Melihat lokasi istrinya sudah berada tepat di rumah sakit, Pak Suwardi langsung menghubunginya dan meminta untuk dibelikan dulu makanan di kantin rumah sakit. Untung saja bu Haliza bersedia dan segera menuju kantin rumah sakit yang letaknya berada di sekitar parkiran luar rumah sakit. Atira segera dibawa keluar oleh pak Syahid dan bu Mira, bahkan dengan Davin dan Daffa yang akan turut serta menemani pengobatan Atira. Mungkin beberapa bulan, atau bahkan lebih. Urusan cuti sekolah, akan diurus oleh pak Suwardi langsung. “Terima kasih pak Syahid karena sudah membawa Atira ke sini.” Pak Suwardi memeluk singkat Athira dan kedua cucunya.“Segera pergilah! Kita masih bisa berkomunikasi lewat ponsel. Papa nggak mau mama berbicara sesuatu hal yang menyakiti hatimu, Tira!” ungkap Pak Suwardi dengan gelisah. Ia takut kalau saja istrinya tiba-tiba sudah berada di sana. Atira segera memakai masker dan menutupkan tutup hoodie hitam yang ia pakai. Ia tersenyum kepada Pak Suwardi sebelum memak
“Huh, cepet banget sih? Lagian, sesibuk apa sih sampai-sampai abai sama panggilanku?” rutuk bu Haliza sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk beberapa saat. “Hemmmhhh... “ Ia pun menarik nafas dalam-dalam, mencoba menetralkan rasa kesal terdalamnya. Setelah yakin sosok bu Mira tak nampak lagi dari pandangan matanya, ia pun segera berbalik dan mengarah ke arah lift. Dia pun segera masuk ke dalam lift dan berhenti di lantai tempat Zafran dirawat. Cekrekkk... Gebrukkk! “Astaghfirullah!” seru Pak Suwardi terlonjak kaget. “Ada apa sih, Mah?” tanya Pak Suwardi sambil berdiri dan berkacak pinggang. Ia merasa bahwa istrinya sudah keluar dari jalan yang semestinya, ia berpikir harus sampai kapan ia memahami sikap istrinya ini. Ia bertahan karena ingat sifat istri yang sebenarnya saja. Bagaimana Pak Suwardi tak kaget, ia sedang menatap sendu ke arah Zafran. Ia menyesali nasib anaknya itu. “Atira sudah datang Nak, ia memberimu semangat lebih dari satu jam, tapi kenapa kamu bel
“Atira? Enggak ada, ini Mama!” ucap bu Haliza dengan kesal. “Aww... “Pak Suwardi menginjak kaki kanan bu Haliza dengan kaki kirinya. Ia tak habis pikir mengapa istrinya sampai berubah bebal hanya karena menganggap Atira bersalah di kehidupan Zafran. Padahal, istrinya itu tahu pasti bahwa Atira lah yang dulu sering membela Zafran saat kena rundungan teman-temannya di kampus. “Tadi Atira memang di sini. Ia kelelahan, Zafi! Sekarang dia lagi pemulihan dulu,” ucap pak Suwardi membuat mata bu Haliza mendelik sempurna. “Tapi Pa... ““Kamu mau minum?” tanya pak Suwardi kepada Zafran. Lelaki paruh baya itu mengabaikan pertanyaan istrinya, bahkan tangan kanannya mencubit paha samping bu Haliza sebagai peringatan agar wanita itu diam, tak membuat mental Zafran turun selagi dia baru sadar. Pintu ruangan dibuka oleh dokter dan satu suster yang membawa lembar anamnesa. Sedangkan, perawat yang sudah berada di dalam ruangan itu pun segera memberikan ruang kepada sang dokter untuk segera mem
“Ada apa, Pa – Ma? kenapa kalian diam?” tanya Zafran berusaha mencari jawaban dari kedua orang tuanya, namun nihil. “Boleh Zafi minta handphone Zafi? Kemaren ada kan di TKP?” tanyanya lagi karena ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Namun, lagi-lagi kedua orang tuanya terdiam tanpa memberikan jawaban apapun. Zafran menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Ia mulai yakin ada sesuatu yang tak beres, yang membuat mereka seperti itu. “Apa Roni juga celaka?” tanya Zafran menebak yang sebenarnya terjadi.“Roni tertembak di kakinya, tapi operasi pengangkatan pelurunya sudah berjalan lancar dan... berhasil. Jadi, sekarang dia sudah ada di rumahnya. Hanya saja, masih dalam tahap pemulihan,” jujur Pak Suwardi yang tak ingin membuat anaknya lebih khawatir lagi. “Ah, syukurlah kalau dia selamat. Dia itu orang yang kuat, nggak mungkin tumbang hanya dengan hal seperti ini. Tapi ngomong-ngomong, apa mereka semua tertangkap?” tanya Zafran lagi.“Zafi...Zafi! Ayo, istira
Ting tong...Dengan malas, Zafran beranjak dari duduknya. Ia berjalan untuk membuka pintu apartemennya tanpa mengintip dulu siapa yang ada di luar. “Pah,” ucap Zafran saat ia melihat lelaki yang menjadi alasan ia terlahir ke dunia berdiri di hadapannya. Ia mencium tangan Papanya. Pak Suwardi tersenyum, meskipun dalam keadaan hati yang kacau, tetapi Zafran selalu menghargai dirinya dan istrinya. “Kamu nggak ke kantor hari ini?” tanya Pak Suwardi sambil melangkahkan kakinya untuk masuk ke Unit apartemen milik Zafran. Apartemen yang Zafran beli karena sengaja ingin berhadap-hadapan dengan Atira. “Ini weekend. Enggak ada alasan aku untuk ngantor,” jawab Zafran sambil mempersilakan papa nya duduk. Sedangkan Zafran, ia pergi ke dapur dan membuka kulkasnya. Pak Suwardi duduk di ruang tamu, kemudian ia melihat sekeliling di mana ruangan ini berantakan dengan gelas-gelas kotor yang berbau kopi, bahkan sisa puntung rokok pun berserakan di mana-mana. Lelaki paruh baya itu di betul-betu
“Mau kopi atau... ?”Sebelum pramugari itu menyelesaikan kalimatnya, Zafran sudah mengangkat tangan sebagai tanda penolakan. Ia memberikan isyarat yang jelas bahwa ia tak ingin diganggu. Pikirannya masih seputar masalah Atira. Kabar dari pak Suwardi sungguh membuat kepalanya ingin meledak, di samping ia merasa bahagia. Ya, ia bahagia karena sebulan setelah ia bangun dari koma, akhirnya ia mendapatkan kejelasan tentang Atira, wanita yang ia harap akan menemaninya sampai menua bersama. “Bos!” panggil Roni yang sedari tadi berada di sampingnya. “Pak!” panggil Roni lagi. “Hemh,” sahut Zafran pada akhirnya. “Sebentar lagi landing!” ucap Roni yang berhasil membuat Zafran merubah posisinya. Lelaki tampan itu pun segera memasang sabuk pengaman, lalu kembali pada lamunannya. “Tira, apa kau mengenaliku jika kita bertemu?” tanyanya lirih pada dirinya sendiri. Ia betul-betul takut jika Atira akan menolak dirinya. Ia ingat bagaimana cerita papa nya yang mengatakan bahwa Atira sudah tak
“Hei, siapa kamu? berani-beraninya melamar istriku, hah?” ucap Zafran sambil menghampiri Atira. Ia pun langsung memeluk Atira dan segera membawanya pergi dari sofa, depan balkon. Fajar hanya melongo saat melihat seorang lelaki yang cukup ia tahu langsung membawa Atira pergi dari hadapannya. Ya, meskipun hanya sekali ia melihat Zafran saat sedang koma di rumah sakit, tapi lelaki itu mengenal dengan jelas bahwa lelaki yang baru saja membawa paksa Atira adalah Zafran, suaminya.Zafran menangkup kedua pipi Athira dengan kedua tangannya. “Sayang, ini... aku... Emmhhh, apa kamu baik-baik saja? kamu baik-baik saja?” ucap Zafran sambil menatap lekat wajah Atira. Ucapannya pun ternyata diulang karena lelaki itu merasa grogi. Zafran segera memeluk Atira dan memendamkan kerinduannya di bahu wanita cantik itu, meskipun Atira tak menjawab apapun. “Maafkan aku yang tak bisa melindungimu! Maafkan Aku yang tak bisa melindungimu, sayang! aku bersalah padamu, aku bersalah pada anak-anak,” ucap Zaf
" Sejak kapan kamu datang ke sini? " ucap seseorang dengan suara Bariton yang begitu tegas dari ujung ruangan sebelah kanan.Zafran segera melirik ke arah sumber suara, kemudian ia melihat sosok lelaki yang pernah menjadi Ayah mertuanya saat ia menikahi Helen. Saat ini pun, lelaki itu kembali menjadi mertuanya setelah ia mengetahui kabar bahwa Athira adalah Putri kandung dari Pak syahid.Seingat Zafran, Pak Syahid merupakan sosok ayah mertua yang begitu care dan bijak. Bahkan, ketika Helen berbuat jahat kepadanya, tak sekalipun Pak Syahid dan bu Mira menyalahkannya. Mereka tahu betul bahwa Helen lah yang bersalah di antara mereka. Tapi kali ini, Zafran merasakan bahwa aura lelaki paruh baya itu berbeda kepadanya."Papah?" Tanya Zafran dengan reaksi yang cukup kaget."Jangan memanggil saya papa karena saya bukan papa kamu! " jawab Pak Syahid dengan sarkasme."Maafkan saya karena baru saat ini bisa datang. Sungguh, saya baru tahu tentang Atira baik itu keadaannya ataupun di mana dia ber
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.