“Sebegitu besarnya kah kebencianmu padaku, Mas? Sampai-sampai kau fitnah aku sedemikian kejinya,” ucap Helen yang mulai tersedu. Wanita cantik itu bersandar di pelukan bu Haliza. Kondisinya membuat iba siapapun yang mendengar derai tangisnya. “Ada apa ini? Saat ini harusnya pertemuan antara Atira dan calon mertua. Kenapa ada orang luar di sini?” tanya Zafran dengan mata nyalangnya. “Zafi! Jaga ucapanmu! Sudah lama Helen bukan orang asing. Dia bagian dari keluarga kita,” ucap pak Suwardi dengan suara yang menggema. Matanya menatap Zafran nyalang dengan tangan terkepal. “Baik. Kalau dia bukan orang asing, maka aku yang menjadi orang asing buat kalian. Dan kamu... “ tunjuknya kepada Helen. “Aku tahu seperti apa rupamu. Aku tidak membuka bukti-bukti kebejatanmu, karena aku masih menghargai dan menjaga nama baik Pak Syahid sebagai orang tuamu. Tapi kalau kau memutar balikkan fakta, dan kembali berusaha memfitnah Atira seperti tadi pagi, maka kupastikan satu negara akan tahu siapa kam
“Tira, tolong bertahanlah!” Zafran menekan pedal gas mobilnya cukup kencang. Ia tak ingin berlama-lama berada di dalam rumah itu walau hanya beberapa menit lagi. Zafran menepikan mobilnya sesaat ketika ada panggilan dari nomor Sella. “Ya, ada apa?” tanya Zafran dengan suara yang lebih dikontrol dari amarahnya. “Bos, Ateera dimana?” tanya Sella dengan suara terburu-buru. “Kamu masih di rumah papih?” tanya Zafran ingin memastikan. “Enggak, aku udah jalan ke stasiun tv. Jam satu ada wawancara live Ateera, acara Bromiss.”“Oke, aku antar Tira ke sana sekarang,” ucap Zafran dan bersiap memutar balik kemudinya. “Tunggu!” ucap Sella terburu-buru. Zafran dan Atira hanya mendengarkan kalimat apalagi yang akan diucapkan oleh Sella. “Mereka juga meminta Bos datang. Mereka mau jadi yang pertama memproklamirkan hubungan kalian. Gosip di luar sudah sangat panas, sudah berbagai macam berita baik dan buruk berseliweran. Beberapa berita yang Bos tahan semalam, ada yang keluar juga. Ada
“Minum dulu! Dinginkan hatimu!” ucap Zafran saat sang waitress menyuguhkan minuman pesanan Zafran. Ateera mengambil kasar jus jeruk dingin yang disajikan. Ia pun menyeruputnya sampai habis setengah gelas. Setelah itu, ia kembali menatap Zafran dengan delikannya. Zafran menyembunyikan senyumnya saat melihat tingkah Ateera yang menurutnya sangat menggemaskan. Atira mengetuk-ngetukkan kuku panjangnya di atas meja. Ia menuntut penjelasan yang cepat dari Zafran, namun lelaki itu malah terlihat menunduk dan kedua rahangnya seperti terangkat. Ya, lelaki itu tengah menyembunyikan senyumnya. “Jadi benar ya, kita harus mengakhiri apa yang belum kita mulai. Anggap saja lunch ini sebagai salam perpisahan.” Atira tersenyum manis saat mengatakan semua hal itu, berbanding terbalik dengan Zafran yang nampak kelabakan. “Bukan, bukan begitu Tira. Tolong, jangan bilang untuk mengakhiri semuanya. Please!” mohon Zafran sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Lelaki tampan itu nampak sepe
Atira langsung mendorong tubuh Zafran sampai lelaki itu terjengkang ke belakang. Ada amarah di mata Atira, bisa-bisanya lelaki yang sudah ia anggap pahlawan berbuat hal yang tak menyenangkan padanya. Zafran menyugar rambutnya, ia merasa frustasi dengan masalah yang sedang ia hadapi. Terlebih ia frustasi dengan apa yang telah dilakukannya kepada Atira barusan. “Tira, maaf!” ucap Zafran dengan tangan bergetar. Ia tak tahu apa yang sedang merasuki akal sehatnya. Bisa-bisanya ia memaksakan hal yang belum boleh ia lakukan kepada Atira. Mata Atira memerah menahan air mata yang kini menggenang di pelupuk matanya. Ia tak dapat lagi berkata-kata dan segera melarikan diri dari tempat itu. “Atira!” panggil Zafran seraya mengejar langkah kaki Atira. Zafran sudah tak memperdulikan lagi tatapan selisih dari para pengunjung restoran. Untung saja hanya ada 3 meja yang terisi, sisanya kosong karena jam makan siang belum tiba. “Atira!” Zafran mencekal lengan Atira dan menahan langkah wanita itu.
Atira langsung menutup wajahnya dengan tangan, ia frustasi jika karena melihat penampilannya yang... wah, seperti dedemit yang keluar di siang bolong. “Sudah nyampe, Mbak!” ucap pak Lukman sesaat setelah ia menghentikan laju kendarannya di depan lobby gedung. Tiba-tiba seorang satpam sudah membukakan pintu mobil untuk Atira. Wanita itu pun kaget bukan main, ia takut jika para kru TV mengenali dirinya dengan penampilan yang... Aduhai, seksi seperti pantat wajan tua. “Enggak jadi, Pak! Tolong ditutup lagi!” ucap Atira sambil memalingkan wajah dan badannya ke arah yang berlawanan. “Oh, baik,” jawab satpam sambil menutup kembali pintu taxi yang Atira naiki. “Kenapa enggak jadi, Mbak?” tanya pak Lukman yang merasa heran dengan tingkah Atira. “Pak Lukman, tolong bawa saya ke parkiran. Tepatnya ke parkiran yang cukup dekat dengan toilet!” pinta Atira sambil terus menunduk. Tanpa banyak bertanya lagi, pak Lukman pun segera menekan pedal gas menuju parkiran gedung. “Pak Lukman, kenapa e
Atira tersenyum sampai-sampai deretan gigi putihnya terlihat. “Enggak usah senyum, mengerikan. Kamu beneran Atira kan?” tanya Sella agak memundurkan langkahnya. “Iya, aku Tira. Kamu bawa pesenanku kan?” tanya Atira kepada Sella. Tanpa menunggu jawaban dari Sella, Atira segera menghampiri wastafel dan mulai membuka peniti jilbabnya. “Kamu kenapa sih?” tanya Sella yang kini mulai mendekati Atira. “Sebentar lagi kan acaranya mulai, setengah jam an lagi. Tadi mereka minta briefing kamu dulu, aku bilang lagi ada halangan.” Sella berdecak kesal, ia mendumel sendiri. Bahkan, Atira tak menjawab satupun pertanyaannya. Wanita itu fokus membersihkan wajahnya di wastafel. Namun naas, bukannya wajahnya bersih, tapi hitam itu semakin merata di seluruh wajahnya.“Ya ampun, Tira. Gimana mau tampil di depan TV kalau begini? Itu hitam kenapa sih? Kamu kena asep sate? Berminyak banget,” ucap Sella sambil menowel wajah hitam Atira. “Ini maskara dan lain-lain. Aku salah pilih produk make up. Aku
“Maaf saya terlambat!” Semua atensi kini tertuju pada suara bariton yang menginterupsi acara briefing mereka. Atira membulatkan matanya saat melihat penampilan Zafran yang begitu memukau. Ah, seperti melihat bidadara yang jatuh dari kayangan. Nampaknya bukan hanya Atira yang terpukau dengan penampilan Zafran, tapi semua kru TV yang hadir begitu terpesona dengan aura Zafran yang begitu memukau. “Enggak apa-apa, Mas Zafran! Silakan duduk!” ucap salah satu kru TV lain. Zafran mengembangkan senyum tipisnya, kemudian ia berjalan menuju tempat Atira duduk. Karena sudah tak ada kursi kosong di samping Atira, maka Zafran pun berdiri di sisi Atira. “Maaf Sayang, aku terlambat!” bisik Zafran di dekat telinga Atira, namun sengaja masih ia sedikit keraskan agar semua orang yang berada di sana ikut mendengarnya. Blushh... Seketika wajah Atira memerah mendapatkan panggilan Sayang di depan banyak orang. Ia pun hanya bisa menganggukkan kepalanya dan agak menundukkan kepala. Sungguh, A
“Siapa kalian?” tanya Atira dengan waspada. Wanita itu pun segera mundur, namun langkahnya dihadang oleh lelaki berjas hitam lain dari mobil di belakangnya. “Astaghfirullah!” ucap Atira saat menyadari jika kondisinya kini terjepit. “Kami bukan hendak menyakiti, kami hanya ingin anda bertemu dengan bu Haliza,” ucap lelaki berkepala plontos yang sedari awal berbicara dengannya. “Bu Haliza? Ada apa dia mau ketemu saya? Dengan cara begini?” sinis Atira yang kini mulai mampu melawan rasa takutnya. Setidaknya, dia percaya bahwa wanita yang mau menemuinya tidak memiliki niat untuk membunuh nya. Paling juga seperti dalam novel-novel romansa, si calon ibu mertua kaya raya yang memberikan penawaran sejumlah uang agar wanita pilihan anaknya meninggalkan anak kesayangan. “Maaf, bukan bermaksud kami mau menyakiti. Tapi, kami hanya menjalankan tugas untuk membawa anda ke hadapan bu Haliza bagaimana pun caranya.”“Jangan sentuh saya, atau kasus ini akan menjadi konsumsi umum. Saya sedang melakuk
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.