Luna menatap kosong pada tumpukan kardus dan rentetan koper yang berada di ruang tamu dengan ukuran 3x3 meter. Setelah dua jam berkeliling daerah perkampungan yang dipenuhi rumah kontrakan, Luna akhirnya menemukan sebuah rumah yang cocok untuknya. Rumah dengan dominasi warna abu-abu di sekitarnya itu memang tidak terlalu besar. Di dalamnya hanya terdapat tiga petak ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu, kamar tidur, serta kamar mandi dan dapur yang berada di area yang sama. Meski begitu, rumah ini didesain dengan cukup efisien. Ditambah, pemilik rumah juga sudah menyediakan kasur beserta dipan berukuran double dan sebuah lemari yang berukuran cukup besar. Dua fasilitas yang sangat cukup bagi Luna yang hanya membawa barang seadanya karena harus keluar dari rumah secara mendadak."Aku harus mulai membereskan dari mana ya," gumam Luna, sambil mengedarkan pandangan pada sekeliling rumah yang hanya memiliki lorong kecil sebagai penghubung antar ruangan. Untunglah, supir taksi online
Brak!Suara pintu yang dibuka sangat keras membuat Aldi segera menoleh karena terkejut. Pria yang duduk di sofa panjang itu juga mengelus pelan dadanya. Sosok Om Bayu yang berdiri di depan pintu segera membuat nyalinya menciut. Pasalnya, Aldi dapat merasakan aura kemarahan yang sangat kuat dari Om Bayu, sesuatu yang sama sekali tidak pernah dia lihat sebelumnya.“APA KAMU SUDAH TIDAK WARAS, ALDI?” Suara Om Bayu segera memenuhi ruang kerja yang cukup luas itu.Brak!Kali ini, Om Bayu menyodorkan gadget miliknya ke arah Aldi dengan cukup keras. Pria berambut ikal yang belum sempat berganti pakaian itu hanya melihat sekilas layar gadget itu dan segera menundukkan kepala.“Cih! Kamu bahkan belum sempat berganti pakaian setelah keluar dari kerumunan wartawan itu,” ucap Om Bayu dengan nada sinis.“Om yakin semua tuduhan itu tidak benar, tetapi om ingin tahu kenapa kamu bisa ada di sana?” Melihat reaksi Aldi yang hanya terdiam dan masih menunduk, Om Bayu kembali bertanya, kali ini dengan pen
Luna menatap pantulan dirinya di cermin besar yang tergantung di pojok ruangan. Matanya masih bengkak akibat menangis seharian, begitu juga dengan pipinya.Setelah menutup telepon dari kedua orang tuanya, Luna berusaha menghilangkan kesedihannya dengan mulai membereskan rumah kontrakannya, tetapi usaha itu sama sekali tidak membantunya. Terutama ketika surat dari Bi Imah terjatuh, Luna malah semakin menangis ketika membaca isinya. Wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengannya itu menulis kalimat-kalimat yang sederhana, tetapi mampu menyentuh relung terdalam dari hatinya. Bi Imah berulang kali mengatakan kalau dia mempercayai Luna, dan apapun yang terjadi, Bi Imah akan selalu siap membantunya. "Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan. Aku tidak bisa terus-terusan mengurung diri dalam kesedihan," ucap Luna berusaha menyemangati dirinya sendiri. Manik hitam wanita itu tertuju pada ponsel yang diletakkan di atas kasur. Luna sudah memblok beberapa nomor dari kontaknya, term
Luna menautkan kedua alisnya sambil menatap pria muda di depannya. Dia berusaha mengingat-ingat siapa sebenarnya pria dengan wajah manis dan alis tebal yang tampak mengenalnya dengan sangat baik.“Wah, ternyata saya mudah sekali dilupakan ya?” tanya pria itu dengan nada kecewa. Luna merasa tidak enak hati mendengarnya, tetapi dia juga belum berhasil menemukan ingatan tentang pria manis yang sepertinya bukan orang sembarangan. Hal itu dapat terlihat dari jam bermerek mahal yang melingkari tangannya. Luna juga dapat melihat beberapa gantungan baju di bagian belakang mobil, menandakan kalau pria ini sering bepergian dan memerlukan banyak pakaian ganti untuk pekerjaannya.“Maaf sekali, tetapi saya tidak berhasil mengingat siapa kamu,” ucap Luna dengan nada canggung.“Bara! Itu Bara ‘kan?” Sebuah seruan yang mendadak terdengar membuat Luna segera menoleh pada sumber suara. Wanita dengan wajah kesal yang tadi mencemoohnya tampak berdiri dengan antusias sembari menunjuk mobil berwarna merah
“Sepertinya apa yang akan kamu katakan memang sangat penting, jadi saya akan meluangkan sedikit waktu untuk mendengarnya,” ucap Luna yang masih berusaha menjaga jarak dengan pria muda di depannya. Luna dapat melihat senyum kecil di wajah pria dengan alis tebal itu. Sudah sekitar tiga puluh menit sejak pertemuan mereka, tetapi mengapa Luna masih belum bisa mengingat sosok pria yang ada di depannya itu? “Tetapi sebelum itu, bagaimana kalau ada yang melihat kita di sini? Bukankah itu akan membuat kamu berada di dalam masalah juga?” tanya Luna dengan ekspresi khawatir. Tidak hanya itu, kebersamaan mereka pasti akan menimbulkan masalah lebih besar untuknya. Bagaimana tidak, berita perselingkuhannya dengan Aldi masih menjadi headline di semua media, lalu tiba-tiba dia malah terlihat bersama dengan pria lain yang merupakan seorang selebriti juga. Bukankah itu akan membuat namanya semakin buruk? Berbeda dengan Luna yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, Bara justru tersenyum kecil
Tes. Tes.Tanpa sadar, air mata Luna sudah membanjiri wajahnya. Bahkan kini, ponsel Bara juga terkena tetesan air mata yang berasal dari manik hitam milik Luna. Meski begitu, Bara hanya diam di tempatnya sembari menatap Luna dengan tatapan iba. Pria muda itu sudah tidak lagi peduli dengan keadaan ponselnya, karena saat ini, keadaan Luna justru lebih penting baginya.“Perempuan ini, bukankah dia aktris muda yang juga sedang naik daun? Siapa namanya? Maria?” tanya Luna dengan nada lirih. Bara yang mendengar itu hanya mengangguk pelan. Dia tahu betul bahwa Luna tidak benar-benar bertanya padanya. Wanita itu hanya ingin memastikan bahwa apa yang dilihatnya benar-benar nyata.“Mas Reno benar-benar bermain di belakangku seperti ini. Kenapa dia jahat sekali?” gumam Luna pelan. Tatapan matanya tidak beralih dari foto yang menampilkan sepasang pria dan wanita yang saling merangkul di lobi hotel.Luna beberapa kali mengerjapkan mata dan berharap bahwa dia hanya salah lihat. Sayangnya, meski Lun
Aldi memasuki ruangan yang didominasi warna abu-abu itu dengan langkah tegap. Ruangan yang hanya terisi meja panjang dengan sebuah layar di pojoknya terasa sangat mencekam baginya. Pasalnya, sepuluh orang yang mengisi kursi-kursi di sana menatapnya dengan wajah datar. Bagi Aldi, wajah tanpa ekspresi itu berarti masalah besar. Biasanya, para direktur dan pemegang saham agensi ini akan menyambutnya dengan senyum dan sapaan hangat, tetapi tidak kali ini. Om Bayu yang duduk di ujung ruangan hanya mengangguk pelan sebagai isyarat agar Aldi segera mengambil kursinya juga. Sebagai pria termuda di sana, Aldi juga sudah terbiasa berada di kursi paling ujung, menjadi pusat perhatian dari para pimpinan lainnya. Namun, berbeda dengan biasanya, kali ini Aldi berada di sana bukan untuk memberikan laporan ataupun memaparkan rencana kerjanya, melainkan untuk memberi klarifikasi dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Yah, meskipun sebenarnya dia hanyalah korban dari ambisi gila Reno. "Selamat pa
Aldi menatap kosong pada meja dan kursi yang kosong di hadapannya. Sudah sekitar lima belas menit sejak para pimpinan perusahaan meninggalkan ruang rapat, tetapi tubuhnya masih terasa sangat berat untuk digerakkan. Kepalanya terasa sangat penuh dengan permasalahan yang saat ini tengah menerpanya. "Reno benar-benar mengacaukan hidupku. Aku kira semua yang dia lakukan saat kita kecil sudah cukup, ternyata dia masih saja belum puas," geram Aldi sembari mengepalkan tangannya. "Lihat saja, Reno. Dulu kamu bisa menginjak-injak aku dan ibuku seenak jidat, tetapi kali ini aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal yang sama, terutama pada Luna." Aldi segera merasa getir setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. Nomor teleponnya sudah diblokir oleh Luna sejak kemarin, jadi dia tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Namun, Aldi jelas berharap Luna baik-baik saja dan dapat melewati semua permasalahan ini dengan baik. Dering ponsel membuat Aldi mengalihkan perhatiannya. Nama seseorang yang sang