Aku tergopoh menghampiri ruang inap Teo. Pak Rama menyampaikan Teo sudah sadar dan sudah bisa ditemui. Begitu pintu ruang inap VVIP itu terbuka wajah pucat Teo menyapa.“Hai,” ujarnya saat tanpa permisi aku langsung menghambur ke peluknya. “Aku baik-baik aja,” imbuhnya.“Aku tau. Aku sudah tau semuanya.” Tanpa ingin diganggu aku tetap memeluknya. Sudah lama sekali rasanya tidak merasakan pelukan ini. Hingga tanpa sadar aku sedikit mendorongnya.“Sakit,” pekik Teo.Buru-buru aku mendongak. Menatap wajahnya yang memancarkan senyum manis. Ya, jarang sekali Teo tersenyum seperti ini. Setelahnya aku melihat dengan cukup jelas kaca-kaca di matanya.“Sekali lagi maafin aku. Maaf untuk semuanya.”Aku menggeleng. Permintaan maaf itu jelas sudah tidak perlu. Kesembuhannya serta kembalinya ingatannya sudah menjadi obat semuanya. Perasaanku yang sempat tercabik saat Teo tak mengenaliku seketika membaik.“Apa yang kamu pakai?” tanyanya setelah aku memosisikan diri dengan lebih nyaman. Tak lagi ber
“Your sister, Teo. Dia keluargamu.”“Yang selama ini aku cari?”Aku mengangguk. Tanpa sadar mataku ikut mengembun. Terlebih saat melihat suamiku sebahagia itu.“Ini tidak salah?”Aku menggeleng. “Ini kenyataan, Teo. Selain kesembuhanmu, Allah beri kabar gembira yang menyempurnakan kebahagiaan kita. Aku hamil dan kamu bisa bertemu dengan saudaramu.”Teo mengangguk-angguk. Ia setuju dengan pendapatku. Ia tak henti menatap ponselku. “Kamu ada nomornya Mbak Rosma? Apa kamu bisa menghubunginya? Atau kita ke sana saja?”Aku menggangguk mantap. Semua pertanyaannya jelas akan terjawab. Terlebih saat aku dan Mbak Rosma sudah Menyusun janji temu. “Besok pagi beliau ke sini. Sekalian mau mampir ke resto.”“Tidak malam ini?”“Sudah terlalu malam. Kita juga butuh istirahat.”“Tapi aku tidak sabar.”“Apa kamu mau menghubunginya?” tawarku. Siapa tahu akan membantu Teo merasa lebih baik.Teo menggeleng. “Tidak perlu. Lebih baik kita tidur agar pagi cepat datang. Aku bisa bertemu kakakku.”Aku terseny
Pov Teo Aku tertegun melihat perempuan berjilbab besar itu. Dari mata dan raut wajah kami terlihat mirip tapi tidak seratus persen mirip. Anehnya bocah berusia tanggung yang datang bersamanya justru mirip sekali denganku. Seperti melihat versi diri saat seumuran dengannya. Aku terdiam cukup lama pasalnya tak bisa memulai percakapan lebih dulu. Mungkin lebih tepatnya apa yang harus kutanyakan. Kabarnya? Benarkah dia kakakku? Orang tua kami? Atau tentang kafenya di pinggir danau? Semua Nampak abu-abu. Sampai akhirnya Mbak Rosma menyodorkan sebauh foto. “Kamu yang tengah. Paling kecil sendiri,” kata Mbak Rosma. Dia memulai penjelasannya. Aku melihat cukup dekat foto yang diberikan Mbak Rosma. Ya, itu benar masa kecilku. Pertanyaan selanjutnya mengapa dia tidak mencari? Mengapa semua orang berkata jika keluargaku telah tiada? “Tidak cukup banyak waktu yang kami miliki untuk mencarimu. Papa Mama wafat tak lama setelah kita berpisah.”
Teo tidak menyampaikan apa-apa setelah dia pulang cukup larut. Aku pun tidak berani bertanya mengingat kebahagiaan hari ini tidak ingin kurusak dengan hal-hal yang mungkin akan merusaknya. Setelah Mbak Rosma dan Neymar menceritakan banyak hal, memberitahuku hal-hal baru dan pengalaman-pengalaman unik yang membuatku senang, Teo malah pulang selarut ini.“Sudah makan?” tanyaku setelah cukup lama terdiam. Aku tak tahan karena Teo juga tidak membuka obrolan.“Sudah, Tadi aku sekalian mampir ke rumah mama ajeng. Makan di sana,” jawab Teo dingin. Ya, dia nampak berbeda.“Sama Pak Rama?” tanyaku berusaha memperpanjang kata.Teo mengangguk. Dia mulai menaiki ranjang dengan terlebih dahulu menyibak selimut. “Aku lelah,” ucapnya.“Iya aku paham. Tapi saking sibuknya gak sempat antar Mbak Rosma.”“Aku sudah minta tolong sopir kita buat ngantar.”“Tapi Mbak Rosma baru ketemu kamu, kamu juga baru paham kalau beliau kakak kamu. Sudah langsung ditinggal?” cecarku. Di samping Teo tidak memberitahukan
Pov TeoAku tahu perempuan selalu membutuhkan penjelasan tentang banyak hal. Tapi sikap Amira semalam cukup keterlaluan. Aku yang hanya ingin tidur lelap di kamar sendiri pun tidak bisa. Akhirnya kuputuskan pergi tanpa memberi penjelasan. "Pak Rama tolong siapkan tiket ke bali untuk besok pagi. Penerbangan pertama," terangku saat menghubungi Pak Rama. "Siap, Pak."Kejelasan terkait kebakaran masih belum pasti. Aku harus mencari sampai ke akar-akarnya. Aku tidak mau Arga yang tidak bersalah harus menanggung semua. Sudah pasti Baja pelakunya, hanya dia bersembunyi entah di mana.Keberangkatanku ke Bali pun sengaja tanpa memberitahu Amira. Rasanya aku tidak mau dia terlibat mengingat kondisi tubuhnya. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada kandungannya. "Tidak menunggu ibu bangun, Pak?" tanya Mbak Dewi yang aku titipi pesan pagi ini."Tidak perlu. Pastikan Mbak Dewi temani jemput nenek Akila hari ini.""Pasti, Pak."Aku hanya tersenyum kecil pada Akila yang tengah berkutat di dapur. Gad
Kedatangan Martia dan Ibu cukup menghiburku. Kepergian Teo ke Bali menjadi tidak terlalu terasa. Apalagi Martia selalu ceria dengan banyolan-banyolan yang selalu bisa mengaduk-aduk perut."Sudah mau dilamar tapi dia gak mau, Mir," seloroh ibu saat kami membahas tentang jodoh yang tak kunjung datang."Gimana mau dianya duda anak satu," timpal Martia dengan gaya khasnya."Memangnya kalau duda kenapa?" tanyaku tak mau ketinggalan."Kalau duda macam Mas Arhab tak apa, Mir. Lah ini sudah mau sepuhhhhh."Ibu terkikik. Sambil memotong sayur kangkung yang beliau petik sendiri dari kebun untuk dimasak di rumah putrinya."Kenapa, Bu?""Mar, mar kok jauh amat sampe Arhab," timpal Ibu."Eh, sori Mir. Gak maksud bahas masa lalu.""Apaan, sante aja kali," ucapku sambil mengibaskan tangan. Sudah cukup lama tidak mengingat Mas Arhab memang."Eh, Mir. Mas Arhab dah lama lho gak balik kampung. Kayaknya sibuk banget di Jakarta. Kali aja bisa ketemuan, ya."Keningku berkerut. "Maksudmu?""Biasanya masih
Kondisi Mama Ajeng cukup serius. Meski sudah diperiksa dokter keluarga, Mama Ajeng masih tampak lemah. Kami yang menjenguk pun merasa tak enak karena malah membawa makanan yang tidak semestinya."Jangan sungkan Bu Niar, saya ini cuma masuk angin. Penyakit orang tua," kata Mama Ajeng saat Ibu menyampaikan permintaan maaf."Kalau Bu Ajeng sampaikan yang sebenarnya sama Amira kan kami ndak ke sini, Bu. Ndak ganggu waktu istirahat Bu Ajeng."Mama Ajeng menggeleng. "Saya juga kangen sama Amira sama Akila sama cucu saya yang masih di perut juga. Makanya saya balas saja saya di rumah.""Tapi saya malah bawa makanan aneh-aneh, Bu," tutur Ibu. Kali ini terlihat lebih rileks."Semur jengkol sama ikan, Bu? Malah bisa dimakan anak-anak sama Mbak di dapur. Mereka kadang suka kangen masakan rumahan begitu. Saya malah senang bu. Makasih banyak sudah dibawakan ke sini."Ibu mengangguk kecil seraya meraih tangan Mama Ajeng. "Lekas pulih lekas aktivitas lagi ya, Bu. Habis ini kalau sudah nyapa semua or
Pov TeoAku cukup geli mengetikan kalimat itu untuk Amira. Tapi demi meredam kesalahpahaman aku tetap melakukannya.[Sayang …. Maafin aku. I love you.]Sebenarnya aku menunggu balas segera karena siang ini aku harus bertemu seseorang yang akan membantu meluruskan kasus Arga. Semua bukti jelas mengarah pada Baja hanya aku belum bisa membongkarnya. Ada beberapa kejanggalan terkait aliran dana perusahaan selama Baja memegang kekuasaan. Pria itu selalu serakah. Dia kerap gelap mata saat membicarakan uang. Maka satu-satunya cara memancingnya agar muncul hanyalah dengan uang.Pertanyaan Martia terkait Raline cukup menyentakku. Pasalnya aku tidak mengantisipasi lebih awal. Ya, kedatanganku ke Bali salah satunya untuk bicara dengan Raline tanpa interfensi dari Baja. Dan sekarang aku sedang dalam perjalanan menujunya."Sudah sampai, Pak?" tanyaku begitu Pak Rama memberhentikan mobilnya."Apartemen?" tanyaku heran."Lebih tepatnya semacam penthouse, Pak.""Banyak duit mereka?""Ini salah satu a
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed
Aku bisa merasakan sentuhan itu. Seperti sesuatu yang telah lama kurindu. Rupanya saat aku menoleh, Teo ada di belakangku. Tangannya melingkar di perutku."Kamu udah pulang?" tanyaku meyakinkan.Teo mengangguk. Dia semakin mengeratkan pelukan. Pulang satu kata yang cukup jarang kami gunakan. Seharusnya sejak awal kami memang menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang bukan tempat singgah pelepas lelah. Setelah berbalik, kuamati wajahnya yang tampak tak terawat. Seperti foto yang dikirimkan Mas Arhab, Teo tampak berantakan. Kubelai lembut pipinya, dan aku bisa merasakan kulitnya yang kasar."Maaf," ujarnya. Saat aku memandanginya penuh dia berujar maaf."Kenapa?""Maaf karena tak pernah memberimu kabar."Aku tersenyum kecil. Dari mana dia paham perihal kabar? Apa dia sudah menyadari sikapnya yang kadang keterlaluan? Aku pun mengangguk."Maaf sudah membuatku khawatir," imbuhnya. "Aku suami yang tidak tahu diri."Buru-buru aku menggeleng. Tentang suami yang tak tahu diri aku kurang setuj
Pov TeoBerkas-berkas itu terus menumpuk bahkan setelah aku membaca dan menandatanganinya. Pak Rama bilang ini baru di kantor utama belum yang di cabang perusahaan. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kubereskan dan sialnya si pelaku dari timbulnya masalah besar ini sudah pergi ke neraka. Sesuatu yang sangat amat tidak sesuai dengan harapanku. Seharusnya Baja tidak semudah itu meregang nyawa. Harusnya cecuruk itu membayar semua perbuatannya. Kini berkas-berkas ini serasa tak penting lagi karena aku tidak bisa menghukum pelakunya. Data-data yang kukumpulkan bersama Pak Rama pun menguap begitu saja. Baru aku akan meremas semua berkas ini saking kesalnya pintu kantor terbuka."Maaf, Pak. Ada tamu," ujar sekretaris yang berjaga di luar. Aku masih belum ingat siapa namanya."Saya bilang tidak mau menerima tamu hari ini. Kamu lupa?""Mohon maaf, Pak. Beliau memaksa dan katanya penting.""Lebih penting mana dengan perintah saya!" sentakku. Aku sedang tidak mau diganggu.Lalu muncul satu
“Mama tidak mau ada kekacauan di Aditama group. Mama pengen Aditama group bisa langgeng sampai cucu-cucu mama.” Mata Mama Ajeng berkaca. Beliau memintaku untuk mendekat. “Nanti kalau papanya sudah tua, sudah waktunya istirahat, dia yang bakal gantiin papanya. Kamu sedang mengandung calon pewaris Aditama Group, Mir. Kamu harus kuat dan jangan sampai omongan orang di luar mempengaruhi kamu. Jangan sampai kamu sama Teo goyah. Janji sama Mama, ya.” Kali ini Mama Ajeng tampak bersungguh-sungguh.Aku tidak mungkin menggeleng dengan keadaan Mama Ajeng yang semakin hari semakin memburuk. Selepas kepergian Papa, mau tidak mau Mama Ajeng perlu mengurus banyak hal. Di saat Teo sempat tidak mau bergabung dengan keluarga dan perusahaan, pastilah Mama Ajeng memikirkannya sendirian.“Iya, Ma. Amira janji Amira bakal damping Teo terus.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski masih dibalut dengan banyak keraguan. Setidaknya di depan Mama Ajeng aku perlu menjadi istri yang tidak membebani keluarga suami