siapa tahu dengan menampung dan menghidupi mereka, Alloh akan menggantinya dengan rezeki anak di rahimmu."Sudah hampir 10 tahun menikah, aku memang belum dikaruniai anak. Itu juga yang membuat hubunganku dan keluarga Mas Fikri sedikit renggang. Orang tua Mas Fikri sangat mengharapkan cucu untuk menjadi penerus keluarga mereka karena Mas Fikri adalah anak tunggal.Mereka bahkan sudah menganggapku mandul, tidak bakal punya anak. Berkali kali ibu mertua membujuk Mas Fikri untuk menikah lagi tapi bersyukur, Mas Fikri menolaknya.Sedangkan Kartika, dia adalah anak dari adik Ibunya Mas Fikri. Orang tua Kartika dua duanya sudah meninggal sejak Kartika kecil karena sebuah kecelakaan. Sejak kecil Kartika diasuh oleh orang tua Mas Fikri.Walaupun Mas Fikri menganggap Kartika adiknya, aku tidak akan pernah setuju dia tinggal di sini."Pokoknya aku tidak setuju, Mas. Kalau Mas Fikri tetap bersikeras Kartika tinggal di sini, aku yang akan pergi dari rumah ini" ancamanku akhirnya membuat Mas Fikri luluh."Baik! Baik, Tiara! Kartika tidak akan tinggal di sini. Ayo, Kartika, kita pergi dari sini." Mas Fikri menggandeng anak-anak Kartika keluar dari pintu ruang tamu diikuti Kartika.Setelah kejadian itu masalah kuanggap selesai karena dalam kesehariannya Mas Fikri sudah tidak menyebut tentang Kartika lagi. Mungkin juga karena kesibukannya dengan pekerjaan jadi sudah tidak sempat memikirkan Kartika dan anak anaknya. Ditambah dia juga sering tugas di luar kota.6 bulan kemudian secara tidak sengaja aku bertemu dengan Kartika di pusat perbelanjaan. Dia sedang berbelanja kebutuhan sehari hari ditemani ibu mertuaku."Kartika? Ibu?" Kucium pucuk tangan Ibu walaupun wajah ibu sangat tidak bersahabat.Seandainya dia bukan mertuaku, tak sudi aku menyapanya."Apa Khabar, Mbak Tiara? Sendirian, Mbak?""Baik. Iya, pulang mengajar langsung mampir ke sini. Lho, kamu sedang hamil? Kapan kamu menikah lagi? Kok, nggak undang-undang kami." tanyaku sedikit heran melihat perut Kartika yang terlihat buncit."Sudah lama, Mbak. Tidak ada acara apa-apa. Hanya ijab qobul saja.""Memangnya suamimu tidak pernah cerita, Tiara?" Ibu yang tadinya diam dengan muka masam akhirnya mengeluarkan suara juga."Nggak, Bu. Mas Fikri nggak pernah cerita. Berarti Mas Fikri tahu dong ya, Bu, tentang pernikahan Kartika.""Ya, tahulah!" jawab Ibu ketus."Sudah, Bu, ayo kita pulang. Anak-anak keburu rewel di rumah." Kartika menggandeng Ibu terburu-buru.Pantesan Mas Fikri tidak mengungkit ngungkit soal Kartika lagi. Ternyata Kartika sudah menikah. Baguslah. Tidak jadi beban Mas Fikri lagi.Kulajukan motor dengan cepat karena langit sudah gelap sekali dengan petir yang menyambar nyambar. Dan benar saja, akhirnya hujan turun deras sebelum aku sampai di rumah. Sialnya jas hujan yang kemarin kujemur lupa tidak dibawa.Dinginnya badan karena basah semua mendadak menghangat ketika sampai rumah, melihat mobil Mas Fikri sudah terparkir di garasi. Aku mulai senyum-senyum sendiri membayangkan indahnya nanti malam setelah semingguan ditinggal Mas Fikri tugas ke luar kota."Tiara, sudah tahu hujan begini kenapa nekat jalan?!" Teriak Mas Fikri di depan pintu sambil menyodorkan handuk padaku."Tanggung, Mas. Sudah dekat rumah pas turun hujan. Mas Fikri kapan datang?""Belum lama. Ya sudah, kamu buruan mandi sana. Sakit kamu nanti. Tuh, Mas bawain mpek-mpek asli Palembang kesukaanmu.""Asyik, makasih Mas Fikri." Buru-buru kucium suamiku sambil berjinjit karena postur tubuh Mas Fikri yang tinggi besar sedangkan aku yang kecil mungil.Mas Fikri bahkan sering meledekku anak SMP padahal aku guru SMP. Kalau kita jalan pun sering dikira bapak jalan sama anak. Karena memang usiaku terpaut jauh hampir 10 tahun dengan Mas Fikri."Ih, Tiara, Mas jadi ikutan basah ini." gerutunya sambil mengacak acak rambut basahku."Mas, kok Mas Fikri tidak pernah cerita ke aku kalau Kartika sudah nikah?" tanyaku malam ini di pembaringan kami."Tahu dari siapa, Ra?""Tadi aku ketemu Kartika dan Ibu, Mas, di pusat perbelanjaan. Kartika ternyata sedang hamil. Aku merasa menjadi orang asing di keluarga Mas Fikri sampai saudara Mas Fikri menikah dan hamil, aku tidak tahu apa-apa!""Kupikir kamu nggak peduli dengan Kartika makanya aku nggak cerita. Sudahlah, nggak penting juga kan buat keluarga kita.""Ngomong-ngomong siapa suami Kartika, Mas?""Kuberitahu pun kamu pasti juga nggak kenal. Sudah, tidur. Sudah malam." Mas Fikri mencium keningku lalu memejamkan mata tanpa peduli keinginan terpendamku.Entahlah, padahal seminggu sudah Mas Fikri keluar kota berpisah denganku tapi kenapa malam ini dia tidak ada rasa kangen untuk menyentuhku. Kucolek colek saja dia ngasih kode. Bukankan dalam agama juga diperbolehkan istri minta duluan."Mas, nggak kangen?" bisikku sambil memilin milin bajunya."Kangen siapa, Ra?""Kangen yang ada di samping Mas Fikri lah! Dingin, Mas, hujan di luar semakin deras." jawabku geram karena Mas Fikri nggak peka."Sini kupeluk," Mas Fikri membalikkan tubuh lalu memelukku erat dengan mata terpejam."Ih, Mas, aku nggak hanya butuh dipeluk!" bentakku kesal."O, minta itu? Mas Fikri capek, Ra. Ngantuk juga. Lagi nggak nafsu. Besok, ya." Dan dia pun terlelap meninggalkan kekesalan di hatiku.Minggu pagi ini mendadak Mas Fikri mengajakku ke rumah Ibu, "Ra, kamu siap-siap, kita ke rumah Ibu.""Berangkat saja sendiri. Lagi nggak nafsu!" teriakku sambil menggoreng nasi buat sarapan."Eh, ada yang masih marah karena nggak dikasih tadi malam? Tenang, Ra, nanti malam di rapel ya," ledek Mas Fikri sambil memelukku dari belakang."Awas aja kalau ingkar!""Waduh, ada yang kangen berat kayaknya mpe ngancem begitu. Sudah buruan ayo sarapan terus berangkat.""Memangnya mau ngapain ke rumah Ibu, Mas? Kok mendadak?""Nggak mendadak sih. Aku lupa ngasih tahu kamu kalau hari ini ada acara arisan sekaligus kumpul-kumpul trah keluargaku. Wajib hadir, kena denda kalau nggak hadir.""Kayak pertemuan apa aja, Mas. Nggak hadir kena denda. Berlebihan keluargamu itu.""Ya itu usaha keluargaku supaya semua bisa kumpul nggak ada alasan untuk nggak datang. Sudah, kamu buruan siap-siap."Seperti biasanya, bagiku ke rumah ibu mertua itu seperti mau ke sarang penyamun. Tegang, was-was, kuatir. Selama perjalanan ke rumah Ibu sudah tidak nyaman sama sekali, gelisah. Trauma karena setiap ke rumah Ibu, selalu saja mendapat kenangan buruk dengan perlakuan keluarga Mas Fikri.Mas Fikri pun sudah tahu banget apa yang kurasakan. Sambil menyetir, dia meraih tanganku, digenggamnya erat."Dingin banget, Ra, tanganmu. Rileks ... Kayak mau ketemu mantan saja.""Mas Fikri tahu sendiri, mereka tidak pernah menganggapku menantu selama aku belum memberi cucu.""Positif thinking dong, Ra. Itu hanya perasaanmu saja. Apa yang kamu pikirkan itu nanti yang akan terjadi. Jadi coba kamu berpikir yang baik-baik." Mas Fikri meraih pucuk tanganku lalu menciuminya, kubuang pandangan pada sisi luar kaca mobil.Iya, aku harus bersyukur. Walaupun aku tidak diperlakukan baik oleh mertua, tapi Mas Fikri memperlakukanku dengan sangat baik. Bersyukur aku punya Mas Fikri yang sangat mencintaiku, tidak neko-neko, menerimaku apa adanya. Walau aku belum bisa memberinya anak tapi Mas Fikri tak ada niat untuk mencari perempuan lain."Ra, sudah sampai. Ngelamunin apa, kamu?""Eh, iya, Mas. Enggak.""Ayo turun. Sudah ramai, tuh. Kayaknya kita sudah terlambat."Dengan hati berdebar debar tak karuan, aku yang digandeng Mas Fikri, memasuki halaman rumah Ibu. Tampak pakdhe, budhe, om dan tante-tante Mas Fikri sudah memenuhi teras dan rumah Ibu. Tak terkecuali sepupu-sepupu Mas Fikri termasuk Kartika yang sedang mengasuh anak-anaknya.Banyak sekali keponakan Mas Fikri, halaman riuh dengan teriakan dan celotehan mereka yang berlari-larian di halaman. Hanya aku dan Mas Fikri yang belum punya momongan dan hanya Ibu yang belum punya cucu. Itulah kenapa aku tidak suka acara kumpul-kumpul begini dan itu juga alasan Ibu sangat membenciku."Fikri! Masih saja kebiasaanmu, telat datang. Kalau punya anak banyak, wajar telat karena banyak yang diurus. Lha ini cuma berdua kok ya masih saja telat. Kudu di denda ini," ucap Om Rahardian ketika Mas Fikri menjabat tangannya."Om bisa saja. Biasalah, Om. Kesiangan. Kecapekan kemarin baru pulang dari Palembang.""Ayaaaah!" tiba-tiba seorang anak laki-laki menghambur ke pelukan Mas Fikri yang membuatku tersentak."Apa-apaan, Mas! Kenapa anak Kartika manggil kamu, Ayah?""Biarin, Ra, mungkin dia rindu dengan ayahnya.""Tapi dia kan sudah punya ayah baru!""Ayah barunya seorang pelaut. Enam bulan sekali baru pulang.""Randi, sini ikut Bunda." Kartika dengan lembut meraih tubuh Randi yang meronta."Nggak mau, Randi masih kangen sama Ayah.""Randi, nggak boleh nakal." Dengan susah payah Kartika berhasil melepas pelukan Randi dari tubuh Mas Fikri walaupun Randi akhirnya menangis kencang."Maaf, Mas Fikri, Mbak Tiara atas kelancangan Randi." ucap Kartika tanpa menatapku dan Mas Fikri."Eh, Fikri, Tiara, sudah datang. Tiara, ayo bantuin Ibu menyiapkan makanan buat tamu," ajak Ibu yang terasa aneh di telinga.Tumben Ibu bersikap baik padaku. Ibu bahkan menggandeng tanganku masuk ke dapur."Itu tolong snacknya ditatain di piring ya, Ra. Terus kamu bawa ke depan sana.""Iya, Bu," jawabku sambil menata kue di piring dengan pikiran yang masih penuh tanda tanya atas sikap Ibu."Aku bantuin ya, Mbak," tiba-tiba Kartika sudah ada di sampingku."Eh, Kartika, kamu nggak boleh bantu-bantu. Sudah, kamu duduk saja. Ibu nggak pengin cucu Ibu yang di perutmu kenapa-kenapa."Aku tersentak, "Cucu Ibu?""Maksud Ibu ... " Ibu menghentikan kata katanya seperti kebingungan."Maksud Ibu kan Kartika sudah Ibu anggap anak jadi anak Kartika cucu Ibu juga, kan? Kamu keberatan, Tiara?""Nggak, Bu. Kalau itu bisa membuat Ibu bahagia buat apa Tiara keberatan."Setelah beramah tamah, kemudian ke acara pokok dan menikmati hidangan istimewa akhirnya acara selesai juga. Kami pun pulang. Tumben juga Ibu membawakan makanan banyak."Nih, kamu bawa, Tiara.""Banyak amat, Bu.""Biarin, biar bisa buat sarapan besok jadi kamu nggak usah masak."Dalam perjalanan pulang, Mas Fikri terus meledekku, "Tuh aku bilang apa. Kalau kita berpikir positif yang terjadi juga positif, kan. Kayaknya udah disayang mertua, tuh.""Aku masih bingung, Mas, dengan sikap Ibu. Aneh pikirku. Aku yakin pasti ada apa-apa.""Tuh kan, yang aneh tuh kamu, Ra. Ibu bersikap buruk kamu bingung, giliran bersikap baik kamu juga bingung. Maumu apa, sih?""Entahlah, Mas, pokoknya aku ngerasa ada apa-apa.""Terserah kamu, Ra. O iya, ambilin uang di dompet, Ra, buat beli bensin.""Iya, Mas."Saat mengambil lembaran uang, ada kertas yang tertarik dan akhirnya jatuh. Mataku terbelalak saat mengambil kertas di bawah dan sekilas membaca merk susu ibu hamil di kertas yang ternyata kertas bon. Dan tidak tanggung-tanggung, tertera jumlah angka 6 di situ dengan berbagai varian rasa."Ra, mana uangnya?" Kusodorkan uang 2 lembar ratusan pada Mas Fikri dengan gemetar."Mas, buat siapa Mas Fikri belanja susu ibu hamil sebanyak ini?!""Eh, itu ... buat ...""Itu buat ... Maksudku itu titipan orang, Ra.""Titipan siapa, Mas?!""Sudahlah, Ra. Lupakan. Nggak penting buat kita." "Titipan Kartika kan, Mas? Iya, kan?!" "Kok kamu tahu, Ra?" "Siapa lagi perempuan yang selalu ngrepotin Mas Fikri kalau bukan Kartika!""Ibu, Ra, yang nitip susu itu buat Kartika.""Ibu lagi! Ibu lagi! Ibumu itu maunya apa sih, Mas! Jelas-jelas Kartika itu sudah punya suami, masih saja melibatkan kamu di kehidupan Kartika!" "Kan tadi sudah kuceritakan, suami Kartika nggak ada di rumah, Ra." "Alah, itu bukan alasan, Mas! Kalau cuma beli susu mereka juga bisa pergi sendiri, kok. Nyatanya aku kemarin ketemu mereka belanja kebutuhan sehari-hari. Kenapa nggak beli susu sekalian!" "Istri Fikri kalau lagi marah-marah gini tambah cantik dan ngegemesin." Sambil mengemudikan kemudi mobil keluar dari POM bensin, tangan kiri Mas Fikri nyolek-nyolek daguku sambil senyum-senyum menyeb
"Memangnya saya, Bu, yang berkehendak tidak mau hamil? Perlu Ibu tahu, saya belum hamil ini bukan hanya karena faktor dari saya tapi juga faktor dari Mas Fikri." Kuberanikan untuk membela diri."Terus maksudmu yang mandul Fikri begitu? Perlu kamu tahu ya, Ra. Fikri sudah terbukti tidak mandul.""Darimana ibu membuktikan?""Aku ini ibunya. Aku bisa jamin Fikri sehat.""Saya nggak bilang Mas Fikri mandul, Bu. Cuma Mas Fikri saja nggak pernah di rumah. Sering keluar kota bagaimana saya bisa hamil.""Kamu lihat itu Kartika. Suaminya juga nggak pernah di rumah tapi nyatanya sekali tancap langsung jadi. Sebulan setelah pernikahannya, dia langsung isi, Ra."Rasanya sakit dibanding bandingin tapi tak ada guna membela diri. Aku akan selalu di posisi yang salah. Lebih baik pulang saja daripada semakin sakit hati."Bu, Tiara pulang dulu ya. Sudah sore," pamitku sambil mencium tangan Ibu. Tetapi baru saja mau beranjak, tiba-tiba huj
Mobil Mas Fikri cepat sekali. Dan aku akhirnya kehilangan jejak. Tapi aku yakin tujuannya adalah rumah Ibu karena ini arah jalan rumah Ibu. Akhirnya sampai juga motorku di dekat rumah Ibu. Sengaja aku tidak parkir tepat di depan rumah. Aku tidak ingin mereka tahu keberadaanku. Dan benar saja dugaanku, mobil Mas Fikri sudah terparkir di halaman. Tanpa ada raut capek, tampak Mas Fikri terlihat begitu bahagia menemani Randi dan Dimas bermain mainan baru di teras. Pasti mainan itu juga Mas Fikri yang membelikan. Begitu pun dengan anak-anak. Dimas yang dipangku Mas Fikri juga terlihat begitu bahagia. Pemandangan yang sangat menyakitkan bagai disayat sembilu.Sebegitu pentingnya anak-anak Kartika buatmu, Mas, sampai istri kau nomor duakan. Aku putuskan meninggalkan tempat ini sebelum hatiku semakin hancur tercabik cabik. Sampai rumah, aku putuskan tidak akan menghubunginya. Aku pengin tahu sampai kapan dia di rumah ibunya. Dengan perasaan gundah aku
Ditipu mertua dan suami.Part 5Dengan kaki gemetar dan berderai airmata kukuatkan hati menyaksikan mereka dari kejauhan. Mas Fikri yang berdiri di samping Kartika dengan tangan kanan membelai mesra pucuk kepala Kartika yang tertutup jilbab. Lalu tangan kirinya ... Mas Fikri menggenggam erat tangan Kartika seolah begitu takut kehilangan Kartika.Kupalingkan wajah. Ya Alloh, aku tak sanggup. Pemandangan itu sangat menyakitiku. Dadaku seperti diremas remas. Tangisku semakin tak terkendali. Tapi rasa ingin tahuku membuat aku berusaha kuat menyaksikan adegan mereka lagi.Mataku terbelalak. Serasa tidak percaya, aku melihat dengan mata sendiri Mas Fikri berkali kali mencium kening Kartika yang sedang mengejan sambil terus membelainya. Bahkan kali ini Mas Fikri menempelkan kepalanya pada kepala Kartika seolah ingin ikut merasakan kesakitan Kartika. Dan mata Mas Fikri ... kenapa matanya terlihat sembab seperti menangis.Darahku mendidih dengan jantung yang berpacu cepat. Kupegang dada yang
#Ditipu_mertua_dan_suami.#Part_6Baru saja jari ini akan menekan icon galery di layar handphone, tiba-tiba Dokter dan suster datang. Akhirnya kumasukkan handphone ke tas lagi."Ibu Tiara, bagaimana keadaannya? Sudah lebih baik?""Sudah, Dok. Cuma ini mualnya kadang masih muncul.""O iya, kalau soal mualnya, Ibu Tiara kemungkinan akan tetap merasakan sampai 3 bulan ke depan.""Apa, Dok? 3 bulan? Memang nggak ada obatnya, Dok?" "Untuk mual jenis yang satu itu nggak ada obatnya, Bu. Itu bawaan janin yang ada di perut Ibu.""Janin, Dok? Maksudnya?" Aku tercengang sedikit bingung."Iya, Bu. Selamat ya, Ibu positif hamil. Janin Ibu baru berumur sekitar 5 Minggu jadi dijaga ya, Bu. Nanti saya kasih vitamin." Aku ternganga mendengar penuturan Dokter antara tidak percaya, bahagia tapi juga sedih."Saya hamil, Dok? Di perut saya ada calon bayi?!" tanyaku masih sulit untuk mempercayai keajaiban ini setelah 10 tahun entah berapa testpack yang aku habiskan.Setiap telat datang bulan walaupun ba
Tertipu mertua dan suamiPart 7"Aku ingin melihat wujud suamimu sekarang, Kartika! Tidak mungkin kan kamu tidak punya fotonya kalau memang dia itu ada?!" kutantang Kartika."Iya, Mbak, ada. Sebentar. Ini Mbak Tiara lihat sendiri foto-foto waktu acara ijab qobul," Kartika menyerahkan handphonenya padaku.Dan memang benar. Terlihat foto-foto Kartika bersama suaminya yang wajahnya tak kalah ganteng dengan Mas Fikri bahkan terlihat lebih muda. Ada juga foto saat suami Kartika menjabat tangan laki-laki yang sepertinya sedang mengikrarkan ijab qobul.Lega rasanya. Apa yang kutakutkan ternyata salah. Tapi aku masih penasaran. Aku lalu membuka galeri di HP Kartika yang masih kupegang dan ternyata isinya hanyalah foto-foto anak Kartika. Kukembalikan handphone Kartika dengan rasa malu karena sudah menuduh Kartika yang tidak-tidak.Tapi kenapa hati kecilku seolah tidak mau menerima kebenaran yang sudah dipaparkan Kartika."Sudah puas, Ra?! Ayo sekarang kita pulang!" Mas Fikri menggandeng tangan
Aku yang menangis terpaku di depan tubuh Mas Fikri sambil menutup wajahku dengan telapak tangan tidak menyadari kalau Mas Fikri sudah terbangun.Sebuah pelukan erat membuatku tak berkutik, "Ra, maafkan aku, ya, kalau aku sudah menyakitimu. Tolong, Ra, jangan menolakku begini. Aku membutuhkuanmu." Dia mengiba, bibirnya menyapu lembut pipi dan keningku.Sedangkan batinku terus berperang antara mempercayainya dan meragukannya. Dengan menahan perut yang mual dan rasa jijik ini, aku membiarkan Mas Fikri semakin beringas menciumiku lalu menggiring paksa tubuhku ke sofa. Aku pun hanyut dengan permainan Mas Fikri yang begitu memabukkan.Dan pertahananku jebol. Di sofa panjang, akhirnya hasrat Mas Fikri terlampiaskan. Kupukul pukul dadanya, "Aku benci kamu, Mas!" Teriakku berontak tapi Mas Fikri justru memelukku semakin erat."Benci tapi suka, kan? Makasih ya, sayang. Perlu kamu tahu, aku sangat mencintaimu, Ra. Jangan pernah kamu meragukan itu." ucap Mas Fikri sambil berkali kali menciumiku
Tertipu mertua dan suami"Anu, Mbak, kegerahan." "Bukannya pakai AC kok kegerahan.""Maksud saya kegerahan nahan sesuatu karena istri lagi nifas nggak bisa dicolek.""Oalah, ada-ada saja kamu. Lihat Mas Fikri?""Nggak lihat, Mbak, kan saya tidur baru bangun.""Rafli, mumpung cuma ada kita berdua, ada yang pengin aku omongin," ucapku pelan takut membangunkan yang lainnya."Tentang apa, ya, Mbak?""Sst ... Jangan keras-keras, nanti yang lain bangun." Kami pun ngobrol dengan suara pelan sekali."Tentang suamiku dan istrimu." bisikku."Maksudnya?""Kamu nggak cemburu istrimu dekat-dekat dengan suamiku?""Kan mereka kakak adik, Mbak. Wajarlah kalau deket," jawab Rafli polos."Tapi perlakuan Mas Fikri pada Kartika itu melebihi batas dari seorang kakak pada adiknya. Nggak wajar!""Masak, sih, Mbak. Saya ngelihatnya biasa saja.""Iya, karena kamu tidak pernah di rumah!" Aku terdiam mendengar sebuah suara dari suatu tempat. Kuhampiri arah suara itu yang ternyata dari dalam kamar Kartika yang
"Nih, ada yang kangen sama ayahnya," ucapku sambil mengarahkan layar pada perutku."Maksudnya, Ra?""Iya, roket yang Mas Putra luncurkan ternyata ajaib, tepat sasaran. Benihnya jadi, Mas." "Maksudmu kamu hamil, Ra?" Aku mengangguk sambil menunjukkan testpack dengan berurai airmata. Mata Mas Fikri langsung berkaca kaca, setelah itu menangis sesenggukan, "Secepat ini, Ra?""Iya, Mas, aku juga seperti tidak percaya. Ini hanya karena kebesaranNya.""Alhamdulillah ya Allah, begitu cepat Engkau berikan anugrah indah ini pada kami." Tubuh Mas Putra kemudian meluruh bersujud syukur. Setelah itu kami hanya bisa sama-sama menatap layar dengan mata basah, "Ra, aku pengin meluk kamu. Aku besok pagi pulang, ya." Aku mengangguk bahagia."Kira-kira itu roket yang pas kuluncurkan di mana ya, Ra, yang berhasil jadi. Feelingku kok pas di camping di pantai. Rasanya beda soalnya.""Sok yakin, Mas, hanya Allah yang tahu. Yang terpenting, semoga aku dan bayi kita diberi keselamatan dan kesehatan ya, Mas
And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)A not so very ordinary girl or name.(Nama dan gadis yang biasa saja)But who’s to blame?(Tapi siapa yang harus disalahkan?)For a love that wouldn’t bloom(Untuk cinta yang tidak akan mekar)For the hearts that never played in tune.(Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.)Like a lovely melody that everyone can sing,(Seperti melodi indah yang gampang dinyanyikan oleh setiap orang,)Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.(Dengan lirik yang kurang bermakna)But God I miss the girl,(Tapi Tuhan aku rindu gadis itu,)And I’d go a thousand times around the world just to be(Dan aku akan berkeliling dunia seribu kali untuk)Closer to her than to me.(Lebih dekat dengannya daripada denganku sendiri.)And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)I never knew her, but I loved her just the same,(Aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku mencintainya sama saja)I loved her name.(aku mencintai namanya.)Wis
Ditipu Mertua dan Suami Extra part 4 "Ayo, Ra, jawab, jangan bikin aku penasaran." "Mandi dulu, ah." Aku beranjak dari duduk berniat melarikan diri tapi tanganku langsung dicekal Mas Putra."Eits, jangan harap kamu bisa melarikan diri sebelum menjawab pertanyaanku. Duduk!""Maksa banget, sih, Mas.""Kamu kan senengnya dipaksa paksa gini. Nikah sama aku pun harus dipaksa.""Lebih enak yang dipaksa dipaksa, sih," jawabku yang akhirnya mengalah duduk di samping Mas Putra sambil melingkarkan tangan di pinggungnya dan melabuhkan kepala di bahunya. Mas Putra pun akhirnya juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Sudah tidak peduli dengan orang sekitar, kami menikmati senja di tepi pantai layaknya orang yang sedang kasmaran."Ayo, Ra, ceritakan. Aku siap menerima kenyataan pahit.""Malam itu, setelah pernikahan kami, Mas Rasyid menuntutku untuk menjadi istri seutuhnya. Dia melepas kerudungku, Mas. Lalu bibirnya ... Bibirnya mengecup ....""Bibirmu?" Sahut Mas Putra cepat."Bukan tapi k
Kami pun mengikuti Kartika masuk ke dalam rumah lalu membuka kamar Ibu. Terlihat Ibu terbaring dengan badan yang kurus kering sama dengan Kartika. Mendengar pintu di buka Ibu langsung bangun, menatapku tajam lalu bangkit dari ranjang menghampiri kami dengan dada yang naik turun. "Pembunuh! Kamu pembunuh cucuku!" Teriaknya menakutkan. Ternyata dia masih bisa mengenaliku. "Gara-gara kamu, aku tidak punya cucu! Kembalikan cucuku! Beri aku cucu!" Ibu mengambil gelas yang ada di atas meja."Rasakan ini pembunuh! Matilah kau!" Tiba-tiba Ibu mengayunkan gelas itu mengarah padaku. Untunglah Mas Putra buru-buru menarik tubuhku lalu menutup pintu kamar. Setelahnya terdengar suara gelas pecah yang dilempar ke pintu kemudian disusul teriakan Ibu yang melengking."Buka pintunya! Aku akan membunuh perempuan itu! Bukaaa!" "Tiara, sepertinya untuk saat ini kita tidak bisa berdamai dengan mantan mertuamu itu. Sangat berbahaya buat diri kamu.""Iya, Mas, aku juga takut. Kita pulang saja.""Maaf, Mb
Ditipu mertua dan suami Extra part 3Setelah meninggalkan penjara, kami pun menuju kontrakan Kartika, "Gimana nih kesan yang habis ketemu mantan?" ledeknya sambil menyetir."Biasa saja." "Yang bener? Kata orang, yang pertama itu tak terlupakan.""Yang pertama tapi kalau menyakitkan buat apa diingat ingat.""Sakit pertama aja tapi selanjutnya memabukkan, kan.""Ih, apa sih, Mas Putra, nggak nyambung. Hatiku, Mas, yang sakit. Ngeres aja pikirannya." "Ha ha ha ... sekarang mikir ngeres nggak masalah, kan sudah ada tempat pelampiasan."Tanganku sudah melayang bersiap memukul lengannya tapi dengan spontan dicekal Mas Putra lalu ditaruh di pahanya dengan tangan kanan masih pegang setir."Geser rada ke sini, Ra, dudukmu." "Mau ngapain? Fokus, Mas, lagi nyetir nanti nabrak lagi." "Sudah, sini, mo dapat pahala, nggak?" Aku pun akhirnya manut menggeser dudukku mendekat padanya, "Sudah, nih, terus suruh ngapain?""Elus-elus." Tanganku yang digenggamnya di pahanya di geser lebih ke kanan.N
Besoknya, akhirnya kita terbang ke Jakarta. Sampai di rumah Mas Fikri, ibu mertuaku menyambut dengan hangat. Lengkaplah kebahagiaanku. Akhirnya aku punya mertua idaman yang begitu menyayangiku tidak seperti mertuaku dulu. Mengingatnya seperti diiris iris lagi."Selamat datang di rumahmu yang baru, Tiara," sambut Ibu sambil memelukku."Kok rumahku, Bu? Ini rumah Ibu, kan?""Ini rumah Fikri. Hasil kerja keras Fikri jadi ini otomatis rumahmu. Ibu dan Tia hanya numpang di sini.""Ibu jangan begitu. Ini rumah putra Ibu, Ibu yang lebih berhak.""Nggak, Nduk. Kamu istri Fikri. Kamu yang lebih berhak.""Sudah, sudah, kenapa kalian jadi rebutan rumah. Kalau nggak ada yang mengakui biarin nanti diakui istri kedua saja.""Hus! Amit-amit! Jangan sampai kamu menduakan Tiara ya, Fikri. Awas saja, bakalan Ibu pecat jadi anak!""Bercanda, Bu, mana mungkin anak Ibu yang baik ini sanggup menyakiti perempuan yang dengan susah ngedapetinnya. Memperjuangkannya saja butuh waktu hampir 20 tahun.""Nah itu
"Bukan. Itu murni Rekayasa Allah, Ra. Nasib baik berpihak padaku. Aku selalu berdoa untuk didekatkan denganmu jika kamu jodohku dan jauhkan bila bukan jodohku. Dan ternyata Allah terus mendekatkan kita. Makanya aku terus berjuang untuk mendapatkan kamu, Ra, karena yakin kamulah jodohku." ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menatapku syahdu, terasa berdesir desir. "Tuh, kan, pegangan tangan begini aja nyetrum nih, Ra. Ada yang bangun," lirihnya sambil mengedipkan satu matanya."Nggak! Mati air!" teriakku."Dasar airnya nggak bisa diajak kompromi. Ya sudahlah, nggak usah pegang-pegang tangan. Ayo dilanjutin ceritamu!""Seminggu sekali setiap hari Sabtu Mas Fikri ke Yogya menemuiku. Walaupun sudah berkali kali kuusir tetap nekat, Mas. Dan setelah menceraikan Kartika dia berani beraninya melamarku. Membawa ibu dan saudara saudaranya. Ibunya sampai memohon mohon agar aku mau rujuk. Katanya hanya aku yang bisa memberinya cucu karena Kartika sudah tidak bisa memberinya cucu." "Kenapa?"
"Tiara! Kok keluar, sih. Ini shower gimana?""Halah, modus, kan, Mas Fikri? Mau minta nambah lagi, kan, di kamar mandi?" "Otakmu tuh yang ngeres. Beneran ini shower mati!""Ya sudah Mas Fikri pakai handuk dulu!""Iya, udah, istriku yang cantik. Buru sini!"Aku pun masuk ke kamar mandi lagi dengan siaga 1 takut diisengin Mas Fikri. Saat kunyalakan shower, ternyata benar shower mati. Tak keluar setetes air pun."Yah, mati air berarti ini, Mas. Tampungan pasti juga sudah habis buat nyuci piring acara resepsi tadi malam.""Terus gimana, Ra? Mana kudu mandi junub lagi. Butuh air banyak ini.""Di lantai bawah ada kamar mandi yang ada baknya kok, Mas. Kita mandi di sana, yuk. Semoga airnya masih penuh.""Udah pada bangun belum, ya, Ra? Malu tahu subuh-subuh mandi keramas. Ayo, Ra, temenin." "Punya urat malu juga, Mas?" ledekku yang dibalas Mas Fikri dengan mendorong kepalaku. Sambil membawa handuk, kami mengendap endap menuruni tangga takut ngebangunin yang lain. Dan aman, lantai bawah ma
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah