Share

Kabar Bahagia (2)

last update Last Updated: 2022-12-09 16:08:41

“Aku bisa jalan sendiri.”

Arkan tidak menghiraukannya. Setengah menyeret, dibawanya Hana menuju elevator dan menekan tombol angka empat.

“Mas kayaknya seneng,” gumam Hana.

Arkan menunduk untuk mencium dahi Hana, kemudian berkata, “Mas bakalan jadi ayah. Gimana gak seneng?”

Pipi Hana menghangat. Arkan terkekeh, lalu membiarkan Hana masuk lebih dulu. Perawat yang baru keluar tersenyum melihat kemesraan mereka.

“Kamu mikirin apa?” tanya Arkan saat lift naik menuju lantai empat.

“Perawat tadi,” ucap Hana. “Mungkin dia mikir kalau kita gak tahu malu banget pelukan di ruang publik.”

Arkan tertawa.

“Biarin aja. Yang penting kita gak mengganggu orang lain.”

Hana mengangguk.

Tiba di lantai empat, Arkan memperhatikan catatan di tangannya dan menatap ke sekeliling. Disipitkannya mata, lalu menghampiri ruangan yang terletak di ujung koridor.

“Dokter Fiona,” gumam Arkan. Dicocokkannya catatan dengan plang yang tertempel di pintu, lalu menjejalkan kertas ke saku kemeja koko dan mengetuk pintu ruangan.

“Masuk.”

Arkan mendorong pintu, sementara Hana mengikuti di belakang sambil mencengkeram kemejanya. Mereka masuk ke sebuah ruangan luas bernuansa biru muda. Di tengah ruangan, sebuah meja kerja besar terletak bersama seorang wanita yang tengah menekuni map.

“Oh, Gus Arkan ya? Yang diceritakan Septia semalam?”

Arkan mengangguk.

“Nama saya Fiona. Dan ini istrinya? Ning Hana?” tanya Fiona ramah.

Hana mengangguk, menyalami tangan Fiona.

“Langsung kita mulai saja ya, Ning.”

Wanita itu menyingkirkan map-nya dan bangkit, kemudian menuntun Hana menuju ranjang di pojok ruangan. Dengan sopan, dimintanya Hana berbaring sementara dirinya mengenakan sarung tangan karet dan mengecek monitor USG-nya. Fiona lantas meraih gel dan mengoleskannya di perut Hana, lalu menempelkan alat USG.

Arkan yang duduk di pinggir ranjang meremas jemari Hana semakin erat saat akhirnya dokter Fiona mengatakan bahwa istrinya tengah hamil tiga bulan. Matanya terasa panas, namun itu belum seberapa saat Arkan melirik Hana. Ekspresinya yang semula datar kali ini dipenuhi kebahagiaan, meski Hana berulang kali menghapus air mata yang membasahi pelipisnya. Jemarinya membalas genggaman Arkan, senyumnya terlihat damai saat menatap suaminya tersebut.

Begitu selesai dan Fiona membersihkan perutnya dengan tisu, Hana bangkit dan berjalan dengan langkah gemetar menuju meja kerja dokter tersebut. Hatinya masih tidak percaya dengan berita ini. Dia, yang selalu disumpah-serapahi tidak akan mendapat keberkahan dalam hidupnya dan dituduh akan membunuh anaknya sendiri suatu hari nanti, mendadak mendapat rezeki yang sejak memasuki bulan keenam pernikahan selalu dia nantikan. Di satu sisi, Hana begitu bahagia. Namun disisi lain dia takut kalau orang tuanya tahu tentang hal ini.

“Saya resepkan beberapa obat ya. Ini ada obat mual dan penambah darahnya. Seperti yang mungkin dikasih tahu Septia semalam, hentikan dulu minum kopi dan sodanya sementara waktu ya, Ning. Sebagai gantinya, Ning Hana perbanyak minum jus dan air putih. Oh iya, Septia juga bilang kalau Ning Hana punya darah rendah, jadi vitamin penambah darahnya tolong diminum dengan teratur. Juga diet sehatnya jangan lupa, serta kurangi dulu kerja beratnya. Di dalam resep ini saya tulis semua makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan Ning Hana untuk tujuh bulan ke depan,” ucap Fiona sambil menyodorkan selembar kertas.

Arkan menerimanya. Diucapkannya terimakasih sebelum pamit meninggalkan ruangan tersebut, lalu menggandeng Hana berjalan ke luar. Dalam perjalanan menuju lantai satu untuk menebus obat, Hana yang memeluk pinggang Arkan dengan satu tangan berkata, “Mas, beliin jus mangga.”

Arkan mengangguk. Diciumnya ubun-ubun istrinya sekali lagi, kemudian berjalan menuju ruang tunggu.

“Kamu disini aja, biar Mas yang ngantri.” Telunjuk Arkan mengarah ke apotek yang terlihat ramai.

Hana mengangguk. Disandarkannya tubuh ke bangku panjang, merasa letih luar biasa. Hari baru menunjukkan pukul sebelas siang, tapi dia sudah mengantuk.

Dia merasa baru tidur sebentar saat Arkan membangunkannya dengan lembut. Dahi Hana mengernyit, lalu bertanya dengan lugu, “Obatnya udah?”

Arkan mengangguk. Hana lalu bangkit dan mengikuti langkah Arkan menuju lobi depan. Satu tangannya mencengkeram kemeja koko Arkan erat-erat, yang mendadak saja berhenti dan berbalik.

“Kamu tunggu disini.”

Hana mengangguk, kali ini berjongkok dan menyandarkan kepala pada pilar rumah sakit dan menatap punggung Arkan yang menjauh. Matanya memejam, kedua lengannya memeluk lutut sambil mengulang hafalan.

Wanita itu beristighfar seketika saat pinggangnya terasa ditendang dari belakang. Diluruskannya tubuh, kemudian berbalik dan menatap sekeliling. Tidak ada siapapun yang berada di dekatnya sekarang.

Hana kembali berbalik, lalu mengulang hafalannya. Sekali lagi, tubuhnya terasa didorong. Kali ini begitu kuat hingga Hana hampir terjerembab ke depan. Napasnya tersengal, dan sekali lagi Hana menoleh untuk mencari tahu siapa yang menjahilinya.

“Han?”

Hana mendongak saat Arkan mendekatinya. Sorot matanya terlihat bingung, lalu mengedarkan pandang dan bertanya, “Kamu lihatin apa?”

“Tadi ada yang nendang aku dari belakang, Mas.”

Arkan mengernyit, sekali lagi mengedarkan pandang. Tidak ada siapapun di sekitar mereka. Hanya ada satu orang berpakaian hitam yang berdiri tak jauh dari mereka, namun dia sibuk menelepon dengan keranjang buah di satu tangan.

“Ayo, kita pulang. Kamu belum makan siang.”

Hana mengedarkan pandang sekali lagi, lalu memasuki mobil.

***

“Hana mana?” tanya Salwa saat menemukan Arkan tengah mengobrak-abrik lemari penyimpanan makanan.

Arkan menoleh sejenak, lalu berkata, “Istirahat, Mi. Dia kayaknya kecapekan.”

“Gimana pemeriksaannya?” tanya Zara.

Arkan bangkit dan menutup kulkas, lalu duduk di kursi makan sambil menyobek bungkus keripiknya dan berkata, “Ya begitulah.”

“Begitulah apanya?” tanya Faris tak sabar.

Arkan hanya tersenyum. Semua orang bertatapan, bingung dengan reaksi Arkan.

“Tinggal ngomong kenapa sih, Ar?” tanya Zara sebal. “Pakai main rahasia segala.”

Salwa ikut duduk di sebelah Arkan. Sambil meneguk air dingin, bibirnya tak henti-hentinya tersenyum kecil melihat putranya menjahili saudaranya yang lain.

“Abi mana?” tanya Arkan, mengalihkan pembicaraan.

“Di atas. Hana sudah makan siang?” tanya Salwa penuh perhatian.

Arkan menggeleng. “Belum, Mi.”

Sesaat ruang makan hening. Hanya ada bunyi berisik kresek yang dibuka, juga toples makanan yang dibuka dan ditutup berulang kali. Faris sibuk dengan ponselnya sambil menjahili Zara. Sementara Aisyah dan Riza asyik membicarakan pekerjaan mereka

Arkan meneguk air putihnya, kemudian bangkit dan berkata, “Arkan pamit ke atas dulu, Umi. Siapa tahu Hana udah bangun.”

Arkan benar saat dia tiba di lantai tiga satu menit kemudian. Hana bangun karena mimpi buruk, dan kini bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponsel.

“Mau duduk di luar?” tawar Arkan.

Hana menggeleng. Matanya tetap terfokus menatap ponsel di tangannya, berulang kali mengetik dan menghapus sebelum akhirnya menghela napas.

“Kalau gak sanggup, biarin aja. Daripada kamu ikut pusing,” ucap Arkan sambil meletakkan ponsel istrinya di meja nakas.

Hana menuruti ucapan suaminya. Kali ini dia bersandar sambil terus menunduk menatap kedua jemarinya yang dimainkan. Sesekali Arkan mendengar bibirnya mengulang surah Al Waqiah. Terus begitu, bahkan ketika Arkan berpindah posisi ke sebelahnya.

“Mikirin apa, Han?” tanya Arkan lembut.

Hana tidak menjawab—bibirnya masih sibuk menghafal. Sesekali Arkan mengikuti bacaannya, atau hanya diam dan menyimak.

“Kamu diam aja sejak Mas masuk kamar. Gak mau ngomong sesuatu?” pancing Arkan.

Hana menggeleng.

“Gak ada yang perlu diomongin, Mas.”

Arkan baru akan menyahut saat terdengar dentingan ponsel. Diceknya ponselnya sendiri, namun benda tersebut tidak menyala. Butuh waktu lima detik bagi Arkan untuk menyadari kalau ponsel Hana yang menyala.

“Gak mau diangkat, Han?” tanya Arkan hati-hati.

Hana menggeleng lagi.

Arkan menjulurkan tangan, bermaksud hendak meraih benda pipih tersebut saat Hana berkata, “Biarin aja, Mas. Aku gak mau Mas ikutan stres dengerin ocehan mereka.”

Arkan tertegun.

“Tolong diam, Mas. Aku lagi gak mau ngomong sama siapa-siapa,” lanjut Hana dengan nada datar.

Akhirnya Arkan mengangguk. Diusapnya kepala Hana sambil mengulang hafalannya. Namun mendadak Hana menyingkirkan tangannya dan bangkit, lalu berjalan menuju sofa.

“Kamu kenapa?”

Hana tidak menjawab lagi. Dagunya ditopang pada lutut sementara matanya tertuju ke depan.

“Kamu kenapa, Han?”

Hana merebahkan tubuh di sofa tanpa melepas pegangannya pada lutut. Bibirnya senantiasa berdzikir tanpa henti, lalu kembali melanjutkan hafalannya yang sebelumnya tertunda. Di belakangnya, Arkan termenung dengan tampang bingung, sebelum akhirnya nekat mengambil ponsel Hana.

Tepat saat Arkan baru membuka kunci, benda itu bergetar oleh panggilan masuk. Nama ‘Ibu' tertera di caller ID.

“Halo? Assalamu’alaikum?”

“Wa'alaikumsalam. Apa kabar, Bu?” tanya Arkan ramah.

“Baik.” Di seberang, Naira menggeram sebelum kembali berkata, “Tolong kamu bilang ke Hana supaya jangan terus ngungkit-ngungkit pemberiannya sama keluarganya, Ar. Hidupnya gak akan berkah kalau sikapnya begini terus.”

“Sikap yang mana yang Ibu maksud?” tanya Arkan tenang. Diliriknya Hana yang masih meringkuk di sofa. Dia lalu turun dari ranjang dan duduk di pinggir sofa, lega saat Hana tidak mengusirnya.

“Pelit. Sudah kewajibannya untuk membahagiakan orangtua, bukannya malah membantah dan mengungkit kejadian atau hartanya yang udah lama habis,” ucap Naira galak.

Arkan mengangguk-angguk paham, sekali lagi melirik Hana yang kali ini masih menatap ke depan. Sorot matanya terlihat kosong, namun tangannya mencengkeram tangan Arkan erat-erat.

“Nanti Arkan kasih tahu, Bu. Sekarang Hana lagi istirahat.”

“Betulan dikasih tahu ya? Memalukan kalau berstatus menantu Kyai tapi sikapnya gak terdidik begitu. Ibu kasihan sama kamu, Ar. Ada banyak pilihan santri yang lebih baik, tapi kamu malah memilih Hana yang kelakuannya kayak iblis,” desis Naira penuh kebencian.

“Iya, Bu. Nanti Arkan nasihatin.”

Arkan menutup telepon saat Naira mengucap salam dengan nada datar. Diletakkannya ponsel di meja dan merapikan rambut Hana yang terjurai menutupi wajah.

“Gak usah dipikirin ya, Han,” hibur Arkan. “Kamu harus tenang.”

Hana mengangguk. Dia bangkit dan melingkarkan tangan ke pinggang Arkan erat-erat.

“Han, keluar yuk,” ajak Arkan sekali lagi. “Lihat nih, kulit kamu udah sewarna cat rumah sakit.”

“Gak mau.”

“Kamu gak bosan di kamar terus? Hirup udara segar gitu lho. Jangan ngehirup AC terus,” rajuk Arkan.

“Aku capek, Mas.”

“Mau digendong?” goda Arkan.

Hana mendecak, namun akhirnya bangkit dan berjalan lebih dulu. Cahaya matahari menghajar matanya hingga Hana menyipit karena silau. Satu tangan Arkan meraih tangan Hana dan menggenggamnya, lalu menuntunnya duduk di ayunan panjang.

“Nah, sekarang kamu jadi lebih manusiawi,” kekeh Arkan.

Hana kembali tertawa. Dihembuskannya napas sebelum menyandarkan kepala ke bahu Arkan.

“Aku tetep boleh kerja gak, Mas?’ tanya Hana penuh harap.

Arkan menggeleng.

“Kamu istirahat dulu sampai bulan depan. Soal itu biar nanti Mas pikirin lagi.”

“Tapi nanti kalau Ibu sama Ayah butuh uang gimana? Apa aku ceritain aja kalau aku libur sementara? Gimana kalau beliau bilang supaya aku gak boleh malas-malasan?” tanya Hana lagi.

“Nanti biar Mas yang urus itu. Sudah ya, kamu jangan mikirin apa-apa lagi. Kamu tenang aja,” tutur Arkan lembut.

Hana mengangguk. Matanya terpejam, sementara bibirnya terus bershalawat dengan suara lirih. Bibirnya menyunggingkan senyum damai, satu tangannya memeluk pinggang Arkan seolah tidak mau berpisah jauh.

“Nah, ini dia yang lagi dighibahin semua orang!” Mendadak Keira menerjang dan menatap galak pada mereka.

“Di-ghibahin gimana?” tanya Hana lugu. Di sebelahnya, tubuh Arkan menegang dan wajahnya pucat pasi.

Keira melipat lengan, bertanya serius, “Tadi pagi kalian kemana? Gak ikut menghadiri acara di aula, malah gendong-gendongan sampai jadi pusat perhatian."

Hana tetap tenang. Dirinya sudah biasa menghadapi hal ini.

“Bukan apa-apa. Aku harus check-up tadi, tapi aku gak mau ikut turun. Akhirnya dipaksa sama Mas Arkan.”

Di dalam hati, Hana beristighfar dan memohon ampun karena sudah berbohong. Dia tidak mau berbicara dulu, lebih karena situasinya tidak tepat. Mungkin Keira akan ikut bahagia, tapi kemungkinan terburuk lainnya adalah semua orang jadi tahu. Padahal Hana ingin merahasiakannya lebih dulu.

“Umi udah tahu,” bisik Arkan. “Kan Umi ikut lihat semalam. Tapi jangan kasih tahu Keira. Dia ember soalnya.”

Hana mengangguk.

“Check-up ngapain?” tanya Keira galak.

“Maag,” senyum Hana. “Kamu kan tahu aku punya maag akut.”

“Kenapa sampai harus digendong? Kamu kan bisa jalan sendiri,” protes Keira lagi.

Hana mengulum senyum, menjawab santai, “Kalau kamu udah nikah sama Ivan nanti, dan ternyata dia lebih bucin dari Mas Arkan, kamu bakalan tahu kalau dia rela gendong kamu dari lantai tiga ke mobil saat sakit.”

Anehnya, wajah Keira memerah seketika. Hana tertawa, juga Arkan yang menyunggingkan senyum tipis.

Related chapters

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Teror

    “Aku ngerasa gak enak karena udah bohongin Keira.”Atas paksaan Arkan, Hana akhirnya mengalah dan tidak ikut turun untuk makan malam. Sebagai gantinya, pria itu membawakan makanannya ke atas dan makan berdua di depan kamar.“Bohong gimana?” tanya Arkan sambil memisahkan daging ikan dari tulangnya.“Karena kita gak ngomong apa-apa. Harusnya kita kasih tahu.” Hana menjulurkan tangan, hendak meraih potongan ikan goreng saat tangan Arkan menampar tangannya.“Jangan dibiasain!” serunya galak.Hana bersungut-sungut, namun tidak membantah lagi dan bersandar ke dinding. Diperhatikannya Arkan yang masih tekun memisahkan lauk.“Nih.” Arkan mengulurkan sendok, lalu mulai makan. Setelah menelan suapan pertamanya, dia berkata, “Biar kita bertiga dulu yang tahu. Yang lain juga bakalan tahu nanti kalau udah lihat perubahan di diri kamu.”“Tapi aku ngerasa berdosa,” ucap Hana sambil menyingkirkan brokolinya.“Kamu tahu pamali gak sih?” tanya Arkan tak senang.“Pamali apa?” tanya Hana polos.“Usia kan

    Last Updated : 2022-12-09
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Pamit Ke Rembang

    “Anak-anak lain udah pada tanya-tanya kenapa kamu digendong Mas Arkan kemarin.”Hana menaikkan sebelah alis, bertanya geli, “Terus jawabannya?”“Kubilang karena kamu lagi sakit. Eh, emangnya kamu beneran sakit?” tanya Naura penasaran.Hana menggeleng. Disesapnya teh hijau yang sebelumnya dibawakan salah satu khadimah.“Terus kenapa kamu kemarin muntah-muntah? Keracunan?” tanya Naura lagi.Keira yang sejak tadi mengintip ke bawah membalas sinis, “Jangan pura-pura gak tahu, Ra.”“Kok kamu malah ngatain aku?” tanya Naura galak.“Oh, jelas. Kamu masih pura-pura gak tahu kalau sebentar lagi kita mau punya keponakan baru?”Naura melotot, lalu menatap Hana dan bertanya dengan nada bersemangat, “Beneran, Han? Kamu hamil?”Hana mengangguk.“Jangan kasih tahu temen-temen yang lain dulu,” lanjut Hana cepat-cepat. “Biar jadi kejutan.”“Kenapa? Semua orang pastinya bakalan seneng kan?” tanya Naura bingung.“Jangan sekarang.”“Kamu takut ibu kamu tahu?” tebak Keira.Hana mengangguk. Diseruputnya la

    Last Updated : 2022-12-18
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kemarahan Naira di Awal Hari

    “Mas janji bakalan cepet pulang, Han.”Selepas shalat tahajud dan membereskan barang bawaan, Arkan mengajak istrinya untuk duduk di depan jendela. Satu tangannya merangkul pinggang istrinya, sementara matanya tertuju ke halaman asrama yang sepi.“Aku tahu. Mas gak pernah betah di luar rumah lama-lama.”“Kalau gitu jangan sedih,” pinta Arkan. “Nanti Mas yang berat ninggalin kamu.”Hana tersenyum. Ekspresinya terlihat teduh saat berkata, “Aku gak apa-apa, Mas. Serius. Kita kan tetep bisa video-call, bisa kirim voice-note, atau saling ngasih kabar. Yang penting Mas fokus aja sama pekerjaan disana. Jangan khawatirin aku.”Arkan menunduk. Hana terus menatapnya dengan senyum yang tidak pudar sedikitpun. Disunggingkannya senyum kecil dan mengangguk.“Yang penting kamu ingat pesan Mas. Gak boleh keluar asrama. Gak boleh nulis sampai begadang. Gak boleh melamun sendirian. Nanti Mas minta Keira buat nemenin kamu.”Hana mengangguk.“Udah tahu mau dibeliin apa?” tanya Arkan penasaran.“Enggak usa

    Last Updated : 2022-12-18
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Tamu Asing

    “Kamu udah makan siang?”Hana mengangguk, satu tangannya menyendok potongan buah yang dibawakan Aisyah.“Vitaminnya udah diminum?”“Udah, Mas. Kok bawel bener sih,” gelak Hana.“Mas khawatir sama kamu, Sayang,” balas Arkan tak mau kalah. “Mas kepikiran siapa yang nyuapin kamu kalau Mas gak di rumah kayak sekarang. Kamu kan males disuruh makan.”“Aku bukan anak kecil, Mas,” balas Hana masam.“Emang anak kecil doang yang disuapin?” tanya Arkan geli. Sambil berkata begitu, tangannya menyuap potongan buah ke mulut dan melambaikan tangan entah pada siapa.Hana mendengus. Mendadak dia muak melihat wajah suaminya, jadi diberikannya ponsel pada Zara dan berkata, “Tolong Mbak Zara yang urusin ya. Aku males lihat mukanya.”Sambil menahan tawa, Zara melambaikan tangan dan berkata, “Maklum, Ar. Bumil pusing dari pagi, jadi kerjanya ngomel terus. Keira aja udah kena marah beberapa kali.”“Oh, kalo yang terakhir itu sih bodo amat.”Aisyah, Zara, Naura, bahkan Hana tidak bisa menahan tawa. Kontras d

    Last Updated : 2023-02-04
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Berita Buruk

    “Hana gak apa-apa kan?”Keira dan Naura mengangguk. Aisyah dan Riza bertatapan, begitu juga dengan para khadimah yang lain.“Apa pintu depannya gak ditutup?” tanya Aisyah serius.“Di-ditutup, Ning. Saya sendiri yang nutup karena mau ke kantin.” Latifah menjawab terbata-bata.“Terus kalian tahu siapa yang masuk?” tanya Riza.Keira dan Naura menggeleng.“Tapi dia pake baju hitam-hitam, Mas. Mukanya juga ditutup topi.”Dahi Aisyah berkerut, membuat Naura buru-buru menambahkan, “Topi yang biasa dipake pencuri itu, Mbak. Bolongnya di bagian mata sama mulut doang.”Semua orang berpandangan. Dengan absennya Arkan, mereka begitu takut membayangkan sesuatu yang akan terjadi pada Hana jika tidak ada siapapun di rumah.“Gimana kalau dia masuk lagi, Umi?” rengek Keira. “Kita gak bisa menjamin apa dia gak berani masuk lagi meski tadi Keira udah mukulin kepalanya pake buku tebal.”“Astaghfirullah,” seru Salwa kaget, sementara Keira menyeringai dengan ekspresi bersalah.“Dia narik kepala Hana tadi,

    Last Updated : 2023-02-04
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Sosok Misterius Berpakaian Serba Hitam

    Pukul setengah tiga malam, Hana terbangun dan merasakan sekujur tubuhnya pegal. Diliriknya ponsel yang sudah menghitam. Selama tiga jam, dia mengobrol dengan Arkan yang membicarakan berbagai hal. Mulai dari pekerjaan selama di Rembang, Salwa yang menemaninya setiap pagi, juga buku-buku yang dibacanya beberapa hari terakhir. Kamarnya sudah gelap, juga pintunya tertutup rapat. ‘Mungkin Umi langsung tidur,’ pikirnya sambil turun.Sambil mengucek mata, Hana berjalan ke kamar mandi dan berwudhu. Pantulan wajahnya di cermin membuat wanita itu berhenti sejenak, lalu maju dan mengamati lebih lekat.‘Aku jelek banget,’ pikirnya.Seumur hidup, Hana tidak pernah merasakan ketenangan. Semua hal dicobanya agar bisa merasakan kedamaian—mengebut dengan sepeda di jalanan sepi, mendengarkan musik rock dengan volume maksimum, bahkan menyiksa diri. Bukannya tenang, jiwanya makin meronta dan over-thinking setiap akan tidur hingga membuat Hana insomnia.Hingga hari itu tiba.Mungkin Allah SWT memberinya

    Last Updated : 2023-02-06
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Pengakuan Keira

    “Assalamu’alaikum, Han. Bunâ.” Alina melambaikan tangan, kemudian kembali menunduk menekuni sesuatu.“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, Mbak?” tanya Hana ramah.“Terkurung di rumah, jelas gak baik-baik aja.” Alina membalas masam. Wanita itu kali ini mengarahkan wajah pada kamera, satu tangannya tengah memeluk mangkuk sementara tangan yang lain mengaduk sesuatu.“Sakit lagi?” tanya Hana khawatir. Alina dan kata ‘sakit' bukanlah hal yang luar biasa, mengingat kalau wanita itu pernah mengalami kejadian mengerikan di masa lalunya. “Mas Fauzan mana?”“Kerja dong. Kamu sendiri kenapa malah nyantai kayak istri sultan gitu? Libur?” celetuk Alina asal.Hana terbahak, lantas menjawab, “Aku libur. Cuti sampai bulan depan.”“Oh, sakit juga?” tanya Alina prihatin.Hana tidak menjawab dan kembali melahap mangganya.“Mana Arkan?” tanyanya penasaran.“Ke Rembang.”Di layar, Alina menyipitkan mata dan berkata, “Biasanya kamu ikut. Mbak gak lupa lho kalau kamu hobi update story lagi nemenin Arkan kemana aja.

    Last Updated : 2023-02-06
  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kepulangan Arkan

    “Harusnya Mas ngabarin kalau mau pulang, biar aku bisa siap-siap,” rajuk Hana saat Arkan tiba-tiba muncul di depan kamar dengan nampan berisi makanan.Arkan tertawa, lalu masuk dan meletakkan nampan di meja nakas. Hana yang baru bangun tidur siang menyandarkan punggung dan menatap suaminya dengan mata mengantuk.“Kamu sudah shalat dzuhur?” tanya Arkan.Hana mengangguk. Tubuhnya baru akan maju untuk memeluk Arkan saat pria itu mendadak mundur.“Udah gak mau dipeluk lagi?” tanya Hana sedih.Arkan tersenyum. “Mas belum mandi, Sayang. Tunggu dulu ya. Kamu bisa makan dulu, habis itu Mas mau ngobrol.”Ditatapnya Arkan yang keluar, lalu melirik ke makananya. Aroma ikan goreng membuatnya keroncongan, tapi mendadak dia malas untuk makan. ‘Aku pengen disuapin Mas Arkan,’ batinnya.“Kok gak dimakan?” tanya Arkan saat kembali ke kamar. Diletakkannya travel bag dan ransel di bawah ranjang, kemudian melepas kemeja koko dan sarung, menyisakan kaus oblong juga celana pendek selutut di baliknya.“Aku

    Last Updated : 2023-02-06

Latest chapter

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kegelisahan Alina

    “Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Ketakutan Raina

    Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Benci Yang Mengakar Dalam

    “Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Drama Santri Baru

    “Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kegelisahan Arkan

    “Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Omelan dan Nasihat Humaira

    “Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Kemarahan Alina

    “Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Perhatian Kedua Putri dan Cerita Tentang Alina

    “Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana

  • Disia-siakan Keluarga, Diratukan Ibu Mertua   Takut Kehilangan

    “Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J

DMCA.com Protection Status