Tertipu mertua dan suamiPart 7"Aku ingin melihat wujud suamimu sekarang, Kartika! Tidak mungkin kan kamu tidak punya fotonya kalau memang dia itu ada?!" kutantang Kartika."Iya, Mbak, ada. Sebentar. Ini Mbak Tiara lihat sendiri foto-foto waktu acara ijab qobul," Kartika menyerahkan handphonenya padaku.Dan memang benar. Terlihat foto-foto Kartika bersama suaminya yang wajahnya tak kalah ganteng dengan Mas Fikri bahkan terlihat lebih muda. Ada juga foto saat suami Kartika menjabat tangan laki-laki yang sepertinya sedang mengikrarkan ijab qobul.Lega rasanya. Apa yang kutakutkan ternyata salah. Tapi aku masih penasaran. Aku lalu membuka galeri di HP Kartika yang masih kupegang dan ternyata isinya hanyalah foto-foto anak Kartika. Kukembalikan handphone Kartika dengan rasa malu karena sudah menuduh Kartika yang tidak-tidak.Tapi kenapa hati kecilku seolah tidak mau menerima kebenaran yang sudah dipaparkan Kartika."Sudah puas, Ra?! Ayo sekarang kita pulang!" Mas Fikri menggandeng tangan
Aku yang menangis terpaku di depan tubuh Mas Fikri sambil menutup wajahku dengan telapak tangan tidak menyadari kalau Mas Fikri sudah terbangun.Sebuah pelukan erat membuatku tak berkutik, "Ra, maafkan aku, ya, kalau aku sudah menyakitimu. Tolong, Ra, jangan menolakku begini. Aku membutuhkuanmu." Dia mengiba, bibirnya menyapu lembut pipi dan keningku.Sedangkan batinku terus berperang antara mempercayainya dan meragukannya. Dengan menahan perut yang mual dan rasa jijik ini, aku membiarkan Mas Fikri semakin beringas menciumiku lalu menggiring paksa tubuhku ke sofa. Aku pun hanyut dengan permainan Mas Fikri yang begitu memabukkan.Dan pertahananku jebol. Di sofa panjang, akhirnya hasrat Mas Fikri terlampiaskan. Kupukul pukul dadanya, "Aku benci kamu, Mas!" Teriakku berontak tapi Mas Fikri justru memelukku semakin erat."Benci tapi suka, kan? Makasih ya, sayang. Perlu kamu tahu, aku sangat mencintaimu, Ra. Jangan pernah kamu meragukan itu." ucap Mas Fikri sambil berkali kali menciumiku
Tertipu mertua dan suami"Anu, Mbak, kegerahan." "Bukannya pakai AC kok kegerahan.""Maksud saya kegerahan nahan sesuatu karena istri lagi nifas nggak bisa dicolek.""Oalah, ada-ada saja kamu. Lihat Mas Fikri?""Nggak lihat, Mbak, kan saya tidur baru bangun.""Rafli, mumpung cuma ada kita berdua, ada yang pengin aku omongin," ucapku pelan takut membangunkan yang lainnya."Tentang apa, ya, Mbak?""Sst ... Jangan keras-keras, nanti yang lain bangun." Kami pun ngobrol dengan suara pelan sekali."Tentang suamiku dan istrimu." bisikku."Maksudnya?""Kamu nggak cemburu istrimu dekat-dekat dengan suamiku?""Kan mereka kakak adik, Mbak. Wajarlah kalau deket," jawab Rafli polos."Tapi perlakuan Mas Fikri pada Kartika itu melebihi batas dari seorang kakak pada adiknya. Nggak wajar!""Masak, sih, Mbak. Saya ngelihatnya biasa saja.""Iya, karena kamu tidak pernah di rumah!" Aku terdiam mendengar sebuah suara dari suatu tempat. Kuhampiri arah suara itu yang ternyata dari dalam kamar Kartika yang
Di depan kamar Kartika, kuketuk pintu kamar dan kupanggil pelan Rafli yang ternyata masih tiduran di sofa ruang tengah."Mbak Tiara, ada apa lagi?" tanya Kartika setelah pintu terbuka."Mas Fikri, Rafli, Ayo kita masuk!" ajakku."Tiara, jangan lancang kamu! Ini kamar Kartika!" teriak Mas Fikri sambil berusaha mencekalku, tak kupedulikan, kuhempaskan saja tangannya, kakiku tetap melangkah masuk ke kamar Kartika."Ada apa, Mbak? Kenapa masuk ke kamar Kartika?" tanya Kartika dengan muka sok polos."Rafli, tutup pintunya!" Perintahku pada Rafli setelah semua masuk ke kamar."Kartika, sekarang tunjukkan surat nikah kamu dan Rafli!" "Maaf, Mbak. Kami belum punya surat nikah. Kami baru nikah siri. Tapi secepatnya kami akan menikah secara hukum.""O, jadi baru nikah siri?! Atau malah nikah pura-pura?!""Tiara! Jaga mulutmu! Jangan mempermalukanku!" teriak Mas Fikri tapi tak kugubris."Kami nggak nikah pura-pura, Mbak. Kami memang baru nikah siri. Dan kami punya alasan sendiri kenapa kami nik
"Ayo, Rafli, jangan ragu!" Langkah Rafli yang tampak ragu-ragu tapi akhirnya sudah berdiri tepat di hadapan Kartika.Tangan Rafli mulai memegang pinggang Kartika. Mata Kartika terpejam dengan deraian mata. Lalu ...Rafli melakukan yang kuperintahkan. Pertama terlihat kaku tapi tak lama ia terlihat begitu menikmati permainan itu. Kartika menangis terisak isak seolah dia tersakiti oleh laki-laki tak halal.Di tengah permainan mereka, tiba-tiba Mas Fikri menghampiri Rafli lalu memukul wajahnya bertubi tubi. Rafli terhuyung, bibirnya berdarah. Darahku mendidih, dadaku sesak, "Kenapa kamu marah, Mas?! Kenapa, Mas?! Jawab!" Kutatap tajam matanya yang tampak merah dipenuhi amarah, dadanya terlihat naik turun seperti memendam kekesalan, tak ada yang keluar dari mulutnya.Ia berdiri terpaku tanpa sepatah kata seolah sedang berusaha mengendalikan emosinya. "Rafli, kenapa kamu tidak balas pukulan dia?! Kenapa kamu diam saja?! Kartika itu istrimu bukan?!""Is ... iiistriku, Mbak," jawabnya terb
"Begitu? Apa mungkin Ibu salah minum obat?'"Saya nggak minum obat apa-apa, Dok. Semalam saya hanya minum jahe tapi memang setelah minum jahe itu saya seperti dibius. Ngantuk tak tertahan dan akhirnya tertidur pulas." "Iya, mungkin di jahe itu ada obat tidurnya, Bu." Aku tersentak tidak percaya. Jadi aku tidur pulas semalam karena ulah Mas Fikri. Hanya demi Kartika, kamu tega melakukan itu, Mas. Lihat saja, aku pasti akan bisa membuka kedok kalian.Percakapan kami terhenti ketika melihat Mas Fikri masuk ke ruangan. "Dok, bagaimana kondisi istri saya, Dok? " tanya Mas Fikri yang baru saja datang, kupalingkan wajah tak sudi melihat penipu itu."Dari hasil lab, istri Bapak Hb nya rendah sekali, Pak. Itu yang membuat dia sesak nafas. Dan sepertinya selama ini nggak dirasa sama ibu. Baru terasa setelah tubuh ngedrop. Akan dilakukan transfusi darah. Baru disiapkan. Selain itu, kehamilannya yang masih begitu muda juga mengalami kontraksi." "Apa, Dok?! Istri saya hamil?!" "Lho, bapak b
Dengan mengendap endap aku mengikuti langkah Mas Fikri. Kami yang memang menempati kamar untuk tamu jadi terletak di depan, di sisi kiri ruang tamu. Sedangkan kamar Kartika dan Ibu terletak di dalam, di sisi kanan ruang keluarga. Mas Fikri tampak masuk ke ruang keluarga yang remang-remang dengan cahaya temaram dari bias lampu duduk ruang tamu. Aku yakin dia menuju kamar Kartika. Jantungku berdebar kencang. Tapi dugaanku salah, Mas Fikri melewati kamar Kartika dan terus berjalan menuju kaca pembatas ruang keluarga dan taman belakang. Aku menghentikan langkah, sembunyi di balik dinding pantry yang ada di sisi kiri teras belakang. Tampak Mas Fikri menggeser pintu kaca.Buru-buru kusingkap tirai jendela pantry yang mengarah ke taman belakang mengintip Mas Fikri yang berjalan ke gazebo yang ada di taman. Dadaku bergemuruh melihat Kartika yang ternyata sudah menunggu di gazebo dengan tubuh yang terlihat sintal memakai baju tidur tipis dan yang membuatku sangat terkejut, rambutnya terger
Ya Allah apa yang sudah mereka lakukan semalam? Apa mungkin Mas Fikri ke kamar Kartika setelah aku beranjak pergi. Atau apa mungkin suara kecepak kecepok di kamar Kartika tadi malam bukan suara bayi Kartika. Lalu dari jalan mana Mas Fikri masuk ke kamar Kartika. "Ra, kok malah ngelamun. Sudah selesai nih kuseka badanmu. Sekarang aku bantu kamu wudhu ya." "Mas, kenapa lehernya kok merah begitu?" tanyaku pura-pura polos, Mas Fikri nampak gelagapan."O, ini, tadi malam duduk-duduk di gazebo, e di gigit serangga. Gatel ini rasanya, Ra. Entar deh aku ke apotik beli obat.""Sama siapa malam-malam di gazebo, Mas?" tanyaku pengin tahu, kebohongan apa yang akan mereka utarakan."Sama Kartika." Jawabnya yang membuatku tersentak, ternyata dia menjawab jujur, aku pura-pura bersikap biasa saja."O ... sama Kartika.""Tumben nggak marah. Biasanya kalau aku menyebut nama Kartika kamu langsung marah." "Sudah biasa!" jawabku datar."Nah, gitu dong. Kamu harus membiasakan diri menerima Kartika karen
"Nih, ada yang kangen sama ayahnya," ucapku sambil mengarahkan layar pada perutku."Maksudnya, Ra?""Iya, roket yang Mas Putra luncurkan ternyata ajaib, tepat sasaran. Benihnya jadi, Mas." "Maksudmu kamu hamil, Ra?" Aku mengangguk sambil menunjukkan testpack dengan berurai airmata. Mata Mas Fikri langsung berkaca kaca, setelah itu menangis sesenggukan, "Secepat ini, Ra?""Iya, Mas, aku juga seperti tidak percaya. Ini hanya karena kebesaranNya.""Alhamdulillah ya Allah, begitu cepat Engkau berikan anugrah indah ini pada kami." Tubuh Mas Putra kemudian meluruh bersujud syukur. Setelah itu kami hanya bisa sama-sama menatap layar dengan mata basah, "Ra, aku pengin meluk kamu. Aku besok pagi pulang, ya." Aku mengangguk bahagia."Kira-kira itu roket yang pas kuluncurkan di mana ya, Ra, yang berhasil jadi. Feelingku kok pas di camping di pantai. Rasanya beda soalnya.""Sok yakin, Mas, hanya Allah yang tahu. Yang terpenting, semoga aku dan bayi kita diberi keselamatan dan kesehatan ya, Mas
And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)A not so very ordinary girl or name.(Nama dan gadis yang biasa saja)But who’s to blame?(Tapi siapa yang harus disalahkan?)For a love that wouldn’t bloom(Untuk cinta yang tidak akan mekar)For the hearts that never played in tune.(Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.)Like a lovely melody that everyone can sing,(Seperti melodi indah yang gampang dinyanyikan oleh setiap orang,)Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.(Dengan lirik yang kurang bermakna)But God I miss the girl,(Tapi Tuhan aku rindu gadis itu,)And I’d go a thousand times around the world just to be(Dan aku akan berkeliling dunia seribu kali untuk)Closer to her than to me.(Lebih dekat dengannya daripada denganku sendiri.)And Aubrey was her name,(Dan Aubrey adalah namanya,)I never knew her, but I loved her just the same,(Aku tidak pernah mengenalnya, tapi aku mencintainya sama saja)I loved her name.(aku mencintai namanya.)Wis
Ditipu Mertua dan Suami Extra part 4 "Ayo, Ra, jawab, jangan bikin aku penasaran." "Mandi dulu, ah." Aku beranjak dari duduk berniat melarikan diri tapi tanganku langsung dicekal Mas Putra."Eits, jangan harap kamu bisa melarikan diri sebelum menjawab pertanyaanku. Duduk!""Maksa banget, sih, Mas.""Kamu kan senengnya dipaksa paksa gini. Nikah sama aku pun harus dipaksa.""Lebih enak yang dipaksa dipaksa, sih," jawabku yang akhirnya mengalah duduk di samping Mas Putra sambil melingkarkan tangan di pinggungnya dan melabuhkan kepala di bahunya. Mas Putra pun akhirnya juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Sudah tidak peduli dengan orang sekitar, kami menikmati senja di tepi pantai layaknya orang yang sedang kasmaran."Ayo, Ra, ceritakan. Aku siap menerima kenyataan pahit.""Malam itu, setelah pernikahan kami, Mas Rasyid menuntutku untuk menjadi istri seutuhnya. Dia melepas kerudungku, Mas. Lalu bibirnya ... Bibirnya mengecup ....""Bibirmu?" Sahut Mas Putra cepat."Bukan tapi k
Kami pun mengikuti Kartika masuk ke dalam rumah lalu membuka kamar Ibu. Terlihat Ibu terbaring dengan badan yang kurus kering sama dengan Kartika. Mendengar pintu di buka Ibu langsung bangun, menatapku tajam lalu bangkit dari ranjang menghampiri kami dengan dada yang naik turun. "Pembunuh! Kamu pembunuh cucuku!" Teriaknya menakutkan. Ternyata dia masih bisa mengenaliku. "Gara-gara kamu, aku tidak punya cucu! Kembalikan cucuku! Beri aku cucu!" Ibu mengambil gelas yang ada di atas meja."Rasakan ini pembunuh! Matilah kau!" Tiba-tiba Ibu mengayunkan gelas itu mengarah padaku. Untunglah Mas Putra buru-buru menarik tubuhku lalu menutup pintu kamar. Setelahnya terdengar suara gelas pecah yang dilempar ke pintu kemudian disusul teriakan Ibu yang melengking."Buka pintunya! Aku akan membunuh perempuan itu! Bukaaa!" "Tiara, sepertinya untuk saat ini kita tidak bisa berdamai dengan mantan mertuamu itu. Sangat berbahaya buat diri kamu.""Iya, Mas, aku juga takut. Kita pulang saja.""Maaf, Mb
Ditipu mertua dan suami Extra part 3Setelah meninggalkan penjara, kami pun menuju kontrakan Kartika, "Gimana nih kesan yang habis ketemu mantan?" ledeknya sambil menyetir."Biasa saja." "Yang bener? Kata orang, yang pertama itu tak terlupakan.""Yang pertama tapi kalau menyakitkan buat apa diingat ingat.""Sakit pertama aja tapi selanjutnya memabukkan, kan.""Ih, apa sih, Mas Putra, nggak nyambung. Hatiku, Mas, yang sakit. Ngeres aja pikirannya." "Ha ha ha ... sekarang mikir ngeres nggak masalah, kan sudah ada tempat pelampiasan."Tanganku sudah melayang bersiap memukul lengannya tapi dengan spontan dicekal Mas Putra lalu ditaruh di pahanya dengan tangan kanan masih pegang setir."Geser rada ke sini, Ra, dudukmu." "Mau ngapain? Fokus, Mas, lagi nyetir nanti nabrak lagi." "Sudah, sini, mo dapat pahala, nggak?" Aku pun akhirnya manut menggeser dudukku mendekat padanya, "Sudah, nih, terus suruh ngapain?""Elus-elus." Tanganku yang digenggamnya di pahanya di geser lebih ke kanan.N
Besoknya, akhirnya kita terbang ke Jakarta. Sampai di rumah Mas Fikri, ibu mertuaku menyambut dengan hangat. Lengkaplah kebahagiaanku. Akhirnya aku punya mertua idaman yang begitu menyayangiku tidak seperti mertuaku dulu. Mengingatnya seperti diiris iris lagi."Selamat datang di rumahmu yang baru, Tiara," sambut Ibu sambil memelukku."Kok rumahku, Bu? Ini rumah Ibu, kan?""Ini rumah Fikri. Hasil kerja keras Fikri jadi ini otomatis rumahmu. Ibu dan Tia hanya numpang di sini.""Ibu jangan begitu. Ini rumah putra Ibu, Ibu yang lebih berhak.""Nggak, Nduk. Kamu istri Fikri. Kamu yang lebih berhak.""Sudah, sudah, kenapa kalian jadi rebutan rumah. Kalau nggak ada yang mengakui biarin nanti diakui istri kedua saja.""Hus! Amit-amit! Jangan sampai kamu menduakan Tiara ya, Fikri. Awas saja, bakalan Ibu pecat jadi anak!""Bercanda, Bu, mana mungkin anak Ibu yang baik ini sanggup menyakiti perempuan yang dengan susah ngedapetinnya. Memperjuangkannya saja butuh waktu hampir 20 tahun.""Nah itu
"Bukan. Itu murni Rekayasa Allah, Ra. Nasib baik berpihak padaku. Aku selalu berdoa untuk didekatkan denganmu jika kamu jodohku dan jauhkan bila bukan jodohku. Dan ternyata Allah terus mendekatkan kita. Makanya aku terus berjuang untuk mendapatkan kamu, Ra, karena yakin kamulah jodohku." ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menatapku syahdu, terasa berdesir desir. "Tuh, kan, pegangan tangan begini aja nyetrum nih, Ra. Ada yang bangun," lirihnya sambil mengedipkan satu matanya."Nggak! Mati air!" teriakku."Dasar airnya nggak bisa diajak kompromi. Ya sudahlah, nggak usah pegang-pegang tangan. Ayo dilanjutin ceritamu!""Seminggu sekali setiap hari Sabtu Mas Fikri ke Yogya menemuiku. Walaupun sudah berkali kali kuusir tetap nekat, Mas. Dan setelah menceraikan Kartika dia berani beraninya melamarku. Membawa ibu dan saudara saudaranya. Ibunya sampai memohon mohon agar aku mau rujuk. Katanya hanya aku yang bisa memberinya cucu karena Kartika sudah tidak bisa memberinya cucu." "Kenapa?"
"Tiara! Kok keluar, sih. Ini shower gimana?""Halah, modus, kan, Mas Fikri? Mau minta nambah lagi, kan, di kamar mandi?" "Otakmu tuh yang ngeres. Beneran ini shower mati!""Ya sudah Mas Fikri pakai handuk dulu!""Iya, udah, istriku yang cantik. Buru sini!"Aku pun masuk ke kamar mandi lagi dengan siaga 1 takut diisengin Mas Fikri. Saat kunyalakan shower, ternyata benar shower mati. Tak keluar setetes air pun."Yah, mati air berarti ini, Mas. Tampungan pasti juga sudah habis buat nyuci piring acara resepsi tadi malam.""Terus gimana, Ra? Mana kudu mandi junub lagi. Butuh air banyak ini.""Di lantai bawah ada kamar mandi yang ada baknya kok, Mas. Kita mandi di sana, yuk. Semoga airnya masih penuh.""Udah pada bangun belum, ya, Ra? Malu tahu subuh-subuh mandi keramas. Ayo, Ra, temenin." "Punya urat malu juga, Mas?" ledekku yang dibalas Mas Fikri dengan mendorong kepalaku. Sambil membawa handuk, kami mengendap endap menuruni tangga takut ngebangunin yang lain. Dan aman, lantai bawah ma
"Oh iya, Ra, Adam mana? Dari ijab qobul tadi aku belum lihat Adam. Pasti sekarang dia sudah besar ya, sudah bisa jalan.""Ceritanya panjang, Mas. Adam ...." Mengingat Adam, airmataku luruh tak terbendung. Mas Fikri merengkuh tubuhku, "Sudah, sudah, kalau pertanyaanku hanya membuat kamu sedih begini tidak usah kamu ceritakan sekarang, Ra. Aku tidak ingin kebahagiaan kita hari ini rusak dengan kesedihanmu. Nanti saja ceritanya kalau kamu sudah siap, ya." Usapan Dokter Fikri di punggung akhirnya bisa meredakan kesedihanku, begitu nyaman dalam pelukan suami. Setelah mandi keramas, Dokter Fikri mengajakku sholat bersama. Bahagia sekali rasanya akhirnya aku punya seorang imam idaman hati. Tak henti mengucap syukur atas anugrahNya hari ini. Semoga ini adalah jodoh terakhirku sampai jannahMu ya Allah. "Gara-gara nafsu sampai lupa belum ngedoain istri, main seruduk aja ya, Ra. Sini kudoain dulu." Selesai sholat Dokter Fikri meraih kepalaku. Lalu seuntai doa ia lirihkan tepat di depan dah