“Orang itu menipuku!” teriak Hanung. Cangkir kopi di mejanya melayang dan jatuh berkeping-keping menjadi benda tak berguna. “Doni Firmansyah, keparat. Dia tidak melaporkan padaku situasi semalam.” Hanung mencengkeram kerah Si Pengacara. “Kamu juga nipu aku?” bentaknya dengan mata melotot. “Ace tidak ke hotel itu?”Si Pengacara tidak merespon kekacauan yang dilakukannya, ia mendorong tubuh Hanung seraya pindah ke jendela untuk menatap pemandangan di luar rumah kontrakan yang di sewa Hanung untuk mengelabui musuh-musuhnya.Si Pengacara melirik Hanung yang membuat segalanya tidak beraturan. “Aku sudah melakukan tugasku sebagai kacungmu dan agen ganda. Aku ini sejatinya penghianat. Tapi tidak dengan informasi dariku!” Si Pengacara meninggikan suaranya di tengah suara benda-benda berjatuhan. “Aku selesai hari ini, tidak lagi menjadi kacungmu atau keluarga Wiratmaja!”Hanung menolehkan kepalanya, saat itu ia menahan diri untuk tidak melukai Si Pengacara. Pria empat puluh tahun yang memp
Pamela menendangi karung beras berlumur darah, tidak mungkin darah kambing atau sapi, itu hewan terlalu mahal untuk di sembelih cuma-cuma dan menjadi barang ancaman. Aromanya pun tidak menyengat dan prengus. Pasti darah ayam, Pamela membatin dengan yakin. Sambil mereka-reka kemungkinan lain benda sialan yang membuatnya menahan rasa jijik bau anyir, Pamela menoleh, Hamidah Fitria menyeret Ace yang masih setengah sadar untuk melihat situasi yang terjadi. “Apa yang terjadi... Oh...” Hamidah Fitria menjerit histeris karena dengan beraninya Pamela mengeluarkan isi karung beras itu dengan tangan kosong.Satu ekor anak kambing, berbulu putih, lehernya tersayat dengan rapi dan di beri nama ‘Pamela’ dengan pilok merah. “Kurang ajar, berani-beraninya ada orang ngancam aku.” bentak Pamela sambil berkacak pinggang. “Orang itu nggak tahu cari masalah sama siapa?”Kesal, Pamela melinting lengan bajunya dan menghentak-hentakkan kaki menuju rumah. Gayanya sudah mirip preman anyar yang tegap dan ga
“Itu tidak bisa yang mulia. Uang yang digunakan Damian adalah uang tidak jelas. Bisa saja uang yang digunakan adalah money laundry dari pendukungnya? Hasil curian?” seru Pamela ketika Hakim menyatakan keputusannya menerima uang sebesar 450 juta dari Damian sebagai uang pengganti perusahaan Miranti dalam bentuk cek. Hakim meminta Pamela tenang dengan sabar meski kepalanya geleng-geleng. Pamela terlalu aktif mencegah kebebasan Damian dengan menyerobot ucapan Hakim, Damian dan Penasihat.“Saksi diam sebentar. Beri waktu terdakwa untuk menjelaskan uang dari mana ini. Lagipula anda itu mantan tunangannya, sudah tidak ada empati terhadap terdakwa?” Hakim berdehem, menyudutkan Pamela dengan tatapan matanya yang terbingkai kacamata oval.Pamela bersedekap dan membuang muka. “Aku hanya ingin menyuarakan pendapatku, yang mulia. Aku korban. Aku menginginkan yang terbaik untuk menghukum Damian agar setimpal dengan rasa sakit hatiku.” Pamela menyentuh dadanya yang seperti di pukul palu sidang. D
Pamela tidak menyangka dalam sekali jadi Ace mewujudkan keinginannya yang menggebu-gebu itu dalam waktu dua puluh empat jam setibanya mereka di pulau Nusa Tenggara Timur. Rombongan itu kini berada tak jauh dari pusat kota labuan bajo. Ace menyewa satu resort yang menyajikan pemandangan lepas pantai berpasir putih yang dapat di gunakan untuk snorkeling ketika ombak surut. Kolam renang luar ruangan dan taman yang asri. Rumput menghijau bagai permadani alami di tengah resor yang memiliki bangunan kerucut seperti rumah adat di Wae Rebo. Mbaru Niang. Lebih dari itu, resor di jaga ketat oleh rombongan intel yang dibawa langsung Anang Brotoseno dari Jakarta. Mereka menyebar di seluruh titik-titik yang pas untuk dijadikan pengintai termasuk mengawasi Wiratmaja. Pria itu menutupi ketidaksukaannya di hari pernikahan putranya yang lebih cepat dari jadwal dengan menyibukkan diri dengan bekerja. “Aku yakin kamu bukan Bandung Bondowoso yang mempunyai teman-teman gaib, Ace. Ini mengejutkan tau.”
Selepas ciuman mereda dan mata yang melekat tak mampu lagi menerima sinar matahari pinggir pantai. Dunia nyata kembali terpampang di sekitarnya. Pamela tak tahan mengomeli ayahnya karena Anang Brotoseno mencibirnya berciuman dengan duda empat puluh tahun. “Papa bilang aja nggak rela aku nikah secepat ini. Terus biarin aja aku jadi muda-muda keladi. Daripada tua-tua keladi, makin tua makin jadi.” Oops, Pamela bersembunyi cepat-cepat di belakang Ace ketika Wiratmaja menoleh dengan cepat. ‘Tua-tua keladi, itu kan nyindir Pak Wira. Aduh... lupa, mertuaku kan keladi.’“Aku bercanda, Ace. Sumpah, aku nggak ada niat nyindir ayahmu. Kamu juga jangan tersinggung ya.” bisik Pamela. Ace yang sedang memeluk kedua bahu Berlian meringis. “Kamu memang pandai bersilat lidah, pantas sekali kamu bekerja sebagai personalia. Cerewet, penyerang... tidak tahu malu.” cibirnya dengan nada riang dan hangat sementara ayahnya melengos pergi menuju meja makan dengan harga diri yang di remas-remas mantu kuran
“Sebetulnya, ini lebih mirip piknik keluarga daripada program bulan madu kita.” Ace mencium puncak kepala Pamela sesaat setelah merengkuh tubuh itu di deck kapal phinisi mewah yang kembali berlayar mengarungi lautan menuju pantai pasir merah muda.Berlian tidak sabar mengunjungi pantai itu, semangatnya melampaui suka cita pernikahan ayahnya, terlebih hal itu di dukung adik tiri Pamela yang menjadi kompor meleduk hingga terciptalah pelesiran keluarga yang kompak dan meriah.Dari pulau Komodo untuk menyaksikan hewan purba yang melegenda dan membuat Berlian takjub dan takut, serta ke pulau padar untuk menguji stamina kekuatan kaki para orang tua karena perlu melewati ratusan anak tangga. Agaknya semua lebih tenang mengistirahatkan diri di atas pasir lembut merah muda itu, tetapi Pamela sibuk mengabadikan momen romantis dengan ponselnya tanpa melibatkan Ace.Ponsel itu hanya merekam perbukitan, kapal lain, riak ombak yang dihasilkan kapal dan langit sore yang berawan.Ace mengembuskan nap
Ace menarik-narik sehelai rambut Pamela dengan lembut selagi Berlian sudah terlelap di tengah-tengah ranjang pengantin mereka. “Aku capek, Ace. Badanku remuk.” rengek Pamela seraya menarik selimut abu-abunya sampai ke bawah dagu. “Besok aja.” bujuk Pamela dengan suara yang dilemahkan. “Aku pasti mau tanpa kamu suruh.”Ace menggelengkan kepala, penolakan Pamela tidak ada harganya sekarang selagi hasrat sudah di ujung kepala. Dan pria itu mengerahkan seluruh keahliannya dalam membujuk Pamela dan bertekad membuat malam ini menjadi malam yang menakjubkan. Di atas laut, cuaca cerah dan ombak yang tenang. Pengalaman yang akan terlupakan dan Ace tidak sabar untuk segera melakukan ritual malam pertamanya dengan perawan dua lima tahun.Tubuh seksi, bibir ranum dan bokong yang berisi.Ace menyingkirkan tangan Berlian dengan hati-hati sambil menahan napas. Keahliannya pergi dari pelukan Berlian dengan penuh kehati-hatian kini terjadi kembali, dan Ace menikmati.“Ayo keluar.” Ace menyibak selim
Pamela merintih saat Ace menemukan ceruk tubuhnya yang terbuka sempurna. Sedang Ace melenguh panjang, merasakan rumah barunya yang lembut, sesak dan hangat sambil menggerakkan tubuhnya, memainkan lingganya yang berhasil memuja bunga perawan dengan lembut berperasaan meski keinginan mempercepat laju sang lingga di liang kenikmatan tak terbendung.Ace menunduk, menyaksikan wajah sang istri yang memejamkan mata, meresapi desakan dan sentuhan yang mulai menggeser kesadaran.Desahan mulai tergantikan oleh erangan lepas yang keluar dari mulut Pamela, sementara tangannya meraba kulit Ace yang berkeringat dan mencengkeram erat pinggangnya, memastikan kendali masih bisa ia atur sedemikian rupa.Ace tersenyum. Dunia yang berjalan begitu-begitu saja kini kembali menggairahkan dengan hadirnya Pamela. Alangkah indah pesona tubuhnya yang resik terawat. Tidak bosan-bosan Ace menelusuri setiap jengkal tubuhnya dengan lidah dan tangan.Payudaranya terasa mengkal. Pantatnya terlihat sintal. Ace mabuk k
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep