Share

Teror

last update Last Updated: 2022-12-09 16:12:44

“Aku ngerasa gak enak karena udah bohongin Keira.”

Atas paksaan Arkan, Hana akhirnya mengalah dan tidak ikut turun untuk makan malam. Sebagai gantinya, pria itu membawakan makanannya ke atas dan makan berdua di depan kamar.

“Bohong gimana?” tanya Arkan sambil memisahkan daging ikan dari tulangnya.

“Karena kita gak ngomong apa-apa. Harusnya kita kasih tahu.” Hana menjulurkan tangan, hendak meraih potongan ikan goreng saat tangan Arkan menampar tangannya.

“Jangan dibiasain!” serunya galak.

Hana bersungut-sungut, namun tidak membantah lagi dan bersandar ke dinding. Diperhatikannya Arkan yang masih tekun memisahkan lauk.

“Nih.” Arkan mengulurkan sendok, lalu mulai makan. Setelah menelan suapan pertamanya, dia berkata, “Biar kita bertiga dulu yang tahu. Yang lain juga bakalan tahu nanti kalau udah lihat perubahan di diri kamu.”

“Tapi aku ngerasa berdosa,” ucap Hana sambil menyingkirkan brokolinya.

“Kamu tahu pamali gak sih?” tanya Arkan tak senang.

“Pamali apa?” tanya Hana polos.

“Usia kandungan tiga bulan belum boleh diumbar-umbarin. Pikirin dong kalau sampai mereka ngomong ke temen-temennya yang lain di asrama. Kamu mau?”

“Yang bener itu sebelum tiga bulan, Mas. Ini udah bulan ketiga. Gak perlu dikasih tahu juga semua orang bakalan tahu dan sadar,” balas Hana sinis. “Apalagi kalau sampai Keira denger aku muntah-muntah semalam.”

Arkan termenung.

“Bener juga sih.” Arkan mengangguk-angguk, lalu sekali lagi berseru galak, “Makan brokolinya!”

Dengan bibir dimajukan, Hana melahap brokolinya cepat-cepat.

“Nanti mau jawab apa? Gak mungkin langsung nembak ‘Aku hamil’ gitu kan?” tanya Hana lugu. “Aku kan baru pertama kali ini mau jadi ibu.”

“Jawaban sepele gitu mau kamu pikirin juga?” ejek Arkan.

“Ya ngasih jawabannya yang menghebohkan gitu lho. Bikin mereka blank sebelum akhirnya sadar dan ngamuk.” Hana membalas polos.

Arkan tertawa.

“Udah. Diem. Sekarang yang harus kamu pikirin adalah apa yang mau kamu kerjain selama cuti kerja. Mas gak izinin kamu nulis buku dulu. Kamu juga gak boleh pergi kemana-mana kecuali ditemani Mbak Zara atau Keira.”

“Kok gitu?” protes Hana.

“Mas gak mau kamu kenapa-kenapa di luar sana.”

“Aku bukan anak kecil! Jangan bersikap over-protektif gitu!” Kali ini Hana tidak bisa lagi mengontrol kemarahannya.

Arkan tidak menghiraukannya dan terus makan. Hana juga, tapi matanya tidak berhenti menatap suaminya.

“Mas gak mau kamu mendadak terguling di tangga, atau kepleset dan jatuh. Ngerti?” tanya Arkan saat akhirnya mereka selesai makan.

Hana tidak bisa lagi menjawab. Matanya berkaca-kaca oleh kemarahan.

“Han,” bisik Arkan lembut. “Mas gak mau kamu kenapa-kenapa. Untuk beberapa minggu aja sampai kandungan kamu kuat, tinggal dulu di sini ya. Nanti Mas tanyain lagi sama Umi gimana baiknya soal setoran ngaji kamu.”

Hana tetap membisu. Arkan membereskan piring bekas makan mereka dan turun, lalu kembali lagi seolah tidak mau meninggalkan Hana lama-lama.

“Kamu istirahat aja.” Arkan berkata sambil meraih tangan Hana dan menggenggamnya. Berdua, mereka berjalan menuju kamar. Segera dikuncinya pintu, lalu menyusul Hana yang duduk di sofa sambil menatap ke luar. Halaman ramai dengan santri-santri yang hendak mengaji. Sesekali terdengar suara teriakan, juga tawa dan omelan disana-sini.

Hana tidak menjawab. Tubuhnya bersandar di sofa depan jendela, matanya terus menatap ke depan sementara bibirnya menyenandungkan shalawat Fatih.

“Kamu mikirin apa?”

“Bukan apa-apa, Mas.”

Terdengar dengkingan ponsel dari arah meja. Arkan meraihnya, lalu membuka kunci. Mereka memang tidak membatasi ponsel masing-masing. Hana boleh membuka ponsel Arkan dan sebaliknya.

Mata Arkan bergulir, membaca pesan dengan teliti. Diulangnya membaca hingga tiga kali sambil terus melirik istrinya, lalu segera menghapus pesan tersebut dan membuka aplikasi I*******m.

“Siapa, Mas?”

“Operator,” dusta Arkan. Dia tidak mau istrinya menjadi cemas berlebihan.

Hana kembali melanjutkan shalawatnya. Diam-diam, Arkan menyentuh ikon story dan mengganti fitur menjadi video live. Diarahkannya kamera dengan hati-hati ke arah wajah Hana, lalu mengiringinya dari belakang.

Segera chat memenuhi layar, disusul ikon likes yang melayang-layang. Bibir Arkan membaca live chat tanpa suara.

Alina_Ilyas: Aduh, ademnya

Mutiara.24: Suaranya Ning Hana subhanallah sekali

ZidanLevi_: Shalawat terus dibikin live gini buat apa? Mau pamer kalau kamu sekarang jadi anak alim?

ZidanLevi_: Kalau udah jalang ya selamanya aja jalang.

Senyum Arkan memudar. Dia ingat kalau pria ini yang mengirimkan chat ke nomor ponsel istrinya barusan. Belum jadi Arkan membalas, komentar-komentar lain muncul dan mengata-ngatai pemilik akun tersebut.

Annisa_humaira: Sama fasihnya dengan Ning Alina. Subhanallah

Sekali lagi Arkan mengulum senyum. Humaira adalah guru sekaligus sahabat dari kakak sepupunya, Alina Ștefan alias pemilik akun Alina_Ilyas. Tidak pernah sedetikpun dia tidak membanggakan Alina, muridnya yang cerdas dan berhasil bersekolah hingga ke luar negeri.

Segera dimatikannya live chat dan mengelus dahi Hana. Arkan lantas meletakkan ponsel di sofa dan kembali mengelus dahi istrinya yang dingin.

“Apa sih? Geli,” ucap Hana ketus sambil menyingkirkan tangan Arkan yang menggerayangi hidungnya.

Arkan mencondongkan tubuh dan mencium pipi dingin Hana.

“Kamu pernah pacaran gak, Han?”

Hana menoleh, dahinya mengernyit.

“Kok pertanyaan Mas aneh gitu?”

“Mas cuma pengen tahu apa kamu dulu segalak ini sama mantan-mantanmu,” balas Arkan sambil lalu, meski hatinya mulai mendesiskan kecemburuan.

Bibir Hana maju beberapa senti.

“Sudah kubilang waktu malam pernikahan. Mas laki-laki pertama yang nyentuh aku. Ngerangkul aku, cium pipiku, dan ... dan ....” Pipi Hana kali ini berubah merah padam. Arkan bahkan bisa melihat semburat merah dari pipi istrinya.

“Dan apa?” goda Arkan.

“Gak jadi.”

Jemari Arkan lantas menjawil pipi istrinya.

“Bilang aja. Gak apa-apa kok.” Sekali lagi Arkan menggodanya.

Hana mendesis, lalu berusaha bergeser. Ekspresinya berubah horor saat wajah Arkan mendadak zoom-in, hanya berjarak beberapa senti dari pipinya.

“Astaghfirullah, kaget aku,” gumam Hana. Dijambaknya cambang suaminya sebelum meluruskan tubuh dan menyandarkan kepala ke bahu Arkan.

“Kalau aku dulu pernah begini sama mantan-mantanku, aku gak akan malu waktu Mas cium aku setelah akad. Mungkin malah aku yang lebih dulu meluk atau cium pipi Mas. Eh.” Hana kembali menutup mulut.

Tawa Arkan semakin lebar hingga nyaris membelah mukanya.

“Nah kan, kamu ketahuan.”

“Kenapa? Mau ngetawain? Mau ngatain aku culun?” tanya Hana galak.

Arkan menggeleng.

“Kamu gemesin gini kok mau dikatain culun,” ucapnya geli.

Di kejauhan, suara adzan Isya’ menggema dari masjid.

“Kenapa, Mas?” tanya Hana lembut saat Arkan tidak berhenti menatapnya.

Arkan menggeleng. Diulurkannya tangan dan mengelus wajah Hana. Sesekali tangannya terhenti di wajah Hana, lalu menelusuri tulang wajahnya yang tajam. Mau tak mau Arkan mulai penasaran kenapa wajah Hana sama sekali tidak mirip dengan orangtua maupun saudara-saudaranya.

“Kok Mas Arkan bengong?” tanya Hana sambil tersenyum.

“Malam ini kamu cantik banget.” Arkan berkata cepat-cepat. Batinnya berkata bisa bahaya jika Hana tahu apa yang baru saja dipikirkannya.

Pipi Hana memerah.

“Kenapa Mas gak ke masjid dan ngaji aja? Kasihan anak-anak lain nungguin,” ucap Hana gugup.

Arkan menaikkan sebelah alis.

“Kamu gak suka Mas di rumah?”

“Aku lebih gak suka lagi kalau Mas ngerayu terus dari tadi. Yang ada aku makin mual,” balas Hana. “Eh, iya. Tolong ambilin mangga di pohon depan, Mas.”

Arkan menaikkan alis saat mendengar permintaan istrinya.

“Besok aja. Gelap.”

“Mas gak kasihan sama aku?” rengek Hana. “Daripada mangganya busuk, atau jatuh terus bolong-bolong. Mau? Aku sih gak mau.”

Arkan diam sejenak, mengamati tingkah istrinya yang terus merajuk meminta mangga.

“Mas, tolong ambilin.” Hana sekali lagi merengek. “Mas mau anaknya nanti ileran?”

Arkan tertawa, kemudian mengangguk dan bangkit. Dia lalu beringsut turun dari sofa, kemudian turun ke lantai satu. Hana mengikuti dari belakang, namun berbelok ke balkon dan membungkukkan tubuh ke pagar balkon. Sebelum itu disambarnya ponsel dan mengantonginya.

“Pakai tongkat itu, Mas,” teriak Hana sambil menunjuk tongkat pemetik yang tersandar di pohon.

Arkan meraihnya dan mengarahkannya ke pohon. Beberapa kali tongkat besar tersebut oleng, sementara Hana berteriak, “Ayo, Mas. Disana ada satu yang enak tuh.”

Arkan bergeser ke sisi yang ditunjuk Hana dan mulai mengarahkan tongkatnya. Satu butir jatuh, membuatnya berseru kegirangan. Ivan dan Dirga, sahabat suaminya yang berdiri di beranda masjid berteriak-teriak dengan nada meledek.

Hana baru akan bicara lagi saat terasa getaran di saku dasternya. Diulurkannya tangan, mengeluarkan ponsel dan menemukan sebuah pesan Telegram. Penasaran, dibukanya pesan yang berasal dari pengguna tak dikenal tersebut.

[Aku penasaran kenapa laki-laki ini mau jadi suamimu. Memangnya pantas seorang jalang menikah dengan anak kyai? Dan aku juga pengen tahu. Apa kamu menjebaknya? Atau kamu menggoda dia dan kalian ‘terpeleset’?]

Tubuh Hana merinding hebat membaca pesan itu. Dia baru akan membalas saat dua pesan lain masuk secara bersamaan.

[Bodoh sekali laki-laki itu kalau dia yang suka dan ngajak kamu nikah. Seharusnya dia punya pilihan lebih baik dibanding perempuan jalang seperti kamu]

[Gimana kalau kita bermain kayak dulu lagi? Aku mau lihat gimana tanggapan netizen santri se-Indonesia kalau tahu ternyata menantu Kyai terbaik di Kediri ternyata bukan orang suci kayak yang mereka pikir?]

Related chapters

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Pamit Ke Rembang

    “Anak-anak lain udah pada tanya-tanya kenapa kamu digendong Mas Arkan kemarin.”Hana menaikkan sebelah alis, bertanya geli, “Terus jawabannya?”“Kubilang karena kamu lagi sakit. Eh, emangnya kamu beneran sakit?” tanya Naura penasaran.Hana menggeleng. Disesapnya teh hijau yang sebelumnya dibawakan salah satu khadimah.“Terus kenapa kamu kemarin muntah-muntah? Keracunan?” tanya Naura lagi.Keira yang sejak tadi mengintip ke bawah membalas sinis, “Jangan pura-pura gak tahu, Ra.”“Kok kamu malah ngatain aku?” tanya Naura galak.“Oh, jelas. Kamu masih pura-pura gak tahu kalau sebentar lagi kita mau punya keponakan baru?”Naura melotot, lalu menatap Hana dan bertanya dengan nada bersemangat, “Beneran, Han? Kamu hamil?”Hana mengangguk.“Jangan kasih tahu temen-temen yang lain dulu,” lanjut Hana cepat-cepat. “Biar jadi kejutan.”“Kenapa? Semua orang pastinya bakalan seneng kan?” tanya Naura bingung.“Jangan sekarang.”“Kamu takut ibu kamu tahu?” tebak Keira.Hana mengangguk. Diseruputnya la

    Last Updated : 2022-12-18
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kemarahan Naira di Awal Hari

    “Mas janji bakalan cepet pulang, Han.”Selepas shalat tahajud dan membereskan barang bawaan, Arkan mengajak istrinya untuk duduk di depan jendela. Satu tangannya merangkul pinggang istrinya, sementara matanya tertuju ke halaman asrama yang sepi.“Aku tahu. Mas gak pernah betah di luar rumah lama-lama.”“Kalau gitu jangan sedih,” pinta Arkan. “Nanti Mas yang berat ninggalin kamu.”Hana tersenyum. Ekspresinya terlihat teduh saat berkata, “Aku gak apa-apa, Mas. Serius. Kita kan tetep bisa video-call, bisa kirim voice-note, atau saling ngasih kabar. Yang penting Mas fokus aja sama pekerjaan disana. Jangan khawatirin aku.”Arkan menunduk. Hana terus menatapnya dengan senyum yang tidak pudar sedikitpun. Disunggingkannya senyum kecil dan mengangguk.“Yang penting kamu ingat pesan Mas. Gak boleh keluar asrama. Gak boleh nulis sampai begadang. Gak boleh melamun sendirian. Nanti Mas minta Keira buat nemenin kamu.”Hana mengangguk.“Udah tahu mau dibeliin apa?” tanya Arkan penasaran.“Enggak usa

    Last Updated : 2022-12-18
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Tamu Asing

    “Kamu udah makan siang?”Hana mengangguk, satu tangannya menyendok potongan buah yang dibawakan Aisyah.“Vitaminnya udah diminum?”“Udah, Mas. Kok bawel bener sih,” gelak Hana.“Mas khawatir sama kamu, Sayang,” balas Arkan tak mau kalah. “Mas kepikiran siapa yang nyuapin kamu kalau Mas gak di rumah kayak sekarang. Kamu kan males disuruh makan.”“Aku bukan anak kecil, Mas,” balas Hana masam.“Emang anak kecil doang yang disuapin?” tanya Arkan geli. Sambil berkata begitu, tangannya menyuap potongan buah ke mulut dan melambaikan tangan entah pada siapa.Hana mendengus. Mendadak dia muak melihat wajah suaminya, jadi diberikannya ponsel pada Zara dan berkata, “Tolong Mbak Zara yang urusin ya. Aku males lihat mukanya.”Sambil menahan tawa, Zara melambaikan tangan dan berkata, “Maklum, Ar. Bumil pusing dari pagi, jadi kerjanya ngomel terus. Keira aja udah kena marah beberapa kali.”“Oh, kalo yang terakhir itu sih bodo amat.”Aisyah, Zara, Naura, bahkan Hana tidak bisa menahan tawa. Kontras d

    Last Updated : 2023-02-04
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Berita Buruk

    “Hana gak apa-apa kan?”Keira dan Naura mengangguk. Aisyah dan Riza bertatapan, begitu juga dengan para khadimah yang lain.“Apa pintu depannya gak ditutup?” tanya Aisyah serius.“Di-ditutup, Ning. Saya sendiri yang nutup karena mau ke kantin.” Latifah menjawab terbata-bata.“Terus kalian tahu siapa yang masuk?” tanya Riza.Keira dan Naura menggeleng.“Tapi dia pake baju hitam-hitam, Mas. Mukanya juga ditutup topi.”Dahi Aisyah berkerut, membuat Naura buru-buru menambahkan, “Topi yang biasa dipake pencuri itu, Mbak. Bolongnya di bagian mata sama mulut doang.”Semua orang berpandangan. Dengan absennya Arkan, mereka begitu takut membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada Hana jika tidak ada siapapun di rumah.“Gimana kalau dia masuk lagi, Umi?” rengek Keira. “Kita gak bisa menjamin apa dia gak berani masuk lagi meski tadi Keira udah mukulin kepalanya pake buku tebal.”“Astaghfirullah,” seru Salwa kaget, sementara Keira menyeringai dengan ekspresi bersalah.“Dia narik kepala Hana tadi,

    Last Updated : 2023-02-04
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Sosok Misterius Berpakaian Serba Hitam

    Pukul setengah tiga malam, Hana terbangun dan merasakan sekujur tubuhnya pegal. Diliriknya ponsel yang sudah menghitam. Selama tiga jam, dia mengobrol dengan Arkan yang membicarakan berbagai hal. Mulai dari pekerjaan selama di Rembang, Salwa yang menemaninya setiap pagi, juga buku-buku yang dibacanya beberapa hari terakhir. Kamarnya sudah gelap, juga pintunya tertutup rapat. ‘Mungkin Umi langsung tidur,’ pikirnya sambil turun.Sambil mengucek mata, Hana berjalan ke kamar mandi dan berwudhu. Pantulan wajahnya di cermin membuat wanita itu berhenti sejenak, lalu maju dan mengamati lebih lekat.‘Aku jelek banget,’ pikirnya.Seumur hidup, Hana tidak pernah merasakan ketenangan. Semua hal dicobanya agar bisa merasakan kedamaian—mengebut dengan sepeda di jalanan sepi, mendengarkan musik rock dengan volume maksimum, bahkan menyiksa diri. Bukannya tenang, jiwanya makin meronta dan over-thinking setiap akan tidur hingga membuat Hana insomnia.Hingga hari itu tiba.Mungkin Allah SWT memberinya

    Last Updated : 2023-02-06
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Pengakuan Keira

    “Assalamu’alaikum, Han. Bunâ.” Alina melambaikan tangan, kemudian kembali menunduk menekuni sesuatu.“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, Mbak?” tanya Hana ramah.“Terkurung di rumah, jelas gak baik-baik aja.” Alina membalas masam. Wanita itu kali ini mengarahkan wajah pada kamera, satu tangannya tengah memeluk mangkuk sementara tangan yang lain mengaduk sesuatu.“Sakit lagi?” tanya Hana khawatir. Alina dan kata ‘sakit' bukanlah hal yang luar biasa, mengingat kalau wanita itu pernah mengalami kejadian mengerikan di masa lalunya. “Mas Fauzan mana?”“Kerja dong. Kamu sendiri kenapa malah nyantai kayak istri sultan gitu? Libur?” celetuk Alina asal.Hana terbahak, lantas menjawab, “Aku libur. Cuti sampai bulan depan.”“Oh, sakit juga?” tanya Alina prihatin.Hana tidak menjawab dan kembali melahap mangganya.“Mana Arkan?” tanyanya penasaran.“Ke Rembang.”Di layar, Alina menyipitkan mata dan berkata, “Biasanya kamu ikut. Mbak gak lupa lho kalau kamu hobi update story lagi nemenin Arkan kemana aja.

    Last Updated : 2023-02-06
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kepulangan Arkan

    “Harusnya Mas ngabarin kalau mau pulang, biar aku bisa siap-siap,” rajuk Hana saat Arkan tiba-tiba muncul di depan kamar dengan nampan berisi makanan.Arkan tertawa, lalu masuk dan meletakkan nampan di meja nakas. Hana yang baru bangun tidur siang menyandarkan punggung dan menatap suaminya dengan mata mengantuk.“Kamu sudah shalat dzuhur?” tanya Arkan.Hana mengangguk. Tubuhnya baru akan maju untuk memeluk Arkan saat pria itu mendadak mundur.“Udah gak mau dipeluk lagi?” tanya Hana sedih.Arkan tersenyum. “Mas belum mandi, Sayang. Tunggu dulu ya. Kamu bisa makan dulu, habis itu Mas mau ngobrol.”Ditatapnya Arkan yang keluar, lalu melirik ke makananya. Aroma ikan goreng membuatnya keroncongan, tapi mendadak dia malas untuk makan. ‘Aku pengen disuapin Mas Arkan,’ batinnya.“Kok gak dimakan?” tanya Arkan saat kembali ke kamar. Diletakkannya travel bag dan ransel di bawah ranjang, kemudian melepas kemeja koko dan sarung, menyisakan kaus oblong juga celana pendek selutut di baliknya.“Aku

    Last Updated : 2023-02-06
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kemarahan Arkan

    “Kamu keterlaluan, Han.”Hana menunduk, kedua tangannya memuntir ujung jilbab instan yang dia kenakan. Sorot mata Arkan yang terluka membuat hatinya terasa ikut ditusuk.“Aku gak mau bikin Mas khawatir.” Hana berbisik pelan.“Kamu pikir Mas gak ikut khawatir setelah denger kabar ini? Gimana kalau kemarin terjadi apa-apa sama kamu?”Hana menggigit bibir. Musnah sudah kemesraan mereka beberapa jam terakhir. Tadi setelah Ashar, Arkan-nya turun untuk membuatkan tahu bakso yang dia minta. Dia sendiri tetap duduk di atas karena tidak diizinkan ikut turun. Tak diduga, Keira yang baru pulang langsung mengadu kalau ada seseorang yang memasuki rumah dan mencari Hana malam sebelumnya.Arkan bangkit dan menghela napas dengan kasar. Di pinggir ranjang, Hana menunduk. Sedih karena sudah membuat Arkan kecewa.“Seharusnya kamu ngomong.” Arkan mendesis terluka.“Aku gak mau bikin Mas kepikiran.” Hana membalas tak mau kalah.Pria bertubuh tinggi itu seketika berbalik dan mencengkeram kedua bahu Hana.“

    Last Updated : 2023-02-06

Latest chapter

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kegelisahan Alina

    “Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Ketakutan Raina

    Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Benci Yang Mengakar Dalam

    “Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Drama Santri Baru

    “Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kegelisahan Arkan

    “Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Omelan dan Nasihat Humaira

    “Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kemarahan Alina

    “Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Perhatian Kedua Putri dan Cerita Tentang Alina

    “Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Takut Kehilangan

    “Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J

DMCA.com Protection Status