Hana berdiri terpaku di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri dengan ekspresi campur aduk, kaget, panik, dan frustasi.
Bajunya masih sama seperti semalam, kusut dan berantakan. Bahkan kancing atasnya terbuka lebar."Astaga!"Tangannya refleks menutup bagian depan bajunya sambil menggigit bibir. Ia benar-benar tidak bisa mengingat apa pun yang terjadi semalam. Dan sekarang, ia harus segera berangkat kerja, tapi ...Ia tidak membawa baju ganti!Hana mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Kalau dia datang ke kantor dengan pakaian ini, teman-temannya pasti langsung curiga!"Mampus aku ..." gumamnya pelan.Tidak ada pilihan lain. Mau tak mau, ia harus meminta izin terlambat pada Rey.Hana melirik ke arah ruang ganti, menunggu Rey selesai berganti pakaian. Tangannya sibuk menyisir rambutnya dengan gelisah, berharap setidaknya wajahnya tidak terlihat seperti orang yang baru mengalami kejadian ... menRey sudah duduk di dalam mobilnya, baru saja berhenti di depan lobi apartemen. Tangannya terangkat untuk melihat jam. Tepat sepuluh menit.Dari kaca depan, ia melihat Hana berlari kecil mendekat dengan napas terengah-engah, wajah polos tanpa riasan. Begitu masuk ke dalam mobil, Hana langsung bersandar lega, tangannya menekan dadanya, masih berusaha menstabilkan napasnya yang tersengal.Rey menoleh dan menatapnya diam-diam. Lalu tanpa peringatan, tubuhnya condong lebih dekat, wajahnya mendekati wajah Hana.Hana terkesiap, punggungnya otomatis menegang."T-Tuan...," rintihnya lirih, tangannya meremas jok mobil dengan gugup.Jarak di antara mereka semakin menipis. Hana bahkan bisa merasakan hembusan napas Rey begitu dekat. Jantungnya berpacu liar, pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan.Namun, alih-alih melakukan sesuatu seperti yang Hana pikirkan, Rey hanya mengulurkan tangannya untuk ... memakaikan sabuk pengaman.
Lift pun berhenti di lantai demi lantai, mengurangi jumlah orang di dalamnya. Perlahan suasana menjadi lebih lenggang, memberi ruang untuk bergerak.Rey tentu saja langsung menarik diri dari Hana begitu ada celah. Ia kembali berdiri tegak di sampingnya dengan sikap santai, seolah tidak pernah terjadi apa pun.Sementara itu, Hana menundukkan kepala. Wajahnya terasa panas, bahkan telinganya pun ikut memerah. Ia masih bisa merasakan hawa tubuh Rey begitu dekat tadi.Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan jari-jarinya tanpa sadar memilin ujung blouse-nya, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan saat gugup.Rey, di sisi lain, tampak menikmati ekspresi canggung yang ditunjukkan Hana. Bahkan, senyum tipis masih tersungging di bibirnya, meski samar.Ketika akhirnya lift sampai di lantai yang dituju, mereka berdua keluar tanpa kata. Rey berjalan lebih dulu, langkahnya tegap dan penuh percaya diri, meninggalkan Hana yang masih berusaha menenangkan d
Setibanya di lokasi syuting, Hana langsung mencari rekan-rekan satu timnya. Area itu sudah dipenuhi oleh kru produksi yang sibuk mempersiapkan peralatan dan memastikan semua berjalan lancar. Beberapa anggota tim agensi tengah mengurus artis mereka, ada yang membantu wardrobe, memastikan kostum para pemeran sesuai dengan karakter mereka, ada pula yang bertanggung jawab dalam makeup dan hairstyling, membuat para aktor dan aktris tampak sempurna di depan kamera. Yang lain sibuk berkoordinasi dengan sutradara dan manajer produksi, mengatur jadwal syuting, serta memastikan kebutuhan para artis terpenuhi. Hana, sebagai penulis, memiliki tugasnya sendiri. Ia berdiri di dekat monitor, memperhatikan bagaimana adegan demi adegan diambil, memastikan dialog yang diucapkan para pemeran sesuai dengan naskah yang telah ia susun. Ia juga mengamati latar belakang, set dekorasi, dan properti yang disorot kamera, semua harus sesuai dengan kon
Dara berjalan keluar dari toilet dengan langkah cepat, napasnya memburu menahan amarah yang bergolak di dadanya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, jari-jarinya gemetar akibat emosi yang nyaris tak bisa ia kendalikan. Hana. Perempuan itu benar-benar berani menantangnya! Dengan wajah kesal, pandangan Dara menyapu lokasi syuting, mencari sosok yang bisa melampiaskan emosinya. Matanya dengan cepat menangkap keberadaan Juna yang masih berdiri di tempat yang sama, bersandar santai pada pagar pembatas area syuting. Namun, yang membuat darah Dara semakin mendidih adalah arah tatapan Juna, pria itu sedang memperhatikan Hana dari kejauhan. Hana, yang berjalan di antara kru dan tim produksi, tampak tidak peduli dengan keberadaan mereka berdua. Ia sibuk berbicara dengan rekan-rekannya, fokus pada pekerjaannya, seolah Juna bukan siapa-siapa lagi baginya. Dada Dara naik turun dengan cepat. Napasnya tersengal menah
Break syuting akhirnya tiba. Kru dan para pemain berbondong-bondong menuju meja tempat makanan kotak dibagikan. Suasana sedikit riuh dengan suara mereka yang bercengkerama, membahas adegan yang baru saja mereka lakukan atau sekadar mengeluhkan betapa panasnya cuaca hari ini. Hana ikut mengambil jatahnya. Begitu membuka kotak, ia melihat deretan sushi tertata rapi di dalamnya. Alisnya mengernyit sejenak sebelum beralih ke pilihan lainnya, bulgogi. "Ah, ini sushi. Aku tak suka," gumamnya, lalu segera mengganti pilihannya dengan bulgogi. Ia pun beranjak pergi menuju meja tempat teman-temannya duduk, tanpa sadar bahwa seseorang berdiri tak jauh darinya. Juna. Pria itu juga baru saja mengambil makan siangnya, tanpa sengaja berdiri di samping Hana saat memilih. Tatapannya mengikuti sosok wanita itu yang pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Ia menurunkan pandangan ke kotak sushi di tangannya, m
'Hubungan?' batin Hana, seketika pipinya merona lebih merah. Ia mengingat bagaimana ia bisa berakhir di apartemen Rey kemarin. Kenangan samar itu membuat jantungnya berdebar lebih kencang.Mata Hana melebar, refleks berbalik menghadap Rey. "Rey …, maafkan aku …, yang kemarin itu aku dalam pengaruh alkohol! A-aku akan tetap mematuhi peraturan kontrak hubungan palsu ini…, t-tapi…"Hana sebentar menunduk, menggigit bibirnya. Dengan suara nyaris berbisik, ia melanjutkan, "Apa kau … memakai pengaman?"Wajahnya memanas seketika. Ia bahkan terpejam mengatakannya, matanya mengerut lebih rapat karena menahan malu, sementara jemarinya memilin ujung blouse-nya tanpa sadar.Rey berdecih kecil. Kedua sudut bibirnya sedikit tertarik, matanya menyipit penuh godaan. Bahunya bahkan sedikit bergetar menahan tawa.Dengan langkah tenang, Rey mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Hana. Suaranya terdengar rendah dan berbahay
Sebelum Rey sempat membuka mulut untuk menjawab, mobil mereka melambat, mendekati sebuah tempat dengan cahaya warna-warni yang berkelap-kelip di kejauhan.Luminaria Park.Hana langsung teralihkan. Matanya berbinar melihat area pintu masuk yang dihiasi lampu gantung berbentuk bintang dan lentera warna-warni. Ada suara musik dari wahana, tawa anak-anak, dan aroma manis dari gerai makanan di sekitar area.Begitu mobil berhenti di parkiran, Hana segera membuka pintu dan turun dengan penuh semangat. Ia berbalik, menepuk jendela mobil Rey yang belum juga keluar."Ayo, Rey!" serunya girang.Rey turun perlahan, jauh lebih santai dibandingkan Hana. Ia sempat mengusap wajahnya sejenak sebelum menutup pintu mobil dan berdiri tegak. Melihat Hana yang begitu antusias, ia hanya bisa menggeleng kecil."Seperti anak kecil saja," gumamnya pelan, tapi senyum tipis terselip di sudut bibirnya.Hana menatapnya tak sabar. Saat melihat Rey mas
"Ahh, Juna ... jangan lama-lama, ini di kantor!" Langkah Hana terhenti di depan pintu ruangan Juna yang sedikit terbuka. Suara itu, lembut dan manja, namun asing, membuatnya membeku. Penasaran bercampur rasa takut menyelubungi tubuhnya. Dengan langkah ragu, ia mendekat, tangannya gemetar saat menyentuh gagang pintu. Lututnya terasa lemah, seperti menyangga beban yang terlalu berat. Ketika ia mendorong pintu sedikit lebih lebar, dunia seakan runtuh di hadapannya. Di sana, Juna, suaminya bersandar di meja kerja, merengkuh tubuh seorang wanita dengan cara yang seharusnya menjadi miliknya. Bibir Juna bergerak rakus, melumat bibir wanita itu dengan gairah yang belum pernah ia berikan pada Hana selama dua tahun pernikahan mereka. Rahang Hana menegang. Air mata menggenang tanpa permisi, mengaburkan pandangannya. Kotak sushi yang ia bawa terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dengan suara keras, sekeras rasa sakit yang kini menghantam hatinya. DUG! Suara itu memecah keheningan. Pasa
Sebelum Rey sempat membuka mulut untuk menjawab, mobil mereka melambat, mendekati sebuah tempat dengan cahaya warna-warni yang berkelap-kelip di kejauhan.Luminaria Park.Hana langsung teralihkan. Matanya berbinar melihat area pintu masuk yang dihiasi lampu gantung berbentuk bintang dan lentera warna-warni. Ada suara musik dari wahana, tawa anak-anak, dan aroma manis dari gerai makanan di sekitar area.Begitu mobil berhenti di parkiran, Hana segera membuka pintu dan turun dengan penuh semangat. Ia berbalik, menepuk jendela mobil Rey yang belum juga keluar."Ayo, Rey!" serunya girang.Rey turun perlahan, jauh lebih santai dibandingkan Hana. Ia sempat mengusap wajahnya sejenak sebelum menutup pintu mobil dan berdiri tegak. Melihat Hana yang begitu antusias, ia hanya bisa menggeleng kecil."Seperti anak kecil saja," gumamnya pelan, tapi senyum tipis terselip di sudut bibirnya.Hana menatapnya tak sabar. Saat melihat Rey mas
'Hubungan?' batin Hana, seketika pipinya merona lebih merah. Ia mengingat bagaimana ia bisa berakhir di apartemen Rey kemarin. Kenangan samar itu membuat jantungnya berdebar lebih kencang.Mata Hana melebar, refleks berbalik menghadap Rey. "Rey …, maafkan aku …, yang kemarin itu aku dalam pengaruh alkohol! A-aku akan tetap mematuhi peraturan kontrak hubungan palsu ini…, t-tapi…"Hana sebentar menunduk, menggigit bibirnya. Dengan suara nyaris berbisik, ia melanjutkan, "Apa kau … memakai pengaman?"Wajahnya memanas seketika. Ia bahkan terpejam mengatakannya, matanya mengerut lebih rapat karena menahan malu, sementara jemarinya memilin ujung blouse-nya tanpa sadar.Rey berdecih kecil. Kedua sudut bibirnya sedikit tertarik, matanya menyipit penuh godaan. Bahunya bahkan sedikit bergetar menahan tawa.Dengan langkah tenang, Rey mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Hana. Suaranya terdengar rendah dan berbahay
Break syuting akhirnya tiba. Kru dan para pemain berbondong-bondong menuju meja tempat makanan kotak dibagikan. Suasana sedikit riuh dengan suara mereka yang bercengkerama, membahas adegan yang baru saja mereka lakukan atau sekadar mengeluhkan betapa panasnya cuaca hari ini. Hana ikut mengambil jatahnya. Begitu membuka kotak, ia melihat deretan sushi tertata rapi di dalamnya. Alisnya mengernyit sejenak sebelum beralih ke pilihan lainnya, bulgogi. "Ah, ini sushi. Aku tak suka," gumamnya, lalu segera mengganti pilihannya dengan bulgogi. Ia pun beranjak pergi menuju meja tempat teman-temannya duduk, tanpa sadar bahwa seseorang berdiri tak jauh darinya. Juna. Pria itu juga baru saja mengambil makan siangnya, tanpa sengaja berdiri di samping Hana saat memilih. Tatapannya mengikuti sosok wanita itu yang pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Ia menurunkan pandangan ke kotak sushi di tangannya, m
Dara berjalan keluar dari toilet dengan langkah cepat, napasnya memburu menahan amarah yang bergolak di dadanya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, jari-jarinya gemetar akibat emosi yang nyaris tak bisa ia kendalikan. Hana. Perempuan itu benar-benar berani menantangnya! Dengan wajah kesal, pandangan Dara menyapu lokasi syuting, mencari sosok yang bisa melampiaskan emosinya. Matanya dengan cepat menangkap keberadaan Juna yang masih berdiri di tempat yang sama, bersandar santai pada pagar pembatas area syuting. Namun, yang membuat darah Dara semakin mendidih adalah arah tatapan Juna, pria itu sedang memperhatikan Hana dari kejauhan. Hana, yang berjalan di antara kru dan tim produksi, tampak tidak peduli dengan keberadaan mereka berdua. Ia sibuk berbicara dengan rekan-rekannya, fokus pada pekerjaannya, seolah Juna bukan siapa-siapa lagi baginya. Dada Dara naik turun dengan cepat. Napasnya tersengal menah
Setibanya di lokasi syuting, Hana langsung mencari rekan-rekan satu timnya. Area itu sudah dipenuhi oleh kru produksi yang sibuk mempersiapkan peralatan dan memastikan semua berjalan lancar. Beberapa anggota tim agensi tengah mengurus artis mereka, ada yang membantu wardrobe, memastikan kostum para pemeran sesuai dengan karakter mereka, ada pula yang bertanggung jawab dalam makeup dan hairstyling, membuat para aktor dan aktris tampak sempurna di depan kamera. Yang lain sibuk berkoordinasi dengan sutradara dan manajer produksi, mengatur jadwal syuting, serta memastikan kebutuhan para artis terpenuhi. Hana, sebagai penulis, memiliki tugasnya sendiri. Ia berdiri di dekat monitor, memperhatikan bagaimana adegan demi adegan diambil, memastikan dialog yang diucapkan para pemeran sesuai dengan naskah yang telah ia susun. Ia juga mengamati latar belakang, set dekorasi, dan properti yang disorot kamera, semua harus sesuai dengan kon
Lift pun berhenti di lantai demi lantai, mengurangi jumlah orang di dalamnya. Perlahan suasana menjadi lebih lenggang, memberi ruang untuk bergerak.Rey tentu saja langsung menarik diri dari Hana begitu ada celah. Ia kembali berdiri tegak di sampingnya dengan sikap santai, seolah tidak pernah terjadi apa pun.Sementara itu, Hana menundukkan kepala. Wajahnya terasa panas, bahkan telinganya pun ikut memerah. Ia masih bisa merasakan hawa tubuh Rey begitu dekat tadi.Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan jari-jarinya tanpa sadar memilin ujung blouse-nya, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan saat gugup.Rey, di sisi lain, tampak menikmati ekspresi canggung yang ditunjukkan Hana. Bahkan, senyum tipis masih tersungging di bibirnya, meski samar.Ketika akhirnya lift sampai di lantai yang dituju, mereka berdua keluar tanpa kata. Rey berjalan lebih dulu, langkahnya tegap dan penuh percaya diri, meninggalkan Hana yang masih berusaha menenangkan d
Rey sudah duduk di dalam mobilnya, baru saja berhenti di depan lobi apartemen. Tangannya terangkat untuk melihat jam. Tepat sepuluh menit.Dari kaca depan, ia melihat Hana berlari kecil mendekat dengan napas terengah-engah, wajah polos tanpa riasan. Begitu masuk ke dalam mobil, Hana langsung bersandar lega, tangannya menekan dadanya, masih berusaha menstabilkan napasnya yang tersengal.Rey menoleh dan menatapnya diam-diam. Lalu tanpa peringatan, tubuhnya condong lebih dekat, wajahnya mendekati wajah Hana.Hana terkesiap, punggungnya otomatis menegang."T-Tuan...," rintihnya lirih, tangannya meremas jok mobil dengan gugup.Jarak di antara mereka semakin menipis. Hana bahkan bisa merasakan hembusan napas Rey begitu dekat. Jantungnya berpacu liar, pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan.Namun, alih-alih melakukan sesuatu seperti yang Hana pikirkan, Rey hanya mengulurkan tangannya untuk ... memakaikan sabuk pengaman.
Hana berdiri terpaku di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri dengan ekspresi campur aduk, kaget, panik, dan frustasi.Bajunya masih sama seperti semalam, kusut dan berantakan. Bahkan kancing atasnya terbuka lebar."Astaga!"Tangannya refleks menutup bagian depan bajunya sambil menggigit bibir. Ia benar-benar tidak bisa mengingat apa pun yang terjadi semalam. Dan sekarang, ia harus segera berangkat kerja, tapi ...Ia tidak membawa baju ganti!Hana mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Kalau dia datang ke kantor dengan pakaian ini, teman-temannya pasti langsung curiga!"Mampus aku ..." gumamnya pelan.Tidak ada pilihan lain. Mau tak mau, ia harus meminta izin terlambat pada Rey.Hana melirik ke arah ruang ganti, menunggu Rey selesai berganti pakaian. Tangannya sibuk menyisir rambutnya dengan gelisah, berharap setidaknya wajahnya tidak terlihat seperti orang yang baru mengalami kejadian ... men
Hana menatap Rey yang berada di atasnya, tetapi dalam pikirannya yang sudah kacau karena alkohol, ia mengira ini hanya mimpi.Alih-alih panik atau terkejut, ia justru tersenyum samar, lalu dengan tangan yang masih lemas, ia meraih dasi Rey dan menariknya perlahan. Rey sempat membelalak, tapi tak segera bergerak. Jarak di antara mereka semakin mengecil, hingga ia bisa merasakan napas hangat Hana menyentuh kulitnya.Hana memainkan ujung dasi itu dengan jemarinya, melonggarkan ikatan dasi di leher Rey sebelum terkekeh."Santailah, Tuan ...," bisiknya dengan suara bergetar. "Ups, maksudku ... Rey. Kau bilang kita harus santai saat berdua, kan?"Rey diam, tatapannya mengunci ke wajah wanita di depannya ini. Bibir Hana yang lembap masih bergerak, terus meracau dalam gumaman yang nyaris seperti bisikan.Setiap ekspresi yang Hana tunjukkan sekarang terasa begitu jujur. Tawanya, caranya berbicara, semua tanpa filter. Menampilkan sisi lai