Meskipun ini memang sudah kuduga dan merupakan hasil yang kuinginkan, tetap saja hatiku terasa sakit.Bayangan Billy terus berputar di benakku. Padahal kami baru saling kenal sebentar, tapi setiap ekspresi, setiap senyuman dan setiap gerakannya yang anggun selalu tergambar jelas dalam pikiranku.Aku sempat murung cukup lama, lalu sadar waktu sudah agak larut. Aku menguatkan diri, berkemas dan bergegas ke rumah sakit.Menghadapi Keluarga Tira akan menjadi pertarungan yang melelahkan. Aku tidak punya waktu untuk meratapi urusan perasaan. Biarlah waktu yang perlahan menghapus semuanya.Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Gaius dan Sari yang sudah lebih dulu dibebaskan. Aku tahu ini pasti berkat Steve.Sementara itu, kondisi Dewita memang separah yang mereka katakan.Dia dirawat di ruang ICU, dikelilingi berbagai alat medis. Tubuhnya terbaring lemah di antara selang-selang, dengan selang oksigen di hidungnya. Wajahnya pucat pasi dan tatapan matanya kosong.Saat melihatku masuk, dia per
Sebenarnya, Steve pasti sudah lama tahu siapa Dewita sebenarnya. Hanya saja, karena dia sudah membuat pilihan yang salah, dia tidak mau mengakui kesalahannya. Meskipun sadar telah keliru, dia tetap bersikeras demi menjaga harga dirinya.Namun sekarang, Dewita sendiri sudah blak-blakan mengakuinya. Dia bahkan tidak repot-repot berpura-pura lagi, yang artinya dia sendiri yang menampar wajah Steve. Mana mungkin Steve tidak merasa malu dan canggung?Dewita yang sakit parah sepertinya sudah tidak peduli dengan apapun lagi. Dia benar-benar menunjukkan sikap tidak tahu malunya seutuhnya.Dia mengulurkan tangannya dan berkata dengan nada arogan, "Cepat serahkan gelang itu, kamu sudah tanda tangan dan mendapat sahammu. Kamu mau mengingkarinya?"Aku menggenggam gelang itu erat, menatapnya dengan tatapan dingin, tanpa menjawab.Dewita menoleh ke arah Steve dan mulai merengek dengan suara lemah, "Kak Steve ... tolong ambilkan gelangnya untukku dan pakaikan di tanganku."Dia dengan susah payah meng
Dewita terlalu bersemangat, dia bahkan belum selesai bicara, sudah mulai batuk hebat.Mesin di samping ranjangnya berbunyi nyaring, menandakan adanya kejanggalan. Steve segera maju, menepuk punggungnya pelan untuk membantunya bernapas, "Dewita, tubuhmu lemah, jangan terlalu banyak bicara.""Nggak perlu pedulikan aku!" Dewita menepis tangan Steve, lalu menatapku dengan tatapan penuh kebencian dan tersenyum tipis, "Nora, kejahatan kamu dan ibumu sudah membuahkan karma. Lihatlah ibumu ... masih muda tapi ... "Belum selesai dia bicara, batuknya sudah semakin parah, seakan kehabisan napas.Steve tampak semakin muram, kembali mencoba menepuk punggungnya dengan hati-hati, "Dewita, aku bilang berhenti bicara, kesehatanmu lebih penting. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, masih belum cukup?"Nada suara Steve kali ini terdengar keras, penuh ketidaksabaran.Dewita terdiam sejenak, lalu menoleh menatapnya dengan kaget, "Kak Steve ... kamu ... kamu membentakku?"Steve berusaha mengendal
Dewita menangis dengan sedih, entah teringat sesuatu, tiba-tiba dia melepaskan genggaman Steve, lalu mencopot gelang di pergelangannya."Kak Steve, aku nggak akan berebut lagi dengannya, aku nggak mau merebut apapun lagi! Aku bahkan nggak mau gelang ini lagi! Aku hanya mau kamu, hanya mau kamu menemaniku ... "Belum selesai dia bicara, dia mengangkat gelang yang baru saja dilepas dan melemparkannya dengan keras ke arah kakiku.Semua orang terkejut melihat adegan ini!Ekspresiku langsung berubah, secara reflek aku membungkuk dan mengulurkan tangan untuk menangkapnya, tapi sudah terlambat.Gelang itu jatuh ke lantai dan berbunyi keras ... pecah berkeping-keping!"Dewita Tira!" teriak Steve dengan marah melihat kejadian itu.Aku tetap setengah berjongkok di sana, menatap pecahan batu giok di lantai, tubuhku seperti membeku.Dewita pun ikut terdiam, entah karena syok melihat gelang itu hancur atau karena ketakutan akibat teriakan Steve.Perlahan aku mengangkat kepala.Tatapanku tajam menus
Steve tetap diam, bahkan tidak melirik sedikit pun ke arah Dewita, seolah-olah semua ini tidak ada hubungan dengannya."Steve Joan! Kamu tuli?!" Dewita mulai kehilangan akal sehat. Dia meraih benda di atas nakas dan melemparkannya ke arah Steve."Dewita, Dewita ... jangan begini ... " Sari panik melihat putrinya sampai mencabut sendiri infus di tangannya. Dia buru-buru menenangkannya.Steve menghindar dua kali, akhirnya membuka suara.Nada suaranya tetap dingin dan datar, "Ambil saja sendiri kalau kamu mau. Aku masih ada urusan lain, pergi dulu."Harus kuakui, Steve memang punya keberanian dalam mengambil keputusan besar. Begitu sudah memutuskan, dia akan bertindak tegas, tanpa ragu dan tanpa belas kasihan.Sama seperti sebulan lalu ketika dia memilih meninggalkanku demi menikahi Dewita. Saat itu, dia bisa menahan segala tekanan dan tega bersikap kejam padaku.Sekarang, setelah melihat sifat asli Dewita, dia pun meninggalkannya tanpa menoleh, tak peduli hidup dan matinya.Akhirnya, Dew
Aku sangat percaya diri dalam pekerjaanku, tapi dalam mengelola karyawan? Itu bukan keahlianku. Beberapa waktu ini benar-benar sibuk dan penuh tekanan, rasanya seperti ada gunung yang menekan pundakku.Menjelang malam, saat aku bersiap-siap untuk pulang, tiba-tiba Wenny menelepon."Lagi di mana?"" nada suaranya santai dan ceria."Lagi lembur di kantor," jawabku lemas."Serius? Akhir pekan begini bukannya santai, malah kerja terus?""Aku harus mengandalkan diri sendiri sekarang, belum benar-benar mengokohkan posisi, mana berani bersantai?"Terlebih lagi beberapa teman baikku sudah berinvestasi di perusahaanku. Tekanan semakin besar, aku takut kalau mengelola dengan buruk, mereka malah rugi."Sudahlah, keluar sebentar, aku sudah aturkan acara untukmu, kamu pasti suka!""Maksudnya?""Nggak perlu banyak tanya, alamatnya sudah kukirim ke Whatsapp, cepat datang!"Wenny memang terkenal tegas. Setelah menutup telepon, dia langsung mengirimkan alamat padaku, lalu menambahkan pesan, [Cepat datan
Wenny tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia masih sibuk menjawab telepon dan berjalan keluar. Tak lama kemudian, dia kembali dengan seorang gadis muda yang cantik.Gadis itu mengenakan baju modelan seragam JK, tampak ceria dan enerjik. Wajahnya dihiasi riasan yang sempurna, benar-benar seperti barbie hidup.Awalnya, aku merasa bingung, bagaimana bisa Wenny mengenal gadis muda seperti ini? Penampilannya seperti anak SMA.Tapi setelah aku memperhatikan wajahnya lebih detail, aku terkejut!Bukankah dia gadis yang beberapa waktu lalu mengendarai Porsche sebagai sopir taksi online dan mengantarku pulang dari depan rumah sakit?"Nora, gadis imut ini bernama Dolyn Selina. Ingat kejadian di pernikahan itu yang sampai viral di sosial media? Aku bilang bakal cari orang yang buat bantu hapus, 'kan? Nah, kebetulan aku kenal Dolyn, dia punya koneksi dengan petinggi platform itu. Begitu dia turun tangan, masalah langsung kelar."Wenny mengenalkan kami sambil menarik Dolyn lebih dekat."Sebenarn
Tiba-tiba, sebuah spanduk terbentang di dinding belakangku.Aku menoleh dan dalam sekejap, rasanya ingin langsung menghilang dari muka bumi.Apa-apaan ini ... ada banyak wanita cantik di Kota Belian, tapi Nora Tira yang nomor satu!Dan lagi ... debut 26 tahun, tapi tetap awet muda bagaikan remaja!Kelihatannya sahabatku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang untuk hari ini.Wenny merekam video dengan ponselnya. Saat aku hendak melepas selempang yang mereka pasangkan, dia buru-buru mencegah, "Nggak boleh dicopot! Malam ini harus dipakai terus!"Citra dan Susan juga langsung menahan tanganku dari kiri dan kanan, tertawa terpingkal-pingkal."Di sini ada teman baru juga, jangan sampai kalian menakuti mereka," ujarku mengingatkan dengan baik hati.Dolyn melambaikan tangan sambil tetap merekam dengan ponselnya, dia tertawa terbahak-bahak, "Santai saja, Kak Nora. Ini seru sekali!"Aku kehabisan kata-kata.Sepertinya benar kalau orang yang mirip akan berkumpul. Gadis manis dengan wajah imu
Meskipun aku tidak menyukai mereka sekeluarga, bagaimanapun dia adalah orang yang lebih tua, demi kesopanan, aku tetap tersenyum dan menyapa, "Halo, tante.""Nora, jadi kamu benar-benar sudah bersama Pak Billy? Dia nggak tahu kamu itu janda? Statusmu ini jelas ... ""Ibu, bukan janda, dia bahkan belum resmi cerai dengan kakak! Kalau sekarang bersama Pak Billy, itu namanya selingkuh!"Ujar Stefi dengan wajah penuh penghinaan dan kemarahan, lalu menggerutu, "Ada apa sih dengan Pak Billy? Kok bisa tertarik dengannya? Selain cantik, apa lagi yang bisa dibanggakan?"Aku bahkan belum mengucapkan satu kata pun, tapi mereka sudah menempelkan label selingkuh padaku. Benar-benar tidak masuk akal.Aku tertawa sinis, "Stefi, otak itu hal yang bagus, sayangnya kamu nggak punya. Kalau kamu mau tahu siapa yang sebenarnya selingkuh, bagaimana kalau kita tanya orang-orang di sini?"Saat itu, peristiwa pernikahan konyol itu sudah jadi bahan tertawaan di seluruh kota. Semua orang tahu kalau Keluarga Joan
Namun, di hadapan Jeff saat ini, situasinya tidak memungkinkan. Aku hanya bisa mencari kesempatan lain.Melihat aku sangat canggung, Billy segera membantuku keluar dari situasi ini, "Ayo, para tamu hampir semua sudah datang, pesta bakalan segera dimulai."Aku mengikuti Billy memasuki aula pesta dan sekali lagi mendapat pemahaman baru tentang arti sebenarnya dari kekuasaan dan status sosial.Di dalam Vila Solene terdapat sebuah bangunan bergaya barat tiga lantai yang berdiri sendiri. Bangunan ini memiliki aula pesta besar, ruang konferensi multifungsi dan klub rekreasi. Banunan ini terpisah dari bangunan utama rumahnya, Sehingga dapat memberikan tingkat privasi yang sangat baik bagi pemiliknya.Dekorasi seluruh bangunan tampak sederhana, tetapi sangat berkelas. Bahkan hiasan yang terlihat sepele pun merupakan koleksi seni bernilai tinggi.Saat ini, aula pesta sudah penuh dengan tamu. Suasana meriah dengan obrolan santai dan tawa para tamu yang jelas berasal dari kalangan atas.Aku melih
"Bagaimana kamu menjelaskannya?""Bilang saja nggak ada apa-apa di antara kita. Aku nggak tidur denganmu, kamu juga nggak tidur denganku.""Kamu, seorang gadis menjelaskan hal seperti ini? Bukankah itu malah membuatku terlihat lebih tidak berani bertanggung jawab?""Aku ... " Aku hampir putus asa, malu bukan main dan bertanya, "Jadi harus bagaimana?"Saat kami sedang pusing memikirkan solusi, tiba-tiba terdengar suara seseorang, "Billy, kudengar kamu keluar khusus untuk menjemput tamu penting. Putri keluarga mana yang begitu kamu hormati?"Aku menoleh ke arah suara itu. Dari belakang Billy, seorang pria tinggi dan gagah melangkah mendekat. Aura karismatiknya terpancar jelas.Sebelum Billy berbalik, ekspresinya sudah semakin rumit."Datang juga orangnya," gumam Billy pelan.Mataku membelalak.Apa? Jadi dia ... Jeff Yosi?Aku tidak mengenalnya.Bagaimanapun, Keluarga Yosi dan Keluarga Solene berada di tingkat yang sama, sedangkan Keluarga Tira jelas berbeda kelas, kami tidak pernah berhu
"Nggak, nggak! Bukan ... " Aku buru-buru melambaikan tangan, melangkah lebih cepat ke depan, tapi tetap saja tak bisa menahan diri untuk melirik Billy beberapa kali.Dalam hati, aku berdoa semoga saja orang yang mengendarai Bentley malam itu bukan Jeff.Sayangnya, doaku tidak terkabul.Melihat ekspresiku yang aneh dan tampak ragu-ragu, setelah berpikir sejenak, Billy bertanya, "Kamu bertemu Jeff akhir-akhir ini?"Begitu mendengar pertanyaannya, aku langsung paham.Aaaa ... aku ingin lenyap saja dari dunia ini!"Jadi ... apa yang Pak Jeff bilang padamu?" tanyaku pasrah, memutuskan untuk menghadapinya secara langsung.Billy menyipitkan matanya sedikit, lalu menampilkan ekspresi yang sulit dijelaskan, seperti malu tapi juga geli."Maksudmu ... tentang pertengkaranmu dengan Steve? Kamu bilang sudah tidur denganku dan bukan hanya sekali?"Aku langsung tersandung dan hampir saja terjatuh."Hati-hati!" Untung saja Billy sigap menarik lenganku.Wajahku langsung panas membara, sekujur tubuhku t
Aku berputar beberapa kali di depan cermin dan merasa cukup puas dengan penampilanku.Tiba-tiba, ponselku berdering. Aku mengambilnya dan melihat nama Billy Solene di layar."Halo, Pak Billy.""Nora, sekitar sepuluh menit lagi, sopir bakal tiba di depan apartemenmu.""Iya, aku sudah siap juga, bakal turun sebentar lagi," jawabku dengan ringan, lalu menambahkan dengan sedikit sungkan, "Benar-benar merepotkanmu harus mengirim sopir untuk menjemputku.""Nggak masalah, jalanan di pegunungan kurang aman di malam hari. Karena aku yang mengundangmu, tentu aku juga harus memastikan keselamatanmu."Sikapnya selalu begitu penuh perhatian dan detail, seolah tak pernah meninggalkan celah.Setelah menutup telepon, aku memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu mengecek kembali apakah aku sudah membawa lipstik dan bedak. Setelah memastikan semuanya beres, aku pun berangkat.Di sepanjang perjalanan, perasaanku melambung, tegang sekaligus penuh ekspektasi,Saat ini, aku sudah melupakan semua keraguan yang s
Aku baru sadar, tidak heran Steve terlihat begitu lesu dan muram, wajahnya pun tampak pucat."Nora, tolong bantu Dewita. Semua kesalahan di masa lalu itu ulah kami, Aku minta maaf padamu, ya? Kumohon, kasihanilah dia, pergi ke rumah sakit dan bantu dia ... "Sari maju dan meraih tanganku dengan erat. Gerakannya yang tiba-tiba itu sampai membuat anjingku terkejut dan melompat mundur ke belakangku.Keningku semakin berkerut, aku menatap Sari sambil tertawa dingin dalam hati."Benar-benar langka, tak kusangka aku bisa mendengar permintaan maaf darimu dalam hidup ini," kataku dengan nada menyindir."Aku minta maaf padamu, Nora. Aku bakal turuti apapun yang kamu mau, asal kamu mau selamatkan Dewita. Bagaimanapun, dia itu adik kandungmu, dia itu manusia yang hidupnya berharga ... " ujar Sari mulai menangis, tampak benar-benar tidak rela kehilangan putrinya.Sebagai seorang ibu, dia memang terlihat sangat menyayangi anaknya. Dewita pun bisa dibilang beruntung dalam hal ini.Namun, pikiranku m
Tak disangka, ternyata Billy juga mengetahuinya.Hal ini membuat suasana jadi agak canggung, terutama karena aku berbohong pada Billy, mengatakan bahwa aku sudah tidur dengan pria di hadapanku ini, bahkan berkali-kali. Memikirkan itu saja sudah membuat lidahku nyaris kelu."Ehm ... dia nggak mau cerai denganku, jadi aku hanya bisa mengajukan gugatan ke pengadilan. Sidangnya akan digelar tanggal 6 bulan depan," ujarku menjelaskan, merasa sedikit bersalah dan tidak berani menatap Billy."Tanggal 6 bulan depan? Masih ada setengah bulan.""Iya, ini sudah sesuai jadwal dari pengadilan, jadi nggak ada pilihan lain.""Iya, nggak perlu terburu-buru," ujarnya menenangkanku, lalu menambahkan, "Tapi dalam kasus gugatan cerai, biasanya sidang pertama itu mediasi, jadi kemungkinan besar nggak akan langsung dikabulkan. Biasanya harus menunggu enam bulan untuk mengajukan gugatan kedua, barulah hakin cenderung mengabulkan perceraian.""Iya, pengacaraku juga sudah mengatakan hal yang sama. Aku harus be
Aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan diriku sendiri, hanya benar-benar malu sampai tidak bisa mengangkat kepala di depannya.Billy melihat betapa malunya aku, seolah ingin mencari lubang untuk bersembunyi. Dengan sangat sopan, dia menghiburku, "Sesekali bersenang-senang dengan teman-teman itu hal yang baik. Bisa melepaskan rasa penat dan stres di hati. Lagipula, soal kejadian malam itu, selain aku, nggak ada orang lain yang tahu. Jadi tenang saja, aku akan merahasiakannya."Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan nada bercanda dan di matanya seperti ada sedikit ... keakraban yang samar.Aku menatapnya dengan ekspresi canggung dan membeku.Beberapa saat kemudian, rasa canggung itu semakin menjadi-jadi, pipiku terasa panas seperti terbakar.Jantungku kembali berdebar kencang dan pikiranku mulai berkelana ke arah yang tidak seharusnya.Insting wanita membertahuku bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam hubungan kami, benar-benar tidak biasa.Tapi, aku tidak bisa
Wajahku terasa semakin panas.Orang mabuk muntah itu menjijikkan, baunya juga tidak enak.Dan dia, seorang pria kaya raya yang terbiasa hidup bersih dan elegan, malah harus mengurus aku yang muntah-muntah?!Tidak heran saat aku bangun keesokan paginya, tempat sampah sudah bersih.Ternyata dia yang membersihkannya malam itu."Aku baru sadar saat sampai di rumah, tapi ... aku nggak berani meneleponmu. Hari ini malah merepotkanmu, kamu sampai repot-repot mengantarnya ke sini," katanya santai, sepertinya tidak sadar betapa malunya aku saat ini.Kata-kata itu seolah menggelitik saraf kecanggunganku. Aku menatapnya dengan bingung dan bertanya polos, "Kamu ... nggak berani meneleponku?"Billy tersenyum, matanya seakan bersinar dan wajahnya terlihat agak malu."Iya, aku takut kalau kamu melihat jam tangan itu, kamu bakal mengira aku sengaja meninggalkannya sebagai alasan untuk menghubungimu lagi. Sebelumnya, sepertinya ada kesalahpahaman antara kita, hubungan kita juga jadi agak renggang, jadi