“Kamu yakin, Luna?” tanya Aldi begitu mendengar ucapan Luna yang terlalu mendadak. Wanita yang mengenakan blouse maroon di depannya mengangguk yakin. “Iya, mas. Saya benar-benar harus pulang,” ucapnya mantap. Aldi mengernyitkan dahinya dan mengajak Luna untuk kembali duduk dan menenangkan pikirannya. “Apa yang sebenarnya terjadi, Luna? Apa Reno meneleponmu dan meneror lagi?” tanya Aldi pelan. Seingatnya, sampai kemarin malam ketika mereka hendak meninggalkan hotel, Luna masih bersikukuh untuk terus menjauh dari Reno dan keluarganya selama mungkin. Namun, pagi ini Luna sudah berubah pikiran dan malah ingin segera pulang. Hal ini jelas menimbulkan tanda tanya besar bagi Aldi. “Ayah yang menelepon, mas, bukan Mas Reno,” jawab Luna dengan suara lemah. Luna juga menunjukkan layar ponselnya dan membuat Aldi terdiam sejenak ketika menyadari siapa yang berada di foto itu. “Ibumu sakit?” Pertanyaan Aldi hanya dijawab anggukan pelan oleh Luna. “Ayah bilang tidak yakin apa ibu bisa menungg
Aldi menoleh ke kursi penumpang dan mendapati Luna yang hanya menatap kosong pada jalanan yang mereka lewati. Setelah melihat Luna yang berlari sangat cepat menuju pintu utama rumahnya, Aldi segera menyusul Luna dan mengeluarkan mobil hitamnya. Sejak memasuki mobil, Luna sama sekali tidak mengatakan apapun. Wanita dengan rambut yang sudah dibiarkan tergerai itu hanya sesekali berdecak pelan ketika mobil Aldi berhenti sejenak di lampu merah.“Luna,” ucap Aldi perlahan, mencoba menyadarkan Luna dari lamunan panjangnya.“Hem.” Luna hanya menjawabnya dengan asal tanpa menoleh balik pada Aldi. Pikirannya sedang dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi pada ibunya.“Mas, bisa minta tolong lebih cepat sedikit?” tanya Luna dengan wajah tegang. Setelah memberitahu Aldi di mana rumah sakit tempat ibunya berada, ini merupakan kalimat terpanjang yang dikatakan Luna selama perjalanan tiga puluh menit yang sudah mereka lalui.“Iya, Luna. Saya usahakan sebisa saya. Kamu doakan
Luna menatap lurus pada mata Reno dan melepaskan cengkraman tangan suaminya itu dengan cukup kencang. “Selama ini aku memang terlihat lemah, mas, tapi bukan berarti aku bisa terus kamu injak-injak seperti ini,” ucap Luna tajam.“Aku bisa membuka kedokmu selama ini di depan media. Biar semua orang tahu siapa sebenarnya kamu mas! Kamu itu adalah suami yang sangat kasar dan kejam! Atau aku teriakkan saat ini juga? Di rumah sakit ini?” Luna sudah membalikkan tubuhnya dan hendak berlari keluar area VIP ketika tangan Reno menariknya mendekat.Keduanya saling bertatapan dengan tekad yang sama-sama kuat. Reno dengan tekadnya untuk membawa Luna kembali, sementara Luna dengan tekadnya untuk memberi pelajaran pada Reno. “Jangan terlalu banyak bicara! Aku yakin kamu akan memilihku segera setelah melihat ibumu, jadi sebaiknya bersikap baiklah denganku, ya.” Reno mengelus rambut Luna dengan lembut. Tatapan pria itu juga mendadak berubah menjadi penuh cinta dan seolah ingin melindungi Luna.“Satu
Bab 27 Luna menatap kosong pada tubuh ibu yang tengah tertidur. Wanita itu sesekali membenarkan letak selimut atau sekadar menyingkirkan rambut dari dahi ibunya. Kunjungan dokter beberapa waktu lalu mengatakan kalau ibu sudah mulai pulih, tetapi masih dalam pengawasan ketat. Sebuah rangkulan membuat Luna kembali menahan napasnya. Entah mengapa, sentuhan Reno yang mendadak seringkali membuatnya merasa tidak nyaman, seolah-olah sentuhan lembut itu membawa tanda lain yang berupa penekanan dan ancaman baginya. “Luna, kamu tidak lapar? Lagipula kamu sudah menjaga ibu sejak dua jam lalu, bagaimana kalau kita istirahat dulu?” tanya Reno dengan nada lembut. “Reno benar, Luna. Lebih baik kamu makan dulu, biar ayah yang menjaga ibu,” sambung ayah yang segera berdiri dari sofa panjang di pojok ruangan. Luna menoleh pada ayahnya dan mengangguk pelan. Wanita itu berjalan menuju pintu diikuti oleh Reno yang hanya tersenyum kecil. Meskipun sudah menentukan pilihannya, Luna masih merasa kesal p
Luna menatap punggung Aldi dengan mata berkaca-kaca. Dia bahkan tidak bisa mengejar pria berambut ikal itu untuk sekadar mengucapkan terima kasih dan menjelaskan alasannya memilih untuk tetap berada di sisi Reno.Suara tawa licik yang berasal dari sisinya membuat Luna menoleh dan mendapati seringai Reno yang kini menatapnya lurus. “Kamu menangis? Ada apa, Luna? Apa kalian sudah benar-benar jatuh cinta satu sama lain dalam waktu sesingkat itu?” tanya Reno dengan nada mengejek.Luna segera membuang muka dan beranjak mendahului Reno. Tatapan matanya kini beralih pada langit-langit rumah sakit yang didominasi warna putih. Luna berusaha keras menahan air mata yang hendak terjatuh dari manik indah miliknya.“Kalian berdua memang benar-benar naif. Terutama kamu, Luna. Bagaimana bisa kamu langsung mempercayai pria asing yang berlagak menjadi pahlawan kesiangan dan memilih kabur bersamanya seperti itu? Apa yang kamu harapkan dari pria tidak jelas seperti Aldi?” gumam Reno sembari terkekeh pela
Luna menatap wajah ibu yang masih terlihat pucat. Meski begitu, keadaan ibu juga sudah cukup membaik. Ibu yang tadinya hanya bisa terdiam dan tersenyum tipis ketika melihat Luna kini sudah bisa tersenyum lebih lebar dan sesekali bicara dalam suara perlahan. Luna mengecup pelan tangan ibu dan menatap mata ibu dengan penuh cinta. Melihat ibu bisa bertahan dan membaik setelah kedatangannya sungguh membuat Luna merasa sangat senang.“Bu, maaf kalau Reno terlalu lama perginya. Bagaimana perasaan ibu sekarang? Sudah jauh lebih baik?” Suara Reno yang mendadak terdengar dari sisinya membuat Luna menoleh. Suaminya itu memang sempat pergi sekitar lima jam lalu untuk memenuhi jadwal pekerjaannya.Ibu mengangguk pelan dan tersenyum. Wanita paruh baya itu mengelus lembut pergelangan tangan Reno dan menatap menantunya itu dengan penuh kasih sayang. Luna yang melihat semua itu segera mengalihkan pandangannya. Satu-satunya alasan Luna memilih berada di sisi Reno adalah demi kebaikan kedua orang tuany
Luna menatap wajah Reno yang tersenyum lebar di depannya. "Kamu sudah melihat postinganku?" tanya Reno dengan nada santai, tetapi bagi Luna sikap Reno justru membuatnya merasa sedikit ngeri. "Iya, sudah. Terima kasih karena sudah memilih angle yang pas meskipun aku sedang tidur, jadi nggak kelihatan jelek banget," jawab Luna mencoba tertawa kecil demi mencairkan suasana. Reno mengangguk pelan dan kini menatap ruangan yang didominasi warna putih di sekitarnya. Beberapa tas besar berisi pakaian dan keperluan ibu selama berada di rumah sakit tertumpuk rapi di pojok ruangan, sementara ibu tengah berada di kamar mandi bersama ayah Luna. "Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk menghalau rumor itu, tetapi kita tetap harus melakukan konferensi pers ini," ucap Reno sembari memasukkan sesuap nasi uduk ke dalam mulutnya. Pagi ini, Reno dan Luna akan segera menuju tempat konferensi pers demi menjelaskan keadaan rumah tangga mereka yang selama ini dirumorkan tengah goyah. "Ya, aku men
"Ada apa?" tanya Reno begitu melihat wajah Luna yang tampak lebih sendu setelah bicara dengan ibunya. Wanita dengan rambut yang dibiarkan tergerai itu hanya menggeleng pelan sebelum memasuki mobil hitam milik suaminya. "Dilihat dari raut wajahmu, sepertinya ibu habis menceramahimu lagi ya," celetuk Reno sembari terkekeh pelan. Luna mengambil cermin kecil yang berada di tas dan mulai kembali memperbaiki riasannya yang sedikit terhapus karena air mata. "Makanya, jadi istri yang baik dan nurut saja sama suami. Lagipula, memangnya selama ini aku pernah memukulmu kalau kamu tidak salah?" Pertanyaan Reno membuat Luna berdecih pelan. Pria tampan yang berada di belakang kemudi itu benar-benar arogan dan tidak pernah mau mengakui kesalahannya. Apakah menurutnya lawan mainnya datang terlambat adalah kesalahan Luna? Atau masalah-masalah teknis yang terkadang terjadi di lokasi syuting juga merupakan kesalahan Luna sehingga Reno selalu melampiaskannya dengan memukul dan menghina Luna. "Su
Luna menatap layar ponselnya sembari memasukkan segenggam kacang goreng ke dalam mulutnya. “Perselingkuhan Aktor Terkenal Reno dengan Aktris Pendatang Baru.” Luna membaca judul berita di layar kecil itu dengan nada datar. Tidak ada lagi rasa sedih ataupun kecewa dari sorot matanya, seolah-olah Luna sudah sangat terbiasa dengan berita perselingkuhan itu.Bi Imah yang tengah menyiapkan sarapan mendekat dan membaca berita yang sama dari ponsel Luna. “Jadi mereka tertangkap kamera lagi ya? Apa Pak Reno sengaja melakukan ini?” tanya Bi Imah dengan raut penasaran.Luna menoleh heran demi mendengar pertanyaan asisten rumah tangganya. “Kenapa Mas Reno harus melakukan itu, bi? Memang apa untungnya? Bukankah seharusnya berita seperti ini malah bisa merugikan Mas Reno ya?” Luna justru balas bertanya dengan raut bingung.Wanita paruh baya yang mengenakan celemek kuning itu mengambil kursi di depan Luna dan menghela napas panjang. “Mungkin saja ‘kan Pak Reno sedang tes ombak? Karena kemarin Bu Lun
Reno menatap rumah besar di depannya dengan wajah kesal. Setelah insiden di jalan tadi, dia memutuskan untuk mengemudikan mobil dan mengantar Maria dan Angga pulang lebih dulu. Entah apa yang ada di pikiran manajernya itu sampai-sampai tidak fokus dalam mengemudi dan hampir membahayakan mereka semua.“Luna, semua ini karena kamu! Seandainya sejak awal kamu mendengarku dan mengabaikan Aldi, pasti kehidupanku akan baik-baik saja! Aku dekat dengan Maria juga ‘kan karena kamu yang mulai cari gara-gara dan merepotkanku terus,” geram Reno sambil memukul setir di depannya.“Sebenarnya di mana kamu bersembunyi, Luna? Mungkinkah kamu kembali ke rumah?” tanya Reno pada dirinya sendiri. Upayanya mendatangi kontrakan Luna setelah tayangan klarifikasi itu tidak membuahkan hasil. Meskipun sudah menunggu di depan rumah petak itu sejak siang hingga malam hari, Reno sama sekali tidak melihat Luna. Sepertinya Luna sudah tahu keberadaannya dan berhasil melarikan diri lebih dulu. Tetapi ke mana wanita it
Reno menghentakkan kakinya kencang-kencang setelah menutup pintu coklat di belakangnya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan reaksi sinis seperti itu dari salah satu direktur yang biasanya selalu memujanya. Ditambah lagi, sikap sinis itu dia dapatkan tepat di depan Aldi, musuh terbesarnya saat ini."Siapa yang akan menangis katamu? Tentu saja itu adalah kamu, Aldi! Dasar tidak tahu diri!" geram Reno sambil meninju tangannya ke sembarang arah dan berjalan menuju lift di ujung koridor. Berita-berita tentang kekerasan yang dia lakukan pada Luna sudah tersebar luas di berbagai media. Tidak seperti biasanya, manajernya, Angga bahkan mengatakan bahwa dia belum mendapat berita apapun dari agensi mereka tentang upaya membersihkan namanya. Hal itu jelas membuat Reno semakin pusing, ditambah dengan sikap direktur yang tadi dia temui. Mungkinkah saat ini dia tengah dikucilkan? "Kenapa jadi aku yang harus dikucilkan? Padahal Aldi dan Luna yang bersalah. Kalau saja Aldi tidak datang
Brak!Aldi mengangkat kepalanya karena suara pintu kantornya yang mendadak dibuka dengan kencang. Lebih tepatnya, seseorang yang tampak sangat marah membantingnya dan kini menatap lurus pada dirinya.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang la—”Grab!Belum sempat Aldi menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan kekar telah mencapai dirinya dan kini mencengkram kerah kemeja hitam yang dia kenakan.“Kurang ajar! Katakan di mana Luna sekarang!” ucap Reno dengan mata memerah. Gigi putihnya bahkan bergetar karena menahan emosi.Aldi menatap pria di depannya dengan dingin. Siapa sangka pagi harinya akan dibuka dengan kemarahan Reno yang mendadak datang di kantornya yang sangat tenang.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang lain.” Bukannya menjawab perkataan Reno, pria dengan rambut ikal yang kini dikuncir kecil itu justru mengulangi ucapannya sendiri.B
"Saya merasa senang mendengarnya pak. Semoga semua berjalan sesuai rencana, sehingga posisi bapak di agensi itu tidak akan goyah."Luna yang bermaksud mengambilkan air minum dan beberapa snack untuk Bi Imah menghentikan langkahnya tepat di dinding pembatas dapur ketika mendengar suara berat milik Bara. Sebuah nama segera melintas dalam pikiran Luna ketika mendengar kata-kata 'posisi' dan 'agensi'. "Mas Aldi? Mungkinkah Bara bicara dengan Mas Aldi?" tanya Luna pada dirinya sendiri. Seolah tersihir, kedua kakinya bergerak mendekat dan berniat mencuri dengar pembicaraan Bara dan temannya itu. "Baik, pak. Saya mengerti. Saya akan melakukan semua yang bapak minta," ujar Bara dengan mantap. Luna terdiam di sisi lain dapur dan berusaha menahan napas agar Bara tidak merasa terganggu dengan keberadaannya. Sesekali, wanita muda itu mengintip ke dapur dan mendapati Bara yang tengah duduk di meja makan. Mangkuk bakso miliknya yang masih tersisa separuh sama sekali tidak memalingkan perhatian L
Ting Tong! Bara menghentikan Luna dengan tangannya dan beranjak lebih dulu mendekati pintu utama dengan aksen garis putih itu. Sementara di belakangnya, Luna mengekor dengan tatapan curiga. Hampir saja dirinya terlarut dalam rasa penasaran yang mungkin saja menyeretnya dalam bahaya. Bara membuka sedikit ujung gorden demi mengecek siapa yang berada di balik pintu. "Iya, pak. Beliau sudah datang," ujarnya pelan pada lawan bicara di telepon.Luna yang berada tepat di belakangnya menghela napas lega. Artinya, orang yang berada di belakang pintu bukanlah ancaman bagi mereka.Wanita yang mengenakan dress bunga itu mengernyit kecil ketika Bara membisikkan sesuatu melalui telepon. Rasa penasaran tentang siapa yang diajak bicara oleh pria itu mendadak mencuat. Melihat bagaimana Bara sangat waspada ketika mengangkat telepon, Luna jadi menduga-duga kalau lawan bicara aktor muda itu mungkin saja adalah pemilik rumah mewah ini."Mba, bibi yang akan membantu Mba Luna selama di sini sudah datang."
“Bara, apa ini foto pemilik rumah?”Pertanyaan Luna membuat Bara menoleh dan menatapnya dengan wajah pucat. Sebelum Luna datang ke sini, Bara ingat betul dia sudah menyingkirkan semua foto ataupun barang-barang yang bisa menjadi petunjuk tentang pemilik rumah mewah itu, tetapi sepertinya dia melewatkan satu pigura kecil yang kini menjadi perhatian Luna.“Bara? Apa pemilik rumah ini seorang aktor juga sepertimu?” Luna yang merasa semakin bingung setelah melihat ekspresi Bara mencoba mengganti pertanyaannya, tetapi Bara masih terdiam dan kini hanya tersenyum tipis.“Ah, bukan. Pemilik rumah ini memang bukan aktor mba, tetapi saya kenal baik dengannya, hehe. Jadi, Mba Luna tenang saja, Mas Reno tidak akan tahu kalau Mba Luna ada di sini,” jawab Bara dengan senyum terpaksa.Luna mengulum senyum kecil ketika mendengar jawaban lawan bicaranya yang terlihat sangat gugup. Wanita cantik itu menatap foto anak laki-laki kecil dengan rambut ikal itu sekali lagi, sekadar memastikan bahwa foto itu
Luna menatap kosong pada lemari besar yang tampaknya dibuat dari kayu berkualitas tinggi. Warna lemari yang putih tampak selaras dengan ruangan besar yang juga didominasi warna putih dan abu-abu.Sudah sekitar dua puluh menit wanita itu berdiam diri di atas kasur empuk yang dilapisi seprai putih bersih. Luna merasa sedikit sangsi dengan ucapan Bara yang mengatakan kalau rumah ini sangat jarang ditempati, karena seprai yang menyelimuti kasur itu juga terasa sangat bersih dan seperti baru diganti.“Sebenarnya rumah siapa ini? Mungkinkah rumah salah satu aktor terkenal juga? Kenapa Bara tidak mau memberitahuku soal itu?” gerutu Luna sambil melayangkan pandangan pada ruangan yang tampaknya dua kali lipat lebih besar dari kamar yang biasa dia tempati bersama dengan Reno.Luna memijat pelan kepalanya begitu mengingat soal Reno. Entah bagaimana keadaan pria yang sangat temperamental itu. Mungkinkah Reno masih berada di rumah kontrakan Luna, atau dia sudah pulang dan mengamuk di rumah?Helaan
“Hmph!” Luna berusaha menggerakkan tangannya sekuat tenaga, tetapi seseorang yang berada di belakangnya menarik tangan Luna dengan lebih kuat, membuat wanita itu terpaksa berjalan mundur. Luna menduga orang yang membekapnya adalah seorang pria jika dilihat dari ukuran tangan yang jauh lebih besar dari miliknya, ditambah sebuah jam tangan berwarna hitam yang melingkar di tangannya yang terasa tidak asing bagi Luna.Luna membelalakkan mata dan menoleh begitu mengingat siapa yang biasa mengenakan jam tangan hitam itu. Pria yang menariknya mundur mengenakan masker dan kacamata hitam sehingga membuatnya tidak dapat mengenalinya dengan mudah, tetapi Luna merasa sedikit lega ketika menyadari bahwa pria itu mungkin orang yang cukup dekat dengannya.Langkah Luna terasa lebih ringan setelah pria itu melepaskan tangan dan memberi isyarat di atas bibirnya, meminta Luna untuk tidak bicara apapun dan bergegas mengikuti langkahnya yang bergerak menuju sisi lain dari gang sempit itu.Sesuai dengan pe