“Apa Hana memang separah itu, Yah?”
Kamar besar itu hening. Mata Hana menatap lurus ke iPad yang terletak di kasur, memperlihatkan wajah Rayhan yang menatapnya tanpa ekspresi.“Percuma dong ya Hana punya orangtua tapi bercerita aja gak boleh,” lanjutnya lagi.Rayhan masih tidak menjawab.Hana mengembuskan napas dan berkata, “Sebetulnya Hana juga lebih suka diam, Yah. Tapi Umi Salwa paham kalau Hana butuh didengar. Beliau juga gak pernah maksa Hana untuk cerita. Jadi dimana salahnya? Hana cuma cerita sama beliau aja.”“Masalahnya kamu cerita soal orangtua kamu, Han....”“Karena emang harus itu yang yang Hana ceritain. Selama ini Hana gak boleh ngomong, gak boleh marah, gak boleh merasa keberatan meski Hana berhak bersuara. Ayah tahu gak sih kalau Hana udah hampir gila karena gak dibolehin ngomong? Setiap kali Hana mau ngomong, langsung disuruh diam. Setiap kali Hana ngajak orang di rumah ngobrol baik-baik, selalu aja Hana yang dimarahin. Lalu ketika sekarang ada orang yang mau dengerin Hana secara tulus, masih juga dimarahin. Hana capek, Yah.”Hana diam sejenak untuk mengusap air matanya.“Ayah tahu gak sih kalau Hana udah capek? Capek jadi pesuruhnya adek-adek, capek untuk terus berusaha jadi anak baik tapi pada akhirnya gak dihargai juga. Ada lho ya anak kayak Hana ini. Gak tahu diri, sukanya caper sama orangtua, nyusahin pula.”“Kamu ngomong apa? Jangan bertingkah kayak orang gila begitu!”Mata Hana melebar, sebelum akhirnya dia tertawa keras.“Gila?” gelaknya, tawanya terdengar geli. “Semua orang juga bilang begitu lho, Yah. Bahkan Ibu juga. Berarti itu fakta ya? Hana gak waras?”Ekspresi Rayhan seketika menunjukkan penyesalan.“Kasihan ayah sama ibu karena punya anak gak waras kayak Hana. Kenapa kalian biarin Hana hidup kalo gitu? Kenapa kalian gak bunuh Hana aja kalau emang Hana gila?”Tak tahan lagi, akhirnya Hana mematikan sambungan dan menangis. Berkali-kali ditinjunya bibir agar sakit di hatinya berpindah, namun gagal dan membuatnya semakin menangis.Di luar, Arkan yang mendengar semuanya menghela napas.“Jangan sekarang, Ar.” Salwa yang sejak tadi menemaninya berkata pelan. “Hana butuh waktu.”Di kamar, Hana meringkuk sambil membentur-benturkan kepala ke dinding. Semua kenangan masa lalunya kembali lagi, terutama saat-saat ketika Naira mencaci-makinya atas kesalahan kecil yang tidak sengaja dia perbuat. Semakin kuat tangannya menutup telinga, semakin keras kenangan itu membanjiri benaknya.Berkali-kali Hana beristighfar dan berdzikir sebelum akhirnya dia kembali tenang. Saat tak sengaja menoleh ke cermin, dia tersenyum kecil melihat penampilannya yang berantakan.“Bodoh,” gumamnya.Dengan langkah terhuyung, Hana berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, perutnya pun mual. Sesekali dia mengembuskan napas sebelum akhirnya menunaikan shalat malam.“Masuk.” Hana berkata begitu selesai shalat. Dilipatnya mukena, lalu duduk di pinggir ranjang. Disandarkannya tubuh karena kepalanya semakin berdenyut.“Kamu baik-baik aja?” tanya Arkan.Hana mengangguk.“Kamu berantem sama ayah?”Hana menggumam pelan.“Kenapa?”“Karena Ayah lebih belain Ibu. Aku cuma pengen didengar, tapi ayah nganggap aku berlebihan. Apa iya aku yang keterlaluan karena marah dikatain gila?”Arkan mengembuskan napas.“Mas nyesel gak karena nikah sama aku?” tanya Hana mendadak.“Ngomong apa kamu?”“Apa Mas nyesel karena harus punya istri kayak aku? Kalau bukan sama aku, mungkin Mas Arkan gak akan dengerin makian ibu dan ceramah ayah setiap hari.” Hana mengulang ucapannya lebih detail.Arkan menggeleng.“Jangan bohong, Mas.”“Mas jujur,” balas Arkan ngegas.Hana tertawa kecil.“Aku durhaka ya karena melawan ucapannya Ayah,” gumamnya pelan. “Aku nyeritain semua masalahku ke Umi, termasuk sikap ibu selama ini. Padahal aku cerita sama beliau karena gak tahu lagi mau cerita sama siapa, tapi malah dibilang buka-buka aib.”Arkan tetap menyimak.“Kalau tahu begini, lebih baik aku jadi bisu sekalian.”Arkan menghela napas, lalu maju dan memeluknya.“Lepas, Mas,” gumam Hana, namun Arkan pura-pura tidak mendengarnya.Tahu kalau suaminya tidak akan merespon, tangis Hana kembali pecah. Kali ini lebih menyedihkan dibanding sebelumnya. Dalam waktu lima detik, kemeja koko yang dikenakan Arkan sudah basah oleh air mata.“Nangis aja, Han. Keluarin semuanya.”***“Hana mana?” tanya Salwa saat Arkan turun untuk shalat Subuh.“Masih di atas, Mi. Mungkin sebentar lagi turun.”Salwa tersenyum saat Arkan maju dan mencium pipinya, lalu kembali mendongak. Biasanya Hana turun bersama Arkan untuk kemudian berjamaah bersamanya di aula asrama putri, namun setelah lima menit menunggu, tidak terlihat tanda-tanda menantunya itu akan turun. Tanpa berkata apa-apa, Salwa bangkit dan berjalan menuju lantai tiga.“Han?”Diketuknya pintu berkali-kali, namun tidak ada jawaban. Salwa lantas menajamkan telinga dan menyadari kalau tidak ada suara apapun dari kamar anak dan menantunya. Gemericik air dari kamar mandi pun tidak.Diiringi degup jantung yang menggila, Salwa mendorong pintu dan masuk. Matanya liar menatap ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya berlari menuju ranjang. Hana ada disana, sudah memakai mukena namun meringkuk dengan posisi aneh.“Han?” panggilnya pelan. Ditepuk-tepuknya pipi Hana, mencoba menyadarkan wanita tersebut. Salwa lalu mendekatkan telinga ke wajah menantunya. Napas Hana terdengar pelan, bahkan dahi dan tubuhnya terasa panas saat disentuh. Bahkan tatapan matanya terlihat kosong seolah tidak ada kehidupan sama sekali.Salwa menggigit bibir sejenak, bingung antara ingin pergi ke aula dan menemani santri putri untuk shalat Subuh, atau tetap tinggal untuk mengurus Hana. Akhirnya dia memutuskan untuk turun, namun sebelum itu dibukanya mukena Hana dan menaikkan suhu ruangan. Setelah itu, dia keluar sambil merapal doa agar menantunya baik-baik saja.Di kamar, Hana mulai tersadar saat mendengar dering ponsel yang diletakkannya di meja. Nyaris tanpa tenaga, diulurkannya tangan dan meraih benda tersebut. Nama ‘Ibu’ tertulis di layarnya, membuat Hana kembali ketakutan. Namun, dipejamkannya mata sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon.“Lama amat! Kamu tidur ya?” hardik Naira.Hana tidak menjawab.“Pintar ya kamu! Dinasihati orangtua malah ngadu ke mertua yang enggak-enggak. Apa yang kamu dapat dari mengadu-domba orangtuamu begitu?” bentak Naira sengit.Hana masih tidak menjawab.“Gak salah kalau saya bilang kelakuanmu kayak setan! Percuma aja saya capek nasihatin kamu setiap hari kalau kelakuanmu gak pernah berubah!”Hana mengembuskan napas pelan.“Ngapain pula kamu bertingkah sok teraniaya di depan ayahmu? Mau cari perhatian? Kamu pikir ayahmu mau peduli sama anak kayak kamu?” teriak Naira lagi.Hana berpegangan erat pada pinggiran ranjang ketika pandangannya mulai terasa berputar-putar.“Hei! Kamu tuli?!”Hana masih tidak menjawab. Saat akhirnya dia membuka mulut, rasa mual yang begitu kuat menyergapnya hingga membuatnya lari ke kamar mandi. Tubuhnya membungkuk diatas wastafel, tapi tidak ada yang dimuntahkannya kecuali cairan bening.Di luar, Zara—kakak iparnya— yang baru kembali dari asrama mengetuk pintu kamar.“Han?”Zara langsung berlari saat mendengar suara-suara aneh dari kamar mandi. Langkah kakinya mendadak berhenti, matanya menyipit menatap Hana yang bersandar sambil memejamkan mata.“Kamu gak apa-apa?”Belum jadi Hana menjawab, teriakan kembali menggema dari ponselnya.“Woi, Anak Bodoh! Kamu tuli atau gak punya telinga?!”Zara menoleh, kaget mendengar perkataan kasar tersebut. Ditatapnya Hana yang berbisik, “Ibuku, Mbak.”Hana membungkuk dan mengecilkan volume ponsel, lalu meraih sajadah dan mulai shalat Subuh. Zara tetap tinggal untuk menemaninya, sesekali melirik ponsel yang masih menyala. Berkali-kali dia berdzikir saat mendengar cacian Naira yang tidak kunjung berhenti.“Kamu gak apa-apa?” tanya Zara saat Hana selesai shalat dan mematikan panggilan tersebut.Hana mengangguk.Zara meliriknya. Dia ingin bertanya, tapi di sisi lain dia juga tidak ingin dianggap terlalu ingin tahu atau ikut campur masalah orang lain.“Beliau marah, Mbak. Karena aku suka cerita sama Umi,” papar Hana tanpa diminta.Zara tetap diam dan mendengarkan.“Bahkan Ayah semalam juga bilang kalau kelakuanku kayak orang gila,” lanjut Hana diiringi tawa geli. “Aku kasihan sama mereka, Mbak.”Zara menghela napas. Di sebelahnya, Hana masih tertawa sebelum berganti jadi isak lirih.“Aku bener-bener udah ngecewain mereka.”“Kamu baik-baik aja, Han?”Hana mengangguk. Ponselnya tidak berhenti berdering sejak tadi. Ratusan chat dari Fahmi, Tari, dan Naira bergantian masuk, mendesaknya untuk mengirimkan uang. Denting notifikasi membuat kepalanya semakin berdenyut-denyut, namun Hana tidak berani mematikan ponsel karena tahu kalau keributan akan semakin parah jika dia bersikap begitu.“Mas matiin aja ya HP-nya.” Arkan berkata sambil meraih ponsel tersebut. Hana tidak menjawab, hanya menatap datar sambil memeluk bantalnya.Di depan mereka, Salwa bertanya, “Kamu mau izin aja, Nduk?”Belum jadi Hana menjawab, ponselnya kembali berdering. Arkan melirik dengan ekspresi putus asa, kontras dengan Hana yang menatap lurus ke depan. Di dalam hati, dia memuji kegigihan Naira yang beralih menelepon Arkan ketika tidak diacuhkan olehnya.“Assalamualaikum.” Arkan berkata lebih dulu sambil mengusap dada. Jelas dia kaget dengan hardikan Naira yang langsung mengatai Hana dengan sederet makian mengerikan. “Hana lagi istirahat,
“Aku bisa jalan sendiri.”Arkan tidak menghiraukannya. Setengah menyeret, dibawanya Hana menuju elevator dan menekan tombol angka empat.“Mas kayaknya seneng,” gumam Hana.Arkan menunduk untuk mencium dahi Hana, kemudian berkata, “Mas bakalan jadi ayah. Gimana gak seneng?”Pipi Hana menghangat. Arkan terkekeh, lalu membiarkan Hana masuk lebih dulu. Perawat yang baru keluar tersenyum melihat kemesraan mereka.“Kamu mikirin apa?” tanya Arkan saat lift naik menuju lantai empat.“Perawat tadi,” ucap Hana. “Mungkin dia mikir kalau kita gak tahu malu banget pelukan di ruang publik.”Arkan tertawa.“Biarin aja. Yang penting kita gak mengganggu orang lain.”Hana mengangguk.Tiba di lantai empat, Arkan memperhatikan catatan di tangannya dan menatap ke sekeliling. Disipitkannya mata, lalu menghampiri ruangan yang terletak di ujung koridor.“Dokter Fiona,” gumam Arkan. Dicocokkannya catatan dengan plang yang tertempel di pintu, lalu menjejalkan kertas ke saku kemeja koko dan mengetuk pintu ruang
“Aku ngerasa gak enak karena udah bohongin Keira.”Atas paksaan Arkan, Hana akhirnya mengalah dan tidak ikut turun untuk makan malam. Sebagai gantinya, pria itu membawakan makanannya ke atas dan makan berdua di depan kamar.“Bohong gimana?” tanya Arkan sambil memisahkan daging ikan dari tulangnya.“Karena kita gak ngomong apa-apa. Harusnya kita kasih tahu.” Hana menjulurkan tangan, hendak meraih potongan ikan goreng saat tangan Arkan menampar tangannya.“Jangan dibiasain!” serunya galak.Hana bersungut-sungut, namun tidak membantah lagi dan bersandar ke dinding. Diperhatikannya Arkan yang masih tekun memisahkan lauk.“Nih.” Arkan mengulurkan sendok, lalu mulai makan. Setelah menelan suapan pertamanya, dia berkata, “Biar kita bertiga dulu yang tahu. Yang lain juga bakalan tahu nanti kalau udah lihat perubahan di diri kamu.”“Tapi aku ngerasa berdosa,” ucap Hana sambil menyingkirkan brokolinya.“Kamu tahu pamali gak sih?” tanya Arkan tak senang.“Pamali apa?” tanya Hana polos.“Usia kan
“Anak-anak lain udah pada tanya-tanya kenapa kamu digendong Mas Arkan kemarin.”Hana menaikkan sebelah alis, bertanya geli, “Terus jawabannya?”“Kubilang karena kamu lagi sakit. Eh, emangnya kamu beneran sakit?” tanya Naura penasaran.Hana menggeleng. Disesapnya teh hijau yang sebelumnya dibawakan salah satu khadimah.“Terus kenapa kamu kemarin muntah-muntah? Keracunan?” tanya Naura lagi.Keira yang sejak tadi mengintip ke bawah membalas sinis, “Jangan pura-pura gak tahu, Ra.”“Kok kamu malah ngatain aku?” tanya Naura galak.“Oh, jelas. Kamu masih pura-pura gak tahu kalau sebentar lagi kita mau punya keponakan baru?”Naura melotot, lalu menatap Hana dan bertanya dengan nada bersemangat, “Beneran, Han? Kamu hamil?”Hana mengangguk.“Jangan kasih tahu temen-temen yang lain dulu,” lanjut Hana cepat-cepat. “Biar jadi kejutan.”“Kenapa? Semua orang pastinya bakalan seneng kan?” tanya Naura bingung.“Jangan sekarang.”“Kamu takut ibu kamu tahu?” tebak Keira.Hana mengangguk. Diseruputnya la
“Mas janji bakalan cepet pulang, Han.”Selepas shalat tahajud dan membereskan barang bawaan, Arkan mengajak istrinya untuk duduk di depan jendela. Satu tangannya merangkul pinggang istrinya, sementara matanya tertuju ke halaman asrama yang sepi.“Aku tahu. Mas gak pernah betah di luar rumah lama-lama.”“Kalau gitu jangan sedih,” pinta Arkan. “Nanti Mas yang berat ninggalin kamu.”Hana tersenyum. Ekspresinya terlihat teduh saat berkata, “Aku gak apa-apa, Mas. Serius. Kita kan tetep bisa video-call, bisa kirim voice-note, atau saling ngasih kabar. Yang penting Mas fokus aja sama pekerjaan disana. Jangan khawatirin aku.”Arkan menunduk. Hana terus menatapnya dengan senyum yang tidak pudar sedikitpun. Disunggingkannya senyum kecil dan mengangguk.“Yang penting kamu ingat pesan Mas. Gak boleh keluar asrama. Gak boleh nulis sampai begadang. Gak boleh melamun sendirian. Nanti Mas minta Keira buat nemenin kamu.”Hana mengangguk.“Udah tahu mau dibeliin apa?” tanya Arkan penasaran.“Enggak usa
“Kamu udah makan siang?”Hana mengangguk, satu tangannya menyendok potongan buah yang dibawakan Aisyah.“Vitaminnya udah diminum?”“Udah, Mas. Kok bawel bener sih,” gelak Hana.“Mas khawatir sama kamu, Sayang,” balas Arkan tak mau kalah. “Mas kepikiran siapa yang nyuapin kamu kalau Mas gak di rumah kayak sekarang. Kamu kan males disuruh makan.”“Aku bukan anak kecil, Mas,” balas Hana masam.“Emang anak kecil doang yang disuapin?” tanya Arkan geli. Sambil berkata begitu, tangannya menyuap potongan buah ke mulut dan melambaikan tangan entah pada siapa.Hana mendengus. Mendadak dia muak melihat wajah suaminya, jadi diberikannya ponsel pada Zara dan berkata, “Tolong Mbak Zara yang urusin ya. Aku males lihat mukanya.”Sambil menahan tawa, Zara melambaikan tangan dan berkata, “Maklum, Ar. Bumil pusing dari pagi, jadi kerjanya ngomel terus. Keira aja udah kena marah beberapa kali.”“Oh, kalo yang terakhir itu sih bodo amat.”Aisyah, Zara, Naura, bahkan Hana tidak bisa menahan tawa. Kontras d
“Hana gak apa-apa kan?”Keira dan Naura mengangguk. Aisyah dan Riza bertatapan, begitu juga dengan para khadimah yang lain.“Apa pintu depannya gak ditutup?” tanya Aisyah serius.“Di-ditutup, Ning. Saya sendiri yang nutup karena mau ke kantin.” Latifah menjawab terbata-bata.“Terus kalian tahu siapa yang masuk?” tanya Riza.Keira dan Naura menggeleng.“Tapi dia pake baju hitam-hitam, Mas. Mukanya juga ditutup topi.”Dahi Aisyah berkerut, membuat Naura buru-buru menambahkan, “Topi yang biasa dipake pencuri itu, Mbak. Bolongnya di bagian mata sama mulut doang.”Semua orang berpandangan. Dengan absennya Arkan, mereka begitu takut membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada Hana jika tidak ada siapapun di rumah.“Gimana kalau dia masuk lagi, Umi?” rengek Keira. “Kita gak bisa menjamin apa dia gak berani masuk lagi meski tadi Keira udah mukulin kepalanya pake buku tebal.”“Astaghfirullah,” seru Salwa kaget, sementara Keira menyeringai dengan ekspresi bersalah.“Dia narik kepala Hana tadi,
Pukul setengah tiga malam, Hana terbangun dan merasakan sekujur tubuhnya pegal. Diliriknya ponsel yang sudah menghitam. Selama tiga jam, dia mengobrol dengan Arkan yang membicarakan berbagai hal. Mulai dari pekerjaan selama di Rembang, Salwa yang menemaninya setiap pagi, juga buku-buku yang dibacanya beberapa hari terakhir. Kamarnya sudah gelap, juga pintunya tertutup rapat. ‘Mungkin Umi langsung tidur,’ pikirnya sambil turun.Sambil mengucek mata, Hana berjalan ke kamar mandi dan berwudhu. Pantulan wajahnya di cermin membuat wanita itu berhenti sejenak, lalu maju dan mengamati lebih lekat.‘Aku jelek banget,’ pikirnya.Seumur hidup, Hana tidak pernah merasakan ketenangan. Semua hal dicobanya agar bisa merasakan kedamaian—mengebut dengan sepeda di jalanan sepi, mendengarkan musik rock dengan volume maksimum, bahkan menyiksa diri. Bukannya tenang, jiwanya makin meronta dan over-thinking setiap akan tidur hingga membuat Hana insomnia.Hingga hari itu tiba.Mungkin Allah SWT memberinya
“Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng
Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem
“Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad
“Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem
“Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe
“Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p
“Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz
“Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana
“Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J