Reza merasa kebingungan melihat Riris dan Dimas berlari meninggalkannya begitu saja di area parkir Masjid.
"Apa-apaan ini, aku ditinggalin begitu aja, tanpa ada yang pamit padaku. Padahal hampir saja cincin dan mahar itu berada di tanganku, huh sial!!" Reza menyepakkan kaki kanannya di atas tanah. Wajahnya nampak kesal.Akhirnya Reza berjalan kembali ke mobilnya dan berniat untuk pulang kembali ke rumah."Huft, kalo begini jadi ribet urusannya. Padahal tadi itu dengan mudah aku bisa mendapatkan kembali cincin dan maharnya. Ini pasti nanti bunda akan mendesakku lagi soal ini." Reza menggerutu sendiri sambil mengendarai mobilnya menuju rumah.Sesampainya di rumah, Reza langsung disambut oleh bundanya yang nampak begitu panik."Reza ... untung Kamu cepet pulang. Dari tadi bunda teleponin Kamu tapi nggak nyambung terus sih!"Reza mengeluarkan gawainya dari saku dan mengeceknya."Waduh maaf Bun, ternyata Reza baterai handphoneku habis. Ada apa toh Bun, kok keliatan panik gitu?""Sini duduk dulu Za!" Bunda dan Reza kemudian melangkah menuju sofa yang ada di ruang tamu."Za, tadi bunda telepon orang tuanya Riris. Bunda mau minta maaf atas apa yang sudah Kamu lakukan kemarin usai resepsi. Tapi malah mereka kaget mendengar cerita dari Bunda, masak mereka nggak tau tentang hal besar ini Za?" Bunda Reza bercerita dengan wajah tegang saat mereka telah duduk bersisihan di sofa. Reza nampak terkejut mendengar penjelasan dari bundanya."Trus Za, saat pembicaraan bunda dengan bapaknya Riris belum selesai, tiba-tiba bunda mendengar suara ibunya Riris berteriak memanggil suaminya. Bapak ... Bapak ... kenapa Pak?! Trus telepon terputus Za. Kira-kira kenapa ya Za? Bunda jadi ikut khawatir ini."Reza mengernyitkan dahi, mulai mencerna apa yang telah terjadi."Oh jadi karena ini bapaknya Riris kena serangan jantung ... aduh Bun, coba tadi Bunda nggak usah telepon orang tuanya dulu. Kan nggak begini jadinya!""Loh kok Kamu jadi nyalahin bunda sih? Ya mana bunda tau kalo kejadiannya bakal begini. Lagian Kamu tau darimana kalo bapaknya Riris kena serangan jantung?" Bundanya Reza nampak kesal merasa putranya telah menyalahkan dirinya."Jadi gini loh Bun, tadi tuh Reza janjian ketemuan sama Dimas sepupunya Riris di Masjid Kampus, eh nggak taunya Riris juga ada di sana bersama Dimas Bun. Hampir saja Riris mau memberikan cincin dan maharnya pada Reza, tapi jadi gagal gara-gara Riris dapet telepon dari ibunya, dia sempet teriak kalau bapaknya kena serangan jantung, trus Riris sama Dimas pergi aja ninggalin Reza di parkiran," jelas Reza panjang lebar."Oh gitu toh ... waduh gimana ini? Bunda kan nggak tau kalo bapaknya Riris itu punya penyakit jantung." Sesaat mereka berdua terdiam dengan pikirannya masing-masing."Ya udah Za, besok kita ke Solo aja, ke rumahnya. Sekalian menengok bapaknya Riris. Syukur-syukur kita bisa mendapatkan cincin dan mahar itu kembali.""Mm ... baiklah Bun. Ayah diajak nggak Bun?""Nggak usahlah, kita berdua aja. Ayahmu kan ada jadwal ngajar di kampusnya besok, biar kita berdua aja yang ke Solo," jawab bundanya Reza.Ya, ayahnya Reza berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas swasta terkenal di kota itu.***Sementara itu Riris dan Dimas masih dalam perjalanan menuju Solo. Riris kembali menelepon ibunya untuk mengetahui perkembangan terbaru bapaknya."Halo Bu, Assalaamu'alaikum, gimana kondisi bapak sekarang?""Bapak sudah mendapatkan tindakan di IGD Nduk, dan sekarang bapak sudah masuk ke ruang ICU." jawab ibunya Riris dengan suara bergetar, nampak kecemasan yang sangat dari suaranya."Di rumah sakit mana Bu, biar Riris sama Mas Dimas langsung ke sana.""Di RSUD Ris, kamu cepet ke sini ya!""Iya Bu, ini sebentar lagi kita mau sampe Solo, Ibu yang tenang ya," jawab Riris di sambungan teleponnya."Mas Dimas, kita nanti langsung ke RSUD ya, bapak dirawat di sana," pinta Riris kepada Dimas setelah menutup pembicaraan di telepon dengan ibunya."Iya Ris," jawab Dimas singkat, dia masih fokus nyetir mobil dengan kecepatan di atas rata-rata agar bisa segera sampai ke rumah sakit.Tak berapa lama mereka akhirnya tiba di RSUD. Setengah berlari mereka langsung mencari ruang ICU tempat ayah Riris menjalani perawatan intensif."Ibuuuu .... !" panggil Riris saat melihat sosok ibunya yang sedang duduk dengan kepala tertunduk, di salah satu bangku yang berderet di depan ruang ICU.Riris berlari menghambur ke arah ibunya, mereka kemudian saling berpelukan dan menangis."Bapak ... bapak kenapa, kok bisa kena serangan jantung Bu?" tanya Riris saat mereka kembali duduk di bangku yang berderet itu. Reza tidak ikut duduk, dia hanya berdiri di depan Riris dan ibunya, menyimak percakapan antara Riris dan ibunya."Tadi Bapak sedang terima telepon dari ibunya Reza, ibu yang cuma duduk di sebelah bapak hanya menyimak mereka ngobrol di telepon. Tiba-tiba wajah bapak nampak tegang Ris, dan bapak langsung memegang dadanya sambil meringis kesakitan, handphone bapak sampai terjatuh di lantai. Ibu panik Ris, ibu langsung minta tolong sama Pak Kardi tetangga sebelah rumah untuk bantu bawa bapak ke rumah sakit." jelas ibunya Riris panjang lebar.Riris menyimak cerita ibunya dengan wajah cemas, dia kemudian menatap Dimas penuh makna saat ibunya selesai bercerita."Sebetulnya ada apa ya Ris? Kok bapak jadi kena serangan jantung saat nerima telepon dari ibunya Reza?" Rupanya ibunya Riris masih belum tahu apa sebetulnya yang terjadi.Riris langsung menduga bahwa ibunya Reza pasti sudah menceritakan semuanya kepada bapak. Apa yang ditakutkan Riris akhirnya terjadi. Riris merasa kecewa sekali, dia sudah berusaha menutupi perbuatan Reza kepada dirinya untuk menjaga kesehatan bapaknya. Tapi kini usahanya telah sia-sia, akhirnya bapaknya malah mengetahui berita ini dari besannya sendiri."Ris ... kok malah melamun?" Panggilan ibunya Riris menyadarkan Riris dari lamunannya."Oh ... eh, i-iya Bu," sahut Riris dengan gelagapan."Ris, cerita sama ibu, ada masalah apa sebenarnya? Melihat respon bapakmu saat di telepon tadi sepertinya ada masalah besar Ris. Ayo ceritakan pada ibu." Ibunya Riris kembali mendesak Riris untuk bercerita.Riris nampak bingung, haruskah dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya? Ibunya pasti akan merasa terluka. Tapi semuanya sudah terlanjur, sudah saatnya Riris jujur kepada ibunya."Bu ... Riris akan ceritakan semuanya, tapi nanti setelah Riris liat bapak dulu ya Bu, Riris pingin nemuin bapak di ruang ICU," pinta Riris kepada ibunya."Baiklah Nduk, masuklah ke dalam liat bapak, doakan bapak ya, bapak masih belum sadar juga," ucap ibunya Riris sambil mengusap bulir bening yang terjatuh di pipinya.Karena penjenguk pasien ruang ICU dibatasi, jadi hanya Riris yang masuk ke dalam ruang ICU. Setelah mengenakan gaun protektif berwarna hijau polos Riris menemui bapaknya yang berada di ranjang bagian tengah dari lima deret ranjang pasien yang ada di dalam ruangan tersebut. Suara alat-alat monitor terdengar seolah saling bersahutan.Riris berdiri di sisi ranjang tempat bapaknya berbaring lemah. Nampak selang ventilator dan kabel dari monitor terhubung di badan bapak yang terbaring lemah tanpa sadar itu."Bapak ... ini Riris Pak," panggil Riris dengan terisak. Disentuhnya telapak tangan bapaknya, di usap pelan punggung tangan itu, kemudian dengan membungkuk Riris mengecup punggung tangan lelaki yang selama ini selalu menjadi pahlawannya sejak dia dilahirkan itu.Bulir-bulir bening kembali tumpah dari sudut netra Riris. Iya sangat sedih melihat kondisi bapaknya yang seperti itu."Bapak, Riris mohon, Bapak yang kuat ya, Riris dan ibu sangat sayang sama Bapak, kami masih membutuhkan Bapak, cepat sadar ya Pak, ... Riris di sini baik-baik saja Pak." Riris berusaha mengajak ngobrol bapaknya walaupun Riris tahu saat itu bapaknya masih kehilangan kesadaran. Riris yakin suaranya akan di dengar oleh bapaknya. Dan sentuhan tangannya akan dirasakan juga oleh bapaknya.Setelah Riris puas mengobrol sendiri dengan bapaknya, dia memanjatkan doa kesembuhan untuk bapaknya. Riris berdoa dengan khusyuk di sisi ranjang bapaknya. Dia sungguh-sungguh berharap kepada Sang Maha Kuasa agar berkenan mengabulkan permintaannya saat di Masjid Kampus tadi dan saat ini.Agak lama Riris berdiri terpaku di sana sambil terus memandangi wajah bapaknya. Rasanya dia tidak mau pergi meninggalkan bapaknya barang sedetikpun. Namun di luar sana ibunya dan Dimas sudah menunggu Riris. Teringat olehnya bahwa ia akan menceritakan semuanya kepada ibunya. Akhirnya Riris keluar dari ruangan yang suasananya nampak mencekam itu, meninggalkan bapaknya yang masih tergolek lemah di atas ranjang.Riris kembali menemui ibunya di ruang tunggu pengunjung pasien ICU. Dimas bergantian masuk ke dalam Ruang ICU, dia juga ingin menjenguk dan mendoakan pakleknya.Saat Dimas sudah masuk ke ruang ICU, Riris mulai menceritakan kejadian yang menimpanya usai resepsi kemarin dengan runut kepada ibunya. Ibunya sungguh terkejut mendengar semua penjelasan Riris."Ya Allah Nduuk ... kenapa nasibmu malang begini .... " ratap ibunya Riris dengan berurai air mata. Dipeluknya Riris dengan erat, di usapnya kain jilbab yang menutupi kepala Riris. Mereka berdua saling berpelukan dalam tangis dan deraian air mata."Kenapa Kamu nggak cerita dari awal sama ibu Nduk? Kamu sampe berpura-pura tidak terjadi apa-apa saat itu padahal hatimu sedang terluka." ucap ibunya Riris di sela-sela tangisannya."Riris takut Bu, Riris nggak mau membuat Ibu dan bapak bersedih dan kecewa, apalagi bapak kan punya riwayat sakit jantung Bu. Riris nggak mau terjadi apa-apa sama bapak. Tapi qodarullah akhirnya malah seperti ini, yang Riris khawatirkan akhirnya terjadi juga," jawab Riris sambil terisak.Riris masih berada dalam dekapan hangat ibunya, ketika tiba-tiba seorang dokter laki-laki dengan balutan jas putihnya disusul oleh Dimas, keluar dari Ruang ICU untuk menemui Riris dan Ibunya.Apakah yang terjadi? Apa yang akan disampaikan oleh dokter jaga ICU itu kepada Riris dan ibunya?Bersambung.Melihat dokter dan Dimas keluar dari ruang ICU dan berjalan mendekati kursi tempat Riris dan ibunya duduk, mereka berdua segera beranjak dari duduknya. Dengan wajah cemas Riris langsung bertanya kepada dokter tersebut."Dok, gimana kondisi bapak saya Dok?""Ada kabar gembira, baru saja Pak Rohman telah sadar. Jika sampai besok kondisinya tetap stabil, maka bisa dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Namun pesan saya sebaiknya pasien dijaga suasana hatinya, hindari hal-hal yang bisa memicu stress agar penyembuhannya bisa berjalan cepat," jelas dokter.Serempak Riris dan ibunya mengucap syukur, "Alhamdulillaah .... "Riris mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian tersungging seulas senyum manis dari wajahnya. Dia merasa lega dan bahagia mendengar berita baik tentang bapaknya."Baiklah saya permisi dulu," pamit dokter."Iya Dok, terima kasih banyak," sahut ibunya Riris."Ris, paklek sadar tak lama saat aku berdiri di sisi ranjang paklek. Beliau sempet manggil namamu. Aku
Setengah berlari aku menuju kamar tempat bapak dirawat. Hatiku diliputi rasa cemas tak karuan. Ya Allah semoga bapak baik-baik saja, tak henti-hentinya ku berdoa dalam hati. Jantungku semakin berdebar kencang entah kenapa, semoga tidak ada hal buruk yang terjadi.Akhirnya sampai juga aku di depan kamar tempat bapak dirawat, segera kubuka pintu kamar. Mataku langsung tertuju pada ranjang yang berada di sudut kamar. Aku bernapas lega saat melihat bapak sedang tertidur dengan posisi miring membelakangi arah aku berdiri.Kulangkahkan kakiku menuju nakas di samping ranjang dan meletakkan obat yang baru saja kutebus di atas nakas. Bapak sedang tidur, sebaiknya aku tidak usah membangunkannya dulu.Napasku masih ngos-ngosan, ku hempaskan diriku di atas sofa kecil di depan ranjang bapak. Fiuuh, alhamdulillah bapak nggak kenapa-kenapa. Ya Rob, kenapa Mas Reza dan ibunya itu selalu menguji kesabaran kami. Semoga saja aku nggak ada lagi urusan dengan mereka setelah ini. Pergi jauh-jauh saja darik
Proses memandikan dan mengkafani jenazah bapaknya Riris selesai sebelum waktu Ashar. Semuanya berjalan lancar, jenazah tiba di rumah duka pukul empat sore. Di rumah sudah berdiri kembali tenda untuk para pelayat. Bendera kuning juga sudah di ikat di gapura masuk lingkungan dukuh tempat Riris tinggal. Para pelayat yang sebagian besar warga desa dan sekitarnya sudah banyak yang datang. Mendiang Pak Rohman semasa hidupnya memang dikenal baik, ramah dan aktif dalam kegiatan sosial masyarakat di desa tersebut, jadi tidak heran jika banyak warga dan kerabat yang datang untuk takziah. Mendiang bapaknya Riris juga dikenal oleh banyak petani, karena semasa hidup dia usahanya adalah sebagai tengkulak, menampung dan membeli semua hasil panen padi warga desa dan sekitarnya untuk kemudian di kirim ke gudang yang lebih besar di kota. Selain itu mendiang Pak Rohman juga memiliki beberapa petak sawah warisan dari orang tuanya. Dari situlah mendiang bapaknya Riris bisa membiayai sekolah Riris hingg
Aku tidak menyangka akan nasib yang menimpa Riris. Sungguh malang sekali dia, sejak menikah dengan sahabatku, Reza. Tak kukira Reza bisa setega itu terhadap Riris. Harapanku yang sangat besar terhadap Reza agar bisa membahagiakan adek sepupuku itu, ternyata jauh dari kenyataan. Justru luka dan kesedihan yang Reza berikan padanya.Malam hari, setelah pulang dari rumah Riris, selepas mengurusi pemakaman mendiang Paklek Rohman, aku merenung di kamarku. Memikirkan nasib Riris yang malang. Aku merasa ikut andil dalam musibah yang telah dialaminya.Seandainya saja aku tidak menjodohkannya pada Reza, mungkin Riris tidak akan mengalami nasib seperti ini. Namun sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai dan menyesali apa yang sudah terjadi. Ini semua sudah digariskan oleh Allah Yang Maha Kuasa.Tiba-tiba ingatanku melayang kembali ke masa kecil, saat itu aku yang masih kelas lima SD, melihat Riris kecil yang sedang menangis sendirian, duduk di dangau yang ada di tepi sawah. Saat it
Sementara itu di Jogja, Reza sudah menjalani aktifitas seperti biasanya. Bekerja dan kadang nongkrong di Kafe bersama teman-teman kerjanya. Di hari week end dia suka berolah raga, futsal, fitness, kadang jogging di depan Gedung Graha Sabha Pramana UGM, niatnya sih sekalian cuci mata. Siapa tahu dia bisa bertemu dengan mahasiswi cantik di sana. Dasar Reza, matanya masih suka jelalatan, dia sepertinya sudah betul-betul melupakan pernikahannya dengan Riris. Tidak ada rasa bersalah dan menyesal di dirinya."Za, gimana proses pengajuan Pembatalan Pernikahanmu di Pengadilan Agama?" tanya bundanya Reza ketika mereka sedang sarapan pagi itu."Alhamdulillah lancar Bun, berkat bantuan Om Andri yang bekerja di sana, semuanya jadi lebih mudah, tinggal menunggu sidang keputusan pengadilan" jawab Reza setelah meneguk secangkir kopi latte nya."Baguslah kalau begitu Za, semoga segera diputuskan oleh pengadilan, agar statusmu tetap lajang di KTP, biar nanti Kamu gampang kalau mau nyari istri lagi, ng
Mobil minibus mewah berwarna hitam mengkilat itu kemudian berjalan perlahan keluar dari halaman rumah Riris. Meninggalkan Bu Kardi yang masih terbengong dan berdecak kagum."Siapa toh pemuda itu? Udah ganteng, keren, sepertinya dia orang kaya. Mobilnya aja buagus banget. Ck ... ck ... ck!" gumam Bu Kardi. Lidahnya terus berdecak diiringi dengan geleng-geleng kepala.Sementara itu di dalam mobil mewah, pemuda tampan itu terus mengamati suasana desa yang dilaluinya."Desa ini tidak banyak perubahan," gumamnya.Ketika mobil itu melewati tepi areal persawahan, pemuda itu menegakkan duduknya dan menoleh ke arah kiri jalan."Berhenti dulu sebentar, Pak Dul!" pinta pemuda itu kepada sopirnya."Baik Pak," jawab sopirnya dengan suara pelan.Pemuda itu kemudian menekan tombol pintu mobil otomatisnya sehingga pintu itu terbuka perlahan. Dijejakkannya sepatu hitam mengkilatnya ke permukaan jalan berbatu itu. Dia berdiri di sisi mobilnya, termangu menatap sebuah rumah sederhana di tepi sawah. Ruma
Saat menuju kosan Dimas, tiba-tiba gawai Riris berdering. Bergegas di ambilnya benda pipih itu dari dalam swing bag-nya. Terpampang nama Reza di layar itu.'Hh, dia lagi ... ada apa sih telepon aku lagi? Bukankah urusan kami sudah selesai?' Batin Riris merasa kesal."Siapa yang telepon Ris?" tanya Dimas penasaran."Laki-laki itu Mas," jawab Riris tanpa mau menyebut nama mantan suaminya. Gawainya masih terus berdering."Heh, mau apalagi dia, angkat aja Ris, kalau dia macem-macem akan berhadapan sama aku," tukas Dimas kesal. Riris akhirnya menerima panggilan telepon dari Reza."Ada apa sih, Kamu menelepon saya terus?!" bentak Riris kesal. Riris yang biasanya sabar entah mengapa kali ini begitu emosi menjawab telepon dari Reza. Dia merasa sudah lelah berurusan dengan lelaki pengecut itu."Heh, Ris! Kalau nggak mendesak banget juga aku nggak akan telepon Kamu, buat apa coba?" jawab Reza tak kalah sewot."Ya udah ada apa? Waktuku nggak banyak untuk meladeni Kamu!""Aku cuma mau buku nikah
Sesampainya di Solo, Pak Dul mulai melajukan mobilnya ke arah desa tempat tinggal Riris.'Loh, ini jalan menuju desa tempat tinggal Riris,' batin Reza.Hatinya mulai menerka-nerka, jangan-jangan Riris yang dimaksud oleh Bos barunya itu adalah Riris, mantan istrinya. Reza mulai gelisah saat mobil telah memasuki areal persawahan di desa tempat Riris tinggal. Nampak ketegangan di raut wajahnya.Dan benar saja, mobil yang dikendarai Pak Dul sudah masuk ke gerbang dukuh tempat tinggal Riris, melewati beberapa kebun dan rumah penduduk. Dan akhirnya masuk ke halaman rumah Riris."Di sini rumah wanita yang bernama Riris itu, Pak," kata pak Dul setelah menghentikan mobilnya di halaman rumah Riris.Reza tertegun, pikirannya berkecamuk. Untuk apa bosnya mencari Riris? Wajahnya nampak tegang."Pak Reza, kok malah bengong?" tanya Pak Dullah."Oh, eh ... iya, Pak," Disapunya wajah Reza dengan telapak tangan kanannya."Pak Dul, sebenarnya Pak Bos mencari wanita yang bernama Riris itu, untuk apa ya?"
Tepat pukul delapan, semuanya telah lengkap berada di dalam Masjid Kampus nan Agung dan indah itu Bagas dengan balutan tuxedo berwarna putih tulang itu telah duduk bersila di depan meja persegi panjang yang berkaki pendek. Di depannya telah duduk pak penghulu dan pakleknya Riris--adik dari bapaknya-- yang akan menjadi wali nikahnya.Sang pengantin pria yang diapit oleh Pak Bimo dan Pakde Arya, terlihat sedikit tegang. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertamanya untuk memulai hidup yang baru. Sedangkan Riris bersama ibunya dan Bu Bimo juga para keluarga dan tamu undangan wanita, telah duduk di balik hijab. Sehingga untuk prosesi akad nikah, hanya para hadirin pria yang bisa melihatnya secara langsung. Riris dan para hadirin wanita hanya bisa melihat di tayangan video siaran langsung yang ada di layar kaca yang terpasang di bagian depan ruangan berhijab itu.Riris duduk bersimpuh diapit oleh sang ibu dan calon ibu mertua. Di belakangnya para keluarga dan tamu wanita dari desanya Ri
"Kalau boleh tau, apa syaratnya, Ris?" tanya Bagas penasaran."Nduk, kok pake syarat toh?" bisik Bu Rohman ke telinga putrinya. Riris kemudian memandang ibunya, lalu tersenyum sembari mengangguk. Sedangkan Bu Rohman justru menunjukkan wajah tegangnya."Syaratnya, pertama ... saya minta akad nikahnya nanti di Masjid Kampus yang ada di Universitas nomor satu di Jogja, karena saya memiliki kenangan yang dalam, saat pertama kali mendatangi masjid itu dan bermunajat di sana. Yang kedua, saya ingin setelah menikah nanti, Mas Bagas harus menerima ibu saya untuk tinggal bersama kita nantinya. Karena ibu sudah tak memiliki siapa-siapa lagi, kecuali putri semata wayangnya," ucap Riris dengan suara bergetar hingga netranya yang berkaca-kaca. Riris dan ibunya kembali saling tatap, di kedua manik mereka telah dipenuhi oleh embun. Bu Rohman merasa terharu dengan permintaan putrinya itu, ternyata meski putrinya mau dinikahi oleh pemuda kaya, Riris masih ingat ibunya, masih amat peduli padanya.Riri
Hari yang dinanti telah tiba, selama dua pekan ini Riris dan ibunya sibuk mempersiapkan acara lamaran untuk menyambut kehadiran Bagas dan keluarganya. Dari pagi, Riris telah merias dirinya, berbekal ilmu yang didapatnya dari terapis kecantikan salon ternama yang dipesan oleh Bagas selama dia menginap di apartemen.Riris mengenakan gaun kebaya panjang selutut, berwarna hijau lumut dengan hiasan payet pada bagian bawah pinggang serta di ujung tangannya, menambah kesan mewah dan anggun. Gaun itu telah dipesan oleh Bagas dan dikirimkan pak Dul dua hari sebelumnya. Untuk bawahannya, Riris mengenakan kain jarik berbordir emas yang diwiru dengan rapih menambah kesan elegan. Rumah Riris juga telah dipasang tenda untuk para tamu undangan, dan bagian dalamnya di dekor sedemikian rupa sehingga nampak indah dengan aneka bunga di setiap sudut rumah. Back drop yang terlihat indah dan mewah terpasang di salah satu sisi dinding dalam ruang tamu untuk momen lamaran dan pengambilan foto.Dari semua o
Tak terasa sudah sepekan Riris dan Bu Rohman menginap di apartemen milik keluarga Bagas. Selama itu pula mereka setiap hari didatangi terapis kecantikan langganan yang dari awal men-treatment Riris.Gadis yang dulunya berwajah manis dan terlihat sederhana itu, kini telah berubah wajahnya semakin cantik cemerlang, meski perawatannya tidak dengan cara yang ekstrim seperti operasi plastik dan sebagainya. Perawatannya hanya membuat kulit dan wajah Riris terlihat semakin glowing. Selain itu, Riris juga belajar cara merias wajah supaya bisa tampil cantik dan lebih percaya diri. Riasan yang mampu menutupi kekurangan di wajah dan bisa menonjolkan kelebihan, sehingga terlihat semakin cantik bersinar. Apalagi Riris juga memiliki kecantikan yang terpancar dari dalam, dari hati yang bersih dan tulus apa adanya."Ris, makin hari Kamu semakin cantik, maasyaa Allah," puji Bagas di suatu sore saat mereka tengah duduk di taman tepi kolam renang yang ada di rooftop apartemen. Angin bertiup agak kencan
Setelah dirawat di rumah sakit selama dua pekan, akhirnya Bu Santi sudah diperbolehkan untuk pulang. Walaupun kondisinya belum banyak perkembangan, separuh badannya sebelah kanan lemah, namun bisa dilakukan perawatan di rumah. Asalkan minum obat dari dokter secara rutin, makan makanan yang sehat dan rendah lemak, rajin melakukan terapi dan olah raga ringan.Sumi telah diberi pengarahan oleh Bulik Tutik, bagaimana cara merawat Bu Santi dengan baik. Di pagi dan sore hari Sumi memandikan majikan perempuannya itu dengan mengelap seluruh badan dengan handuk yang dibasahi dengan air hangat dan dicampur dengan sabun mandi yang lembut. Sumi melakukannya dengan penuh hati-hati agar tidak menyakiti tubuh Bu Santi. Setelah mandi, Sumi mengajak wanita paruh baya itu jalan-jalan di halaman rumah yang luas itu dengan kursi roda. Sekedar untuk menghirup udara segar dan mengusir kejenuhan Bu Santi.Sumi juga bertugas menggantikan pampers jika sudah penuh dengan air seni dan ketika Bu Santi buang air
Tepat jam sembilan malam, Riris dan Bu Rohman tiba di apartemen. Pak Dul yang diserahi kartu untuk akses agar bisa masuk ke unit delapan kosong delapan, ikut mengantarkan Riris dan ibunya masuk sampai dalam unit."Mbak Riris, ini kartunya dipegang sama Mbak saja, pesan dari Pak Bagas. Agar Mbak bisa bebas keluar masuk apartemen ini." Pak Dul menyerahkan kartu itu pada Riris."Baik, Pak Dul, terima kasih," jawab Riris sembari tersenyum dan menerima benda tipis persegi itu dari tangan Pak Dul."Baiklah, Mbak Riris dan Bu Rohman, saya pamit dulu. Selamat istirahat. Nanti kalau mau ada perlu untuk anter-anter, bisa telepon saya."Pak Dul sedikit membungkukkan badannya lalu bergegas ke luar dari unit apartemen setelah Riris mengucapkan terima kasih padanya.Riris segera menutup pintu. Lalu keduanya memasuki kamar di mana sudah ada lemari yang berisi pakaian yang dibelikan Bagas tadi pagi. Bu Rohman sempat menyusunnya ke dalam lemari sebelum mereka mengunjungi rumah Pakde Arya."Nduk, maasy
"Loh, Wid ... Kamu nyusul ke sini?" tanya Bude Arya ketika melihat putri angkatnya sudah berada di ruang tunggu depan IGD. Wajah gadis itu terlihat cemas dan pucat."Iya, Bu ... saya khawatir sekali dengan Mas Bagas. Ingin tau keadaannya sekarang." Mendengar itu Riris semakin cemas, takut kehadiran Widia membuat jantung calon suaminya itu kembali tak stabil."Kami juga belum bisa masuk, jadi belum tau gimana kondisinya. Di dalem ada Bulik dan Paklik Bimo. Tadi sih kata Riris, Masmu sudah membaik keadaannya," sahut Bude Arya lagi.""Sini duduk sini, Wid ... samping ibu!" ajak ibu angkat Widia. Gadis yang sedari tadi masih berdiri itu, menurut dan mendekati kursi kosong di sebelah Bude Arya.Tak lama, pintu ruang IGD terbuka. Kedua orang tua Bagas muncul dari arah dalam.Bude Arya, Suaminya dan Widia segera bangkit dari duduknya dan mendekati orang tua Bagas."Gimana kondisi Bagas, Dek?" tanya Bude Arya. "Alhamdulillah sudah membaik, malah dia bilang sudah sembuh dan pingin dipercepat p
"Nduk, kok ditanya sama Bu Bimo diem aja? Bu Bimo nungguin jawabanmu, loh!" tegur Bu Rohman pada putrinya yang terlihat diam melamun itu. Padahal sebetulnya Riris sedang berpikir mau menjawab apa."Eh, i-itu ... Bu, Riris sendiri tidak tau kenapa saat Riris lihat di kejauhan Mas Bagas tampak kesakitan, jadi Riris segera berlari menuju Mas Bagas," jawab wanita berwajah manis itu dengan gelagapan."Apa saat itu putraku sedang sendirian, atau bersama seseorang?" selidik Bu Bimo yang sudah seperti petugas kepolisian lagi menginterogasi orang.Riris merasa bingung, haruskah dia menjawab dengan jujur tentang keberadaan Widia saat itu? Apakah hal itu baik untuk gadis itu, dia sebenarnya kasihan dengan Widia. Hatinya tengah patah dan terluka, haruskah ditambah lagi dengan masalah baru untuknya jika semua keluarga tahu penyebab sakitnya Bagas. "Nduk, kok malah diem lagi? Itu loh Bu Bimo tanya lagi, tinggal dijawab aja," desak ibunya Riris yang juga penasaran."Ehh ...." Riris hanya menggelengk
Setelah dirasa para pelayan itu sudah tidak membicarakan tentang Widia lagi, Riris bergegas keluar dari toilet. Ketika melewati dapur,, para pelayan itu yang tengah duduk mengobrol itu kompak melihat ke arah Riris."Eh, ini calonnya Mas Bagas, ya?" Salah satu dari mereka langsung bertanya ke Riris. Riris hanya tersenyum lalu mengangguk."Namanya siapa, Mbak? Ayu banget juga kalem Mbaknya ini, cocok sama Mas Bagas nantinya.""Nama saya Riris, Mbok," jawab Riris kepada pelayan yang sudah tua berbadan gemuk itu. Mungkin lebih tepatnya adalah tukang masak di rumah itu."Oh, Mbak Riris toh namanya?" sahut simbok tukang masak itu dengan semringah.Tanpa menunggu lama Riris langsung mendekati mereka yang berjumlah sekitar empat orang itu dan menyalami satu-satu."Wah, Mbak Riris selain ayu, ternyata juga ramah dan tidak sombong, mau menyapa dan berkenalan dengan kita," sahut yang lainnya."Terima kasih, Mbok, saya juga manusia biasa seperti kalian jadi tidak ada yang bisa disombongkan. Kala