Rocky dan kawan-kawan melihat kepergian Rey seolah nyawa mereka juga ikut terbang meninggalkan raga.
"Kalau aku jadi Hana, besok aku langsung resign, nggak pakai mikir!" ujar Dina dengan ekspresi syok."Nyalinya besar dia ..." Steve menatap kosong, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi."Taruhan, besok dia masih ada di kantor atau nggak?" sahut Chriss dengan antusias."Kayaknya dia tetap masuk, tapi Tuan Rey bakal ngasih kerjaan banyak ke dia." Rocky ikut menimpali, mencoba menebak kemungkinan terburuk.Namun, yang lain lebih pesimis. Mereka yakin Hana tidak akan ada di kantor besok. Entah diskors, dipecat, atau bahkan langsung dimutasi ke cabang lain yang jauh.Sementara itu, di luar bar, Hana malah berjongkok di trotoar. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Perutnya terasa bergejolak, dan akhirnya, ia tak bisa menahannya lagi, mualnya memuncak, membuatnya mengeluarkan isi perut di drainase pinggHana menatap Rey yang berada di atasnya, tetapi dalam pikirannya yang sudah kacau karena alkohol, ia mengira ini hanya mimpi.Alih-alih panik atau terkejut, ia justru tersenyum samar, lalu dengan tangan yang masih lemas, ia meraih dasi Rey dan menariknya perlahan. Rey sempat membelalak, tapi tak segera bergerak. Jarak di antara mereka semakin mengecil, hingga ia bisa merasakan napas hangat Hana menyentuh kulitnya.Hana memainkan ujung dasi itu dengan jemarinya, melonggarkan ikatan dasi di leher Rey sebelum terkekeh."Santailah, Tuan ...," bisiknya dengan suara bergetar. "Ups, maksudku ... Rey. Kau bilang kita harus santai saat berdua, kan?"Rey diam, tatapannya mengunci ke wajah wanita di depannya ini. Bibir Hana yang lembap masih bergerak, terus meracau dalam gumaman yang nyaris seperti bisikan.Setiap ekspresi yang Hana tunjukkan sekarang terasa begitu jujur. Tawanya, caranya berbicara, semua tanpa filter. Menampilkan sisi lai
Hana berdiri terpaku di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri dengan ekspresi campur aduk, kaget, panik, dan frustasi.Bajunya masih sama seperti semalam, kusut dan berantakan. Bahkan kancing atasnya terbuka lebar."Astaga!"Tangannya refleks menutup bagian depan bajunya sambil menggigit bibir. Ia benar-benar tidak bisa mengingat apa pun yang terjadi semalam. Dan sekarang, ia harus segera berangkat kerja, tapi ...Ia tidak membawa baju ganti!Hana mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Kalau dia datang ke kantor dengan pakaian ini, teman-temannya pasti langsung curiga!"Mampus aku ..." gumamnya pelan.Tidak ada pilihan lain. Mau tak mau, ia harus meminta izin terlambat pada Rey.Hana melirik ke arah ruang ganti, menunggu Rey selesai berganti pakaian. Tangannya sibuk menyisir rambutnya dengan gelisah, berharap setidaknya wajahnya tidak terlihat seperti orang yang baru mengalami kejadian ... men
Rey sudah duduk di dalam mobilnya, baru saja berhenti di depan lobi apartemen. Tangannya terangkat untuk melihat jam. Tepat sepuluh menit.Dari kaca depan, ia melihat Hana berlari kecil mendekat dengan napas terengah-engah, wajah polos tanpa riasan. Begitu masuk ke dalam mobil, Hana langsung bersandar lega, tangannya menekan dadanya, masih berusaha menstabilkan napasnya yang tersengal.Rey menoleh dan menatapnya diam-diam. Lalu tanpa peringatan, tubuhnya condong lebih dekat, wajahnya mendekati wajah Hana.Hana terkesiap, punggungnya otomatis menegang."T-Tuan...," rintihnya lirih, tangannya meremas jok mobil dengan gugup.Jarak di antara mereka semakin menipis. Hana bahkan bisa merasakan hembusan napas Rey begitu dekat. Jantungnya berpacu liar, pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan.Namun, alih-alih melakukan sesuatu seperti yang Hana pikirkan, Rey hanya mengulurkan tangannya untuk ... memakaikan sabuk pengaman.
Lift pun berhenti di lantai demi lantai, mengurangi jumlah orang di dalamnya. Perlahan suasana menjadi lebih lenggang, memberi ruang untuk bergerak.Rey tentu saja langsung menarik diri dari Hana begitu ada celah. Ia kembali berdiri tegak di sampingnya dengan sikap santai, seolah tidak pernah terjadi apa pun.Sementara itu, Hana menundukkan kepala. Wajahnya terasa panas, bahkan telinganya pun ikut memerah. Ia masih bisa merasakan hawa tubuh Rey begitu dekat tadi.Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan jari-jarinya tanpa sadar memilin ujung blouse-nya, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan saat gugup.Rey, di sisi lain, tampak menikmati ekspresi canggung yang ditunjukkan Hana. Bahkan, senyum tipis masih tersungging di bibirnya, meski samar.Ketika akhirnya lift sampai di lantai yang dituju, mereka berdua keluar tanpa kata. Rey berjalan lebih dulu, langkahnya tegap dan penuh percaya diri, meninggalkan Hana yang masih berusaha menenangkan d
Setibanya di lokasi syuting, Hana langsung mencari rekan-rekan satu timnya. Area itu sudah dipenuhi oleh kru produksi yang sibuk mempersiapkan peralatan dan memastikan semua berjalan lancar. Beberapa anggota tim agensi tengah mengurus artis mereka, ada yang membantu wardrobe, memastikan kostum para pemeran sesuai dengan karakter mereka, ada pula yang bertanggung jawab dalam makeup dan hairstyling, membuat para aktor dan aktris tampak sempurna di depan kamera. Yang lain sibuk berkoordinasi dengan sutradara dan manajer produksi, mengatur jadwal syuting, serta memastikan kebutuhan para artis terpenuhi. Hana, sebagai penulis, memiliki tugasnya sendiri. Ia berdiri di dekat monitor, memperhatikan bagaimana adegan demi adegan diambil, memastikan dialog yang diucapkan para pemeran sesuai dengan naskah yang telah ia susun. Ia juga mengamati latar belakang, set dekorasi, dan properti yang disorot kamera, semua harus sesuai dengan kon
Dara berjalan keluar dari toilet dengan langkah cepat, napasnya memburu menahan amarah yang bergolak di dadanya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, jari-jarinya gemetar akibat emosi yang nyaris tak bisa ia kendalikan. Hana. Perempuan itu benar-benar berani menantangnya! Dengan wajah kesal, pandangan Dara menyapu lokasi syuting, mencari sosok yang bisa melampiaskan emosinya. Matanya dengan cepat menangkap keberadaan Juna yang masih berdiri di tempat yang sama, bersandar santai pada pagar pembatas area syuting. Namun, yang membuat darah Dara semakin mendidih adalah arah tatapan Juna, pria itu sedang memperhatikan Hana dari kejauhan. Hana, yang berjalan di antara kru dan tim produksi, tampak tidak peduli dengan keberadaan mereka berdua. Ia sibuk berbicara dengan rekan-rekannya, fokus pada pekerjaannya, seolah Juna bukan siapa-siapa lagi baginya. Dada Dara naik turun dengan cepat. Napasnya tersengal menah
Break syuting akhirnya tiba. Kru dan para pemain berbondong-bondong menuju meja tempat makanan kotak dibagikan. Suasana sedikit riuh dengan suara mereka yang bercengkerama, membahas adegan yang baru saja mereka lakukan atau sekadar mengeluhkan betapa panasnya cuaca hari ini. Hana ikut mengambil jatahnya. Begitu membuka kotak, ia melihat deretan sushi tertata rapi di dalamnya. Alisnya mengernyit sejenak sebelum beralih ke pilihan lainnya, bulgogi. "Ah, ini sushi. Aku tak suka," gumamnya, lalu segera mengganti pilihannya dengan bulgogi. Ia pun beranjak pergi menuju meja tempat teman-temannya duduk, tanpa sadar bahwa seseorang berdiri tak jauh darinya. Juna. Pria itu juga baru saja mengambil makan siangnya, tanpa sengaja berdiri di samping Hana saat memilih. Tatapannya mengikuti sosok wanita itu yang pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Ia menurunkan pandangan ke kotak sushi di tangannya, m
'Hubungan?' batin Hana, seketika pipinya merona lebih merah. Ia mengingat bagaimana ia bisa berakhir di apartemen Rey kemarin. Kenangan samar itu membuat jantungnya berdebar lebih kencang.Mata Hana melebar, refleks berbalik menghadap Rey. "Rey …, maafkan aku …, yang kemarin itu aku dalam pengaruh alkohol! A-aku akan tetap mematuhi peraturan kontrak hubungan palsu ini…, t-tapi…"Hana sebentar menunduk, menggigit bibirnya. Dengan suara nyaris berbisik, ia melanjutkan, "Apa kau … memakai pengaman?"Wajahnya memanas seketika. Ia bahkan terpejam mengatakannya, matanya mengerut lebih rapat karena menahan malu, sementara jemarinya memilin ujung blouse-nya tanpa sadar.Rey berdecih kecil. Kedua sudut bibirnya sedikit tertarik, matanya menyipit penuh godaan. Bahunya bahkan sedikit bergetar menahan tawa.Dengan langkah tenang, Rey mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Hana. Suaranya terdengar rendah dan berbahay
Veronica masih mempertahankan senyumannya, tetapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan kilatan emosi yang terselip di sana.Ia menarik kembali tangannya dengan anggun, lalu melirik sekilas ke arah Rey yang sejak tadi diam, hanya mengamati interaksi mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak.Hana tetap tenang. Ia sudah terlalu sering berhadapan dengan orang-orang seperti Veronica, wanita yang merasa lebih unggul, namun sekaligus terancam.Tetapi kali ini, ia tidak akan mundur atau merasa kecil hati. Ia menegakkan bahunya dengan percaya diri, menunjukkan bahwa ia bukan wanita yang bisa digertak hanya dengan kata-kata manis berbalut ancaman halus.“Baguslah.” Veronica tersenyum tipis, lalu sedikit mendekat, menatap Hana dari dekat. “Aku hanya ingin memastikan kita memiliki pemahaman yang sama, Miss Hana.”Hana tak bergeming, malah balas menatap dengan tatapan yang lebih dalam. “Aku juga ingin memastikan hal yang sama, Miss Veronica.”
Hana menarik napas perlahan, mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang entah kenapa berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia menatap sampagne di tangannya, lalu meneguk sedikit sebelum menoleh pada Rey."Yah, boleh juga ... Aku butuh udara segar," jawabnya dengan suara yang dibuat setenang mungkin, meski dalam hatinya ada sedikit keraguan tentang maksud Rey mengajaknya keluar.Rey tidak segera menanggapinya dengan kata-kata, hanya tersenyum tipis sebelum berdiri dari duduknya, tubuhnya tegap seperti biasa. Dengan gerakan santai, ia mengulurkan tangan ke arah Hana, memberi isyarat agar wanita itu menggenggamnya.Ada sedikit jeda sebelum Hana akhirnya menyambut uluran tangan Rey, dan saat jari-jemari mereka bersentuhan, hawa hangat dari kulit pria itu seketika menjalar ke telapak tangannya.Di seberang meja mereka, Veronica yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka hanya bisa memandang dengan tatapan sinis. Mata tajamnya menelusuri setiap ger
Hana menyapu pandangannya ke seluruh penjuru ballroom. Sorot matanya tajam, penuh percaya diri. Para tamu masih bertepuk tangan, beberapa terlihat kagum, yang lain berbisik-bisik membahas betapa mengejutkannya pengungkapan ini. Namun, mata Hana akhirnya berhenti pada satu orang. Juna. Pria itu masih berdiri membeku di tempatnya, mata cokelatnya masih terpaku pada Hana seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan mimpi. Hana tersenyum. Senyum yang bukan hanya sekadar ekspresi kemenangan, tetapi juga kebanggaan. Ia meninggikan dagunya, menatap Juna dengan sorot mata yang seolah berkata, "Lihatlah aku sekarang." Juna menelan ludah, rahangnya mengeras. Ada sesuatu yang berkecamuk dalam dirinya, perasaan yang berkisar antara keterkejutan, penyesalan, dan kekalahan telak. Bagaimana bisa ia mengira Hana masih sama seperti dulu? Baga
Bibir lembab Rey melumat bibir Hana, basah, lembut, dan menguasai. Wangi parfumnya menyelimuti Hana, bercampur dengan hangat napas mereka yang beradu. Dada Hana naik turun, tapi tubuhnya tetap membeku. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sampai akhirnya, Rey perlahan menarik diri. Jarak di antara mereka masih begitu dekat. Mata gelap Rey menatapnya, mengunci seluruh perhatian Hana. Lalu, tangannya yang besar terangkat, mengelus bibir Hana dengan lembut. "Acara akan segera dimulai, ayo pergi ...," bisik Rey, suaranya rendah dan menggetarkan. Hana menelan ludah. Jantungnya berdebar keras. "A-ayo, Rey ...," katanya, berusaha terdengar natural, meski jelas nada suaranya sedikit bergetar. Tanpa menunggu lagi, Rey menariknya meninggalkan lorong itu. Mereka berjalan beriringan menuju lift, melewati Veronica yang berdiri mematung
Di saat Hana menghadapi ketegangannya dengan Juna, di lobby, Rey mendapati dirinya berhadapan dengan sosok yang kemarin sempat membuat suasana menegang pula.Veronica.Wanita itu melangkah anggun ke arahnya, mengenakan gaun berpotongan elegan yang menonjolkan aura percaya dirinya. Senyum puas terukir di bibirnya, seolah ia telah menantikan pertemuan ini.“Kita bertemu lagi, Rey …,” sapa Veronica dengan suara lembut, namun sarat dengan sesuatu yang sulit diartikan.Rey hanya menarik napas panjang, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia tidak tertarik terlibat dalam percakapan basa-basi dengan wanita itu.Sebagai gantinya, matanya tetap terarah ke lorong di belakang lobi, tempat toilet berada. Ia sedang menunggu Hana, berharap wanita itu segera datang.Namun, Veronica bukan wanita yang mudah diabaikan. Saat Rey tetap bungkam, ia beralih pada sosok yang lebih tua di sampingnya, Tuan Noh.“Apa kabar, Tuan Noh? Lama tak berju
Di dalam kamar kecilnya yang sederhana, Hana berdiri di depan cermin panjang, menatap pantulan dirinya dengan tatapan tajam dan penuh tekad.Perlahan, ia meraih gaun yang tergantung rapi di sisi ranjangnya, gaun krem elegan dengan potongan A-line yang sempurna, menonjolkan siluet tubuhnya dengan garis vertikal yang memberi kesan jenjang.Bagian atasnya dihiasi dengan kain transparan yang membalut satu bahunya, memberi sentuhan anggun namun tetap berkarakter.Ia mengenakannya dengan gerakan tenang, menikmati setiap detik saat dirinya bertransformasi. Tak ada lagi gadis yang dulu dipandang sebelah mata. Hari ini, ia akan menjadi pusat perhatian.Jemarinya yang ramping mengambil kuas bedak, memoles wajahnya dengan riasan lembut namun elegan. Bibirnya dipoles warna nude dengan sedikit kilau, sementara eyeliner tipis menegaskan matanya yang tajam. Ia ingin tampil sempurna, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mereka yang telah
Genap satu bulan setelah investasi akhirnya di tarik ...Di dalam ruang kantornya yang megah, suara benturan keras menggema. Sebuah vas kristal jatuh menghantam lantai, pecah berkeping-keping. Dokumen-dokumen berhamburan di udara, lembaran laporan keuangan beterbangan seperti daun kering dihempas badai.Juna mengamuk.Meja besar yang biasa menjadi simbol kekuasaannya kini berantakan. Laptop yang sebelumnya tertata rapi kini tergeletak miring di tepi meja, nyaris jatuh. Kursinya terjungkal ke belakang, menciptakan kekacauan total.Napas Juna memburu, dadanya naik turun dengan liar. Ia meraih satu lembar laporan yang tercecer di lantai, mencengkeramnya erat seolah ingin merobek kertas itu dengan tangannya sendiri.Laporan resmi dari First Food.[Penarikan investasi tahap akhir telah selesai dilakukan. Dengan ini, PT.First Food tidak lagi memiliki hubungan finansial dengan BG.TV]Tangannya mengepal, meremas kertas itu hingg
Tok tok! Pintu ruangan Rey diketuk pelan, lalu terbuka. Bastian masuk dengan langkah ragu, wajahnya menyiratkan kegelisahan yang tidak biasa. "Tu-Tuan …," panggilnya, suaranya terdengar sedikit goyah. Rey yang sedang fokus membaca dokumen di tangannya mendongak, alisnya berkerut melihat ekspresi asistennya. "Ada apa?" tanyanya datar. Bastian membuka mulut, hendak bicara, "Di luar ada_" Tetapi suara lain lebih dulu terdengar. "Hai, Rey!" Seseorang menerobos masuk begitu saja, melewati Bastian yang masih berdiri di ambang pintu. Rey mendongak lebih tinggi, matanya melebar seketika. Namun, hanya dalam hitungan detik, rahangnya mengeras, dan sorot matanya berubah tajam. Wanita itu berdiri di hadapannya dengan percaya diri, mengenakan gaun berpotongan elegan yang membungkus tubuh semampainya dengan sempurna. Rambut coklatnya dita
Dua insan yang pernah mengukir kisah di masa lalu kini duduk berhadapan di sebuah kafe, di tengah hiruk-pikuk jam makan siang. Namun, bagi Juna, ini bukan sekadar waktu istirahat. Jam makan siang hanyalah alasan agar ia bisa berbicara dengan Hana tanpa ada gangguan.Hana sendiri tidak terlalu nyaman dengan pertemuan ini, tapi mengingat pekerjaan mereka ke depan akan melibatkan banyak interaksi, ia tidak bisa menghindarinya.Juna menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Hana dengan ekspresi serius. "Maafkan aku, Hana. Kita akan bekerja sama dalam waktu yang panjang ... jadi mari kita lupakan masa lalu di antara kita agar suasana di pekerjaan menjadi nyaman."Hana terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Ia tahu, memang itulah yang terbaik. Tidak ada gunanya menggali kenangan yang sudah seharusnya terkubur."Ya, mari kita bekerja sama dengan baik, Tuan Juna," jawabnya, berusaha terdengar profesional. Senyum yang ia tunjukkan ramah, tetapi cara