“Luna, bahkan sekarang kamu sudah berani melawan ibu!” bentak ibu dengan nada tinggi begitu melihat apa yang dilakukan Luna.Wanita berambut panjang itu menatap ibu dengan tatapan nanar. Luna sudah dapat menebak kalau ibu pasti akan sangat marah padanya. Wanita yang sudah melahirkannya itu juga pasti akan menuntut Luna untuk meminta maaf pada Reno dan memperbaiki hubungan mereka. Namun, Luna sudah terlalu lelah berada dalam kungkungan Reno yang selalu bersikap kasar padanya. Dia ingin memiliki pernikahan yang bahagia, tanpa harus merasakan sakit karena tendangan atau pukulan Reno setiap kali pria itu marah.“Ibu, tolong dengarkan Luna. Tidak bisakah ibu berada di pihak Luna sekali saja? Apa semua ini belum cukup untuk membuat ibu sadar, bu?” tanya Luna sembari menunjuk pada beberapa luka lebam yang ada di tubuhnya.Ibu menatap Luna dengan ekspresi kesal. Tampaknya, luka-luka itu belum cukup untuk membuat ibu meredakan emosinya. Padahal baru beberapa menit yang lalu ibu meminta maaf pa
Luna mengerjapkan mata beberapa kali demi memastikan bahwa dia tidak salah melihat bahwa di depannya Aldi tengah tersenyum kecil dan melambaikan tangan. Pria berambut ikal itu terlihat lebih tampan ketika mengenakan setelan jas hitam dan sebuah dasi dengan warna senada.“Mas Aldi sedang apa di sini?” tanya Luna sembari menatap sekeliling. Wanita itu tidak melihat siapapun di dekat Aldi.“Jangan berpikir yang aneh-aneh! Saya sedang ada pekerjaan,” jawab Aldi sembari menjitak pelan kepala Luna sembari tertawa kecil.“Bukankah seharusnya saya yang curiga sama kamu? Kamu pergi jauh-jauh ke sini hanya menggunakan piyama begini, apakah ada sesuatu yang terjadi?” Aldi balas bertanya sembari memerhatikan pakaian Luna yang memang sangat mencolok.Wanita dengan rambut dikucir satu itu tersenyum kecil dan menunduk. “Yah, ada hal besar yang terjadi di rumah, jadi saya memutuskan untuk pergi menyendiri dulu di sini, ternyata malah bertemu sama Mas Aldi,” jawab Luna yang masih mencoba tertawa getir
Luna mengejar Aldi yang sudah berada di depan kafe. Pria berambut ikal itu tampak menolehkan kepalanya ke berbagai arah seperti sedang mencari seseorang.“Ada apa mas?” tanya Luna dengan rasa penasaran.Aldi menoleh pada Luna dan menatap wanita itu dengan raut wajah khawatir. “Kamu yakin akan bermalam di sini? Berapa lama rencananya kamu di sini?” Bukannya menjawab pertanyaan Luna, pria dengan dasi yang sudah bergeser dari tempatnya itu malah balik bertanya.Luna mengangguk ragu demi melihat wajah Aldi yang tampak sangat khawatir. “Memang ada apa sih mas? Saya sama sekali tidak melihat apapun tadi,” ucap Luna dengan penekanan karena sejak tadi Aldi tidak juga menjawab pertanyaannya.Aldi menghela napas panjang dan meminta Luna untuk menunggu sebentar di luar kafe. “Saya bayar makanannya dulu ya,” ujar Aldi tanpa mengindahkan pertanyaan Luna.Wanita yang tengah berada dalam pelariannya itu menatap punggung Aldi dan mendecakkan bibirnya pelan. Apa sebenarnya yang Aldi lihat sampai pria
Luna menatap layar ponselnya yang sudah dia matikan sejak keluar dari rumah siang tadi. Wanita yang sudah berganti pakaian dengan kaus hitam polos dan celana pendek berwarna abu-abu itu mengambil benda pipih itu dan merebahkan diri di atas kasur.“Haruskah aku menghidupkannya? Aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun, tetapi apa yang dikatakan Mas Aldi cukup menggangguku juga,” gumam Luna sembari menatap langit-langit kamar hotel yang bernuansa putih dan coklat itu.Berbagai kemungkinan buruk mendadak memenuhi kepala Luna. Bagaimana kalau apa yang dikatakan Aldi benar dan pria mencurigakan itu memang mengincarnya?Luna beranjak dari tempat tidur dan menuju pintu kaca yang tertutup. Perlahan, tangannya memutar kenop pintu yang langsung menuju balkon di depan kamarnya. Luna melangkahkan kakinya dengan rasa ragu yang tidak bisa dia sembunyikan.“Woah, kenapa terlihat tinggi sekali?” tanya Luna sembari menatap parkiran mobil dan rentetan kafe yang berada di seberang hotel. Dalam piki
Luna mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha memastikan kalau dia tidak salah melihat bahwa pintu kaca yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat tidur itu sudah tidak lagi terkunci. Namun, bagaimana caranya pintu itu bisa terbuka? Sementara Luna ingat betul kalau dia sudah menguncinya sebelum menonton film. [“Halo, Ibu Luna? Apakah ibu masih mendengar suara saya?”] Suara resepsionis hotel dari seberang telepon kembali menyadarkan Luna. “Iya, mba, saya masih dengar,” jawab Luna pelan. Wanita itu kembali terdiam sejenak. Kepalanya langsung terasa pening setelah mimpi buruk tadi. [“Baik bu, bagaimana jika kirimannya kami antarkan saja ke kamar ibu? Apa ibu setuju?”] tanya resepsionis itu dengan nada suara yang sangat tenang, berbeda jauh dengan Luna yang merasa sangat tegang. “Ba—baik mba, silakan diantar saja,” jawab Luna terbata-bata. Kepalanya dipenuhi berbagai kemungkinan tentang barang apa yang akan dia dapatkan. Luna meraih ponselnya kembali dan menimbang-nimbang b
Aldi menatap pria berperawakan tinggi kurus di depannya dengan raut gelisah. Meski begitu, Aldi tetap berusaha bersikap sopan dan mempersilakan pria itu untuk duduk.“Lihat ini.” Pria yang masih mengenakan setelan jas lengkap itu meletakkan sebuah ponsel yang memperlihatkan halaman berita.Aldi menatapnya sejenak sebelum meraih ponsel itu. “Film terbaru Reno sudah menembus satu juta penonton dalam waktu tujuh hari,” ucapnya membaca headline berita tersebut.“Ada apa om?” Aldi segera mengalihkan perhatiannya pada pria yang merupakan adik dari mendiang ibunya, yaitu Om Bayu.“Pasti ada sesuatu yang ingin om sampaikan padaku bukan? Tidak hanya tentang berita ini,” sambung Aldi sembari menyampirkan jas hitamnya ke sisi kursi.“Apa benar kalau beberapa hari lalu kamu terlibat keributan dengan keluarga Reno?” Bukannya menjawab pertanyaan Aldi, pamannya itu malah balik bertanya.Aldi menundukkan kepala sejenak sebelum menganggukkan kepalanya dengan enggan. “Maaf, om, tetapi Aldi terpancing e
Aldi membelokkan setirnya ke arah parkiran hotel yang baru saja dia datangi siang tadi. Pria yang kini hanya mengenakan kemeja putih yang sudah tergulung setengah dan celana hitam panjang itu segera keluar dari mobil dan berjalan memasuki lobi hotel.Langkahnya terhenti sejenak ketika berada di lobi dan mendapati resepsionis dengan name tag bertuliskan ‘Inggit’ itu tengah menghubungi seseorang melalui telepon. Dalam hatinya, Aldi berharap wanita bersanggul itu sedang bicara dengan Luna dan menenangkannya, tetapi Aldi tidak punya banyak waktu untuk sekadar memastikannya. Saat ini, keselamatan Luna adalah prioritas utamanya. Aldi menekan tombol lift dengan gelisah. Bayangan-bayangan buruk sudah memenuhi pikiran Aldi, ditambah lima menit sebelum dia tiba di hotel ini, sambungan teleponnya dengan Luna terputus secara mendadak dan Aldi masih belum berhasil menghubungi Luna kembali.Pria berambut ikal itu mempercepat langkahnya begitu kakinya menginjak bagian luar lift. Posisi kamar Luna
Aldi membuka pintu kamar yang ditempati Luna dan mendapati wanita itu masih berada di atas tempat tidur dengan tatapan kosong. Aldi menatapnya dengan penuh rasa iba. Beberapa hari belakangan pasti terasa sangat berat bagi Luna. Dimulai dari kekerasan yang dia dapat, keributan di rumah sakit dan rumah Reno, pertengkaran dengan orang tuanya hingga terror mendadak yang belum pernah terpikirkan olehnya.Perhatian Aldi segera teralihkan begitu mencium bau yang tidak enak dari atas meja di kamar hotel Luna. Pria berambut ikal dengan kemeja yang sudah berantakan itu mendekat dan mendapati sebuah buket yang dibuat dari berbagai macam bunga busuk. Sebelah tangannya mengepal dan Aldi meninju pelan meja di depannya.Tepat saat itu, Aldi mendengar keributan kecil di dekat pintu kamar Luna. Menyadari dari mana suara itu berasal, Aldi segera mengambil foto dari buket itu dan bergerak mendekati pintu kamar yang setengah terbuka.“Ambil ini!” Aldi melemparkan buket itu tepat ke arah Lucas yang ternya
Luna menatap layar ponselnya sembari memasukkan segenggam kacang goreng ke dalam mulutnya. “Perselingkuhan Aktor Terkenal Reno dengan Aktris Pendatang Baru.” Luna membaca judul berita di layar kecil itu dengan nada datar. Tidak ada lagi rasa sedih ataupun kecewa dari sorot matanya, seolah-olah Luna sudah sangat terbiasa dengan berita perselingkuhan itu.Bi Imah yang tengah menyiapkan sarapan mendekat dan membaca berita yang sama dari ponsel Luna. “Jadi mereka tertangkap kamera lagi ya? Apa Pak Reno sengaja melakukan ini?” tanya Bi Imah dengan raut penasaran.Luna menoleh heran demi mendengar pertanyaan asisten rumah tangganya. “Kenapa Mas Reno harus melakukan itu, bi? Memang apa untungnya? Bukankah seharusnya berita seperti ini malah bisa merugikan Mas Reno ya?” Luna justru balas bertanya dengan raut bingung.Wanita paruh baya yang mengenakan celemek kuning itu mengambil kursi di depan Luna dan menghela napas panjang. “Mungkin saja ‘kan Pak Reno sedang tes ombak? Karena kemarin Bu Lun
Reno menatap rumah besar di depannya dengan wajah kesal. Setelah insiden di jalan tadi, dia memutuskan untuk mengemudikan mobil dan mengantar Maria dan Angga pulang lebih dulu. Entah apa yang ada di pikiran manajernya itu sampai-sampai tidak fokus dalam mengemudi dan hampir membahayakan mereka semua.“Luna, semua ini karena kamu! Seandainya sejak awal kamu mendengarku dan mengabaikan Aldi, pasti kehidupanku akan baik-baik saja! Aku dekat dengan Maria juga ‘kan karena kamu yang mulai cari gara-gara dan merepotkanku terus,” geram Reno sambil memukul setir di depannya.“Sebenarnya di mana kamu bersembunyi, Luna? Mungkinkah kamu kembali ke rumah?” tanya Reno pada dirinya sendiri. Upayanya mendatangi kontrakan Luna setelah tayangan klarifikasi itu tidak membuahkan hasil. Meskipun sudah menunggu di depan rumah petak itu sejak siang hingga malam hari, Reno sama sekali tidak melihat Luna. Sepertinya Luna sudah tahu keberadaannya dan berhasil melarikan diri lebih dulu. Tetapi ke mana wanita it
Reno menghentakkan kakinya kencang-kencang setelah menutup pintu coklat di belakangnya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan reaksi sinis seperti itu dari salah satu direktur yang biasanya selalu memujanya. Ditambah lagi, sikap sinis itu dia dapatkan tepat di depan Aldi, musuh terbesarnya saat ini."Siapa yang akan menangis katamu? Tentu saja itu adalah kamu, Aldi! Dasar tidak tahu diri!" geram Reno sambil meninju tangannya ke sembarang arah dan berjalan menuju lift di ujung koridor. Berita-berita tentang kekerasan yang dia lakukan pada Luna sudah tersebar luas di berbagai media. Tidak seperti biasanya, manajernya, Angga bahkan mengatakan bahwa dia belum mendapat berita apapun dari agensi mereka tentang upaya membersihkan namanya. Hal itu jelas membuat Reno semakin pusing, ditambah dengan sikap direktur yang tadi dia temui. Mungkinkah saat ini dia tengah dikucilkan? "Kenapa jadi aku yang harus dikucilkan? Padahal Aldi dan Luna yang bersalah. Kalau saja Aldi tidak datang
Brak!Aldi mengangkat kepalanya karena suara pintu kantornya yang mendadak dibuka dengan kencang. Lebih tepatnya, seseorang yang tampak sangat marah membantingnya dan kini menatap lurus pada dirinya.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang la—”Grab!Belum sempat Aldi menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan kekar telah mencapai dirinya dan kini mencengkram kerah kemeja hitam yang dia kenakan.“Kurang ajar! Katakan di mana Luna sekarang!” ucap Reno dengan mata memerah. Gigi putihnya bahkan bergetar karena menahan emosi.Aldi menatap pria di depannya dengan dingin. Siapa sangka pagi harinya akan dibuka dengan kemarahan Reno yang mendadak datang di kantornya yang sangat tenang.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang lain.” Bukannya menjawab perkataan Reno, pria dengan rambut ikal yang kini dikuncir kecil itu justru mengulangi ucapannya sendiri.B
"Saya merasa senang mendengarnya pak. Semoga semua berjalan sesuai rencana, sehingga posisi bapak di agensi itu tidak akan goyah."Luna yang bermaksud mengambilkan air minum dan beberapa snack untuk Bi Imah menghentikan langkahnya tepat di dinding pembatas dapur ketika mendengar suara berat milik Bara. Sebuah nama segera melintas dalam pikiran Luna ketika mendengar kata-kata 'posisi' dan 'agensi'. "Mas Aldi? Mungkinkah Bara bicara dengan Mas Aldi?" tanya Luna pada dirinya sendiri. Seolah tersihir, kedua kakinya bergerak mendekat dan berniat mencuri dengar pembicaraan Bara dan temannya itu. "Baik, pak. Saya mengerti. Saya akan melakukan semua yang bapak minta," ujar Bara dengan mantap. Luna terdiam di sisi lain dapur dan berusaha menahan napas agar Bara tidak merasa terganggu dengan keberadaannya. Sesekali, wanita muda itu mengintip ke dapur dan mendapati Bara yang tengah duduk di meja makan. Mangkuk bakso miliknya yang masih tersisa separuh sama sekali tidak memalingkan perhatian L
Ting Tong! Bara menghentikan Luna dengan tangannya dan beranjak lebih dulu mendekati pintu utama dengan aksen garis putih itu. Sementara di belakangnya, Luna mengekor dengan tatapan curiga. Hampir saja dirinya terlarut dalam rasa penasaran yang mungkin saja menyeretnya dalam bahaya. Bara membuka sedikit ujung gorden demi mengecek siapa yang berada di balik pintu. "Iya, pak. Beliau sudah datang," ujarnya pelan pada lawan bicara di telepon.Luna yang berada tepat di belakangnya menghela napas lega. Artinya, orang yang berada di belakang pintu bukanlah ancaman bagi mereka.Wanita yang mengenakan dress bunga itu mengernyit kecil ketika Bara membisikkan sesuatu melalui telepon. Rasa penasaran tentang siapa yang diajak bicara oleh pria itu mendadak mencuat. Melihat bagaimana Bara sangat waspada ketika mengangkat telepon, Luna jadi menduga-duga kalau lawan bicara aktor muda itu mungkin saja adalah pemilik rumah mewah ini."Mba, bibi yang akan membantu Mba Luna selama di sini sudah datang."
“Bara, apa ini foto pemilik rumah?”Pertanyaan Luna membuat Bara menoleh dan menatapnya dengan wajah pucat. Sebelum Luna datang ke sini, Bara ingat betul dia sudah menyingkirkan semua foto ataupun barang-barang yang bisa menjadi petunjuk tentang pemilik rumah mewah itu, tetapi sepertinya dia melewatkan satu pigura kecil yang kini menjadi perhatian Luna.“Bara? Apa pemilik rumah ini seorang aktor juga sepertimu?” Luna yang merasa semakin bingung setelah melihat ekspresi Bara mencoba mengganti pertanyaannya, tetapi Bara masih terdiam dan kini hanya tersenyum tipis.“Ah, bukan. Pemilik rumah ini memang bukan aktor mba, tetapi saya kenal baik dengannya, hehe. Jadi, Mba Luna tenang saja, Mas Reno tidak akan tahu kalau Mba Luna ada di sini,” jawab Bara dengan senyum terpaksa.Luna mengulum senyum kecil ketika mendengar jawaban lawan bicaranya yang terlihat sangat gugup. Wanita cantik itu menatap foto anak laki-laki kecil dengan rambut ikal itu sekali lagi, sekadar memastikan bahwa foto itu
Luna menatap kosong pada lemari besar yang tampaknya dibuat dari kayu berkualitas tinggi. Warna lemari yang putih tampak selaras dengan ruangan besar yang juga didominasi warna putih dan abu-abu.Sudah sekitar dua puluh menit wanita itu berdiam diri di atas kasur empuk yang dilapisi seprai putih bersih. Luna merasa sedikit sangsi dengan ucapan Bara yang mengatakan kalau rumah ini sangat jarang ditempati, karena seprai yang menyelimuti kasur itu juga terasa sangat bersih dan seperti baru diganti.“Sebenarnya rumah siapa ini? Mungkinkah rumah salah satu aktor terkenal juga? Kenapa Bara tidak mau memberitahuku soal itu?” gerutu Luna sambil melayangkan pandangan pada ruangan yang tampaknya dua kali lipat lebih besar dari kamar yang biasa dia tempati bersama dengan Reno.Luna memijat pelan kepalanya begitu mengingat soal Reno. Entah bagaimana keadaan pria yang sangat temperamental itu. Mungkinkah Reno masih berada di rumah kontrakan Luna, atau dia sudah pulang dan mengamuk di rumah?Helaan
“Hmph!” Luna berusaha menggerakkan tangannya sekuat tenaga, tetapi seseorang yang berada di belakangnya menarik tangan Luna dengan lebih kuat, membuat wanita itu terpaksa berjalan mundur. Luna menduga orang yang membekapnya adalah seorang pria jika dilihat dari ukuran tangan yang jauh lebih besar dari miliknya, ditambah sebuah jam tangan berwarna hitam yang melingkar di tangannya yang terasa tidak asing bagi Luna.Luna membelalakkan mata dan menoleh begitu mengingat siapa yang biasa mengenakan jam tangan hitam itu. Pria yang menariknya mundur mengenakan masker dan kacamata hitam sehingga membuatnya tidak dapat mengenalinya dengan mudah, tetapi Luna merasa sedikit lega ketika menyadari bahwa pria itu mungkin orang yang cukup dekat dengannya.Langkah Luna terasa lebih ringan setelah pria itu melepaskan tangan dan memberi isyarat di atas bibirnya, meminta Luna untuk tidak bicara apapun dan bergegas mengikuti langkahnya yang bergerak menuju sisi lain dari gang sempit itu.Sesuai dengan pe