Sebelum Rey sempat membuka mulut untuk menjawab, mobil mereka melambat, mendekati sebuah tempat dengan cahaya warna-warni yang berkelap-kelip di kejauhan.
Luminaria Park.Hana langsung teralihkan. Matanya berbinar melihat area pintu masuk yang dihiasi lampu gantung berbentuk bintang dan lentera warna-warni. Ada suara musik dari wahana, tawa anak-anak, dan aroma manis dari gerai makanan di sekitar area.Begitu mobil berhenti di parkiran, Hana segera membuka pintu dan turun dengan penuh semangat. Ia berbalik, menepuk jendela mobil Rey yang belum juga keluar."Ayo, Rey!" serunya girang.Rey turun perlahan, jauh lebih santai dibandingkan Hana. Ia sempat mengusap wajahnya sejenak sebelum menutup pintu mobil dan berdiri tegak. Melihat Hana yang begitu antusias, ia hanya bisa menggeleng kecil."Seperti anak kecil saja," gumamnya pelan, tapi senyum tipis terselip di sudut bibirnya.Hana menatapnya tak sabar. Saat melihat Rey masKetika Hana sedang menikmati es krimnya dengan tenang, Rey tiba-tiba menekan lengannya sedikit, membuat es krim itu menyentuh hidung Hana."Rey!" Hana merengek kesal, mengusap hidungnya yang kini belepotan es krim.Namun, alih-alih marah, ia malah tertawa kecil. Rey juga ikut tertawa, menikmati momen kecil itu.Hana terpaku sejenak, menatap pria di sampingnya. Senyum dan tawa itu lagi, jarang sekali ia melihatnya. Dan ketika Rey tertawa seperti itu, rasanya ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.Tanpa sadar, ia bergumam, "Kau lebih tampan bila sering tertawa begitu."Rey berhenti tertawa seketika, lalu berdehem kecil, sedikit bangga. "Banyak yang bilang begitu."Hana memutar bola matanya, "Dasar narsis."Mereka pun melanjutkan menikmati es krim hingga habis. Udara malam di Luminaria Park terasa semakin nyaman, dengan lampu-lampu warna-warni yang berpendar di sekeliling mereka.Setelah selesai, Rey berdiri lalu
"Bu-bukan begitu maksudku, Tuan! Aku hanya tak bisa menolak keduanya," sergah Hana cepat, berusaha mencari alasan yang terdengar masuk akal.Rey menatapnya tanpa ekspresi, tapi nada suaranya tetap tenang saat ia berkata, "Hana, kau punya potensi, tapi beberapa hal perlu kau perbaiki. Menurutmu, apa kau bisa mengendalikan First Food sepenuhnya jika kau seceroboh itu?"Kata-kata itu menusuk tepat di hatinya. Hana terdiam, menatap Rey dengan mata yang penuh kesadaran. Ia tahu ia salah.Hal sekecil apa pun tak boleh ia sepelekan, terlebih jika ia ingin membuktikan bahwa dirinya pantas berada di posisi yang lebih tinggi.Perlahan, ia mulai memahami sesuatu. Rey mungkin sering terlihat dingin dan keras terhadapnya, tapi di balik itu, pria ini secara tak langsung membimbingnya untuk menjadi pemimpin yang lebih baik.Sky Wheel akhirnya berhenti, mengakhiri percakapan mereka yang sempat menggantung di udara. Hana menghela napas, sedikit lega karen
Luminaria Park masih ramai meskipun malam semakin larut. Lampu-lampu berkelap-kelip di antara dedaunan, menciptakan suasana yang seolah berasal dari negeri dongeng. Namun, di tengah keindahan itu, ekspresi Rey masih menyiratkan ketegangan."Bukan apa-apa," jawabnya singkat, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.Hana memperhatikan perubahan ekspresi pria itu. Ia tidak bertanya lebih lanjut, tahu bahwa ada hal yang tidak ingin Rey bicarakan. Dengan senyuman yang dimaksudkan untuk mencairkan suasana, ia berkata, "Ayo jalan-jalan sebentar sebelum wahananya tutup."Rey mengangguk. Tanpa banyak bicara, mereka berjalan berdampingan di tengah hiruk-pikuk pengunjung Luminaria Park. Suara tawa anak-anak, aroma jajanan yang menggoda, serta udara malam yang sejuk mengiringi langkah mereka.Mereka menikmati makanan ringan yang dibeli tadi, dan tanpa disadari, Rey mulai menyukai rasa jajanan jalanan ini. Dia mengira tidak akan cocok dengan makanann
Dua insan yang pernah mengukir kisah di masa lalu kini duduk berhadapan di sebuah kafe, di tengah hiruk-pikuk jam makan siang. Namun, bagi Juna, ini bukan sekadar waktu istirahat. Jam makan siang hanyalah alasan agar ia bisa berbicara dengan Hana tanpa ada gangguan.Hana sendiri tidak terlalu nyaman dengan pertemuan ini, tapi mengingat pekerjaan mereka ke depan akan melibatkan banyak interaksi, ia tidak bisa menghindarinya.Juna menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Hana dengan ekspresi serius. "Maafkan aku, Hana. Kita akan bekerja sama dalam waktu yang panjang ... jadi mari kita lupakan masa lalu di antara kita agar suasana di pekerjaan menjadi nyaman."Hana terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Ia tahu, memang itulah yang terbaik. Tidak ada gunanya menggali kenangan yang sudah seharusnya terkubur."Ya, mari kita bekerja sama dengan baik, Tuan Juna," jawabnya, berusaha terdengar profesional. Senyum yang ia tunjukkan ramah, tetapi cara
Tok tok! Pintu ruangan Rey diketuk pelan, lalu terbuka. Bastian masuk dengan langkah ragu, wajahnya menyiratkan kegelisahan yang tidak biasa. "Tu-Tuan …," panggilnya, suaranya terdengar sedikit goyah. Rey yang sedang fokus membaca dokumen di tangannya mendongak, alisnya berkerut melihat ekspresi asistennya. "Ada apa?" tanyanya datar. Bastian membuka mulut, hendak bicara, "Di luar ada_" Tetapi suara lain lebih dulu terdengar. "Hai, Rey!" Seseorang menerobos masuk begitu saja, melewati Bastian yang masih berdiri di ambang pintu. Rey mendongak lebih tinggi, matanya melebar seketika. Namun, hanya dalam hitungan detik, rahangnya mengeras, dan sorot matanya berubah tajam. Wanita itu berdiri di hadapannya dengan percaya diri, mengenakan gaun berpotongan elegan yang membungkus tubuh semampainya dengan sempurna. Rambut coklatnya dita
Genap satu bulan setelah investasi akhirnya di tarik ...Di dalam ruang kantornya yang megah, suara benturan keras menggema. Sebuah vas kristal jatuh menghantam lantai, pecah berkeping-keping. Dokumen-dokumen berhamburan di udara, lembaran laporan keuangan beterbangan seperti daun kering dihempas badai.Juna mengamuk.Meja besar yang biasa menjadi simbol kekuasaannya kini berantakan. Laptop yang sebelumnya tertata rapi kini tergeletak miring di tepi meja, nyaris jatuh. Kursinya terjungkal ke belakang, menciptakan kekacauan total.Napas Juna memburu, dadanya naik turun dengan liar. Ia meraih satu lembar laporan yang tercecer di lantai, mencengkeramnya erat seolah ingin merobek kertas itu dengan tangannya sendiri.Laporan resmi dari First Food.[Penarikan investasi tahap akhir telah selesai dilakukan. Dengan ini, PT.First Food tidak lagi memiliki hubungan finansial dengan BG.TV]Tangannya mengepal, meremas kertas itu hingg
Di dalam kamar kecilnya yang sederhana, Hana berdiri di depan cermin panjang, menatap pantulan dirinya dengan tatapan tajam dan penuh tekad.Perlahan, ia meraih gaun yang tergantung rapi di sisi ranjangnya, gaun krem elegan dengan potongan A-line yang sempurna, menonjolkan siluet tubuhnya dengan garis vertikal yang memberi kesan jenjang.Bagian atasnya dihiasi dengan kain transparan yang membalut satu bahunya, memberi sentuhan anggun namun tetap berkarakter.Ia mengenakannya dengan gerakan tenang, menikmati setiap detik saat dirinya bertransformasi. Tak ada lagi gadis yang dulu dipandang sebelah mata. Hari ini, ia akan menjadi pusat perhatian.Jemarinya yang ramping mengambil kuas bedak, memoles wajahnya dengan riasan lembut namun elegan. Bibirnya dipoles warna nude dengan sedikit kilau, sementara eyeliner tipis menegaskan matanya yang tajam. Ia ingin tampil sempurna, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mereka yang telah
Di saat Hana menghadapi ketegangannya dengan Juna, di lobby, Rey mendapati dirinya berhadapan dengan sosok yang kemarin sempat membuat suasana menegang pula.Veronica.Wanita itu melangkah anggun ke arahnya, mengenakan gaun berpotongan elegan yang menonjolkan aura percaya dirinya. Senyum puas terukir di bibirnya, seolah ia telah menantikan pertemuan ini.“Kita bertemu lagi, Rey …,” sapa Veronica dengan suara lembut, namun sarat dengan sesuatu yang sulit diartikan.Rey hanya menarik napas panjang, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia tidak tertarik terlibat dalam percakapan basa-basi dengan wanita itu.Sebagai gantinya, matanya tetap terarah ke lorong di belakang lobi, tempat toilet berada. Ia sedang menunggu Hana, berharap wanita itu segera datang.Namun, Veronica bukan wanita yang mudah diabaikan. Saat Rey tetap bungkam, ia beralih pada sosok yang lebih tua di sampingnya, Tuan Noh.“Apa kabar, Tuan Noh? Lama tak berju
Sejak wawancara itu tayang, drama Stolen Heart semakin populer. Rating acara bincang-bincang tempat Hana hadir sebagai bintang tamu utama pun melesat tinggi. Komentar-komentar positif membanjiri media sosial, membahas betapa jujur dan menyentuhnya kata-kata Hana saat menjelaskan inspirasinya dalam menulis naskah drama tersebut.Banyak yang merasa terhubung dengan kisah itu, terutama mereka yang pernah merasakan sakitnya diselingkuhi. Bahkan, beberapa artikel mulai membahas betapa kuatnya sosok Hana sebagai penulis wanita yang bisa menyampaikan perasaan perempuan dengan begitu nyata.Di tengah kesibukan dan euforia itu, Hana tetap menjalani rutinitasnya seperti biasa. Beberapa kali ia menyempatkan diri menjenguk Tuan Noh di rumah sakit, memastikan kondisi kakek Rey tetap stabil. Pria tua itu selalu tersenyum setiap kali melihatnya datang, meski tubuhnya tampak semakin ringkih.Hingga akhirnya, undangan itu datang.Sebuah perayaan kecil di mansion Rey untuk merayakan kesuksesan drama.H
"Aku percaya bahwa cerita yang paling bisa menyentuh hati adalah yang berakar dari kenyataan," kata Hana. "Banyak dari kita yang pernah merasakan patah hati, dikhianati, atau ditinggalkan. Diselingkuhi itu menyakitkan, dan aku yakin ada banyak orang di luar sana yang mengalami hal serupa." Suasana di studio perlahan berubah menjadi lebih hening. Para pemain dan MC yang awalnya santai, kini mulai serius mendengarkan. "Tapi aku juga percaya bahwa di luar sana, masih ada cinta sejati untuk kita," lanjut Hana dengan nada penuh harapan. "Hanya saja, mungkin kita belum menemukannya. Lewat Stolen Heart, aku ingin menyampaikan sesuatu yang menurutku menjadi keinginan setiap wanita, untuk dihargai, dicintai, disayangi, ingin menjadi satu-satunya, dan yang terpenting… ingin bahagia." Beberapa penonton terlihat mengangguk pelan, seakan memahami betul perasaan yang Hana ungkapkan. Bahkan salah satu aktris utama dalam drama itu tampak berkaca-kaca, seolah-olah teringat pada pengalaman pribadi
Satu minggu berlalu dengan cepat. Drama "Stolen Heart" terus menjadi topik hangat di berbagai media. Penonton menyukainya, dan banyak kritik positif berdatangan, memuji alur cerita yang menarik serta karakter-karakter yang terasa hidup. Hana, sebagai penulis utama, tentu saja ikut terkena sorotan.Hari ini, ia bersiap menghadiri acara bincang-bincang televisi yang mengundang para pemain dan kru drama. Sebagai penulis, ia memiliki peran penting dalam acara ini, menceritakan proses kreatifnya, tantangan selama produksi, serta inspirasinya dalam menulis naskah yang kini tengah digandrungi banyak orang.Di ruang tunggu, Hana duduk di sofa panjang, sementara Dina dan beberapa rekan dari tim produksi menemaninya. Ruangan itu cukup nyaman, dengan meja penuh camilan ringan dan botol air mineral yang tertata rapi."Aku masih nggak percaya drama ini sukses besar," ujar Dina sambil tersenyum bangga. "Kita benar-benar kerja keras, dan hasilnya luar biasa!"Hana tersenyum kecil, merapikan rambutny
Hana menatap layar laptopnya dengan kosong. Jarum jam di meja kerjanya menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi otaknya masih terasa berat untuk bekerja. Aroma kopi yang mengepul dari cangkirnya pun tak mampu mengusir kepenatan yang menggelayut di pikirannya.Di luar jendela kantor, gedung-gedung tinggi berjajar rapi, langit sedikit mendung, pertanda akan hujan siang nanti. Kantor produksi tempatnya bekerja sebagai penulis skrip terasa lebih sibuk dari biasanya. Beberapa rekannya berlalu-lalang membawa dokumen, ada juga yang sedang berdiskusi seru di area lounge kecil.Namun, Hana hanya bisa terduduk diam di meja kerjanya, merasa hampa.Pikirannya masih melayang ke kejadian di hotel beberapa hari lalu, tatapan Rey yang penuh luka saat ia mengembalikan cincin itu. Wajah pria itu terus menghantui benaknya, membuat hatinya terasa seperti diremas."Hana, naskah episode tambahan sudah selesai?"Suara Dina, seperti biasa menyadarkannya tiba-tiba. Hana langsung tersadar dan tersenyum kecil. "Ah
Juna melirik sekilas ke samping, di mana Veronica duduk dengan anggun di kursi penumpang. Gadis itu tampak tenang, menatap lurus ke depan dengan bibir sedikit mengerucut. Setelah keluar dari rumah sakit dan meninggalkan Rey bersama Hana, suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diisi oleh suara mesin yang menderu pelan.Juna sendiri bukan tipe orang yang suka memulai percakapan. Tapi ada sesuatu tentang Veronica yang membuatnya penasaran. Selama ini ia tak terlalu memperhatikan perempuan itu, tapi melihat bagaimana interaksi mereka dengan Rey dan Hana tadi, dia bisa menyimpulkan satu hal: Veronica dan dia sama-sama orang yang ‘terbuang.’"Kamu diam aja," ujar Veronica tiba-tiba, memecah keheningan. "Biasanya cowok yang mengantar seorang cewek akan mencoba berbasa-basi."Juna meliriknya sekilas. "Aku bukan tipe cowok kayak gitu."Veronica tertawa kecil, nada suaranya mengandung sedikit sarkasme. "Ya, aku bisa menebaknya. Dingin, sedikit kaku... mungkin juga egois?""Aku lebih suka m
Setelah selesai menjenguk Tuan Noh, Hana merapikan tasnya dan bersiap untuk pulang bersama ibunya. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Rey berdiri di hadapannya, menghentikan langkah Juna yang tadinya berniat mengantar mereka.“Biar aku saja yang mengantarmu pulang,” ujar Rey dengan nada tegas. Dirinya menghadap Hana, namun tatapannya mengarah langsung pada Juna, memastikan bahwa pria itu tidak punya ruang untuk menolak.Hana melirik Rey, malas berdebat. Sudah cukup semua ketegangan hari ini, dan ia tidak ingin memperpanjang drama. “Terserah,” gumamnya pelan, lalu merangkul lengan Bu Lauren.Juna menaikkan satu alisnya, menatap Rey dengan ekspresi datar. "Lalu, bagaimana dengan Nona Veronica?" tanyanya santai, meski ada sedikit ketegangan dalam suaranya.Rey menoleh sekilas ke arah Veronica yang berdiri di belakang mereka. “Dia bisa kau antar. Rumahnya searah dengan tempat tinggalmu”Juna melipat tangan di dadanya, menimbang sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada acu
Hana duduk di bangku taman rumah sakit, bahunya bergetar halus menahan isakan. Ia menggigit bibir, mencoba menahan tangisnya, tapi air mata tetap jatuh tanpa bisa dihentikan.Seharusnya ia tidak merasa sesakit ini. Seharusnya ia kuat.Tapi nyatanya, dadanya terasa sesak.Ia sudah berusaha mempercayai Rey. Berusaha membuka hatinya untuk pria itu, meski bekas luka yang Juna tinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Namun, baru saja ia mulai melangkah maju, dunia seolah mengingatkannya bahwa ia bisa dikecewakan lagi.'Kenapa sih, aku harus selalu merasa seperti ini?'Ia menarik napas panjang, tapi justru semakin terasa berat. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, gemetar. Ia trauma. Ia takut.Dan yang lebih menyakitkan, justru Juna yang sekarang duduk di sampingnya.Bukan Rey.Juna menatap Hana dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bersalah, ada kepedihan, ada keinginan besar untuk menarik gadis itu ke dalam pelukannya, tapi ia tahu ia tidak berhak.Pelan-pelan, ia berlutut di hadapan Hana,
Pagi itu, suara notifikasi ponsel membangunkan Hana dari tidurnya. Dengan mata masih setengah terpejam, ia meraih ponselnya di meja samping tempat tidur dan melihat pesan yang masuk.[Pagi, Hana. Kamu udah ke rumah sakit? Kalau belum, aku bisa antar. Jangan sungkan. Sungguh, biarkan aku menebus kesalahanku di masa lalu.]Hana menatap layar ponselnya beberapa detik, jari-jarinya ragu untuk mengetik balasan. Ia menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur, mengusap rambutnya ke belakang sambil merenungkan kata-kata dari Juna.Juna kini terlihat benar-benar berusaha berubah. Sejak kemarin, sikapnya terasa berbeda. Lebih tulus, lebih dewasa. Tapi… apakah itu cukup untuk menghapus semua yang telah terjadi di antara mereka?"Huft, ya sudah… apa boleh buat," gumam Hana pelan.Akhirnya, ia mengetik balasan. [Baiklah, terima kasih. Aku setuju.]Tak butuh waktu lama, Juna membalas. [Aku akan menjemputmu dalam 30 menit.]Hana meletakkan ponselnya, lalu bangkit dar
Rey melangkah cepat mendekati Veronica, napasnya sedikit memburu karena ia hampir setengah berlari sejak keluar dari mobil. Ruang tunggu rumah sakit terasa dingin dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara langkah perawat yang berlalu-lalang serta desahan napas cemas dari para keluarga pasien lainnya."Veronica!" panggilnya dengan nada mendesak.Wanita itu menoleh, wajahnya sedikit pucat, entah karena cemas atau kelelahan. Ia segera berdiri dari kursinya, menatap Rey dengan sorot mata yang sulit ditebak, ada kecemasan, ada rasa bersalah, dan mungkin sedikit kelegaan karena Rey akhirnya datang."Apa yang terjadi?" tanya Rey tanpa basa-basi.Veronica menghela napas panjang sebelum menjawab. "Aku hendak berkunjung ke rumah kakek, hanya ingin mengobrol santai sambil menikmati kue kesukaannya. Kami berbicara cukup lama, lalu kakekmu pamit ke toilet," jelasnya, suaranya sedikit bergetar. "Tapi setelah hampir tiga puluh menit, dia tak juga kembali. Aku mulai merasa ada yang tidak beres, jadi