Atira mematut dirinya di cermin, ia melihat apakah dirinya sudah cantik dengan penampilan yang sempurna layaknya artis ibukota. Hari ini dia sudah membuat janji dengan Ressa, mereka akan makan bersama, tentunya dengan Zafran dan Roni.Ya, setelah percakapannya dengan Ressa sewaktu di Rumah Sakit kemarin, Athira mulai membuka diri untuk menerima siapa keluarganya. Selain karena efek hypnotherapy yang dilakukan oleh Reza, termasuk juga efek saat ia menonton tayangan tayangan infotainment tentang kehidupan pribadinya. Dia mulai menerima bahwa dia adalah seorang artis, dengan anggota keluarga yang sudah dituliskan.Ia juga diberi pengertian bahwa Pak Syahid dan bu Mira adalah orang tua kandung yang baru bertemu dengannya, saat ia terbangun setelah mengalami kecelakaan. Untungnya, dia tidak menolak kehadiran kedua orang tua itu, meskipun ia belum sepenuhnya mengingat siapa dirinya."Sudah siap?" Tanya Zafran yang kini berdiri gagah diambang pintu kamar Athira. Ia menggunakan baju kaos l
"Siapa maksudmu?" Tanya Zafran seraya menoleh ke arah Atira yang berjalan di sampingnya, namun ia berkata lirih seperti itu mengira jika ucapannya tak didengar oleh Zafran."Ah, nggak! " elak Atira seraya menundukkan pandangannya. Namun tangannya tak dapat berbohong, nampak sekali jika ia memilin ujung baju yang ia kenakan sebagai tanda kalau ia sedang resah. Dan Zafran paham jika istrinya sedang menutupi keadaan dirinya sendiri."Tentu saja, Atira. Tentu saja mereka mengenal kamu, karena mereka tahu bahwa seorang artis terkenal, Ateera memang penghuni apartemen di sini.”Zafran sudah siap di samping pintu dan membukakannya untuk Athira, sedang setelah itu ia pun memutari mobil dan masuk di kursi pengemudiDi dalam mobil, Atira masih terdiam memikirkan kalimat Zafran barusan. Ia pun melihat ke arah pintu lobi dan memandangi kedua satpam yang masih berjaga di sana sambil menganggukan kepala tanda hormat kepada Zafran yang kini baru saja memasuki mobil."Kamu siap?" tanya Zafran me
“Apa maksudmu, Tira? Kamu juga enggak ingat kalau kamu pernah...?” Zafran menggantungkan ucapannya, memilih apa ia harus mengatakannya dengan jelas atau tidak. “Maksud kamu, aku pernah enggak bisa lihat? Aku pernah buta?” tanya Atira seolah meminta penjelasan yang lebih. “Tira, kamu itu amnesia setelah mengalami kecelakaan. Tapi, kenapa kondisi pasca kecelakaan pun kamu lupa?” tanya Zafran dengan menaikkan nada bicaranya satu oktaf. “Sebenarnya apa yang terjadi? Damn...!” teriak Zafran sambil memukul keras setir. Atira tak sedikitpun merasa takut saat melihat amarah Zafran meletup-letup. Ia hanya mengalihkan atensi matanya ke arah lain, masih berpikir dengan apa yang sedang menimpanya. Tok... tok... tok. Seseorang mengetuk kaca mobil, membuat perhatian Zafran teralihkan. Zafran pun segera menurunkan kaca mobilnya saat melihat juru parkir berbicara, namun ia segera menjauh dengan maksud memberi panduan parkir. Setelah mobilnya terparkir rapi, Zafran pun segera melepaskan sa
Tiba-tiba, ruang privasi pun langsung ramai diserbu para pengunjung yang lain, hanya gara-gara teriakan kencang sang pramusaji yang shock melihat Atira ada di sana. “Mbak Ateera foto ya!”“Ateera, kemana aja?”“Mbak Ateera, kenapa ngumpet? “Ateera, I love you. ““Ateera, minta tanda tangan!”“Atira...!”Berbagai macam suara mulai mendengung menyerupai suara lebah dan tak dapat dibendung lagi. Dengan sigap, Zafran melindungi Atira yang mulai dikerubuti fans garis keras. Bahkan, dari kalimat yang dilontarkan pun ada cacian yang kemungkinan hanya dikeluarkan oleh haters. “Jangan mendorong istriku!” sarkas Zafran yang mati-matian melindungi Atira. Kafe yang mereka kunjungi memang kafe yang terbilang luas, ramai pengunjung dan untuk semua kalangan. Harga yang ditawarkan relatif terjangkau dengan rasa berkelas, membuat kafe ini selalu ramai dikunjungi. Sebenarnya, ruangan privasi di kafe ini cukup aman dan nyaman untuk pengunjung seperti Atira, hanya saja teriakan histeris pramusaji yan
“Saya sudah menghubungi polisi,” ucap Roni, karena di dalam hatinya ia merasa takut akan keselamatan istri bos -nya, ia pantas jadi kepercayaan Zafran karena mampu berpikir dan bertindak cepat. “Sayang!” Zafran begitu khawatir melihat Atira yang kini terluka, di bagian pipinya. Bahkan, jilbab yang ia kenakan pun sudah tidak beraturan. Untung saja masih melekat di kepalanya.Atira tak menjawab apapun, Ia masih bersender di senderan kursi dan memejamkan matanya. Otaknya terus berputar, berpikir apa yang terjadi dengannya. Seolah De javu, ia merasa pernah mengalami hal yang mirip seperti saat ini."Cepatlah, Saya minta P3K! " pinta Zafran sambil melirik, mencari keberadaan sang manajer hotel.Saat matanya melirik ke arah kiri, mencari sosok manajer hotel, ekor matanya melihat pantulan diri Ressa. Betapa terkejutnya ia karena ternyata dokter Ressa dipenuhi dengan luka, baik di bagian wajahnya, rambutnya yang acak-acakan dan lengannya yang terekspos kini penuh dengan luka."Ressa, ka
" Itu dia! " ucap salah seorang diantara mereka, yang kini sudah berdiri di sela pintu yang terjatuh dan menimpa lemari yang menghalanginya, persis seperti perosotan dari dalam keluar. Niatnya ingin menerjang pintu yang masih menghalangi jalan mereka, namun kalah cepat oleh Roni yang segera menggeser lemari kecil itu, mendesak pintu sehingga pintu itu kembali berdiri. Zafran dan manajer hotel pun langsung bangun, berlari ke arah pintu dan berusaha membantu Roni, menutupnya kembali serta menahannya. Pun demikian dengan dokter Ressa dan Athira, mereka bekerja sama mendorong sofa dan beberapa barang lain demi menahan pintu yang kini sudah tertutup lagi, namun tentunya akan mudah didorong karena engselnya sudah rusak.Ketiga lelaki itu menahan pintu sekuat tenaga, seperti lomba 17 Agustusan, berlomba untuk mendorong dan bertahan. Siapa yang lebih kuat diantara mereka, maka dia yang menang. Sedangkan Atira dan dokter Ressa, mereka bolak-balik mendorong benda apapun yang bisa dipakai unt
"Sayang, Kamu udah bangun? " Zafran segera duduk lagi dan mengelus lembut tangan Atira. Tangan kirinya ia gunakan untuk mengelus kening dan dahi Atira. Raut wajahnya begitu menggambarkan rasa senang yang tak terhingga"Udah sadar?" tanya dokter Ressa seraya mendekat ke arah brankar Atira. "Iya.” Jawab Zafran. “Sebentar ya, aku mau panggil dokter lagi, "ucap Zafran sambil memegangi lembut tangan Atira yang terasa semakin mencengkram, meminta izin dari sang istri."Sayang!" Zafran mengulangi ucapannya seraya kembali memegangi tangannya yang agak sedikit sakit karena cengkraman Atira."Syukurlah. Sebentar, biar aku aja yang periksa,” ucap dokter Ressa sambil meraba stetoskop yang biasanya tergantung di lehernya, namun kini tidak ada. Bahkan, saat ini dia pun tak mengenakan jas prakteknya. “Sebentar ya, biar aku panggil dokter yang jaga aja, " ucap dokter Ressa dengan sukarela. Wanita cantik itu pun segera keluar dari ruangan tempat Athira dirawat, tanpa menunggu jawaban dari Zafran m
“Memangnya harus bilang dulu ya?” tanya Atira sarkas. Dokter dan perawat, yang baru saja menangani Athira paham akan kondisi wanita cantik itu hendak, Mereka pun segera pamit demi menghindari luapan lahar panas dari hati-hati. " kami permisi dulu ya! Kalau ada apa-apa, bisa hubungi perawat di depan! " basa-basi sama dokter."Baik, docsus. Terima kasih banyak! "Jawab Zafran yang kembali memikirkan tentang dokter Reza yang tiba-tiba pulang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Lelaki itu berjalan ke arah meja, tempat di mana dokter Reza meletakkan bungkusan nasi padangnya. Zafran pun mengambilBerbeda dengan dokter dan perawat yang memahami perasaan Athira, Zafran tidak mengerti sedikitpun dengan kecemburuan yang ditunjukkan oleh Athira. Bahkan, dengan santainya ia menyiapkan piring dan meletakkan sebungkus nasi padang di atasnya, tepat di samping Atira. “Lapar?” tanya Atira dengan nada yang masih sarkas. “Iya. Kamu mau nasi padang juga? Tapi kamu kan sakit!” tanya dan protes Zafran
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.