Pukul 9.30amNada diam menatap anaknya yang baru saja tertidur. Pelan ia menarik putiing susunya dari mulut Yoona. Merapikan baju dan menyelimuti tubuh kecil Yoona dengan selimut bulu berwarna ungu terong. Mengecup pipi cubby Yoona pelan-pelan dan tersenyum saat menyadari betapa miripnya wajah Yoona dengan Lingga.Nada mengambil hp, mengusap layar dan membaca chat dari Dila yang belum sempat ia balas. Bukannya memanfaatkan Lingga, tapi setelah Nada dinikahi Lingga, Dila jadi punya hp sendiri. Nggak lagi ngerusuhin hp punya Faiz.[picture][Ponakan kamu baru aja tidur] send Dila.Nada mengusap-usap layar dan membuka status whatshap milik teman-teman yang tersimpan di kontak hp-nya. Kebanyakan teman-temannya itu kerja. Yang melanjutkan kuliah hanya beberapa saja. Tiba-tiba ada rasa yang iri di dalam hati Nada. Berandai, seandainya belum hamil, mungkin masih bisa bebas. Masih bisa hang out bareng teman-teman dan ke sana ke mari tanpa memikirkan anak yang akan nangis.Tapi….“Beruntung ba
[Beritanya langsung masuk dan jadi trending di tv. Ibu bisa melihatnya tanpa harus ke lokasi]Sebuah chat yang belum lama masuk di hp. Bu Marlin tersenyum penuh kemenangan. Ia mengetik beberapa huruf untuk membalas chat dari seseorang yang sudah ia bayar untuk melakukan suatu keinginan yang ‘kotor’.[Kerja bagus. Aku akan transfer sisanya] send BKeluar dari aplikasi chat itu lalu masuk ke aplikasi mbangking. Menguta-atik untuk membayar pesuruh yang tadi itu. Setelah mengirim bukti transfernya, bu Marlin menjatuhkan punggung ke sandaran sofa. memejamkan mata dengan bibir yang tersenyum lebar.‘Enak saja! Udah cerai dari mas Fandi, dapat hartanya setengah lebih, itu juga masih nuntut nafkah untuk Lauren! Dasar wanita tak tau diri! Matre sekali!’ maki bu Marlin ke mama Ajeng yang sekarang telah menjadi orang paling ia benci.Ddrtt… ddrtt….Hp miliknya yang ada di atas meja itu berdering, membuat bu Marlin beranjak menegakkan tubuh. Meraih hp yang layarnya menyala. Ada nama ‘Adisti’ yang
Ludes tak bersisa. Cuma ada kurang lebih lima persen dari seratus persen barang yang semua ada di gudang ini. Semua hilang menjadi abu. Ketika Lingga mendatangi gudang, asap yang ada di beberapa kayu bangunan gudang masih mengepul.Lingga memejam dalam dengan tangis di dalam dada yang tertahan. Kali ini terasa seperti ada gunung Slamet yang jatuh menimpa dada. Hampir seratus persen tabungannya telah digunakan untuk mengembangkan usaha barunya. Lalu, sekarang bagaimana?“Pak,” panggil Kurnia, ia menatap boss-nya dengan tatapan prihatin.Mau bilang jika tak perlu dulu memikirkan gaji karyawan, tapi mereka sebagai orang yang memiliki jabatan tinggi enggak bisa egois begitu. Enggak ada yang tau kepentingan dan kebutuhan setiap orang. Jadi, yang namanya hak itu tetap harus diberikan.“Saya bulan ini dan bulan berikutnya enggak digaji dulu nggak apa-apa. Saya akan bantu pikirkan untuk tetap bisa ngirim barang ke ‘Surya crop’ dan ke beberapa toko yang pembayarannya sudah masuk ke perusahaan.
[Enggak apa-apa, Mas. Kamu juga nggak pernah perhitungan sama keluargaku. Besok kalau punya uang lebih, ibu akan beli sawah lagi.]Nada menghela nafas membaca chat ke suami yang sudah centang dua biru, tapi belum dibalas lagi. Ia mengangkat wajah, menatap ibunya yang baru keluar dari ruang dalam. Bu Salma sudah pakai pakaian rapi, ada sertifikat tanah di tangan kanannya.“Ibu pergi ya,” pamitnya.Nada beranjak, melirik Yoona yang tiduran di karpet sambil pegang mainan. “Buk, bentar. Tunggu mas Lingga balas chatku.”Bu Salma tersenyum kecil. “Kenapa harus menunggu chat dibalas? Niat membantu itu nggak perlu begitu. Ibu ikhlas kok. Udah, ibu pergi ya. Keburu pak Lurah nanti nggak di rumah.”Nada menggigit bibir, iya sih bahagia karna ibunya amat peduli dengan suami. Tapi….“Bu,” panggil Nada sembari mencekal pergelangan tangan ibunya. “Ibu Cuma punya tanah itu. Masih ada Faiz dan Dilla.” Nada menggelengkan kepala. “Aku nggak mau semua dijual buat suamiku, buat aku. Anak ibu harus dapat
[Aku akan amat sibuk dalam satu minggu ini. Semua karyawanku lembur di lapangan jadi aku nggak pegang hp, sayang] Lingga mendapatkan solusi untuk kerugian yang sudah terjadi. Tapi sedih karna di saat LDR seperti sekarang ini, hanya hp yang bisa membuatnya tak kesepian dan tetap merasa dekat dengan suaminya.Cckk, ternyata rasa cinta itu sudah hadir di dalam hati Nada, tanpa Nada sadari kapan hadirnya.Lelaki tampan, fisiknya teramat sempurna dan memiliki karir yang bagus. Mau bertanggung jawab, bahkan menyayangi keluarganya juga. Wanita mana yang nggak jatuh cinta?Nada meletakkan hp di atas meja. Beranjak dari duduknya dan mendekati bu Salma yang sedang bermain sama Yoona. “Bu, aku ke warung bentar ya. Mau beli sabun mandi. Punya Yoona habis.”“Nitip beli merica ya. Nanti ibuk mau buat bakwan sayur.”Nada menganggukkan kepala. Melangkah keluar rumah setelah mencoel pipi Yoona. Jalan kaki ke warung yang masih ada satu RT. Mungkin sekitar 30 meter dari rumah Nada.“Eh, Nada,” sapa bu S
Lingga melepaskan ikat pinggangnya. Mendudukkan diri di tepi ranjang kecil yang selama satu minggu ini telah menjadi tempatnya berpulang. Demi tak membuat kliennya kecewa dan berdampak buruk pada kemajuan perusahaannya, Lingga mati-matian ikut terjun ke lapangan dan membantu karyawannya menyelesaikan pesanan yang deadline.Malam ini, jam 12 lebih beberapa menit ia baru bisa beristirahat. Lingga tersenyum menatap layar ponsel yang menampilkan beberapa chat masuk. Chat dari Nada yang berisi beberapa vidio pendek Yoona dan juga bentuk perhatian istri yang mengingatkan untuk makan dan istirahat.[Aku baru masuk kamar, sayang. Aku mandi dulu ya, nanti aku vidio call] send Nada.Buru-buru Lingga melangkah masuk ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan kamar pribadinya ini. Enggak lama, karna pada umumnya cowok itu kalo mandi selalu kilat. Dia keluar bertelanjang dada. Hanya pakai celana kolor dan tangannya sibuk mengusap-usap rambutnya yang basah pakai handuk. Merasa jika sudah sedikit keri
Buru-buru Bu Marlin keluar dari kamar setelah telpon suaminya itu berakhir. Ia melangkah lebar ke ruang tamu untuk menemui teman-teman sosialitanya yang sedang makan-makan.“Udahan telponanya, jeng?” tanya salah satu temannya yang pakai blouse warna hitam.Bu Marlin tersenyum canggung. “Suamiku sudah di jalan untuk pulang. Aku minta maaf ya. Kalian sepertinya harus pulang dulu. Kita senang-senangnya lanjut besok saja, oke?”Lima orang yang ada di ruang tamu ini tersenyum santai. Mereka paham dengan Marlina yang janda dan baru saja bersuami. Pasti serasa pengantin baru juga.“Cckk, santai saja, Lin. Kita bisa mengerti.”“Iya. Besok agendakan lagi. Nggak apa-apa untuk hari ini cancel party kita.”Bu Marlin tersenyum lega karna teman-temannya bisa mengerti. “Aaa… makasih. kalian memang teman terbaik. Enggak salah aku berkumpul dan selalu barengan sama kalian.”“Yasudah kalau begitu. Kita-kita pulang ya,” pamit si ibu yang sudah menenteng tas brand ternama berwarna kuning mustard itu. Dia
“Buk, Dilla pergi ke mana? Dari pagi aku kok nggak lihat,” tanya Nada, memerhatikan ibunya yang selonjoran di karpet depan tv.“Tadi pagi pergi sama Yoga.” Santai bu Salma menjawab, mengulurkan mainan buah pisang yang terbuat dari kain, mirip boneka. “Ini yang terong. Eh, suka warna ungu kaya’nya,” katanya ketika Yoona langsung ngambil yang terong, bukan yang pisang.Nada ikut duduk di sebelah Yoona dengan amngkuk kecil berisi nasi bercampur sayuran yang sudah ia lembutkan. “Ijin sama ibuk?”Bu Salma menganggukkan kepala. “Iya. Ijin sama ibuk perginya. Ibuk bilang kalo pulangnya nggak boleh lewat dari jam empat.”“Sekarang udah jam empat, Buk,” ucap Nada, melirik ke jam dinding yang tercantel di atas tv.Bu Salma sedikit terkesiap kala melihat jarum jam yang panjang di sana hampir menunjuk di angka 12. Yang artinya, sebentar lagi sudah jam lima sore. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya Dilla mengenal lelaki. seharusnya memang tidak mengijinkan, hanya saja mereka takut kalau terla
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep
Bali.Yang Nada pilih adalah pulau Bali. Lingga sudah menawari untuk ke Prancis, atau ke Korea, atau ke negara yang lainnya. Tapi Nada tetep, pengennya ke Bali. Pengen mengunjungi yang masih ada di satu negara lebih dulu. Dan jika masih diberi waktu lagi, baru dia ingin mencoba ke luar negri.Lingga memilih villa yang privat. Hanya orang-orang penghuni villa VIP saja yang bisa mengunjungi pantai. Villanya ada tepat di tebing, di atas pantai dan bisa dikatakan jika ada di atas bebatuan tebing. Dengan lift mereka berdua turun.Nada tersenyum bahagia ketika kakinya yang memakai sendal jepit itu menginjak pasir putih, pasir pantai Bali. “Yaampun, indah banget….” Pujinya dengan wajah berbinar dan matanya mengelilingi pemandangan yang memang indah, sejuk serta … serasa dunia milik mereka berdua.Lingga memeluk Nada dari belakang, dagunya bertopan di bahu sebelah kanan sambil menikmati belaian angin pantai yang menerpa wajahnya.Nada memejamkan kedua mata, kedua tangan terlentang dan menghir
“Aaahh,” desah Lingga sambil terus bergerak di atas tubuh Nada. Tangannya memegangi kedua kaki Nada yang dikangkangkan lebar.Nada menggigit bibir, menutup mulut agar tidak mendesah kencang karna takut mengganggu tidur Yoona. Kepalanya menggeleng ketika pergerakan Lingga semakin cepat, dan dia sendiri sedikit menggelinjang karna telah mencapai titik puncak. Nada mengamati suami yang masih diam di depannya. Tubuh putih berotot Lingga dipenuhi oleh keringat. Rambutnya yang sedikit memanjang itu pun sampai basah dan ada keringat yang menetes dari pelipisnya.Pelan Lingga menarik barangnya sambil mengamati barang berharga milik istrinya yang ia tinggalkan. Cairan putih kentalnya mengalir keluar dari milik Nada. Lingga mengambil tissu, mengusap milik istrinya itu dengan tissu. Setelahnya membersihkan miliknya sendiri sambil duduk di tepi ranjang menunggu keringatnya habis.Nada beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi sambil membawa dress tidurnya. Cuma sebentar, karna Cuma membersihkan y
Caffe shop, caffe kecil yang ada di depan gedung perusahaan milik Lingga pribadi. Di sini Adis duduk menatap ke arah gedung perusahaan yang tentunya tidak sebesar perusahaan miliknya. Lebih tepatnya milik papa Fandi dan almarhum papanya.Adis menegakkan tubuh, merapikan penampilannya saat melihat mobil hitam yang memasuki halaman caffe shop. Awas ia menatap mobil itu. Mengulum bibir ketika melihat pintu bagian kemudi dibuka dan seorang lelaki yang memang ia tunggu telah melangkah turun.Lingga, lelaki yang sampai detik ini tetap paling tampan di mata Adis. Lelaki yang bagi Adis telah mendekati sempurna, tapi sayangnya… dia tak berjodoh.“Lingga,” sapa Adis, mengangkat sedikit tangannya.Lingga yang baru memasuki pintu caffe mendekat. Mengulurkan tangan ke Adis, mengajak jabatan.Tak langsung meraih tangan itu, Adis menunduk menatap telapak tangan yang mengarah padanya lebih dulu.“Lama sekali tak pernah bertemu. Kabar baik, kan hari ini?” tanya Lingga.Adis tersenyum, menyambut tangan