“Saya beli ini saja, Mbak,” kataku setelah memutuskan satu barang yang akan dibeli.“Baik, Bu. Saya bungkuskan sekalian?”Aku mengangguk kecil. Rasanya akan lebih puas jika aku bisa memberikan kado ini langsung bersama Teo. Bagaimanapun Raline adalah keluarga Teo.“Berapa, Mbak?”“Totalnya dua ratus lima puluh lima ribu, Bu.”Aku pun melakukan pembayaran sesuai dengan yang disebutkan. Saat akan meletakkan kembali dompet ke dalam tas, ponselku bordering.“Ya, Pak Rama?” tanyaku. Belum lama aku bertemu dengan Pak Rama.“Pak Teo siuman, Bu.”Tubuhku melemas. Berita itu jauh lebih membahagiakan dari pada apa pun. Aku jelas sangat bersyukur. Terima kasih Tuhan.“Ibu baik-baik saja?”Aku mengangguk-angguk. “Suami saya siuman, Mbak. Suami saya sudah sadar.”“Alhamdulillah. Alhamdulillah, Bu.”“Makasih, Mbak untuk doanya. Makasih.” Tak kuasa aku menahan haru atas kebaikan allah hari ini. “Saya pamit dulu, Mbak.”“Iya, Bu.”Setelah mendapat tas belanja dari karyawan toko aku bergegas keluar. A
Rumah dengan gaya minimalis kami terasa begitu sepi. Meski Akila dan Ibu sudah kembali, tetap saja ada kehampaan yang tercipta. Sang pemilik rumah sedang pergi dan belum memutuskan kapan akan kembali.Aku tak banyak bercerita pada ibu dan Akila. Aku takut mereka khawatir dan terbebani dengan kondisi Teo. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis soorang diri di kamar pengantin kami. Teo dengan segala keangkuhannya selalu senang saat kami bercengkrama bersama di ranjang ini. Teo yang tidak pernah mau mengalah dalam hal apa pun padaku selalu percaya diri cintanya untukku tak pernah terbagi. Tapi, apa yang bisa dilihat kini. Dia bahkan tak mengingatku. Tak mengenali istrinya sendiri.Sedu sedan tak terelakan. Sungguh ini terlampau berat. Takdir ini membawaku kembali ke titik awal. Manusia teramat lemah. Tak punya apa-apa saat Sang Maha Kuasa menuliskan takdir terbaik untuk mereka.Allahku … Allahku ….Dan aku teringat dengan panggilan telepon tadi sore dari nomor itu. Meski sudah menghapusn
Setelah menceritakan semuanya pada Ibu perasaanku jauh lebih enteng. Tinggal membahasnya dengan Akila dan memberi pengertian. Tapi aku memilih untuk menundanya. Hari ini ibu dan Akila kuajak untuk melihat keadaan Setelah berkomunikasi dengan Mama Ajeng kami pun berangkat.“Maaf belum sempat mampir, Bu. Saya fokus di sini,” ujar Mama Ajeng begitu bertemu dengan Ibu.“Ndak apa-apa, Bu Ajeng. Saya paham betul kondisinya.”“Terima kasih sudah menyempatkan waktu buat jenguk Teo, Bu.”Ibu menggeleng. Beliau mengusap lengan Mama Ajeng beberapa kali. Seperti saling menyalurkan kekuatan. “Saya tau betapa beratnya. Tapi untung Teo masih ingat ibunya.”Mama Ajeng tersedu. Kaca-kaca di matanya kian kentara. “Dia bahkan lupa papanya sudah meninggal, Bu. Dia juga lupa sama Amira.”Ibu mengangguk-angguk. “Nggak apa-pa. Kita usaha sama doa yang kenceng buat kesembuhan anak kita.”Tak ada yang lebih mengharukan selain dua keluarga yang menyatu karena ikatan pernikahan. Keduanya saling membantu, mengas
Wejangan dari Ibu kembali menguatkanku. Keresahan akan takdir yang tengah bergulir sedikit demi sedikit mulai hilang. Aku memantapkan diri bahwa ini bagian dari ujian rumah tanggaku dengan Teo. Aku tak akan terlalu egois mementingkan perasaanku sendiri tanpa melihat sisi kesehatan Teo. Ujianku sebagai seorang istri adalah mendampingi suami sampai beliau benar-benar pulih.Waktu berjalan cepat. Kegiatanku di rumah sakit menjadi semakin berkualitas. Tak lupa aku berkonsultasi dengan dokter dan mencatat hal-hal yang boleh serta tidak boleh dilakukan untuk membantu pemulihan Teo. Akhirnya setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Teo diizinkan untuk pulang. Sebelumnya keluarga dan Pak Rama sempat berdiskusi terkait kemana Teo harus tinggal. Dan semua sepakat untuk membawa Teo ke rumah kami.“Nanti Akila biar Mama yang jaga,” ujar Mama Ajeng setelah kami selesai berdiskusi.“Apa tidak merepotkan, Ma?”Mama Ajeng menggeleng. “Sama sekali tidak.”“Sementara nanti ibu juga di rumah mertua kamu
Pertanyaan itu cukup mengusiku. Namun, memberi angin segar bagi hubungan kami. Aku tak bermaksud memaksa Teo mengingat semuanya segera, tapi aku berusaha sebisanya.Siang ini aku meminta Teo mengantarku ke suatu tempat setelah sebelumnya mengatur janji dengan seseorang. Aku berharap pertanyaan pembuka dari Teo tentang kehamilanku benar-benar sebuah awal yang besar.“Tidak salah?” tanya Teo saat kami menepi ke sebuah danau.Aku menggeleng. “Memang restonya dekat danau.”Teo melihat ke sekitar. Dia seperti tertarik dengan tempat ini. Tempat di mana kami sama-sama melepas masa lalu setelah banyak hal buruk menimpa kami. Di sini juga Teo membuang jauh satu-satunya kenanganya dengan Raline.“Wah di sana?” tunjuk Teo pada sebuah kafe yang dibangun di dekat danau.Aku mengangguk. “Pemiliknya baik. Makanannya juga enak.”“Aku pernah ke sini sebelumnya?”Pertanyaan Teo membuatku menghentikan langkah. Aku berbalik menatap danau. “Ke danau cukup sering. Kamu lihat Menara itu?”Teo mengikuti arah
Teo dan Neymar bicara cukup banyak dalam bahasa Belanda dan itu membuatku cukup pusing. Aku yang memang tidak tahu sama sekali hanya bisa gigit jari."Waktu papanya masih ada kami tinggal di belanda," terang Mbak Reyna seperti paham dengan kebingunganku. "Baru setelah papanya tidak ada, aku ajak Neymar ke Indonesia.""Papanya pasti hebat banget ya, Mbak?" tanyaku. Melihat soror mata Mbak Reyna yang menerawang jauh seakan melihat kehidupan mereka.Mbak Reyna mengangguk. "Dia suami terbaik di dunia ini. Ayah terhebat dan kekasih sejati. Sampai sekarang aku belum bisa melupakannya." Melihat sampai sekarang Mbak Reyna masih sendiri bisa kupastikan sosok suami Mbak Reyna memang luar biasa. "Kamu harus kuat, Amira. Jangan menyerah hanya karena Teo lupa tentangmu.""Pasti, Mbak. Sudah kuniatkan tetap mendampinginya meski dia tak ingat apa-apa.""Minta sama Allah. Doa yang banyak. Dekatkan diri sedekat-dekatnya. Jika Allah berkehendak, tak ada yang tidak mungkin."Aku terdiam. Tidak ibu tida
Di atas sajadah yang diberikan Mbak Reina aku bersimpuh memanjatkan doa. Memohon agar Teo baik-baik saja. Tak lupa aku menyebutkan satu doa khusus untuk buah hati kami."Ya allah kuatkan dia di rahimku. Izinkan kami bertemu dengannya tepat di waktunya nanti. Sudah cukup banyak yang kulalui. Jika memang cobaan bertubi-tubi ini engkau berikan agar aku mendekat, inilah saatnya Allah. Jangan tinggalkan hamba. Jangan buat hamba terus berburuk sangka. Tuntun hamba untuk kembali berjalan menujumu. Hamba memohon."Setelahnya satu sujud tambahan kulakukan. Sebuah kebiasaan yang kadang dilakukan ibu. Makna dari sujud itu tak lain tak bukan bentuk ungkapan syukur yang teramat dalam."Raline, Raline ...."Lirih kudengar Teo berkata. "Raline, Raline ...."Aku pun mempercepat gerakanku seraya mendekat ke ranjang tempat Teo terbaring. "Kamu kenapa, Teo?" tanyaku."Raline, Raline!" teriak Teo. Tiba-tiba matanya terbuka. "Di mana aku?" tanyanya.Kuamati wajahnya yang pucat. Bulir-bulir keringat di da
Aku tergopoh menghampiri ruang inap Teo. Pak Rama menyampaikan Teo sudah sadar dan sudah bisa ditemui. Begitu pintu ruang inap VVIP itu terbuka wajah pucat Teo menyapa.“Hai,” ujarnya saat tanpa permisi aku langsung menghambur ke peluknya. “Aku baik-baik aja,” imbuhnya.“Aku tau. Aku sudah tau semuanya.” Tanpa ingin diganggu aku tetap memeluknya. Sudah lama sekali rasanya tidak merasakan pelukan ini. Hingga tanpa sadar aku sedikit mendorongnya.“Sakit,” pekik Teo.Buru-buru aku mendongak. Menatap wajahnya yang memancarkan senyum manis. Ya, jarang sekali Teo tersenyum seperti ini. Setelahnya aku melihat dengan cukup jelas kaca-kaca di matanya.“Sekali lagi maafin aku. Maaf untuk semuanya.”Aku menggeleng. Permintaan maaf itu jelas sudah tidak perlu. Kesembuhannya serta kembalinya ingatannya sudah menjadi obat semuanya. Perasaanku yang sempat tercabik saat Teo tak mengenaliku seketika membaik.“Apa yang kamu pakai?” tanyanya setelah aku memosisikan diri dengan lebih nyaman. Tak lagi ber
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed
Aku bisa merasakan sentuhan itu. Seperti sesuatu yang telah lama kurindu. Rupanya saat aku menoleh, Teo ada di belakangku. Tangannya melingkar di perutku."Kamu udah pulang?" tanyaku meyakinkan.Teo mengangguk. Dia semakin mengeratkan pelukan. Pulang satu kata yang cukup jarang kami gunakan. Seharusnya sejak awal kami memang menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang bukan tempat singgah pelepas lelah. Setelah berbalik, kuamati wajahnya yang tampak tak terawat. Seperti foto yang dikirimkan Mas Arhab, Teo tampak berantakan. Kubelai lembut pipinya, dan aku bisa merasakan kulitnya yang kasar."Maaf," ujarnya. Saat aku memandanginya penuh dia berujar maaf."Kenapa?""Maaf karena tak pernah memberimu kabar."Aku tersenyum kecil. Dari mana dia paham perihal kabar? Apa dia sudah menyadari sikapnya yang kadang keterlaluan? Aku pun mengangguk."Maaf sudah membuatku khawatir," imbuhnya. "Aku suami yang tidak tahu diri."Buru-buru aku menggeleng. Tentang suami yang tak tahu diri aku kurang setuj
Pov TeoBerkas-berkas itu terus menumpuk bahkan setelah aku membaca dan menandatanganinya. Pak Rama bilang ini baru di kantor utama belum yang di cabang perusahaan. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kubereskan dan sialnya si pelaku dari timbulnya masalah besar ini sudah pergi ke neraka. Sesuatu yang sangat amat tidak sesuai dengan harapanku. Seharusnya Baja tidak semudah itu meregang nyawa. Harusnya cecuruk itu membayar semua perbuatannya. Kini berkas-berkas ini serasa tak penting lagi karena aku tidak bisa menghukum pelakunya. Data-data yang kukumpulkan bersama Pak Rama pun menguap begitu saja. Baru aku akan meremas semua berkas ini saking kesalnya pintu kantor terbuka."Maaf, Pak. Ada tamu," ujar sekretaris yang berjaga di luar. Aku masih belum ingat siapa namanya."Saya bilang tidak mau menerima tamu hari ini. Kamu lupa?""Mohon maaf, Pak. Beliau memaksa dan katanya penting.""Lebih penting mana dengan perintah saya!" sentakku. Aku sedang tidak mau diganggu.Lalu muncul satu
“Mama tidak mau ada kekacauan di Aditama group. Mama pengen Aditama group bisa langgeng sampai cucu-cucu mama.” Mata Mama Ajeng berkaca. Beliau memintaku untuk mendekat. “Nanti kalau papanya sudah tua, sudah waktunya istirahat, dia yang bakal gantiin papanya. Kamu sedang mengandung calon pewaris Aditama Group, Mir. Kamu harus kuat dan jangan sampai omongan orang di luar mempengaruhi kamu. Jangan sampai kamu sama Teo goyah. Janji sama Mama, ya.” Kali ini Mama Ajeng tampak bersungguh-sungguh.Aku tidak mungkin menggeleng dengan keadaan Mama Ajeng yang semakin hari semakin memburuk. Selepas kepergian Papa, mau tidak mau Mama Ajeng perlu mengurus banyak hal. Di saat Teo sempat tidak mau bergabung dengan keluarga dan perusahaan, pastilah Mama Ajeng memikirkannya sendirian.“Iya, Ma. Amira janji Amira bakal damping Teo terus.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski masih dibalut dengan banyak keraguan. Setidaknya di depan Mama Ajeng aku perlu menjadi istri yang tidak membebani keluarga suami