Setelah table reading dan diskusi lainnya selesai, Hana dan timnya kembali ke kantor agensi. Kali ini, ia memilih ikut mobil timnya. Perjalanan mereka berlangsung tanpa banyak percakapan, semua tampak sibuk dengan pikiran masing-masing.
Namun, begitu mereka tiba di kantor, suasana terasa berbeda.Hana segera menyadari ada yang aneh. Tatapan orang-orang di lobi seperti melucuti dirinya. Mereka memandangnya dengan mata penuh tanya, bisikan-bisikan halus terdengar, dan beberapa bahkan menunduk untuk melihat layar ponsel mereka setelah menatap Hana."Kenapa mereka menatapku seperti itu?" pikir Hana sambil mempercepat langkahnya. Tapi ia berusaha meyakinkan diri bahwa mungkin itu hanya perasaannya saja.Begitu sampai di meja timnya, keanehan itu semakin terasa. Dina baru saja duduk ketika notifikasi grup obrolan di ponselnya berbunyi bertubi-tubi. Ekspresi Dina berubah serius saat membaca isi pesan-pesan itu."Ada apa?" tanya Rocky, penasaran.Malam tiba dengan udara dingin yang membelai kulit. Hana bersiap meninggalkan kantor, tetapi timnya tampak ragu melepaskannya begitu saja.“Kau benar-benar akan datang, 'kan?” tanya Dina dengan nada setengah mengancam.“Tentu saja aku akan datang!” jawab Hana sambil tersenyum, meski dalam hatinya ia dilanda kegelisahan.“Jangan cuma janji.” tambah Rocky, melipat tangannya di dada.“Bener kok aku akan datang,” kata Hana meyakinkan. “Tunggu saja aku di sana.”Dengan langkah cepat, ia bergegas menuju parkiran basement. Di sana, Rey sudah menunggu di mobilnya, duduk di kursi pengemudi dengan sikap tenang namun berwibawa. Hana setengah berlari dan masuk ke mobil, mengatur napasnya yang terengah-engah.“Kau membiarkan atasanmu menunggu,” kata Rey, suaranya datar tapi tajam menusuk telinga Hana.“Maaf, Tuan,” jawab Hana cepat. “Aku benar-benar ada urusan sedikit dengan tim kita.”Rey tidak membalas. Ia hanya mengarahka
Felix tersenyum tipis, tapi di balik senyumnya itu tampak jelas ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan melipat tangannya di depan dada.“Nona Hana, secara teknis itu sangat mungkin dilakukan. Namun, proses penarikan investasi dari perusahaan sebesar Anderson Group tidak semudah membalikkan telapak tangan.”Hana mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya tajam. “Apa kendalanya?”Felix mengangguk pelan, seperti sudah menduga pertanyaan itu. “Pertama, dana yang diinvestasikan dalam proyek mereka cukup besar dan sudah dialokasikan ke dalam beberapa sektor, termasuk produksi dan marketing. Jika kita menarik dana itu sekarang, ada risiko konflik kontrak dan penalti besar yang harus kita bayarkan.”Hana menggigit bibirnya, matanya menatap kosong ke arah gelas anggur yang ada di depannya. “Penalti besar seperti apa?”“Sesuai perjanjian awal, jika kita menarik dana sebelum masa kontrak berakhir, kita harus me
Rey duduk santai di kursinya, menghabiskan sisa anggurnya perlahan. Namun, seiring waktu berlalu, kesabarannya mulai menipis. Ini sudah terlalu lama hanya untuk mengambil sebuah tas.Matanya melirik ke arah belakang, ke area tempat toilet berada. Namun, Hana tak kunjung keluar. Keheningan mulai terasa aneh.Dengan satu tarikan napas, Rey merogoh ponselnya, berniat menghubungi Hana. Namun, sebelum sempat mengetikkan namanya, sebuah notifikasi muncul di layar.Sebuah unggahan dari akun sosial media Rocky.Alisnya sedikit berkerut saat membukanya. Dalam foto itu, Rocky terlihat bersama teman-temannya, duduk santai di sebuah bar. Dan di antara mereka, ada Hana, masih dengan pakaian yang sama persis seperti yang ia kenakan malam ini.Tatapan Rey menggelap saat membaca caption di bawah foto:"Mari bersenang-senang, lupakan pekerjaan semalam saja!"Sebuah senyum kecil terangkat di sudut bibirnya. Namun, itu bukan senyum yang ha
Rocky dan kawan-kawan melihat kepergian Rey seolah nyawa mereka juga ikut terbang meninggalkan raga."Kalau aku jadi Hana, besok aku langsung resign, nggak pakai mikir!" ujar Dina dengan ekspresi syok."Nyalinya besar dia ..." Steve menatap kosong, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."Taruhan, besok dia masih ada di kantor atau nggak?" sahut Chriss dengan antusias."Kayaknya dia tetap masuk, tapi Tuan Rey bakal ngasih kerjaan banyak ke dia." Rocky ikut menimpali, mencoba menebak kemungkinan terburuk.Namun, yang lain lebih pesimis. Mereka yakin Hana tidak akan ada di kantor besok. Entah diskors, dipecat, atau bahkan langsung dimutasi ke cabang lain yang jauh.Sementara itu, di luar bar, Hana malah berjongkok di trotoar. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Perutnya terasa bergejolak, dan akhirnya, ia tak bisa menahannya lagi, mualnya memuncak, membuatnya mengeluarkan isi perut di drainase pingg
Hana menatap Rey yang berada di atasnya, tetapi dalam pikirannya yang sudah kacau karena alkohol, ia mengira ini hanya mimpi.Alih-alih panik atau terkejut, ia justru tersenyum samar, lalu dengan tangan yang masih lemas, ia meraih dasi Rey dan menariknya perlahan. Rey sempat membelalak, tapi tak segera bergerak. Jarak di antara mereka semakin mengecil, hingga ia bisa merasakan napas hangat Hana menyentuh kulitnya.Hana memainkan ujung dasi itu dengan jemarinya, melonggarkan ikatan dasi di leher Rey sebelum terkekeh."Santailah, Tuan ...," bisiknya dengan suara bergetar. "Ups, maksudku ... Rey. Kau bilang kita harus santai saat berdua, kan?"Rey diam, tatapannya mengunci ke wajah wanita di depannya ini. Bibir Hana yang lembap masih bergerak, terus meracau dalam gumaman yang nyaris seperti bisikan.Setiap ekspresi yang Hana tunjukkan sekarang terasa begitu jujur. Tawanya, caranya berbicara, semua tanpa filter. Menampilkan sisi lai
Hana berdiri terpaku di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri dengan ekspresi campur aduk, kaget, panik, dan frustasi.Bajunya masih sama seperti semalam, kusut dan berantakan. Bahkan kancing atasnya terbuka lebar."Astaga!"Tangannya refleks menutup bagian depan bajunya sambil menggigit bibir. Ia benar-benar tidak bisa mengingat apa pun yang terjadi semalam. Dan sekarang, ia harus segera berangkat kerja, tapi ...Ia tidak membawa baju ganti!Hana mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Kalau dia datang ke kantor dengan pakaian ini, teman-temannya pasti langsung curiga!"Mampus aku ..." gumamnya pelan.Tidak ada pilihan lain. Mau tak mau, ia harus meminta izin terlambat pada Rey.Hana melirik ke arah ruang ganti, menunggu Rey selesai berganti pakaian. Tangannya sibuk menyisir rambutnya dengan gelisah, berharap setidaknya wajahnya tidak terlihat seperti orang yang baru mengalami kejadian ... men
Rey sudah duduk di dalam mobilnya, baru saja berhenti di depan lobi apartemen. Tangannya terangkat untuk melihat jam. Tepat sepuluh menit.Dari kaca depan, ia melihat Hana berlari kecil mendekat dengan napas terengah-engah, wajah polos tanpa riasan. Begitu masuk ke dalam mobil, Hana langsung bersandar lega, tangannya menekan dadanya, masih berusaha menstabilkan napasnya yang tersengal.Rey menoleh dan menatapnya diam-diam. Lalu tanpa peringatan, tubuhnya condong lebih dekat, wajahnya mendekati wajah Hana.Hana terkesiap, punggungnya otomatis menegang."T-Tuan...," rintihnya lirih, tangannya meremas jok mobil dengan gugup.Jarak di antara mereka semakin menipis. Hana bahkan bisa merasakan hembusan napas Rey begitu dekat. Jantungnya berpacu liar, pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan.Namun, alih-alih melakukan sesuatu seperti yang Hana pikirkan, Rey hanya mengulurkan tangannya untuk ... memakaikan sabuk pengaman.
Lift pun berhenti di lantai demi lantai, mengurangi jumlah orang di dalamnya. Perlahan suasana menjadi lebih lenggang, memberi ruang untuk bergerak.Rey tentu saja langsung menarik diri dari Hana begitu ada celah. Ia kembali berdiri tegak di sampingnya dengan sikap santai, seolah tidak pernah terjadi apa pun.Sementara itu, Hana menundukkan kepala. Wajahnya terasa panas, bahkan telinganya pun ikut memerah. Ia masih bisa merasakan hawa tubuh Rey begitu dekat tadi.Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan jari-jarinya tanpa sadar memilin ujung blouse-nya, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan saat gugup.Rey, di sisi lain, tampak menikmati ekspresi canggung yang ditunjukkan Hana. Bahkan, senyum tipis masih tersungging di bibirnya, meski samar.Ketika akhirnya lift sampai di lantai yang dituju, mereka berdua keluar tanpa kata. Rey berjalan lebih dulu, langkahnya tegap dan penuh percaya diri, meninggalkan Hana yang masih berusaha menenangkan d
Sejak wawancara itu tayang, drama Stolen Heart semakin populer. Rating acara bincang-bincang tempat Hana hadir sebagai bintang tamu utama pun melesat tinggi. Komentar-komentar positif membanjiri media sosial, membahas betapa jujur dan menyentuhnya kata-kata Hana saat menjelaskan inspirasinya dalam menulis naskah drama tersebut.Banyak yang merasa terhubung dengan kisah itu, terutama mereka yang pernah merasakan sakitnya diselingkuhi. Bahkan, beberapa artikel mulai membahas betapa kuatnya sosok Hana sebagai penulis wanita yang bisa menyampaikan perasaan perempuan dengan begitu nyata.Di tengah kesibukan dan euforia itu, Hana tetap menjalani rutinitasnya seperti biasa. Beberapa kali ia menyempatkan diri menjenguk Tuan Noh di rumah sakit, memastikan kondisi kakek Rey tetap stabil. Pria tua itu selalu tersenyum setiap kali melihatnya datang, meski tubuhnya tampak semakin ringkih.Hingga akhirnya, undangan itu datang.Sebuah perayaan kecil di mansion Rey untuk merayakan kesuksesan drama.H
"Aku percaya bahwa cerita yang paling bisa menyentuh hati adalah yang berakar dari kenyataan," kata Hana. "Banyak dari kita yang pernah merasakan patah hati, dikhianati, atau ditinggalkan. Diselingkuhi itu menyakitkan, dan aku yakin ada banyak orang di luar sana yang mengalami hal serupa." Suasana di studio perlahan berubah menjadi lebih hening. Para pemain dan MC yang awalnya santai, kini mulai serius mendengarkan. "Tapi aku juga percaya bahwa di luar sana, masih ada cinta sejati untuk kita," lanjut Hana dengan nada penuh harapan. "Hanya saja, mungkin kita belum menemukannya. Lewat Stolen Heart, aku ingin menyampaikan sesuatu yang menurutku menjadi keinginan setiap wanita, untuk dihargai, dicintai, disayangi, ingin menjadi satu-satunya, dan yang terpenting… ingin bahagia." Beberapa penonton terlihat mengangguk pelan, seakan memahami betul perasaan yang Hana ungkapkan. Bahkan salah satu aktris utama dalam drama itu tampak berkaca-kaca, seolah-olah teringat pada pengalaman pribadi
Satu minggu berlalu dengan cepat. Drama "Stolen Heart" terus menjadi topik hangat di berbagai media. Penonton menyukainya, dan banyak kritik positif berdatangan, memuji alur cerita yang menarik serta karakter-karakter yang terasa hidup. Hana, sebagai penulis utama, tentu saja ikut terkena sorotan.Hari ini, ia bersiap menghadiri acara bincang-bincang televisi yang mengundang para pemain dan kru drama. Sebagai penulis, ia memiliki peran penting dalam acara ini, menceritakan proses kreatifnya, tantangan selama produksi, serta inspirasinya dalam menulis naskah yang kini tengah digandrungi banyak orang.Di ruang tunggu, Hana duduk di sofa panjang, sementara Dina dan beberapa rekan dari tim produksi menemaninya. Ruangan itu cukup nyaman, dengan meja penuh camilan ringan dan botol air mineral yang tertata rapi."Aku masih nggak percaya drama ini sukses besar," ujar Dina sambil tersenyum bangga. "Kita benar-benar kerja keras, dan hasilnya luar biasa!"Hana tersenyum kecil, merapikan rambutny
Hana menatap layar laptopnya dengan kosong. Jarum jam di meja kerjanya menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi otaknya masih terasa berat untuk bekerja. Aroma kopi yang mengepul dari cangkirnya pun tak mampu mengusir kepenatan yang menggelayut di pikirannya.Di luar jendela kantor, gedung-gedung tinggi berjajar rapi, langit sedikit mendung, pertanda akan hujan siang nanti. Kantor produksi tempatnya bekerja sebagai penulis skrip terasa lebih sibuk dari biasanya. Beberapa rekannya berlalu-lalang membawa dokumen, ada juga yang sedang berdiskusi seru di area lounge kecil.Namun, Hana hanya bisa terduduk diam di meja kerjanya, merasa hampa.Pikirannya masih melayang ke kejadian di hotel beberapa hari lalu, tatapan Rey yang penuh luka saat ia mengembalikan cincin itu. Wajah pria itu terus menghantui benaknya, membuat hatinya terasa seperti diremas."Hana, naskah episode tambahan sudah selesai?"Suara Dina, seperti biasa menyadarkannya tiba-tiba. Hana langsung tersadar dan tersenyum kecil. "Ah
Juna melirik sekilas ke samping, di mana Veronica duduk dengan anggun di kursi penumpang. Gadis itu tampak tenang, menatap lurus ke depan dengan bibir sedikit mengerucut. Setelah keluar dari rumah sakit dan meninggalkan Rey bersama Hana, suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diisi oleh suara mesin yang menderu pelan.Juna sendiri bukan tipe orang yang suka memulai percakapan. Tapi ada sesuatu tentang Veronica yang membuatnya penasaran. Selama ini ia tak terlalu memperhatikan perempuan itu, tapi melihat bagaimana interaksi mereka dengan Rey dan Hana tadi, dia bisa menyimpulkan satu hal: Veronica dan dia sama-sama orang yang ‘terbuang.’"Kamu diam aja," ujar Veronica tiba-tiba, memecah keheningan. "Biasanya cowok yang mengantar seorang cewek akan mencoba berbasa-basi."Juna meliriknya sekilas. "Aku bukan tipe cowok kayak gitu."Veronica tertawa kecil, nada suaranya mengandung sedikit sarkasme. "Ya, aku bisa menebaknya. Dingin, sedikit kaku... mungkin juga egois?""Aku lebih suka m
Setelah selesai menjenguk Tuan Noh, Hana merapikan tasnya dan bersiap untuk pulang bersama ibunya. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Rey berdiri di hadapannya, menghentikan langkah Juna yang tadinya berniat mengantar mereka.“Biar aku saja yang mengantarmu pulang,” ujar Rey dengan nada tegas. Dirinya menghadap Hana, namun tatapannya mengarah langsung pada Juna, memastikan bahwa pria itu tidak punya ruang untuk menolak.Hana melirik Rey, malas berdebat. Sudah cukup semua ketegangan hari ini, dan ia tidak ingin memperpanjang drama. “Terserah,” gumamnya pelan, lalu merangkul lengan Bu Lauren.Juna menaikkan satu alisnya, menatap Rey dengan ekspresi datar. "Lalu, bagaimana dengan Nona Veronica?" tanyanya santai, meski ada sedikit ketegangan dalam suaranya.Rey menoleh sekilas ke arah Veronica yang berdiri di belakang mereka. “Dia bisa kau antar. Rumahnya searah dengan tempat tinggalmu”Juna melipat tangan di dadanya, menimbang sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada acu
Hana duduk di bangku taman rumah sakit, bahunya bergetar halus menahan isakan. Ia menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya, tapi air mata tetap jatuh tanpa bisa dihentikan.Seharusnya ia tidak merasa sesakit ini. Seharusnya ia kuat.Tapi nyatanya, dadanya terasa sesak.Ia sudah berusaha mempercayai Rey. Berusaha membuka hatinya untuk pria itu, meski bekas luka yang Juna tinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Namun, baru saja ia mulai melangkah maju, dunia seolah mengingatkannya bahwa ia bisa dikecewakan lagi.'Kenapa sih, aku harus selalu merasa seperti ini?'Ia menarik napas panjang, tapi justru semakin terasa berat. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, gemetar. Ia trauma. Ia takut.Dan yang lebih menyakitkan, justru Juna yang sekarang duduk di sampingnya.Bukan Rey.Juna menatap Hana dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bersalah, ada kepedihan, ada keinginan besar untuk menarik gadis itu ke dalam pelukannya, tapi ia tahu ia tidak berhak.Pelan-pelan, ia berlutut di hadapan Hana,
Pagi itu, suara notifikasi ponsel membangunkan Hana dari tidurnya. Dengan mata masih setengah terpejam, ia meraih ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat pesan yang masuk.[Pagi, Hana. Kamu udah ke rumah sakit? Kalau belum, aku bisa antar. Jangan sungkan. Sungguh, biarkan aku menebus kesalahanku di masa lalu.]Hana menatap layar ponselnya beberapa detik, jari-jarinya ragu untuk mengetik balasan. Ia menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur, mengusap rambutnya ke belakang sambil merenungkan kata-kata dari Juna.Juna kini terlihat benar-benar berusaha berubah. Sejak kemarin, sikapnya terasa berbeda. Lebih tulus, lebih dewasa. Tapi… apakah itu cukup untuk menghapus semua yang telah terjadi di antara mereka?"Huft, ya sudah… apa boleh buat," gumam Hana pelan.Akhirnya, ia mengetik balasan. [Baiklah, terima kasih. Aku setuju.]Tak butuh waktu lama, Juna membalas. [Aku akan menjemputmu dalam 30 menit.]Hana meletakkan ponselnya, lalu bangkit dar
Rey melangkah cepat mendekati Veronica, napasnya sedikit memburu karena ia hampir setengah berlari sejak keluar dari mobil. Ruang tunggu rumah sakit terasa dingin dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah perawat yang berlalu-lalang serta desahan napas cemas dari para keluarga pasien lainnya."Veronica!" panggilnya dengan nada mendesak.Wanita itu menoleh, wajahnya sedikit pucat, entah karena cemas atau kelelahan. Ia segera berdiri dari kursinya, menatap Rey dengan sorot mata yang sulit ditebak, ada kecemasan, ada rasa bersalah, dan mungkin sedikit kelegaan karena Rey akhirnya datang."Apa yang terjadi?" tanya Rey tanpa basa-basi.Veronica menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku hendak berkunjung ke rumah kakek, hanya ingin mengobrol santai sambil menikmati kue kesukaannya. Kami berbicara cukup lama, lalu kakekmu pamit ke toilet," jelasnya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi setelah hampir tiga puluh menit, dia tak juga kembali. Aku mulai merasa ada yang tidak beres, jadi